Methodology Study Islam Hadits Sebagai Sumber Hukum Dalam Islam

Oleh: Mahmud

Orientalisme adalah tradisi kajian keislaman yang berkembang di Barat. Kapan dan siapa orientalis yang pertama kalinya mengakaji Islam tidak banyak informasi mengenainya. Ada yang berpendapat bahwa hal itu tatkala berkecamuk perang mu’tah (8 H) kemudian perak tabuk (9 H). pada perang-perang itu terjadi kontak antara kaum muslim dengan orang-orang Romawi. Sementara pendapat lain mengatakan hal itu terjadi tatkala terjadi perang antara kaum muslimin dengan Nasrani di Andalusia (Spanyol), terutama setelah raja alphonse VI menguasai Toledo pada 488 H/1085 M. dan masih banyak pendapat lain diluar itu. Tapi yang pasti kajian keislaman orientalis ini berbeda sama sekali dengan kajian para ulama’ dalam tradisi inteltual Islam. Para orientalis secara umum dapat dibedakan berdasarkan kecendrungan atau motif kajian mereka terhadap Islam. Ada orientalis yang sungguh-sungguh “mencari” kebenaran dan ada pula yang mencari-cari kelemahan Islam. Yang pertama sering disebut islamisis atau islamolog dan sejauh ini dianggap bersikap ilmiah dan ibyektif, sementara yang kedua lebih bersikap pernuh curiga dan subyektif.

Para orientalis umumnya mempenyai minat dibidang masing-masing, yang satu tidak mengetahui yang lain, sehingga pendekatan mereka hanya terbatas pada bidang yang mereka kaji saja. Dan yang pasti para orientalis itu tidak mengakaji islam dengan keimanan di dada. Tapi tidak banyak kaum muslim yang mempunyai perhatian yang besar terhadap kajian keislaman para orientalis dengan sikap yang kritis. Disini salah satu cendekiawan muslim yang mempunyai perhatian dan sikap yang kritis terhadap kajian keioslaman orientalis adalah Muhammad Mustafa a’zami. Karena sikapnya yang kritis terhadap pemikiran para orientalis itu ada yang memberinya gelar pendekar dari India (the knight of india). Kependekaran a’zami disebabkan oleh karena keterampilannya dalam “peperangan” melawan para orientalis di bidang al-qur’an dan hadits. Peperangan yang dilakuakannya, bukan membabi buta seperti pendekar kesurupan, tapi sangat argumentattif. Ini ditopang oleh latar belakang pendidikannya di Mesir dan di perkaya oleh pendiidikannya di Cambridge Inggris. Ia dimana kesalahan orientalis yang tidak dapat ditolerir, dan bagaimana menjawabnya berdasarkan ilmu dan rasional. Ia juga bukan tidak tahu mana orientalis yang benar dan yang salah, dan mana yang perlu diserang dan mana yang dibiarkan. Tidak banyak yang mempunyai keterampilan seperti ini, bahkan jebolan Islamic studies di Barat.

Dalam bidang hadits yang ditekunnya, MM.a’zami memperkirakan bahwa sarjana Barat yang pertama kali mengkaji hadits Nabi adalah ignaz goldziher, orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara 1850 M-1921M. Pada tahun 1890 M, ia menerbitkan hasil penelitiannya tentang hadits Nabi dan diterbitakan dengan judul muhammadanische studien. 60 tahun kemudian (1950), joseph Schacht yang juga keturunan Yahudi, menerbitkan hasil penelitiannya the origins of muhammadan jurisprudence, juga dalam bidang hadits. Konon penelitian itu memakan waktu 10 tahun. Dan karya Schacht ini bagi para Orientalis menjadi karya penting kedua setelah Goldziher.

Sebenarnya dalam Islam terdapat pakar-pakar hadits yang cukup berkaliber, diantaranya Mustafa al-siba’I (w. 1949 M), dengan karyanya al-sunnah wa makanatuha fi al-tasyri’ al-islami dan Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (w. 1963 M) dengan karyanya al-Sunnah Qabla Al-Tadwin. Namun disbanding kedua tokoh diatas MM.A’zamirelatif lebih unggul. Banyak alasan yang bisa meletakkan a’zami sebagai tokoh pendekar hadits. Pertama, karena karya MM. A’zami studies in early hadits literature telah dinyatakan lulus oleh dua tim penguji yang bertaraf internasional. Tim penguji universitas Canbridge Inggris dan tim penguji lembaga hadiah internasional raja faishal Riyadh Saudi Arabia. Sehingga pada tahun 1400 H/1980 M, mm azami berhasil memenagkan hadiah internasional raja faishal dalam studi islam.

