Yesus yang a.l. diberi gelar dan nama "Kristus" dan yang menjadi sasaran iman kepercayaan Kristen, diandaikan saja bahwa sungguh-sungguh seorang tokoh yang pernah tampil di panggung sejarah. Dikatakan kenyataan itu diandaikan saja oleh iman kepercayaan itu. Sebab apa yang paling penting ialah: Yesus Kristus yang pernah ada, tetap sampai sekarang dan hingga akhir zaman relevan dan bermakna. Bukan misalnya "ajaran-Nya" melainkan orangnya. Dia itulah yang menjadi sasaran iman kepercayaan.
Namun praandaian tersebut mahapenting. Sebab malah dicantumkan dalam syahadat resmi umat Kristen. Sebab salah satu butirnya berbunyi: "Yang menderita di masa pemerintahan Pontius Pilatus". Pontius Pilatus, wali negara Roma di Palestina pada tahun 26 - 36, masuk ke dalam syahadat iman Kristen oleh karena dengan cara demikian umat Kristen mau menyatakan bahwa Yesus Kristus, sasaran kepercayaannya, memang seorang tokoh historis, yang tampil di panggung sejarah pada saat tertentu, di tempat tertentu dalam kerangka etno-politik tertentu juga. Secara negatif penegasan itu berarti bahwa sasaran iman kepercayaan Kristen bukan sebuah dongeng atau mitos, ciptaan manusia. Secara positif ditegaskan bahwa kepercayaan Kristen terikat pada saat tertentu dan pada tokoh tertentu dalam sejarah umat manusia. Dan semuanya itu demi isi real seluruh iman kepercayaan Kristen. Keselamatan umat manusia bergantung pada kejadian real di muka bumi ini dan bukanlah pada ajaran tertentu atau pada buah khayal dan pikiran manusia sendiri.
Namun demikian hanya relatif sedikit dapat diketahui tentang tokoh historis itu secara terinci. Kesaksian tentang tokoh Yesus itu hampir saja secara eksklusif ditemukan dalam karangan-karangan umat yang percaya kepada-Nya. Karangan-karangan itu kemudian terkumpul dalam Perjanjian Baru. Di mana lingkup umat Kristen sendiri hampir saja tidak ada berita. Dan dengan demikian jelaslah tampilnya tokoh itu tidak terlalu menghebohkan dunia di masanya. Baiklah disadari bahwa tidak satupun dari karangan-karangan Kristen tersebut bermaksud memberi laporan tentang Yesus orang Nazaret. Semuanya memberi kesaksian tentang iman kepercayaan orang Kristen kepada Yesus Kristus. Tidak dilaporkan apa yang dapat diamati setiap orang yang hadir di zaman itu dan sempat bertemu dengan Yesus itu. Semua karangan itu berdasarkan keyakinan bahwa Yesus itu pernah ada, tetapi tidak sengaja merepotkan diri dengan kenyataan itu. Karangan itu tidak memberitakan apa yang diamati, melainkan apa yang diimani orang Kristen dua-tiga generasi pertama, antara tahun ±40 — 100. Dengan mengumpulkan karangan-karangan itu menjadi Kitab Sucinya, umat Kristen mengakui kesaksian karangan-karangan itu sebagai kesaksian yang benar-benar mengenai sasaran iman kepercayaan umat, tetapi bukan sebagai laporan mengenai Yesus orang Nazaret. Itu diandaikan saja, tak perlu ditegaskan, apalagi dibuktikan.
Namun demikian melalui kesaksian iman Kristen itu orang toh masih dapat secara umum melihat sedikit Yesus yang bagaimana dapat diamati oleh orang sezamannya. Rekonstruksi berikut ini sebagian besar hipotesis. Nas-nas yang dikutip sukar dipastikan bobot historisnya. Maka gambaran Yesus yang disajikan di sini bukanlah suatu "potret", tapi kurang tebih mendekati kenyataan sejarah.
Orang Yahudi yang bernama Yesus itu berasal dari sebuah desa, bernama Nazaret (Kis 10:37), di daerah Palestina yang bernama Galilea (Mrk 1:9), suatu daerah Yahudi tetapi dengan cukup banyak penghuni yang tidak berbangsa dan tidak beragama Yahudi (Mat 4:15). Di Nazaret itu Yesus rupanya menjadi tukang (kayu?) (bdk. Mrk 6:3). Jadi Yesus berasal dari lapisan rendah masyarakat, tetapi tidak dari kalangan proletariat. Boleh diandaikan bahwa Yesus menempuh pendidikan yang lazim bagi anak Yahudi pada lapisan masyarakat itu. Boleh dikatakan bahwa berkat pendidikan itu Yesus tahu membaca dan menulis (hal itu memang biasa di masa itu sehubungan dengan peranan penting yang dipegang Kitab Suci dalam agama Yahudi). Yesus pasti juga tahu sedikit banyak tentang isi Alkitab dan tradisi keagamaan Yahudi, meskipun Yesus bukan "ahli kitab atau ahli tradisi" (bdk. Yoh 7:15). Boleh jadi Yesus juga tahu sedikit bahasa Yunani, sebab di masa itu bahasa Yunani menjadi bahasa kedua amat banyak orang, apa pula di Galilea tempat agak banyak penduduk berbahasa Yunani.
Waktu berumur ± 30 tahun (Luk 3:23) Yesus tampil ke depan dengan meninggalkan tempat asal-Nya, famili dan mata pencaharian-Nya (Mrk 3:31-35.21; Luk 4:23). Mungkin Yesus terpengaruh oleh seorang tokoh lain, bernama Yohanes dan bergelar Pembaptis, yang pada masa itu tampil di daerah Yudea (Yoh 4:1-3). Yohanes yakin bahwa penghakiman Allah mendekat dan orang hanya bisa terluput dengan bertobat dan menjalani pembasuhan sebagai tandanya di sungai Yordan (bdk. Mrk 1:4-5; Mat 3:7-12). Mirip dengan Yohanes Yesus sambil berkeliling khususnya di Galilea, mulai memberitakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat (Mrk 1:14-15). Gagasan "Kerajaan Allah" suatu gagasan yang tradisional pada bangsa Yahudi (bdk. Yes 52:7; Mi 2:12-13; 4:6-8; Zef 3:14-15; Za 14:9.16-17; Yes 24:23; Dan 4:34). Istilah itu berarti bahwa Allah (di masa mendatang) akan membuat kuasa-Nya menjadi nyata di bumi bagi umat-Nya dan itu menjadi keselamatan umat — asal menerima dan mengakui kuasa Allah itu — (segi itu ditekankan Yesus) atau penghakiman, kebinasaan (segi itu ditekankan Yohanes). Penyataan kuasa Allah itu diharapkan untuk masa mendatang dan, dalam aliran apokaliptis, pada akhir zaman. Baik Yohanes (Mat 3:2) maupun Yesus (Mat 4:17) memberitakan bahwa Kerajaan Allah dan dengan demikian akhir zaman sudah dekat dan orang mesti siap mengakui dan menerimanya. Tidak akan ada lagi suatu penyataan lain lagi. Yang dekat itu sungguh yang terakhir (bdk. Mrk 9:1; Luk 10:9-11; 9:27).
Sama seperti Yohanes Yesus pun tidak hanya yakin bahwa penyataan kuasa Allah, Kerajaan-Nya, sudah dekat, tetapi juga mutlak perlu. Dua-duanya yakin bahwa situasi religius umat Israel, yang diakui sebagai umat pilihan Allah, buruk sekali (Luk 11:29; Luk 13:1-5; Mrk 8:12; 7:6). Dari segi umat manusia, malah situasi itu tanpa harapan. Tentu saja diterima, sesuai dengan tradisi umat yang tercantum dalam Alkitab, bahwa Allah dahulu sudah melimpahkan karunia dan belas kasih-Nya kepada umat (Mat 8:12; 15:24; 10:6), tetapi ternyata bahwa itu tidak cukup. Kalau hanya itu umat hanya dapat jatuh binasa (Luk 21:23; Mai 23:33). Mesti terjadi sesuatu yang lain, suatu penyataan kuasa Allah yang baru. Dan penyataan itu benar-benar yang terakhir dan kini sudah amat dekat.
