Oleh: Badrul Tamam
Beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan bagian dari tauhid dan menjadi konsekuensi iman kepada Allah. Maknanya yaitu meyakini bahwa Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang mahaindah) dan sifat-sifat yang mahamulia sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.
Mengenal Asmaul Husna dengan sungguh-sungguh, menghafal, memahami maknanya kemudian berdoa dan beribadah kepada Allah dengannya menjadi sebab penguat iman yang paling besar. Bahkan, mengenal asma’ dan sifat Allah merupakan dasar iman yang kepadanya keimanan akan kembali. Karenanya, apabila seorang bertambah ma’rifahnya terhadap asma’ dan sifat Allah, niscaya imannya bertambah dan keyakinanya kuat.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan urgensi memahami Asmaul Husna, “Mengetahui nama-nama Allah dan menghafalnya adalah dasar dari segala ilmu. Siapa yang telah menghafal nama-nama-Nya dengan benar berarti ia telah memahami seluruh ilmu. Karena menghafal nama-nama-Nya merupakan dasar untuk dapat menghafal segala macam ma'lumat. Dan segala macam ilmu tersebut akan terwujud setelah memahami al-Asma’ al-Husna dan bertawassul dengannya.” (Bada’i al-Fawaid: 1/171)
Diriwayatkan dalam Shahihain, dari Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
إنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
"Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu, siapa yang meng-ihsa’nya pasti masuk surga." (HR. Bukhari dan Muslim)
Makna Ihsha’ yang dapat menghantarkan kepada surga memiliki tiga tahapan: Pertama, menghafal lafadz-lafadz dan jumlahnya. Kedua, memahami makna dan maksud yang terkandung di dalamnya. Ketiga, berdoa dengannya, baik doa yang berbetuk pujian dan ibadah ataupun meminta.
Apabila seorang bertambah ma’rifahnya terhadap asma’ dan sifat Allah, niscaya imannya bertambah dan keyakinanya kuat.
Nama-nama Allah bersifat Tauqifiyah
Asmaul Husna adalah perkara baku yang tidak bisa dinalar oleh akal. Karena akal saja tidak mungkin mampu mengenal nama-nama Allah yang pantas untuk-Nya dan tidak mungkin dapat mengetahui kesempurnaan dan keagungan sifat Allah. Karenanya seluruh ulama madzhab bersepakat tentang larangan menamai Allah kecuali dengan nama-nama yang telah disebutkan dan dikabarkan sendiri oleh-Nya dalam Al-Qur’an maupun melalui lisan Rasul-Nya, tanpa menambah dan mengurangi. Oleh sebab itu, kita wajib menetapkan asmaul husna sesuai dengan nama yang secara nash telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadit shahih.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Tidak boleh memberikan nama untuk Allah kecuali dengan nama yang telah Allah sebutkan dan kabarkan dalam Al-Qur’an dan melalui lisan Rasul-Nya atau berdasarkan ijma kaum muslimin, tanpa menambahinya, meskipun makna dari nama-nama tersebut itu benar dan sesuai dengan sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (Al-Fash: 2/108)
Imam al-Nawawi rahimahullaah berkata, “Sesungguhnya nama-nama Allah itu bersifat tauqifiyah, yaitu tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan dalil-dalil shahih." (Syarah Shahih Muslim, Imam al-Nawawi: 7/188)
Sesungguhnya nama-nama Allah itu bersifat tauqifiyah, yaitu tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan dalil-dalil shahih.
Berapa Jumlah Nama Allah?