Kedua, tidak seperti Mustafa al-siba’I dan Muhammad ‘ajjaj al-khatib yang hanya belajar di universitas al-azhar Kairo. MM. A’zami disamping belajar di Kairo juga dia belajar di Canbridge-Inggris. Mm.a’zami langsung berguru dusarang orientalis dan mengenali sendiri kehidupan mereka., sehingga mengetahui kelemahan mereka. Dan ternyata setelah keluar dari sana, Mustafa Azami tidak menjadi terompet dan penyambung lidah mereka, tetapi menjadi boomerang bagi mereka sendiri.

Kontroversi Seputar Penulisan Hadits

Berkaitan dengan problem otentisitas Hadits, sebagian orientalis berpandangan bahwa hadits, pada masa-masa awal perkembangannya memang tidak tidak tercatat sebagaimana al-Qur’an. Karena tradisi yang berkembang pada waktu itu

1. terutama pada masa Nabi Muhammad saw dan sahabat

2. adalah tradisi oral, bukan tradisi tulis.

Hal ini tentu mengandaikan adanya kemungkinan banyak hadits yang otentisitasnya perlu dipertanyakan, atau bahkan diragukan sama sekali.

Ibnu Hajar mengatakan bahwa ketiadaan penulisan hadits saat itu, disebabkan oleh beberapa factor :

Pertama, semula mereka sahabat memang dilarang menulis hadits. Hal ini terjadi karena adanya kekhawtiran bercampur (iltibes) antara hadits dengan Alqur’an.

Kedua, hafalan mereka sangat kuat dan otak mereka sangat cerdas, disamping umumnya mereka tidak dapat menulis.

Berkaitan dengan pelarangan Nabi kepada para sahabat untuk menulis hadits, maka bukan berarti pada waktu itu tidak ada penulisan hadits sama sekali. Karena, tak kurang dari 52 orang sahabat ,empunyai tulisan-tulisan hadits. Meskipun begitu Nabi tidak melarang penulisan itu secara mutlak. Artinya, pelarangan itu muncul karena ada sebab-sebab khusus yang berupa kekhawatiran iltibas tadi. Selain itu, adanya pelarangan itu justru membuktikan bahwa tradisi penulisan saat itu, sudah ada. Karena, seandainya para sahabat tidak dapat menulis, maka larangan tersebut tidak perlu ada. Malah pada saat yang sama, nabi juga membolehkan penulisan hadits, sepeerti yang terjadi pada kasus Abu Syah.

Dari sini, para ulama’ melihat kontradiksi yang cukup serius antara sabda Nabi yang melarang dengan yang membeolehkan. Dan alkhatib al-baghdadi (w.463 H), merupakan orang yang paling baik dan palin banyak melakukan penelitian atas sabda-sabda situ. Penelitiannya itu ditunjukkan dalam bentuk buku berjudul taqyid al-ilmu. Dalam buku ini, dia menuturkan bahwa sekurang-kurangnya ada tiga buah hadits yangmelarang penulisan hadits, yang masing-masing diriwayatkan oleh abu sa’id al-khudri, abu hurairah, dan zayd bin. Tsabit. Dari ketiga riwayat ini, hanya jalur abu sa’id al-khudri-lah yang otentisitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Sabda itu berbunyi :”janganlah kalian menulis sesuatupun dariku. Siapa yangmenulis sesuatu dariku selain al-qur’an, hendaklah ia menghapusnya.

Tetapi pada saat yang lain, terdapat sekitar 8 buah hadits yang mengizinkan, bahkan menyuruh para sahabat untuk menulis hadits. Antara lain, ketika terjadi fthu makkah (8 H), nabi berpidato dihadapan ummat Islam. Ketika itu seorang dari Yaman, abu Syah minta kepada Nabi menuliskan isi pidato itu kepadanya. Nabi kemudian menyuruh pada sahabat : “tuliskanlah untuk Abu Syah.”

Dalam menyikapi hadits-hadits yang Aakondradiktif di atras, para ulama’telah melakukan beberapa pendekatan, yakni pendekatan al-naskh dan al-jam’. Melalui pendekatan pertama, mereka menyimpulkan bahwa hadits-hadits yang melarang penulisan hadits itu, telah dibatalkan oleh hadits-hadits lain, yang membolehkan. Sementara melalui pendekatan al-jam’, mereka menyimpulkan bahwa larangan tersebut berlakku khusus, yakni penulisan hadits bersama al-qur’an, karena khwatir terjadi iltibas.