Dan memang demikian. Pada masa Yohanes dan Yesus situasi umat Israel amat jelek. Dari segi sosio-politis (yang tidak terpisah dari segi religius) bangsa Yahudi sudah lama menjadi daerah penjajahan Roma (sejak ih. 62 seb.Mas.) yang hanya berusaha menarik untung sebesar-besarnya, kerap kali dengan pertolongan penguasa setempat, seperti di Palestina Raja Herodes Agung serta keturunannya dan pendukung-pendukungnya. Dan di masa Yohanes dan Yesus negeri terus dilanda kerusuhan sosio-poiltis yang dengan kekerasan ditumpas para penguasa (Kis 5:36-37; 21:38). Dari segi religius pun situasi umat Israel tidak menggembirakan. Ada berbagai aliran keagamaan yang tidak hanya berbeda tetapi juga berlawanan satu sama lain. Ada aliran Farisi (dengan berbagai cabang) yang dengan sistem peraturan yang semakin teliti berusaha, supaya Hukum Taurat tetap dilaksanakan dalam hidup sehari-hari. Ada golongan imam, khususnya dari kalangan atas (Saduki) yang meletakkan tekanan pada ibadat, upacara korban dalam Bait Allah di Yerusalem, yang dengan meriah diselenggarakan. Ada aliran apokaliptis (dengan berbagai varian), yang tidak punya harapan lagi sehubungan dengan keadaan nyata, dan bermimpi tentang akhir zaman yang pasti membawa keselamatan bagi para pengikut mereka, padahal bagi yang lain hanya tersedia kebinasaan. Dan ada lagi kelompok-kelompok dan aliran yang berdasarkan keyakinan religius dengan kekerasan senjata berusaha menumbangkan sistem sosio-politis yang ada. Tentu saja masih ada banyak orang yang sungguh takwa dan saleh, tetapi pada umumnya iman kepercayaan lama (yang terungkap dalam Alkitab, khususnya para nabi) sudah merosot menjadi suatu sistem keagamaan (hukum Taurat dan ibadat) yang dianggap dapat menjamin keselamatan manusia dengan dilaksanakan secara saksama. Baik Yohanes maupun Yesus menilai situasi itu serba salah (Mat 3:9; 5:20). Allah sendiri sajalah yang masih dapat menjadi andalan (Luk 7:29), satu-satunya yang masih mampu mengubah situasi itu. Dan oleh karena yakin tentang kesetiaan Allah, maka Yohanes dan Yesus yakin pula bahwa tidak lama lagi Allah akan menyatakan kuasa-Nya untuk kali terakhir.
Meskipun mirip satu sama lain, namun Yohanes Pembaptis dan Yesus dalam pemberitaan mereka tentang Kerajaan Allah toh berbeda sedikit juga.
Yohanes memberitakan bahwa penghakiman Allah dekat dan sungguh menjadi ancaman bagi seluruh umat (Mat 3:7-10,12; Luk 3:7-9). Tentu saja orang masih dapat luput dari penghakiman itu dan sesudah itu turut serta dalam keselamatan yang dikerjakan Allah. Tetapi mutlak perlu orang bertobat dahulu dan segera bertobat. Bertobat berarti berubah haluan hidup, seluruh cara berpikir dan menilai, tentang dirinya dan situasinya. Nyatanya bertobat berarti: tidak percaya pada apa saja, kecuali pada Allah semata-mata, sebab dari segi umat tidak ada dasar apa saja untuk mengharapkan keselamatan dari Allah. Agama seadanya tidak memberi harapan, sejarah penyelamatan dahulu tidak memberi harapan, kepilihan Israel tidak memberi harapan. Hanya Allah saja yang masih dapat menyelamatkan orang yang mengakui situasi tanpa harapan itu (Luk 3:17;Mat 3:12). Tentu saja orang hanya dapat bertobat atlas dasar belas kasihan Allah semata-mata. Tobat itu diperagakan dengan pembasuhan dalam sungai Yordan, yang melambangkan penghakiman Allah. Dan mereka yang bertobat dengan cara demikian akan terluput dari murka Allah dan ikut serta dalam keselamatan terakhir, Kerajaan Allah. Kerajaan itu kini belum ada tapi nanti menyusul penghakiman.
Yesus di lain pihak tidak hanya memberitakan bahwa Kerajaan Allah, penyataan kuasa Allah Penyelamat, sudah dekat. Sebaliknya: Kerajaan Allah itu sedang terjadi, sudah mulai menyatakan diri, menembus ke dalam situasi tanpa harapan (Mat 12:28; Lpk 11:20; 10:21; Mat 13:16-17; Luk 10:23-24). Allah tidak menunggu sampai orang bertobat, tetapi sebaliknya sudah merangkul orang berdosa, umat dalam situasi buruknya. Bila dalam pemberitaan Yohanes penghakiman mendahului Kerajaan Allah, pada Yesus Kerajaan Allah mendahului penghakiman. Tentu saja Yesus pun memberitakan penghakiman (Mat 11:22-24; 12:41-42; 10:15).
Tetapi penghakiman ilu menyusul penyataan Kerajaan Allah yang sudah dimulai. Dalam pendekatan Yohanes halnya dipikirkan sebagai berikut: Kini ada zaman yang serba buruk. Segera Allah melaksanakan penghakiman-Nya, lalu Kerajaan penyelamatan menjadi nyata. Yesus melihat halnya secara lain. Allah dalam zaman yang buruk itu sudah menyatakan Kerajaan penyelamatan-Nya (Luk 19:42; Mrk2:18-22; Mat 16:3). Atas dasar itu orang dapat dan harus bertobat dan tetap menjadi peserta dalam Kerajaan Allah itu, mengalami keselamatan-Nya (Mrk 9:43-47; Mat 22:11-13). Tetapi apa yang kini sudah mulai di dalam dunia yang buruk ini nanti akan diselesaikan (Mat 24:32-35; Luk 21:29-31). Dan penyelesaian itu akan didahului penghakiman terakhir (Mat 7:24-27).
Dengan demikian Allah yang diberitakan Yesus berbeda sedikit dengan Allah yang diberitakan Yohanes. Yohanes melihat Allah penyelamat terutama sebagai hakim. Melalui penghakiman Allah menyelamatkan orang yang bertobat. Sebaliknya, Yesus melihat Allah sebagai Allah yang kini sebagai Bapa (Mat 7:11; 6:8, 26-32; Luk 12:32) mendekati orang malang untuk menyelamatkan mereka tanpa memasang syarat apa saja. Hanya bagi orang yang setelah mengalami Allah sebagai Bapa yang merangkulnya tanpa syarat toh menolak-Nya, Allah menjadi hakim yang menolak mereka yang menolak-Nya (Mrk 12:1-9; Mat 22:1-7). Bila dalam pendekatan Yohanes Allah Hakim menjadi Bapa bagi mereka yang bertobat, maka dalam pendekatan Yesus Allah Bapa menjadi Hakim bagi mereka yang tidak bertobat.
Dan Yesus bertindak seolah-olah kuasa penyelamatan Allah, Kerajaan-Nya, sebenarnya sudah menjadi nyata melalui Yesus sendiri, melalui perbuatan dan pemberitaan-Nya.
Secara demonstratif Yesus menyatakan banwa perwujudan Kerajaan Allah tidak bergantung pada pelaksanaan hukum agama yang berlaku (Mat 11:12-13). Atas dasar keyakinan itu Yesus tidak segan melanggar hukum agama, bila itu perlu untuk mendekati orang yang malang. Yesus tidak segan menyingkirkan hukum Sabat (Mrk 2:27; 3:4; Mat 12:11-12) yang dengan keras melarang orang "bekerja", kecuali dalam keadaan darurat seperti ditetapkan oleh ahli Taurat. Yesus tidak begitu saja melanggar hukum Sabat itu, tetapi Ia sendiri menentukan kapan itu tidak berlaku lagi dan selalu demi kepentingan orang lain. Yesus tidak segan menyingkirkan hukum agama mengenai najis dan tahir, halal dan haram, oleh karena hati orang jauh lebih penting daripada aturan lahiriah (Mrk 7:15; Luk 11:38). Dan Yesus tidak segan "memperbaiki" hukum lama (Mat 5:21-22, 27-28, 31-32, 33-37) dengan mendasarkan diri pada tata penciptaan (Mat 5:43-45; 19:4-6) yang mendahului hukum Musa.
Tetapi dengan berlaku demikian Yesus bertindak seolah-olah lebih berwewenang daripada Musa (Mat 12:8), yang dalam tradisi Yahudi paling berwewenang, utusan dan kuasa Allah sendiri. Yesus berlaku seolah-olah melalui diri-Nya Allah memulai sesuatu yang baru, yang lain dari yang sudah-sudah (Mrk 1:27; 2:21-22).
Yesus pun secara menyolok bergaul dan berkerabat, makan bersama dengan orang yang menurut agama justru terkucil dari umat Allah, dari ibadat dan dengan demikian terkucil dari keselamatan Allah (Mrk 2:15; Luk 7:34). Yesus berkerabat dengan "orang berdosa", pemungut cukai dan pelacur, mereka yang tidak ambil pusing tentang hukum agama, hukum Allah (Mat 11:19; Luk 15:2; 5:30; 19:1-2). Yesus tidak menunggu dan tidak menuntut mereka "bertobat" dahulu, kembali ke jalan lurus sesuai dengan hukum (Luk 19:7; 7:36-40.49-50). Begitu saja Ia mendekati mereka. Kelakuan itu semacam "perumpamaan". Dengan tindakan-Nya Yesus sebenarnya menyatakan tindakan Allah, Kerajaan-Nya yang mendatangi orang malang, orang berdosa, tanpa prasyarat apa pun.