Sesuatu yang sudah masyhur di tengah-tengah umat bahwa Asmaul Husna berjumlah 99 nama, sebagaimana yang disebutkan pada hadits Abu Hurairah radliyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
إنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
"Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu, siapa yang menghafalnya pasti masuk surga." (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun maknanya bukan berarti Allah tidak memiliki nama-nama kecuali ini saja. Tetapi, maknanya yang sesungguhnya adalah Dia memiliki nama-nama yang terhitung yang berjumlah 99 nama, siapa yang menghafal nama-nama tersebut, dia akan masuk surga. Ini tidak menafikan kalau Dia memiliki nama selainnya. Sedangkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Siapa yang menghafalnya/menghitungnya," menjadi pelengkap susunan kalimat pertama bukan susunan pembanding yang terpisah. Susunan ini seperti ucapan seseorang, "Saya memiliki seratus kuda yang kusiapkan untuk berihad di jalan Allah." Ini bukan berarti dia hanya memiliki seratus kuda saja dan tidak memiliki yang lainnya yang disiapkan utnuk urusan lainnya. (Dinukil dari penjelasan Syaikh Ibnul Utsaimin dalam Majmu' Fatawa wa al-Rasail, Jilid pertama)
Imam al-Khathabi dan lainnya menjelaskan, maknanya adalah seperti orang yang mengatakan "Saya memiliki 1000 dirham yang kusiapkan untuk sedekah," yang bukan berarti uangnya hanya 1000 dirham itu saja. (Majmu' Fatawa: 5/217)
Dalil khusus yang menguatkan bahwa nama-nama Allah tidak terbatas pada jumlah tertentu, 99 nama saja ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits Shahih:
أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ
"Aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang menjadi milik-Mu, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau Engkau turunkan dalam Kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu . . ." (HR. Ahmad dan lainnya. Hadits ini telah dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim, keduanya banyak menyebutkannya dalam kitab-kitab mereka. Juga dihasankan oleh Al-Hafidz dalam Takhriij Al-Adzkaar dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam al-Kalim al Thayyib hal. 119 no. 124 dan Silsilah Shahihah no. 199)
Lafadz, awis ta'tsarta bihii fii 'ilmil ghaibi 'indaka (atau yang Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu) menunjukkan bahwa ada nama Allah yang tidak diberitahukan kepada salah seorang dari makhluk-Nya, hanya Dia sendiri yang mengetahuinya. Dan apa yang Allah rahasiakan dalam ilmu ghaib tidak mungkin dapat diketahui. Dan sesuatu yang tidak dapat diketahui tidak dapat dibatasi.
Berdasarkan ini, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
"Saya tidak bisa menghinggakan pujian kepada-Mu sebagaimana Engkau memuji terhadap diri-Mu sendiri." (HR. Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmidzi dan lainnya)
Bahwa ada nama Allah yang tidak diberitahukan kepada salah seorang dari makhluk-Nya, hanya Dia sendiri yang mengetahuinya.
Status hadits yang merinci dan mengurutkan Asmaul Husna
Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menukil kesepakatan dari para ulama terhadap hadits yang mengurutkan dan merincinya adalah tidak shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Sementara orang-orang yang menganggap shahih hadits yang merinci tentang Asmaul Husna yang 99 beralasan, "Ini adalah perkara besar karena menjadi sebab masuk surga. Maka tidak mungkin para sahabat membiarkannya tanpa menanyakannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang perincian dan kepastiannya. Berarti hal ini membuktikan bahwa kepastian dan perincian Asmaul Husna tersebut berasal dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam."
Ibnu Taimiyah menukil kesepakatan dari para ulama terhadap hadits yang mengurutkan dan merincinya adalah tidak shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Alasan di atas dapat dijawab sebagai berikut, "Tidak mesti begitu. Kalau seandainya seperti itu harusnya 99 nama ini diterangkan lebih rinci daripada ilmu tentang matahari. Dan seharusnya juga dinukil dalam Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) serta yang kitab lainnya. Karena hal ini sangat dibutuhkan dan mendesak untuk dihafalkan. Lalu kenapa hanya diriwayatkan dari jalur yang masih diragukan dan dalam bentuk yang saling berlainan. Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak menerangkannya dengan rinci karena adanya hikmah yang agung, yaitu agar orang-orang mencarinya dan berusaha mendapatkannya dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam sehingga terbukti siapa yang memiliki kesungguhan dan siapa yang tidak." Wallahu a'lam bish Shawab. (PurWD/voa-islam.com)
Posting Komentar