Mustafa azami lebih sendiri lebih cendrung kepada pendekatan yang kedua dengan berargumen bahwa nabi pernah mengimlakkan haditsnya dan menginzinkan hadisnya ditulis. Dengan demikian, menurut MM.Azami, penulisan hadits sudah terjadi bahkan berkembang pada zaman nabi. Hal ini bertolak belakang dengan hasil analisis sementara orientalis yang menyebutkan bahwa tidak ada hadits yang ditulis pada zaman nabi Muhammad sema sekali, karena ia baeru dicatat oleh orang belakangan. Dengan demikian, satu dari sekian banyak tuduhan miring orientalisbahwa hadits tidak pernah ditulis pada zaman nabi Muhammad, telah terbantahkan.

Rancang Bangun Terbentuknya Sanad

Tak syak lagi, orientalis yang banyak mengkaji sanad hadits adalah joseph schcht. Kajiannya diawali dengan meneliti proses kemunculan hokum islam (fikih). Berdasarkan hasil penelitiannya yang salah sasaran-ia berkesimpulan bahwa hokum Islam belum wujud pada masa al-sya’bi (w. 110 H). Penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan hadits-hadits yang berkaitan dengan hokum Islam, maka hadits-hadits itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi. Ia beranggapan bahwa hokum islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan qaadi (hakim agama). Para khalifah dahulu tidak pernah mengangakat qaadi, karena hal itu baru dilakukan pada masa dinasti Umayyah.

Menurrut kesimpulan Schacht, keputusan-keputusan yang dimunculkan oleh para qaadi itu memerlukan legitimasi dari orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Karenanya, mereka tidak menisbahkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan mensbahkannya kepada tokoh-tokoh sebleum mereka. Misalnya orang-orang Iraq menisbahkan pendapat mereka kepada Ibrahim an-nakha’I (95 H), dan lain sebagainya. Dan pada perkembangan selanjutnya, supaya mendapat legitimasi lebih kuat lagi, pendapat para qaadi itu dinisbahkan pada para sahabat dan selanjutnya pada Nabi saw. Inilah rekonsruksi terbentuknya sanad menurut schact, yakni dengan melakukan racang bangun ke belakang. (the projecting back). Oleh sebab itu pula, schact mengatakanbahwa sanad adalah bukti tindakan sewenang-wenang dan kecerobohan yang dilakukan oleh para ulama’ pada saat itu.







Namun demikian, obyek penelitian yang dilakukan Schacht perlu mendapat sorotan kritis. Sebab, dari sanalah problem serius dan keteledoran yang dilakukan Schacht berawal, sehingga memunculkan kesimpulan yang keliru. Seperti diketahui lading penelitian Schacht berkaitan dengan rekonsruksi terbnetuknya sanad, adalah kitab al-muwatta’ karya imam malik , al-muwatta’ , serta al umm karya imam syafi’i. kitab ini adalah kitab fiqih bukan kitab hadits. Sebab, kedua jenis kitab ini memiliki karakteristik yang berbeda.

Meneliti sanad hadits yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih, hasilnya tidak akan tepat. Penelitian hadits haruslah pada kitab-kitab hadits. Oleh sebab itu ditinjau dari segi methodology ilmiah, hal itu merupakan suatu kesalahan yang mendasar. Karenanya, semua penelitian hadits serta sanad diluar sumber aslinya, justru akan menghasilkan kesimpulan yang meleset dan menyimpang dari kebenaran, karena mereka memakai metode yang tidak benar.

Dalam hal ini dapat membuktikan bahwa penelitian yang di lakukan oleh Schacht adalah bukti kecerobohan dan kesalahannya. Karena tidak ada yang menguatkan hasil analisis Schacht itu. Disamping itu, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh MM. Azami, sebenarnya pemakaian sanad, jauh-jauh hari telah dilakukan oleh masyarkat Arab secara umum, kendati bentuknya masih sangat sederhana, belum seperti yang kita lihat sekarang. Artinya, sanad telah dipakai sejak Nabi masih hidup dan para sahabat telah menggunakannya untuk meriwayatkan hadits.

Tuduhan Orientalis Terhadap Ibnu Shihab Al-Zuhri Sebagai Pemalsu Hadits

Selain mempermasalahkan penulisan hadits pada masa nabi dan rekonstruksi terbentuknya sanan, kaum orientalis juga mencoba menjatuhkan kridibilitas ibn shihab al-zuhri (w. 123 H). Hal itu lagi-lagi ditujukan untuk merong-rong dan menghancurkan eksistensi hadits nabi sebagai sumber hokum dalam islam kedua setelah al-Qur’an. Malah, Goldziher pernah menuduh al-zuhri telah membuat hadits palsu. Hal ini dilakukannya, menurut Goldziher, karena ada “order special” dari ‘abdul malik bin marwan (khalifah bani umayyah di damaskus). Hadits itu berbunyi :”tidak diperintahkan pergi, kecuali menuju tiga masjid, masjid al-haram, masjid nabawi, dan masjid al-aqsha.”