Yesus juga mendekati orang malang pada umumnya, mereka yang cacat, sakit, dianggap kerasukan roh najis (Mat 4:23; 8:16; 9:35; 15:30; 21:14), Dan Ia terutama mendekati rakyat jelata, mereka yang secara sosio-ekonomis dan politis tidak berdaya (Luk 4:18-19; 6:20-26; 7:22-23). Meskipun semua ceritera terinci yang tercantum dalam keempat Injil tidak boleh dinilai sebagai "laporan" tentang kejadian nyata, namun dalam ceritera-ceritera itu terungkap sebuah kesan umum yang ditinggalkan Yesus pada orang sekitar-Nya. Dan justru semua orang tak berdaya itu dengan satu dan lain cara juga secara religius dinilai kurang memadai, kurang diberkati oleh Allah. Orang cacat, sakit, kerasukan roh jahat dianggap tidak mengambil bagian dalam berkat Allah perjanjian, Allah umat Israel (Im 21:18-20; Ul 23:1-2; Im 20:27; 13:45-46). Meskipun dalam tradisi Israel, seperti tercantum dalam Perjanjian Lama (Yes 56:3-7; Mzm 146; Keb 3:13-14; 4:7), sudah ada pandangan lain, pandangan itu tidak berhasil menjadi suatu pandangan umum. Dan bagaimanapun juga selalu toh mesti ada "takwa", kesalehan, ketaatan kepada Allah dan hukum-Nya. Dan semuanya itu oleh Yesus seolah-olah tidak diperhitungkan.
Seluruh kelakuan Yesus tersebut yang menyimpang dari yang lazim dalam rangka masyarakat dan agama Yahudi di zamannya sebenarnya semacam perumpamaan. Yesus memperagakan dan begitu memperlihatkan dan mewujudkan kelakuan Allah seperti Ia memahami-Nya, yang mendekati orang malang, orang berdosa dan orang yang di segala bidang tidak berdaya sama sekali. Begitu diperlihatkan bahwa Kerajaan Allah yang diberitakan Yesus sebenarnya sudah mulai mewujudkan diri. Bila Yesus mengutamakan orang miskin, rakyat jelata, orang cacat dan sakit serta yang dianggap kerasukan roh jahat yang bermusuhan dengan Allah, maka mereka tidak diutamakan justru oleh karena miskin, sakit, berdosa dan sebagainya, tetapi oleh karena pada merekalah paling nyata dan paling tampak betapa parah keadaan seluruh umat di hadapan Allah. Bila tindakan Yesus boleh disebut semacam "perumpamaan" tindakan dan sikap Allah, maka orang malang itu merupakan semacam "perumpamaan" situasi umat, situasi dunia, manusia yang nyata.
Kelakuan dan tindakan Yesus didukung oleh pewartaan-Nya. Dalam cara mengajar Yesus sudah berbeda dengan "guru-guru agama" lain di zaman-Nya (Mat 7:29; Mrk 1:27). Yesus tidak mendasarkan diri dan ajaran-Nya pada tradisi, pada Alkitab Yahudi dan tafsirannya. Begitulah cara para "ahli agama" Yahudi mengajar. Mereka tidak mau "mengajar sesuatu yang baru". Selalu mesti ada dukungan dari Alkitab atau tradisi "nenek moyang" (Mat 15:2; Mrk 7:3-5) dahulu. Bahkan kalau sebenarnya ada sesuatu yang baru, maka dengan macam-macam cara toh dicari dasarnya dalam Alkitab dan tafsirannya. Sebaliknya Yesus mengajar seolah-olah mempunyai wewenang khusus (Mat 15:17-20), melebihi wewenang Musa dan wewenang Alkitab (Yoh 5:45-46; Mat 19:7), sehingga nampaknya menghaki wewenang Allah sendiri (Mat 19:17-21). Dan itulah sebabnya Yesus malah memberanikan diri mencabut hukum agama yang tercantum dalam Alkitab (Mat 5:33-34). Secara baru Yesus menyatakan kehendak Allah sendiri (Mat 6:33.20), kehendak Allah semula dan murni, kehendak Allah yang belum "diperlunak" demi "kekerasan hati manusia" (Mrk 10:5). Dengan wewenang-Nya sendiri Yesus menentukan mana intipati hukum Allah (Mrk 12:28-31).
Dalam mewartakan Kerajaan Allah dan kehendak Allah Yesus menggunakan pelbagai cara, seperti tradisional di lingkungan-Nya. Ia memakai "pepatah", "teka-teki", "petuah", wejangan dan sebagainya. Tetapi Ia terutama menggunakan jenis sastra yang disebut "perumpamaan". Di satu pihak dalam hal itu Yesus berdekatan dengan para ahli kitab yang juga gemar akan perumpamaan.
Tetapi ada perbedaan yang cukup menyolok. Para ahli Taurat Yahudi menggunakan perumpamaan untuk menjelaskan dan menafsirkan Alkitab dan hukum Musa. Tetapi Yesus tidak menjelaskan dan menafsirkan Alkitab dan hukum Taurat. Yesus memberitakan Kerajaan Allah yang sudah dekat dan mulai menembus ke dalam dunia ini (Mat 13:5-9). Melalui perumpamaan Yesus justru menggambarkan Kerajaan Allah yang mendekat dan sedang terjadi. Bagaimana jadinya dengan manusia yang menerima pewartaan Yesus dan terangkul oleh Allah yang berdaulat itu (Mat 13:44-46). Diperlihatkan bagaimana Kerajaan Allah, kasih Allah yang dialami mengubah diri manusia dan kehidupannya. Dan juga dalam pewartaan Yesus itu Kerajaan Allah dengan daya kekuatan-Nya mendekati dan mengubah manusia serta kehidupannya (Mat 13:33; Luk 16:1-8). Dalam pewartaan-Nya pun Yesus "penuh kuasa". Dan kalau Kerajaan Allah yang melalui pemberitaan Yesus mendekati manusia ditolak, maka Kerajaan penyelamatan itu berubah menjadi penghakiman (Mat 22:1-13). Hanya sedangkan Kerajaan itu sekarang sudah terjadi, penghakiman nanti baru akan menyusul, meskipun rupanya Yesus yakin bahwa tidak lama lagi penghakiman itu akan berlangsung bertepatan dengan penyelesaian Kerajaan Allah dan kedatangan Anak manusia sebagai hakim (Mat 10:23; Mrk 13:29).
Seluruh pewartaan Yesus serta kelakuan-Nya yang sesuai berdasarkan suatu pengalaman pribadi. Bekas pengalaman itu kiranya terdapat dalam Luk 10:18. Di sana Yesus menegaskan bahwa la pernah melihat "Iblis jatuh seperti kilat dari langit". Dalam alam pikiran apokaliptis dunia seadanya memang dalam genggaman Iblis (Mat 4:9; Yoh 12:31). Tetapi Yesus "melihat" tahta "raja dunia ini" sudah tertumbang. Iblis sudah dikalahkan dan dicabut kekuasaannya (Mrk 3:27). Dan hanya Allah dapat menumbangkan Iblis itu. Maka Allah sudah mulai "meraja", mengganti Iblis. Pengalaman itulah yang membuat Yesus memberitakan Kerajaan Allah sebagai sesuatu yang sedang terjadi. Dan Yesus sendiri menjadi utusan Allah yang mewujudkannya di bumi ini (Luk 10:23-24; Mat 11:5-6; Luk 11:29-32) sebagai awal penyelesaiannya nanti.
Melalui karangan Perjanjian Baru, khususnya keempat Injil, yang tidak mau "melapor" apa yang sesungguhnya terjadi, orang masih juga dapat merasakan betapa tampilnya Yesus, pewartaan dan kelakuan-Nya menggegerkan mereka yang menyaksikannya. Umumnya Yesus menjadi teka-teki bagi mereka. Tercetuslah pertanyaan: Siapa gerangan orang ini? (Mat 8:27; 21:23; Mrk 6:2). Ia tidak memadai tokoh-tokoh yang dikenal tradisi Yahudi. Ia dapat dinilai sebagai seorang nabi (Mat 16:14; Luk 7:16; Mat 21:11) atau pun dicurigai sebagai tukang sihir dan nabi gadungan (Mrk 3:22; 14:65). Kadang-kadang orang berkesan Yesus punya ambisi menjadi "mesias" yang tampilnya diharapkan sementara orang Yahudi (Yon 6:15; Mrk 11:9-10). Oleh karena sering "mengajar" Yesus mirip seorang rabi (Luk 12:13), tetapi baik cara mengajar maupun ajaran-Nya toh berbeda juga. Bahkan bagi mereka yang mendukung-Nya dan menaruh harapan pada Yesus Ia menjadi teka-teki yang sukar dipahami sepenuhnya (Mrk 8:18; 9:32). Sudah pasti Yesus mendapat sejumlah pendukung yang secara khusus dibimbing-Nya, yang menjadi teman dan pembantu-Nya. Dalam hal ini Yesus juga mirip dengan rabi-rabi pada bangsa Yahudi. Tetapi Yesus toh tidak sama juga. Guru-guru Yahudi mengumpulkan sejumlah murid yang menghafalkan ajaran sang rabi. Lalu mereka sendiri dapat menjadi guru dan rabi pada gilirannya. Tetapi Yesus mengumpulkan sejumlah orang dan mengikat mereka pada diri-Nya. Mereka menjadi senasib dengan Yesus, tidak datang untuk menghafalkan ajaran-Nya. Dan mereka tidak pernah "tamat". Dan apa yang dituntut Yesus dari mereka yang mau bergabung dengan diri-Nya atas panggilan Yesus amat radikal dan jauh melebihi tuntutan pribadi yang bisa dibebankan seorang rabi Yahudi (Mrk 10:21.28-30; Mat 10:37-38; Luk 9:57-62). Ikatan pribadi macam itu tidaklah lazim. Maka Yesus dengan kelompok-Nya tidak bisa dimasukkan ke dalam salah satu aliran atau mazhab yang ada pada bangsa Yahudi di zamannya. Kadang-kadang Yesus tampaknya mirip dengan kalangan Farisi (Mat 23:2-3), lain kali dengan kalangan para apokaliptik (Luk 17:22-37), seperti misalnya yang bermukim di Qumram, dan apa yang dikatakan Yesus kadang-kadang mirip dengan apa yang dikatakan golongan orang yang mencita-citakan dan memperjuangkan pembebasan dari kuasa Roma dan antek-anteknya (Mat 10:34; Luk 22:36-38). Hanya dengan para imam kalangan atas (Saduki) tidak ada kemiripan. Dan selalu di samping kemiripan ada kelainan. Yesus terasa sebagai sesuatu yang baru, meskipun masih juga dalam tradisi bangsa Yahudi. Dan akhirnya Yesus selalu tinggal sebuah teka-teki untuk lingkungan-Nya.
Yesus tidak hanya menggegerkan masyarakat Yahudi dan menjadi teka-teki besar, tetapi Ia juga memancing perlawanan. Perlawanan itu tidak datang pertama-tama dari pihak penguasa politik (Roma, Herodes, keturunan dan pendukungnya), tetapi dari pihak pemimpin religius bangsa Yahudi (Mrk 3:6,22; 8:11; 12:12, 13; 14:1). Baiklah diingat bahwa di masa itu "agama" dan "negara" belum terpisah. Segala gerakan religius mempunyai dimensi politik dan gerakan politik mempunyai dimensi religius (Luk 9:7-9; 13:31).
Yesus ternyata mengakui bahwa umat Israel memang umat Allah yang terpilih. Seluruh kegiatan-Nya secara eksklusif tertuju kepada umat itu (bdk. Mat 10:6; 15:24). Hampir pasti bahwa Yesus tidak pernah mengarahkan pewartaan-Nya dan perbuatan-Nya kepada orang bukan Yahudi, meski penduduk Galilea sekali pun. Hanya menurut keyakinan Yesus umat Allah seadanya tidak menjadi sasaran berkat Allah melainkan sasaran kemurkaan-Nya (Luk 21:23; Mrk 11:13-14). Seluruh sistem agama yang dianggap berasal dari Musa dan bahkan dari Allah oleh Yesus dinilai sebagai sesuatu yang kini dan seadanya tidak berguna untuk keselamatan umat (Mat 15:9,13). Nyatanya Yesus menyingkirkan pelaksanaan hukum Taurat sebagai jalan penyelamatan (Mrk 7:5,8), seperti diyakini para pemimpin Yahudi. Bait Allah (Mrk 13:2) serta ibadatnya pun oleh Yesus dinilai tidak berguna (bdk. Mat 9:13; 15:8-9; Mrk 12:33; 14:58), padahal khususnya para imam (Yoh 11:48) menilai ibadat itu sebagai sarana penyelamatan, yang diberikan oleh Allah sendiri. Yesus tidak hanya memberitakan bahwa akhir zaman dan Kerajaan Allah sudah dekat, tetapi juga bahwa Kerajaan Allah kini sudah terjadi dan tidak hanya merangkul orang benar, tetapi justru orang berdosa. Dan dengan demikian Yesus tidak sesuai dengan keyakinan para apokaliptisi di zaman-Nya. Yesus menegaskan bahwa semua umat mesti "bertobat" setelah dirangkul kuasa penyelamatan Allah. Dan setelah umat bertobat dan menjadi peserta dalam keselamatan bangsa-bangsa lain pun akan turut serta dalam keselamatan (Mat 8:11), seperti dikatakan sementara nabi dahulu tetapi oleh banyak orang Yahudi di zaman Yesus tidak dapat diterima. Semua bangsa kafir hanya sasaran kemurkaan Allah, begitu keyakinan populer.
Maka oleh seluruh pimpinan religius-politik bangsa Yahudi di masa itu Yesus mesti dirasakan sebagai suatu ancaman terhadap seluruh sistem sosio-religius yang mereka pimpin, pertahankan dan bela (Yoh 11:48). Dan ketegangan yang semakin hebat antara Yesus dan para pemimpin bangsa Yahudi akhirnya mengakibatkan kematian Yesus. Oleh pimpinan Yahudi, entahlah siapa persis, Yesus akhirnya diserahkan kepada kuasa politik Roma. Di masa itu kuasa, yang dipegang oleh wali negeri Pontius Pilatus dan Raja Herodes di Galilea itu, sangat peka terhadap segala macam kerusuhan dalam masyarakat (Luk 23:2,5), Dan dalam situasi nyata juga suatu gerakan religius, seperti berkembang sekitar Yohanes Pembaptis dan Yesus, selalu mempunyai dimensi politik dan sosial. Maka langsung atau tak langsung menjadi ancaman terhadap kuasa politik Roma. Maka kuasa politik Roma itu akhirnya bertindak. Yesus dinilai dan dieksekusi sebagai pengacau, perusuh dan pemberontak (Mrk 15:26).
Menjelang akhir hidup-Nya Yesus sendiri pun hampir pasti memfirasatkan bahwa jalan hidup-Nya akan berakhir dalam celaka (Luk 9:44; Mrk 9:31a; Mat 23:37a). Dan oleh karena mau setia kepada tugas-Nya, maka Yesus rela menempuh nasib malang, kalau menjadi suatu kenyataan. Itu dapat dinilai-Nya sebagai konsekuensi terakhir dari keyakinan-Nya dan akibat kesetiaan-Nya kepada Allah (Luk 13:32-33). Dan karena tidak dapat ragu-ragu tentang kesetiaan Allah dan kekuasaan-Nya Yesus dapat yakin bahwa Allah Penyelamat yang diberitakan-Nya toh akan menyatakan kuasa-Nya baik sebagai Penyelamat maupun sebagai Hakim umat-Nya. Kematian Yesus sendiri pasti tidak bisa menghalangi Allah untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulai-Nya dengan Yesus sendiri, yaitu mewujudkan Kerajaan-Nya secara definitif (Mrk 14:25). Dan dengan demikian Yesus dapat menilai kematian-Nya, kalau terjadi, sebagai termasuk ke dalam tugas-Nya dan sesuai dengan kehendak Allah, Penyelamat dan Hakim sekaligus. Dan kematian-Nya malah dapat dinilai Yesus sebagai awal dari penghakiman Allah menjelang akhir zaman (Luk 12:50), yang membawa keselamatan terakhir bagi mereka yang setia kepada Allah. Tidak dapat diragukan bahwa Yesus yakin bahwa Ia sendiri menjadi peserta dalam keselamatan terakhir itu (bdk. Luk 22:29-30).
Tidak dapat tidak nasib malang Yesus di salib membingungkan para pengikut-Nya dahulu. Tampaknya kehidupan Yesus berakhir dalam kegagalan belaka. Apakah Yesus keliru dalam pewartaan dan kelakuan-Nya? Kalau Yesus dahulu sudah menjadi suatu teka-teki yang tidak bisa ditebak secara tuntas, apa pula sekarang. Nasib malang Yesus hanya memperbesar teka-teki itu. Kalau Yesus menjelang akhir hidup-Nya dapat memahami nasib-Nya dan barangkali menjelaskannya kepada pengikut-pengikut-Nya, tidakkah dalam hal itu pun Yesus keliru? Apakah semuanya yang dahulu terjadi masih dapat dinilai sebagai tanda dan awal Kerajaan Allah? Benarkah dalam kehidupan Yesus kuasa Allah Penyelamat terakhir menjadi nyata? Yesus malah tidak dapat dinilai sebagai "pahlawan nasional", sebab oleh pemimpin bangsa-Nya sendiri Ia ditolak dan diserahkan kepada kuasa Roma. Kebingungan para pengikut Yesus, yang dapat diduga, masih ada bekasnya dalam Injil Lukas (24:19-21). Yesus dahulu dinilai sebagai nabi dari Allah dan bakal pembebas umat Israel, tetapi kepercayaan itu kini diragu-ragukan dan pengharapan dahulu padam sama sekali. Tidak dapat diketahui persis apa yang dibuat pengikut-pengikut Yesus dahulu. Tetapi rupanya mereka pulang saja ke tempat asalnya, ke Galilea. Mungkin akhir Injil Matius (28:16) dan akhir Injil Yohanes (21:1-3) masih memelihara ingatan akan hal itu setelah Mrk 14:50 menegaskan bahwa semua murid Yesus lari, entah kemana.
Namun demikian hanya relatif sedikit dapat diketahui tentang tokoh historis itu secara terinci. Kesaksian tentang tokoh Yesus itu hampir saja secara eksklusif ditemukan dalam karangan-karangan umat yang percaya kepada-Nya. Karangan-karangan itu kemudian terkumpul dalam Perjanjian Baru. Di mana lingkup umat Kristen sendiri hampir saja tidak ada berita. Dan dengan demikian jelaslah tampilnya tokoh itu tidak terlalu menghebohkan dunia di masanya. Baiklah disadari bahwa tidak satupun dari karangan-karangan Kristen tersebut bermaksud memberi laporan tentang Yesus orang Nazaret. Semuanya memberi kesaksian tentang iman kepercayaan orang Kristen kepada Yesus Kristus. Tidak dilaporkan apa yang dapat diamati setiap orang yang hadir di zaman itu dan sempat bertemu dengan Yesus itu. Semua karangan itu berdasarkan keyakinan bahwa Yesus itu pernah ada, tetapi tidak sengaja merepotkan diri dengan kenyataan itu. Karangan itu tidak memberitakan apa yang diamati, melainkan apa yang diimani orang Kristen dua-tiga generasi pertama, antara tahun ±40 — 100. Dengan mengumpulkan karangan-karangan itu menjadi Kitab Sucinya, umat Kristen mengakui kesaksian karangan-karangan itu sebagai kesaksian yang benar-benar mengenai sasaran iman kepercayaan umat, tetapi bukan sebagai laporan mengenai Yesus orang Nazaret. Itu diandaikan saja, tak perlu ditegaskan, apalagi dibuktikan.
Namun demikian melalui kesaksian iman Kristen itu orang toh masih dapat secara umum melihat sedikit Yesus yang bagaimana dapat diamati oleh orang sezamannya. Rekonstruksi berikut ini sebagian besar hipotesis. Nas-nas yang dikutip sukar dipastikan bobot historisnya. Maka gambaran Yesus yang disajikan di sini bukanlah suatu "potret", tapi kurang tebih mendekati kenyataan sejarah.
Orang Yahudi yang bernama Yesus itu berasal dari sebuah desa, bernama Nazaret (Kis 10:37), di daerah Palestina yang bernama Galilea (Mrk 1:9), suatu daerah Yahudi tetapi dengan cukup banyak penghuni yang tidak berbangsa dan tidak beragama Yahudi (Mat 4:15). Di Nazaret itu Yesus rupanya menjadi tukang (kayu?) (bdk. Mrk 6:3). Jadi Yesus berasal dari lapisan rendah masyarakat, tetapi tidak dari kalangan proletariat. Boleh diandaikan bahwa Yesus menempuh pendidikan yang lazim bagi anak Yahudi pada lapisan masyarakat itu. Boleh dikatakan bahwa berkat pendidikan itu Yesus tahu membaca dan menulis (hal itu memang biasa di masa itu sehubungan dengan peranan penting yang dipegang Kitab Suci dalam agama Yahudi). Yesus pasti juga tahu sedikit banyak tentang isi Alkitab dan tradisi keagamaan Yahudi, meskipun Yesus bukan "ahli kitab atau ahli tradisi" (bdk. Yoh 7:15). Boleh jadi Yesus juga tahu sedikit bahasa Yunani, sebab di masa itu bahasa Yunani menjadi bahasa kedua amat banyak orang, apa pula di Galilea tempat agak banyak penduduk berbahasa Yunani.
Waktu berumur ± 30 tahun (Luk 3:23) Yesus tampil ke depan dengan meninggalkan tempat asal-Nya, famili dan mata pencaharian-Nya (Mrk 3:31-35.21; Luk 4:23). Mungkin Yesus terpengaruh oleh seorang tokoh lain, bernama Yohanes dan bergelar Pembaptis, yang pada masa itu tampil di daerah Yudea (Yoh 4:1-3). Yohanes yakin bahwa penghakiman Allah mendekat dan orang hanya bisa terluput dengan bertobat dan menjalani pembasuhan sebagai tandanya di sungai Yordan (bdk. Mrk 1:4-5; Mat 3:7-12). Mirip dengan Yohanes Yesus sambil berkeliling khususnya di Galilea, mulai memberitakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat (Mrk 1:14-15). Gagasan "Kerajaan Allah" suatu gagasan yang tradisional pada bangsa Yahudi (bdk. Yes 52:7; Mi 2:12-13; 4:6-8; Zef 3:14-15; Za 14:9.16-17; Yes 24:23; Dan 4:34). Istilah itu berarti bahwa Allah (di masa mendatang) akan membuat kuasa-Nya menjadi nyata di bumi bagi umat-Nya dan itu menjadi keselamatan umat — asal menerima dan mengakui kuasa Allah itu — (segi itu ditekankan Yesus) atau penghakiman, kebinasaan (segi itu ditekankan Yohanes). Penyataan kuasa Allah itu diharapkan untuk masa mendatang dan, dalam aliran apokaliptis, pada akhir zaman. Baik Yohanes (Mat 3:2) maupun Yesus (Mat 4:17) memberitakan bahwa Kerajaan Allah dan dengan demikian akhir zaman sudah dekat dan orang mesti siap mengakui dan menerimanya. Tidak akan ada lagi suatu penyataan lain lagi. Yang dekat itu sungguh yang terakhir (bdk. Mrk 9:1; Luk 10:9-11; 9:27).
Sama seperti Yohanes Yesus pun tidak hanya yakin bahwa penyataan kuasa Allah, Kerajaan-Nya, sudah dekat, tetapi juga mutlak perlu. Dua-duanya yakin bahwa situasi religius umat Israel, yang diakui sebagai umat pilihan Allah, buruk sekali (Luk 11:29; Luk 13:1-5; Mrk 8:12; 7:6). Dari segi umat manusia, malah situasi itu tanpa harapan. Tentu saja diterima, sesuai dengan tradisi umat yang tercantum dalam Alkitab, bahwa Allah dahulu sudah melimpahkan karunia dan belas kasih-Nya kepada umat (Mat 8:12; 15:24; 10:6), tetapi ternyata bahwa itu tidak cukup. Kalau hanya itu umat hanya dapat jatuh binasa (Luk 21:23; Mai 23:33). Mesti terjadi sesuatu yang lain, suatu penyataan kuasa Allah yang baru. Dan penyataan itu benar-benar yang terakhir dan kini sudah amat dekat.
Dan memang demikian. Pada masa Yohanes dan Yesus situasi umat Israel amat jelek. Dari segi sosio-politis (yang tidak terpisah dari segi religius) bangsa Yahudi sudah lama menjadi daerah penjajahan Roma (sejak ih. 62 seb.Mas.) yang hanya berusaha menarik untung sebesar-besarnya, kerap kali dengan pertolongan penguasa setempat, seperti di Palestina Raja Herodes Agung serta keturunannya dan pendukung-pendukungnya. Dan di masa Yohanes dan Yesus negeri terus dilanda kerusuhan sosio-poiltis yang dengan kekerasan ditumpas para penguasa (Kis 5:36-37; 21:38). Dari segi religius pun situasi umat Israel tidak menggembirakan. Ada berbagai aliran keagamaan yang tidak hanya berbeda tetapi juga berlawanan satu sama lain. Ada aliran Farisi (dengan berbagai cabang) yang dengan sistem peraturan yang semakin teliti berusaha, supaya Hukum Taurat tetap dilaksanakan dalam hidup sehari-hari. Ada golongan imam, khususnya dari kalangan atas (Saduki) yang meletakkan tekanan pada ibadat, upacara korban dalam Bait Allah di Yerusalem, yang dengan meriah diselenggarakan. Ada aliran apokaliptis (dengan berbagai varian), yang tidak punya harapan lagi sehubungan dengan keadaan nyata, dan bermimpi tentang akhir zaman yang pasti membawa keselamatan bagi para pengikut mereka, padahal bagi yang lain hanya tersedia kebinasaan. Dan ada lagi kelompok-kelompok dan aliran yang berdasarkan keyakinan religius dengan kekerasan senjata berusaha menumbangkan sistem sosio-politis yang ada. Tentu saja masih ada banyak orang yang sungguh takwa dan saleh, tetapi pada umumnya iman kepercayaan lama (yang terungkap dalam Alkitab, khususnya para nabi) sudah merosot menjadi suatu sistem keagamaan (hukum Taurat dan ibadat) yang dianggap dapat menjamin keselamatan manusia dengan dilaksanakan secara saksama. Baik Yohanes maupun Yesus menilai situasi itu serba salah (Mat 3:9; 5:20). Allah sendiri sajalah yang masih dapat menjadi andalan (Luk 7:29), satu-satunya yang masih mampu mengubah situasi itu. Dan oleh karena yakin tentang kesetiaan Allah, maka Yohanes dan Yesus yakin pula bahwa tidak lama lagi Allah akan menyatakan kuasa-Nya untuk kali terakhir.
Meskipun mirip satu sama lain, namun Yohanes Pembaptis dan Yesus dalam pemberitaan mereka tentang Kerajaan Allah toh berbeda sedikit juga.
Yohanes memberitakan bahwa penghakiman Allah dekat dan sungguh menjadi ancaman bagi seluruh umat (Mat 3:7-10,12; Luk 3:7-9). Tentu saja orang masih dapat luput dari penghakiman itu dan sesudah itu turut serta dalam keselamatan yang dikerjakan Allah. Tetapi mutlak perlu orang bertobat dahulu dan segera bertobat. Bertobat berarti berubah haluan hidup, seluruh cara berpikir dan menilai, tentang dirinya dan situasinya. Nyatanya bertobat berarti: tidak percaya pada apa saja, kecuali pada Allah semata-mata, sebab dari segi umat tidak ada dasar apa saja untuk mengharapkan keselamatan dari Allah. Agama seadanya tidak memberi harapan, sejarah penyelamatan dahulu tidak memberi harapan, kepilihan Israel tidak memberi harapan. Hanya Allah saja yang masih dapat menyelamatkan orang yang mengakui situasi tanpa harapan itu (Luk 3:17;Mat 3:12). Tentu saja orang hanya dapat bertobat atlas dasar belas kasihan Allah semata-mata. Tobat itu diperagakan dengan pembasuhan dalam sungai Yordan, yang melambangkan penghakiman Allah. Dan mereka yang bertobat dengan cara demikian akan terluput dari murka Allah dan ikut serta dalam keselamatan terakhir, Kerajaan Allah. Kerajaan itu kini belum ada tapi nanti menyusul penghakiman.
Yesus di lain pihak tidak hanya memberitakan bahwa Kerajaan Allah, penyataan kuasa Allah Penyelamat, sudah dekat. Sebaliknya: Kerajaan Allah itu sedang terjadi, sudah mulai menyatakan diri, menembus ke dalam situasi tanpa harapan (Mat 12:28; Lpk 11:20; 10:21; Mat 13:16-17; Luk 10:23-24). Allah tidak menunggu sampai orang bertobat, tetapi sebaliknya sudah merangkul orang berdosa, umat dalam situasi buruknya. Bila dalam pemberitaan Yohanes penghakiman mendahului Kerajaan Allah, pada Yesus Kerajaan Allah mendahului penghakiman. Tentu saja Yesus pun memberitakan penghakiman (Mat 11:22-24; 12:41-42; 10:15).
Tetapi penghakiman ilu menyusul penyataan Kerajaan Allah yang sudah dimulai. Dalam pendekatan Yohanes halnya dipikirkan sebagai berikut: Kini ada zaman yang serba buruk. Segera Allah melaksanakan penghakiman-Nya, lalu Kerajaan penyelamatan menjadi nyata. Yesus melihat halnya secara lain. Allah dalam zaman yang buruk itu sudah menyatakan Kerajaan penyelamatan-Nya (Luk 19:42; Mrk2:18-22; Mat 16:3). Atas dasar itu orang dapat dan harus bertobat dan tetap menjadi peserta dalam Kerajaan Allah itu, mengalami keselamatan-Nya (Mrk 9:43-47; Mat 22:11-13). Tetapi apa yang kini sudah mulai di dalam dunia yang buruk ini nanti akan diselesaikan (Mat 24:32-35; Luk 21:29-31). Dan penyelesaian itu akan didahului penghakiman terakhir (Mat 7:24-27).
Dengan demikian Allah yang diberitakan Yesus berbeda sedikit dengan Allah yang diberitakan Yohanes. Yohanes melihat Allah penyelamat terutama sebagai hakim. Melalui penghakiman Allah menyelamatkan orang yang bertobat. Sebaliknya, Yesus melihat Allah sebagai Allah yang kini sebagai Bapa (Mat 7:11; 6:8, 26-32; Luk 12:32) mendekati orang malang untuk menyelamatkan mereka tanpa memasang syarat apa saja. Hanya bagi orang yang setelah mengalami Allah sebagai Bapa yang merangkulnya tanpa syarat toh menolak-Nya, Allah menjadi hakim yang menolak mereka yang menolak-Nya (Mrk 12:1-9; Mat 22:1-7). Bila dalam pendekatan Yohanes Allah Hakim menjadi Bapa bagi mereka yang bertobat, maka dalam pendekatan Yesus Allah Bapa menjadi Hakim bagi mereka yang tidak bertobat.
Dan Yesus bertindak seolah-olah kuasa penyelamatan Allah, Kerajaan-Nya, sebenarnya sudah menjadi nyata melalui Yesus sendiri, melalui perbuatan dan pemberitaan-Nya.
Secara demonstratif Yesus menyatakan banwa perwujudan Kerajaan Allah tidak bergantung pada pelaksanaan hukum agama yang berlaku (Mat 11:12-13). Atas dasar keyakinan itu Yesus tidak segan melanggar hukum agama, bila itu perlu untuk mendekati orang yang malang. Yesus tidak segan menyingkirkan hukum Sabat (Mrk 2:27; 3:4; Mat 12:11-12) yang dengan keras melarang orang "bekerja", kecuali dalam keadaan darurat seperti ditetapkan oleh ahli Taurat. Yesus tidak begitu saja melanggar hukum Sabat itu, tetapi Ia sendiri menentukan kapan itu tidak berlaku lagi dan selalu demi kepentingan orang lain. Yesus tidak segan menyingkirkan hukum agama mengenai najis dan tahir, halal dan haram, oleh karena hati orang jauh lebih penting daripada aturan lahiriah (Mrk 7:15; Luk 11:38). Dan Yesus tidak segan "memperbaiki" hukum lama (Mat 5:21-22, 27-28, 31-32, 33-37) dengan mendasarkan diri pada tata penciptaan (Mat 5:43-45; 19:4-6) yang mendahului hukum Musa.
Tetapi dengan berlaku demikian Yesus bertindak seolah-olah lebih berwewenang daripada Musa (Mat 12:8), yang dalam tradisi Yahudi paling berwewenang, utusan dan kuasa Allah sendiri. Yesus berlaku seolah-olah melalui diri-Nya Allah memulai sesuatu yang baru, yang lain dari yang sudah-sudah (Mrk 1:27; 2:21-22).
Yesus pun secara menyolok bergaul dan berkerabat, makan bersama dengan orang yang menurut agama justru terkucil dari umat Allah, dari ibadat dan dengan demikian terkucil dari keselamatan Allah (Mrk 2:15; Luk 7:34). Yesus berkerabat dengan "orang berdosa", pemungut cukai dan pelacur, mereka yang tidak ambil pusing tentang hukum agama, hukum Allah (Mat 11:19; Luk 15:2; 5:30; 19:1-2). Yesus tidak menunggu dan tidak menuntut mereka "bertobat" dahulu, kembali ke jalan lurus sesuai dengan hukum (Luk 19:7; 7:36-40.49-50). Begitu saja Ia mendekati mereka. Kelakuan itu semacam "perumpamaan". Dengan tindakan-Nya Yesus sebenarnya menyatakan tindakan Allah, Kerajaan-Nya yang mendatangi orang malang, orang berdosa, tanpa prasyarat apa pun.
Yesus juga mendekati orang malang pada umumnya, mereka yang cacat, sakit, dianggap kerasukan roh najis (Mat 4:23; 8:16; 9:35; 15:30; 21:14), Dan Ia terutama mendekati rakyat jelata, mereka yang secara sosio-ekonomis dan politis tidak berdaya (Luk 4:18-19; 6:20-26; 7:22-23). Meskipun semua ceritera terinci yang tercantum dalam keempat Injil tidak boleh dinilai sebagai "laporan" tentang kejadian nyata, namun dalam ceritera-ceritera itu terungkap sebuah kesan umum yang ditinggalkan Yesus pada orang sekitar-Nya. Dan justru semua orang tak berdaya itu dengan satu dan lain cara juga secara religius dinilai kurang memadai, kurang diberkati oleh Allah. Orang cacat, sakit, kerasukan roh jahat dianggap tidak mengambil bagian dalam berkat Allah perjanjian, Allah umat Israel (Im 21:18-20; Ul 23:1-2; Im 20:27; 13:45-46). Meskipun dalam tradisi Israel, seperti tercantum dalam Perjanjian Lama (Yes 56:3-7; Mzm 146; Keb 3:13-14; 4:7), sudah ada pandangan lain, pandangan itu tidak berhasil menjadi suatu pandangan umum. Dan bagaimanapun juga selalu toh mesti ada "takwa", kesalehan, ketaatan kepada Allah dan hukum-Nya. Dan semuanya itu oleh Yesus seolah-olah tidak diperhitungkan.
Seluruh kelakuan Yesus tersebut yang menyimpang dari yang lazim dalam rangka masyarakat dan agama Yahudi di zamannya sebenarnya semacam perumpamaan. Yesus memperagakan dan begitu memperlihatkan dan mewujudkan kelakuan Allah seperti Ia memahami-Nya, yang mendekati orang malang, orang berdosa dan orang yang di segala bidang tidak berdaya sama sekali. Begitu diperlihatkan bahwa Kerajaan Allah yang diberitakan Yesus sebenarnya sudah mulai mewujudkan diri. Bila Yesus mengutamakan orang miskin, rakyat jelata, orang cacat dan sakit serta yang dianggap kerasukan roh jahat yang bermusuhan dengan Allah, maka mereka tidak diutamakan justru oleh karena miskin, sakit, berdosa dan sebagainya, tetapi oleh karena pada merekalah paling nyata dan paling tampak betapa parah keadaan seluruh umat di hadapan Allah. Bila tindakan Yesus boleh disebut semacam "perumpamaan" tindakan dan sikap Allah, maka orang malang itu merupakan semacam "perumpamaan" situasi umat, situasi dunia, manusia yang nyata.
Kelakuan dan tindakan Yesus didukung oleh pewartaan-Nya. Dalam cara mengajar Yesus sudah berbeda dengan "guru-guru agama" lain di zaman-Nya (Mat 7:29; Mrk 1:27). Yesus tidak mendasarkan diri dan ajaran-Nya pada tradisi, pada Alkitab Yahudi dan tafsirannya. Begitulah cara para "ahli agama" Yahudi mengajar. Mereka tidak mau "mengajar sesuatu yang baru". Selalu mesti ada dukungan dari Alkitab atau tradisi "nenek moyang" (Mat 15:2; Mrk 7:3-5) dahulu. Bahkan kalau sebenarnya ada sesuatu yang baru, maka dengan macam-macam cara toh dicari dasarnya dalam Alkitab dan tafsirannya. Sebaliknya Yesus mengajar seolah-olah mempunyai wewenang khusus (Mat 15:17-20), melebihi wewenang Musa dan wewenang Alkitab (Yoh 5:45-46; Mat 19:7), sehingga nampaknya menghaki wewenang Allah sendiri (Mat 19:17-21). Dan itulah sebabnya Yesus malah memberanikan diri mencabut hukum agama yang tercantum dalam Alkitab (Mat 5:33-34). Secara baru Yesus menyatakan kehendak Allah sendiri (Mat 6:33.20), kehendak Allah semula dan murni, kehendak Allah yang belum "diperlunak" demi "kekerasan hati manusia" (Mrk 10:5). Dengan wewenang-Nya sendiri Yesus menentukan mana intipati hukum Allah (Mrk 12:28-31).
Dalam mewartakan Kerajaan Allah dan kehendak Allah Yesus menggunakan pelbagai cara, seperti tradisional di lingkungan-Nya. Ia memakai "pepatah", "teka-teki", "petuah", wejangan dan sebagainya. Tetapi Ia terutama menggunakan jenis sastra yang disebut "perumpamaan". Di satu pihak dalam hal itu Yesus berdekatan dengan para ahli kitab yang juga gemar akan perumpamaan.
Tetapi ada perbedaan yang cukup menyolok. Para ahli Taurat Yahudi menggunakan perumpamaan untuk menjelaskan dan menafsirkan Alkitab dan hukum Musa. Tetapi Yesus tidak menjelaskan dan menafsirkan Alkitab dan hukum Taurat. Yesus memberitakan Kerajaan Allah yang sudah dekat dan mulai menembus ke dalam dunia ini (Mat 13:5-9). Melalui perumpamaan Yesus justru menggambarkan Kerajaan Allah yang mendekat dan sedang terjadi. Bagaimana jadinya dengan manusia yang menerima pewartaan Yesus dan terangkul oleh Allah yang berdaulat itu (Mat 13:44-46). Diperlihatkan bagaimana Kerajaan Allah, kasih Allah yang dialami mengubah diri manusia dan kehidupannya. Dan juga dalam pewartaan Yesus itu Kerajaan Allah dengan daya kekuatan-Nya mendekati dan mengubah manusia serta kehidupannya (Mat 13:33; Luk 16:1-8). Dalam pewartaan-Nya pun Yesus "penuh kuasa". Dan kalau Kerajaan Allah yang melalui pemberitaan Yesus mendekati manusia ditolak, maka Kerajaan penyelamatan itu berubah menjadi penghakiman (Mat 22:1-13). Hanya sedangkan Kerajaan itu sekarang sudah terjadi, penghakiman nanti baru akan menyusul, meskipun rupanya Yesus yakin bahwa tidak lama lagi penghakiman itu akan berlangsung bertepatan dengan penyelesaian Kerajaan Allah dan kedatangan Anak manusia sebagai hakim (Mat 10:23; Mrk 13:29).
Seluruh pewartaan Yesus serta kelakuan-Nya yang sesuai berdasarkan suatu pengalaman pribadi. Bekas pengalaman itu kiranya terdapat dalam Luk 10:18. Di sana Yesus menegaskan bahwa la pernah melihat "Iblis jatuh seperti kilat dari langit". Dalam alam pikiran apokaliptis dunia seadanya memang dalam genggaman Iblis (Mat 4:9; Yoh 12:31). Tetapi Yesus "melihat" tahta "raja dunia ini" sudah tertumbang. Iblis sudah dikalahkan dan dicabut kekuasaannya (Mrk 3:27). Dan hanya Allah dapat menumbangkan Iblis itu. Maka Allah sudah mulai "meraja", mengganti Iblis. Pengalaman itulah yang membuat Yesus memberitakan Kerajaan Allah sebagai sesuatu yang sedang terjadi. Dan Yesus sendiri menjadi utusan Allah yang mewujudkannya di bumi ini (Luk 10:23-24; Mat 11:5-6; Luk 11:29-32) sebagai awal penyelesaiannya nanti.
Melalui karangan Perjanjian Baru, khususnya keempat Injil, yang tidak mau "melapor" apa yang sesungguhnya terjadi, orang masih juga dapat merasakan betapa tampilnya Yesus, pewartaan dan kelakuan-Nya menggegerkan mereka yang menyaksikannya. Umumnya Yesus menjadi teka-teki bagi mereka. Tercetuslah pertanyaan: Siapa gerangan orang ini? (Mat 8:27; 21:23; Mrk 6:2). Ia tidak memadai tokoh-tokoh yang dikenal tradisi Yahudi. Ia dapat dinilai sebagai seorang nabi (Mat 16:14; Luk 7:16; Mat 21:11) atau pun dicurigai sebagai tukang sihir dan nabi gadungan (Mrk 3:22; 14:65). Kadang-kadang orang berkesan Yesus punya ambisi menjadi "mesias" yang tampilnya diharapkan sementara orang Yahudi (Yon 6:15; Mrk 11:9-10). Oleh karena sering "mengajar" Yesus mirip seorang rabi (Luk 12:13), tetapi baik cara mengajar maupun ajaran-Nya toh berbeda juga. Bahkan bagi mereka yang mendukung-Nya dan menaruh harapan pada Yesus Ia menjadi teka-teki yang sukar dipahami sepenuhnya (Mrk 8:18; 9:32). Sudah pasti Yesus mendapat sejumlah pendukung yang secara khusus dibimbing-Nya, yang menjadi teman dan pembantu-Nya. Dalam hal ini Yesus juga mirip dengan rabi-rabi pada bangsa Yahudi. Tetapi Yesus toh tidak sama juga. Guru-guru Yahudi mengumpulkan sejumlah murid yang menghafalkan ajaran sang rabi. Lalu mereka sendiri dapat menjadi guru dan rabi pada gilirannya. Tetapi Yesus mengumpulkan sejumlah orang dan mengikat mereka pada diri-Nya. Mereka menjadi senasib dengan Yesus, tidak datang untuk menghafalkan ajaran-Nya. Dan mereka tidak pernah "tamat". Dan apa yang dituntut Yesus dari mereka yang mau bergabung dengan diri-Nya atas panggilan Yesus amat radikal dan jauh melebihi tuntutan pribadi yang bisa dibebankan seorang rabi Yahudi (Mrk 10:21.28-30; Mat 10:37-38; Luk 9:57-62). Ikatan pribadi macam itu tidaklah lazim. Maka Yesus dengan kelompok-Nya tidak bisa dimasukkan ke dalam salah satu aliran atau mazhab yang ada pada bangsa Yahudi di zamannya. Kadang-kadang Yesus tampaknya mirip dengan kalangan Farisi (Mat 23:2-3), lain kali dengan kalangan para apokaliptik (Luk 17:22-37), seperti misalnya yang bermukim di Qumram, dan apa yang dikatakan Yesus kadang-kadang mirip dengan apa yang dikatakan golongan orang yang mencita-citakan dan memperjuangkan pembebasan dari kuasa Roma dan antek-anteknya (Mat 10:34; Luk 22:36-38). Hanya dengan para imam kalangan atas (Saduki) tidak ada kemiripan. Dan selalu di samping kemiripan ada kelainan. Yesus terasa sebagai sesuatu yang baru, meskipun masih juga dalam tradisi bangsa Yahudi. Dan akhirnya Yesus selalu tinggal sebuah teka-teki untuk lingkungan-Nya.
Yesus tidak hanya menggegerkan masyarakat Yahudi dan menjadi teka-teki besar, tetapi Ia juga memancing perlawanan. Perlawanan itu tidak datang pertama-tama dari pihak penguasa politik (Roma, Herodes, keturunan dan pendukungnya), tetapi dari pihak pemimpin religius bangsa Yahudi (Mrk 3:6,22; 8:11; 12:12, 13; 14:1). Baiklah diingat bahwa di masa itu "agama" dan "negara" belum terpisah. Segala gerakan religius mempunyai dimensi politik dan gerakan politik mempunyai dimensi religius (Luk 9:7-9; 13:31).
Yesus ternyata mengakui bahwa umat Israel memang umat Allah yang terpilih. Seluruh kegiatan-Nya secara eksklusif tertuju kepada umat itu (bdk. Mat 10:6; 15:24). Hampir pasti bahwa Yesus tidak pernah mengarahkan pewartaan-Nya dan perbuatan-Nya kepada orang bukan Yahudi, meski penduduk Galilea sekali pun. Hanya menurut keyakinan Yesus umat Allah seadanya tidak menjadi sasaran berkat Allah melainkan sasaran kemurkaan-Nya (Luk 21:23; Mrk 11:13-14). Seluruh sistem agama yang dianggap berasal dari Musa dan bahkan dari Allah oleh Yesus dinilai sebagai sesuatu yang kini dan seadanya tidak berguna untuk keselamatan umat (Mat 15:9,13). Nyatanya Yesus menyingkirkan pelaksanaan hukum Taurat sebagai jalan penyelamatan (Mrk 7:5,8), seperti diyakini para pemimpin Yahudi. Bait Allah (Mrk 13:2) serta ibadatnya pun oleh Yesus dinilai tidak berguna (bdk. Mat 9:13; 15:8-9; Mrk 12:33; 14:58), padahal khususnya para imam (Yoh 11:48) menilai ibadat itu sebagai sarana penyelamatan, yang diberikan oleh Allah sendiri. Yesus tidak hanya memberitakan bahwa akhir zaman dan Kerajaan Allah sudah dekat, tetapi juga bahwa Kerajaan Allah kini sudah terjadi dan tidak hanya merangkul orang benar, tetapi justru orang berdosa. Dan dengan demikian Yesus tidak sesuai dengan keyakinan para apokaliptisi di zaman-Nya. Yesus menegaskan bahwa semua umat mesti "bertobat" setelah dirangkul kuasa penyelamatan Allah. Dan setelah umat bertobat dan menjadi peserta dalam keselamatan bangsa-bangsa lain pun akan turut serta dalam keselamatan (Mat 8:11), seperti dikatakan sementara nabi dahulu tetapi oleh banyak orang Yahudi di zaman Yesus tidak dapat diterima. Semua bangsa kafir hanya sasaran kemurkaan Allah, begitu keyakinan populer.
Maka oleh seluruh pimpinan religius-politik bangsa Yahudi di masa itu Yesus mesti dirasakan sebagai suatu ancaman terhadap seluruh sistem sosio-religius yang mereka pimpin, pertahankan dan bela (Yoh 11:48). Dan ketegangan yang semakin hebat antara Yesus dan para pemimpin bangsa Yahudi akhirnya mengakibatkan kematian Yesus. Oleh pimpinan Yahudi, entahlah siapa persis, Yesus akhirnya diserahkan kepada kuasa politik Roma. Di masa itu kuasa, yang dipegang oleh wali negeri Pontius Pilatus dan Raja Herodes di Galilea itu, sangat peka terhadap segala macam kerusuhan dalam masyarakat (Luk 23:2,5), Dan dalam situasi nyata juga suatu gerakan religius, seperti berkembang sekitar Yohanes Pembaptis dan Yesus, selalu mempunyai dimensi politik dan sosial. Maka langsung atau tak langsung menjadi ancaman terhadap kuasa politik Roma. Maka kuasa politik Roma itu akhirnya bertindak. Yesus dinilai dan dieksekusi sebagai pengacau, perusuh dan pemberontak (Mrk 15:26).
Menjelang akhir hidup-Nya Yesus sendiri pun hampir pasti memfirasatkan bahwa jalan hidup-Nya akan berakhir dalam celaka (Luk 9:44; Mrk 9:31a; Mat 23:37a). Dan oleh karena mau setia kepada tugas-Nya, maka Yesus rela menempuh nasib malang, kalau menjadi suatu kenyataan. Itu dapat dinilai-Nya sebagai konsekuensi terakhir dari keyakinan-Nya dan akibat kesetiaan-Nya kepada Allah (Luk 13:32-33). Dan karena tidak dapat ragu-ragu tentang kesetiaan Allah dan kekuasaan-Nya Yesus dapat yakin bahwa Allah Penyelamat yang diberitakan-Nya toh akan menyatakan kuasa-Nya baik sebagai Penyelamat maupun sebagai Hakim umat-Nya. Kematian Yesus sendiri pasti tidak bisa menghalangi Allah untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulai-Nya dengan Yesus sendiri, yaitu mewujudkan Kerajaan-Nya secara definitif (Mrk 14:25). Dan dengan demikian Yesus dapat menilai kematian-Nya, kalau terjadi, sebagai termasuk ke dalam tugas-Nya dan sesuai dengan kehendak Allah, Penyelamat dan Hakim sekaligus. Dan kematian-Nya malah dapat dinilai Yesus sebagai awal dari penghakiman Allah menjelang akhir zaman (Luk 12:50), yang membawa keselamatan terakhir bagi mereka yang setia kepada Allah. Tidak dapat diragukan bahwa Yesus yakin bahwa Ia sendiri menjadi peserta dalam keselamatan terakhir itu (bdk. Luk 22:29-30).
Tidak dapat tidak nasib malang Yesus di salib membingungkan para pengikut-Nya dahulu. Tampaknya kehidupan Yesus berakhir dalam kegagalan belaka. Apakah Yesus keliru dalam pewartaan dan kelakuan-Nya? Kalau Yesus dahulu sudah menjadi suatu teka-teki yang tidak bisa ditebak secara tuntas, apa pula sekarang. Nasib malang Yesus hanya memperbesar teka-teki itu. Kalau Yesus menjelang akhir hidup-Nya dapat memahami nasib-Nya dan barangkali menjelaskannya kepada pengikut-pengikut-Nya, tidakkah dalam hal itu pun Yesus keliru? Apakah semuanya yang dahulu terjadi masih dapat dinilai sebagai tanda dan awal Kerajaan Allah? Benarkah dalam kehidupan Yesus kuasa Allah Penyelamat terakhir menjadi nyata? Yesus malah tidak dapat dinilai sebagai "pahlawan nasional", sebab oleh pemimpin bangsa-Nya sendiri Ia ditolak dan diserahkan kepada kuasa Roma. Kebingungan para pengikut Yesus, yang dapat diduga, masih ada bekasnya dalam Injil Lukas (24:19-21). Yesus dahulu dinilai sebagai nabi dari Allah dan bakal pembebas umat Israel, tetapi kepercayaan itu kini diragu-ragukan dan pengharapan dahulu padam sama sekali. Tidak dapat diketahui persis apa yang dibuat pengikut-pengikut Yesus dahulu. Tetapi rupanya mereka pulang saja ke tempat asalnya, ke Galilea. Mungkin akhir Injil Matius (28:16) dan akhir Injil Yohanes (21:1-3) masih memelihara ingatan akan hal itu setelah Mrk 14:50 menegaskan bahwa semua murid Yesus lari, entah kemana.
Posting Komentar