Goldziher, sepeti dinukil ali Mustafa ya’qub, mengatakan bahwa ‘abdul malik bin marwan merasa khawatir apabila ‘abdullah bin zubair (seteru ‘abdul malik yang memproklamirkan diri sebagai khalifah di makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (Syria dan sekitarnya) yang melakukan ibadah haji Di Makkah untuk berbai’at (sumpah setia) kepadanya. Karenanya abdul malik bin marwan berusaha keras melakukan antisipasi agar orang-orang Syam tidak lagi lagi pergi ke Makkah, tetapi cukup ke Qubah al-skhar di al-Quds yang saat itu menjadi wilayah Syam. Demi merealisasikan politis itu, ‘abdul malik bin marwan mengintruksikan kepada ibnu syihab al-Zuhri supaya membuat hadits dengan sanad muttashil kepada nabi saw, yang isinya umat islam hanya diperuntahkan pergi menuju tiga masjid (masjid al-haram (Makkah), masjid Nabawi di Madinah, dan masjid al-aqsha (di al-Quds/Yarussalem).

Kendati hadits tersebut termaktub dalam kitab sahih al-bukhari (kitab yang otentisitasnya tidak diragukan lagi oleh kaum kuslim), Goldzher mengklaimnya semata sebagai bikinan imam al-zuhri. Bukanlah sabda Nabi saw. Dari sini, rasanya tidak sulit menetapkan bahwa orientasi goldzher untuk meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap kredibilitas imam al-zuhri dan imam al-Bukhari.

Dengan propaganda semacam itu, maka ummat islam diharapkan tidak percaya lagi kepada imam al-Bukhari, karena ia telah mengambil dan mengklaim bahwa omongan al-zuhri sebagai hadits Nabi SAW. DAN ITU kecerobohan mendasar imam al-bukhari. Sehingga, apabila ummat Islam telah meragukan kredibilitas imam al-Bukhari, maka pada gilirannya ummat Islam juga akan mengingkari semua hadits yang diriwayatkannya dalam sahih al-Bukhari. Dengan demikian berarti salah satu pilar agama islam akan runtuh.

Berhasilkah propaganda Goldziher ???

Tampaknya usaha yang dirintis goldziher mengalami hambatan serius. Karena tidak kurang dari tiga pemikir muslim kotemporer, Mustafa as-sba’I (dalam al-sunnag wa makanatuha fi tasyri’ al-islami), Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (dalam al-sunnah qabla al-tadwin), dan MM. Azami (dalam Studies In Early Hadith Literature/Dirasat Fi Hadits Al –Nabawi Wa Tarikh Wa Tadwinih) ramai-ramai meruntuhkan propogandanya.

Muhammad Mustafa A’zami menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti sejarah yang menguatkan teori Goldziher. Para ahli tarikh (sejarah) juga berbeda pendapat tentang kelahiran al-Zuhri, yakni antara 50 H – 58 H. al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan ‘abdul malik bin marwan sebelum 81 H. pada tahun 68 H, orang-orang dinasti Umayyah berada di Makkah pada musim haji. Dari sini ‘abdul malik bin marwan baru berfikir untuk membangun Qubbah al-skhkhra yang akan di gantikan Ka’bah itu pada tahun 68 H.

Bila demikian, berarti al-Zuhri pada saat iru baru berumur antara 10-18 tahun. Dan sangat tidak logis, anak seusia itu sudah popular sebagai seorang intelektual di luar daerahnya sendiri, dimana ia mampu mengubaha pelaksanaan ibadah haji dari Makkah ke Yerussalem. Lagi pula, pada saat itu, di Syam masih banyak sahabat dan para tabi’in yang tidak akan tinggal diam melihat fenomena itu. Selain itu, dalam hadits diatas, sama sekali tidak ada indikasi yang menyatakan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds. Yang ada hanyalah pemberian isyarat keistimewaan kepada masjid al-Aqsha. Dan hal itu wajar saja, mengingat ia pernah menjadi qiblat pertama bagi kaum muslimin. Disisi lain tampaknya Goldzihe hanya menuduh al-zuhri saja yang memalsu hadits ini. Padahal, tak kurang 18 orang meriwayatkan hadits tersebut, selain al-Zuhri. Atas dasar ini, lagi Goldziher telah melakukan kecerobohan yang mendasar.

Itulah sedikit gambaran tentang bagaimana orientalis berusaha meruntuhkan hadits, dan masih banyak lagi isu yang dapat dibongkar. Belum lagi dalam bidang al-qur’an, bidan fiqih, ilmu kalam, falsafah dan lain-lain.





Mahmud al Pantianaki

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama