DARI YERUSALEM KE ATENA. PERKEMBANGAN KRISTOLOGI PADA GENERASI KRISTEN PERTAMA

Setelah Yesus, orang Nazaret, hilang dari panggung sejarah mulailah berkembang sesuatu yang boleh diistilahkan sebagai "kristologi". Mereka yang dahulu menjadi pengikut Yesus mulai memikirkan, mengkonseptualkan dan membahasakan Yesus dan pengalaman mereka dengan Yesus. Lama-kelamaan mereka menebak "teka-teki" yang ditinggalkan Yesus, semakin memahami dan menangkap relevansi Yesus bagi manusia, kedudukan dan peranan-Nya dalam tata penyelamatan Allah. Sama seperti Yesus dahulu, pengikut-pengikut-Nya tetap yakin tentang Allah dan kesetiaan-Nya. Maka kedudukan dan peranan Yesus dalam hubungan manusia dengan Allah langkah demi langkah dapat dijernihkan.

--------------------------------------------------------------------------------


1. Titik tolak kristologi: pengalaman paska

Setelah Yesus dieksekusi, terjadi sesuatu yang lain lagi yang bersangkutan dengan Yesus tetapi dialami mereka yang dahulu mengikuti-Nya. Tidak dapat diragukan — seluruh Perjanjian Baru adalah buktinya — bahwa beberapa waktu setelah Yesus hilang, muncul sekelompok orang yang mengakui dirinya sebagai pengikut Yesus (Kis 24:5,14; 11:26) dan mengatakan bahwa Yesus sebenarnya hidup, tetap berarti, bermakna dan relevan bagi manusia.

Maka antara kematian Yesus dan tampilnya kelompok itu mesti terjadi sesuatu, suatu pengalaman yang meyakinkan mereka bahwa Yesus masih juga berpengaruh bagi mereka. Ada sejumlah orang — Paulus berkata tentang paling sedikit 500 orang (bdk. IKor 15:6) — yang mendapat pengalaman yang meyakinkan mereka bahwa Yesus yang tadinya mati di salib masih juga hidup dan aktif, sebagaimana dialami mereka sendiri. Dan dalam alam pikiran Yahudi hal itu hanyalah mungkin bila Yesus oleh Allah dibangkitkan dari antara orang mati. Tetapi sekaligus ada perubahan juga. Yesus yang dibangkitkan termasuk suatu dunia lain daripada dunia seperti dapat diamati dengan pancaindera manusia. Sebab, di satu pihak Yesus dialami sebagai hidup, karena pengaruh-Nya sungguh terasa. Di lain pihak Yesus toh tidak kembali kepada keadaan-Nya dahulu di dunia ini, ialah dunia mereka yang mengalami Yesus. Yesus ternyata hidup, tetapi tidak seperti dahulu. Ia dialami, tetapi tidak diamati seperti dahulu. Manusia di dunia ini tidak dapat mengalami sesuatu atau seseorang, kalau tidak ada unsur inderawi dan jasmani, tetapi Yesus yang dialami toh tidak "jasmani" seperti dahulu (IKor 15:45, 47, 49).

Apa yang persis terjadi memang sukar diketahui orang yang tidak langsung mendapat pengalaman itu. Dikatakan, bahwa "Yesus tampak oleh mereka" (IKor 15:5; Luk 24:34; Kis 13:31). Istilah itu dalam bahasa Yunani suka dipakai sehubungan dengan Allah (Kis 7:2), malaikat (Luk 1:11; Mat 17:3) atau dewa-dewi yang "tampak". Dengan demikian, belum juga jelas apa yang persis dimaksud dengan ungkapan "Yesus tampak". Hanya mereka yang mendapat pengalaman itu yakin bahwa sungguh-sungguh Yesus yang tadinya mati dengan cara demikian "tampak". Dan kalau demikian, Ia "dibangkitkan" dari keadaan "mati". Sebab "mati" justru berarti bahwa tidak ada relasi yang dapat dihayati.

Pengalaman itu pun dihubungkan dengan apa yang diistilahkan sebagai "Roh Kudus” (Yoh 16:7-11; 20:19-23; IPtr 1:12). Roh Kudus merupakan suatu gagasan dari tradisi Yahudi yang mengungkapkan bahwa Allah berkarya di dunia ini, suatu daya kekuatan atau pengaruh dari Allah yang hidup. Dalam tradisi Yahudi "Roh Kudus" diharapkan untuk zaman terakhir (Yl 2:28-29), zaman keselamatan. Daya kekuatan Allah secara khusus akan menjadi nyata. Para bekas murid Yesus mengartikan pengalaman barunya setelah Yesus mati sebagai pengalaman Roh Kudus, pengalaman akan zaman keselamatan terakhir (Kis 2:1-4, 14-32).

Tetapi mereka menghubungkan "Roh Kudus" itu dengan Yesus (Kis 2:33), yang justru dengan cara itu menyatakan bahwa masih juga "hidup" dan karena itu dibangkitkan (Rm 8:11; 1:4). Malah boleh dikatakan bahwa pengalaman akan apa yang dipahami sebagai "Roh Kudus" menjadi awal segala sesuatu (IKor 12:3). Tetapi juga jelas bahwa Roh Kudus yang dialami itu dialami sebagai berasal dari Allah melalui Yesus (Luk 4:18; Tit 3:6; Rm 8:9; Gal 4:6).

Tentu saja sukar sekali menentukan lebih lanjut apa yang sesungguhnya terjadi. Dalam keempat Injil dan Kis tercantum sejumlah ceritera mengenai Yesus yang "tampak" oleh sejumlah orang. Dalam IKor 15:5-8 terdapat sebuah tradisi yang sudah ada waktu Paulus memberitakan Injil di kota Korintus. Boleh diduga tradisi itu sudah ada sekitar tahun 40 Mas, jadi l.k. sepuluh tahun setelah Yesus tersalib. Tradisi itu menyajikan semacam daftar orang yang mendapat pengalaman paska, yang olehnya Yesus yang tadinya mati "tampak" sebagai hidup. Paulus menyamakan pengalamannya sendiri dengan pengalaman orang lain itu. Dan tentang pengalamannya itu Paulus memberikan laporan dalam Gal 1:16. Berita Paulus itu memang cukup kabur juga. Tetapi cukup jelas bahwa ada suatu pengalaman pribadi yang tidak direncanakan atau dicari. Dan objek pengalaman pribadi itu ialah Yesus, yang memang hidup namun tidak hidup di dunia kita ini. Ia kan dialami, disingkapkan sebagai "Anak Allah", bukan sebagai "Yesus orang Nazaret". Meskipun tidak perlu demikian, boleh diduga bahwa pengalaman orang-orang lain (IKor 15:6 malah berkata tentang lima ratus orang sekaligus) mirip dengan pengalaman Paulus, yang menurut IKor 9:1 "melihat Yesus, Tuhan kita".

Ceritera-ceritera tentang Yesus yang tampak seperti tercantum dalam keempat Injil dan Kis tidak boleh dinilai sebagai suatu laporan. Ceritera-ceritera itu agak simpang siur dan tidak meliputi semua orang yang terdaftar dalam IKor 15:3-8. Ceritera-ceritera yang kadang-kadang tampaknya amat "materialistis" (bdk. Luk 24:37-43; Yoh 20:20, 27; 21:13; Kis 1:4) selalu memuat unsur-unsur yang memperlihatkan bahwa Yesus tidak "dilihat" sebagai salah satu "objek" di samping objek-objek lain yang bisa diamati dengan pancaindera. Ia kan dilihat tapi tidak segera "dikenal" oleh orang yang dahulu akrab bergaul dengan-Nya (Yoh 20:15; Luk 24:16). Ia bisa berjalan-jalan dengan orang entah berapa jauh, tetapi tidak dikenal kembali. Ia sendiri mesti "membuka mata orang" (Luk 24:16.31). Yesus begitu saja bisa menembus pintu-pintu yang terkunci (Yoh 20:19, 26) dan tiba-tiba hilang lenyap (Luk 24:31). Dan dalam Kis 10:41 di tegaskan bahwa Yesus hanya bisa tampak oleh mereka yang ditentukan Allah. Maka ceritera-ceritera itu ternyata hanya sebuah sarana yang dipakai umat untuk mewartakan Yesus dan mengungkapkan keyakinannya bahwa Yesus yang tadinya mati di salib masih juga hidup, relevan dan berarti bagi manusia. Baiklah dibandingkan apa yang dikatakan Paulus sendiri tentang pengalamannya (Gal 1:16) dan bagaimana pengalaman itu diceritakan dalam Kis 9:3-9; 22:6-16; 26:12-18.

Pengalaman paska dalam Roh Kudus itu menjadi titik tolak seluruh refleksi umat purba mengenai Yesus, hal ihwal, kedudukan dan peranan-Nya dalam tata penyelamatan Allah. Refleksi itu ditangkap secara konseptual dan diungkapkan dalam bahasa mereka sendiri. Dan itulah namanya "kristologi/soteriologi". Pengalaman paska mencetuskan kristologi itu. Selagi Yesus hidup tentu saja sudah mulai dipikirkan juga, tetapi pemikiran itu tidak menjadi mantap. Sebab Yesus terlebih suatu problem, suatu teka-teki yang tak tertebak. Dan selebihnya: Yesus selagi hidup belum "selesai" (Luk 13:32; Yoh 19:30), sehingga belum dapat secara bulat dipahami dan diungkapkan. Kematian Yesus, pengalaman-Nya yang terakhir, termasuk ke dalam eksistensi-Nya dan turut membentuk diri Yesus, turut menentukan kedudukan dan peranan-Nya. Dan apa yang masih terjadi dengan Yesus sesudah itu dan yang diistilahkan sebagai "kebangkitan" menjadi unsur yang mutlak perlu bagi pemahaman tentang Yesus. Boleh ditanyakan apakah peristiwa "paska" sendiri masih "menambah" sesuatu pada diri Yesus sendiri. Tentu saja kejadian itu menyangkut Yesus sendiri dan mempunyai makna kristologis. Peristiwa itu pun "membenarkan" seluruh eksistensi Yesus. Tapi "isi" baru agaknya tidak ada. Di salib itu Yesus seluruhnya selesai, seluruhnya terbentuk. situasi Yesus berubah, tapi situasi baru itu mengenai Yesus yang lama. Dari segi itu tidak ada tambahan. Tetapi kematian Yesus membentuk dan menyelesaikan Yesus. Maka sebelum kematian-Nya paling-paling bisa berkembang semacam "Yesuologi", tetapi suatu "kristologi" belum juga mungkin.

Pengalaman paska pertama-tama meyakinkan sejumlah orang bekas pengikut Yesus (tetapi rupanya belum semua juga, bdk. Mat 28:17), bahwa Allah "membenarkan" Yesus (ITim 3:16). Yesus dahulu bukanlah seorang durhaka, penjahat, penipu yang pantas disalibkan. Yesus ternyata mempunyai hubungan akrab dan malah tunggal dengan Allah, sebab sebelumnya belum pernah seseorang dibangkitkan oleh Allah. Dalam tradisi Yahudi memang ada orang yang diangkat oleh Allah, seperti Henokh dan Elia (Kej 5:22; 2Raj 2:11). Dalam tradisi Yahudi (IRaj 17:22; 2Raj 4:35) dan malah dalam tradisi Injil (Mrk 5:42; Luk 7:15) ada orang mati yang dihidupkan kembali. Tetapi "membangkitkan orang" tidak sama dengan "menghidupkan kembali" orang, yang kemudian meneruskan hidupnya di dunia. Hanya Yesuslah yang "dibangkitkan Allah" dan secara unik dibenarkan oleh-Nya (Yoh 16:10).

Dan sekaligus pengalaman paska itu meyakinkan bekas pengikut Yesus bahwa Yesus dalam pewartaan dan tindakan-Nya dahulu tidaklah keliru. Yesus mewartakan Kerajaan Allah yang sudah dekat, sudah mulai mewujudkan diri justru dalam pewartaan dan tindakan Yesus. Allah seperti diwartakan dan diperagakan Yesus benar-benar Allah seadanya. Allah sejati bukanlah buah khayal dan mimpi Yesus sendiri. Dengan demikian pengalaman paska menyingkapkan selubung dari kehidupan dan diri Yesus dahulu. Dan kehidupan Yesus, yang dahulu sebuah teka-teki kini menjadi lebih jelas, dapat dipahami. Apa yang tersembunyi dalam Yesus dan hidup-Nya dahulu kini menjadi nyata. Atas dasar pengalaman paska seluruh kehidupan Yesus dapat ditinjau kembali di bawah sorotan tindakan Allah yang terakhir, ialah: membangkitkan Yesus dari antara orang mati.
2. Sarana-sarana pemikiran dan pengungkapan kristologis

Baiklah disadari bagaimana situasi generasi-generasi Kristen yang pertama. Generasi-generasi itu dengan bertitik tolak pengalaman paska sejumlah orang, mulai merefleksikan, memikirkan, mengkonseptualkan iman ke-percayaannya kepada Yesus, Yesus sendiri dan pengalaman mereka dengan Yesus baik sesudah maupun sebelum ia mati di salib. Kesadaran akan situasi itu hanya bisa menimbulkan rasa kagum atas prestasi teologis yang menjadi jasa unggul dua-tiga generasi Kristen pertama seperti yang tercantum dalam karangan-karangan Perjanjian Baru. Dan mereka memikirkan, mengkonseptualkan dan membahasakan iman kepercayaannya dengan pertolongan sarana-sarana yang tersedia.

Mula-mula umat Kristen terdiri atas orang-orang Yahudi, bahkan orang Yahudi pribumi dari Palestina. Sama seperti Yesus dahulu mereka hidup, bergerak dan berpikir dalam rangka agama Yahudi, sebagaimana tercantum dalam Alkitab dan dalam tradisi Yahudi selanjutnya. Dan orang-orang itu, kebanyakan rupanya orang Galilea (Kis 2:7; 13:31), tidak termasuk golongan cendekiawan (Kis 4:13). Untuk memikirkan dan membahasakan iman kepercayaannya mereka berdasarkan pengalamannya dengan Yesus, baik sesudah dibangkitkan maupun sebelumnya. Mereka tentu saja masih ingat akan pewartaan Yesus sendiri yang di satu pihak tinggal dalam rangka tradisi Yahudi, di lain pihak toh terasa sebagai suatu pembaharuan. Para pengikut Yahudi Yesus itu lebih lanjut memanfaatkan gagasan, istilah, ungkapan yang sudah lazim dalam tradisi religius Yahudi itu, khususnya yang tercantum dalam Perjanjian Lama, tetapi sebagaimana Alkitab itu ditafsirkan oleh tradisi Yahudi juga. "Tafsiran" macam itu kini masih dapat dikenal sedikit melalui karangan-karangan Yahudi yang masih tersedia — misalnya Targum, naskah-naskah dari jemaah di Qumram, Midrasyim dan sebagainya, meskipun boleh jadi tradisi Yahudi itu baru di kemudian hari dibukukan. Jadi, dengan pertolongan Alkitab, tradisi Yahudi, pewartaan Yesus dan pengalaman mereka sendiri para pengikut Yesus semula mengartikan, menafsirkan fenomena Yesus dan mengungkapkan iman kepercayaan kepada Yesus yang kini hidup dan dipuja mereka.

Tetapi tidak lama kemudian juga sejumlah orang Yahudi yang berkebudayaan Yunani menjadi percaya dan di Palestina menggabungkan diri dengan bekas pengikut Yesus, orang Nazaret (Kis 6:1-5). Dengan demikian sebuah unsur baru, unsur Yunani mulai memasuki refleksi umat Kristen. Orang Yahudi itu tentu saja bergerak dalam tradisi Yahudi pula, tetapi tradisi Yahudi yang digabungkan sedikit banyak dengan alam pikiran Yunani. Sebuah contoh penggabungan itu tercantum dalam Kitab Suci sendiri (tetapi waktu itu belum umum diterima sebagai Kitab Suci), yaitu kitab Kebijaksanaan Salomo atau kitab 2Makabe. Dan tokoh terkenal dalam hal ini ialah Filo dari Aleksandaria, orang yang sezaman dengan generasi Kristen pertama.

Justru orang Yahudi yang berkebudayaan Yunani (diistilahkan: Helenis) sekitar tahun 40 mulai menyebarkan iman kepercayaan Kristen di luar Palestina, tidak hanya di Samaria, tetapi juga di daerah Siria, Mesir dan Afrika Utara (Kis8:4-5;9:10, 19,31; 11:19-20; 13:1; 18:24). Dan pewartaan juga diarahkan kepada orang bukan Yahudi, yang "Yunani" tanpa latar belakang tradisi Yahudi, seperti halnya dengan orang Yahudi yang berkebudayaan Yunani di Diaspora. Akibatnya ialah: pengaruh alam pikiran Yunani atas refleksi umat mengenai iman kepercayaannya bertambah besar dan kuat. Dua-tiga generasi Kristen pertama tentu saja tidak seluruhnya lepas dari asal usulnya, lingkup Yahudi pribumi. Tetapi asal usul itu semakin bergabung dengan alam pikiran Yunani dan akhirnya unsur Yunani menjadi unsur utama dalam pemikiran umat Kristen.

Alam pikiran Yunani pada awal tarikh Masehi memang serba sinkretis. Di dalamnya terserap macam-macam unsur dari kebudayaan-kebudayaan lain, tetapi secara dasariah alam pikiran itu tetap Yunani. Sinkretisme itu meliputi segala sesuatu dan boleh dikatakan terutama pemikiran religiuslah yang serba sinkretis. Segala apa dicampuradukkan melebur menjadi satu, tetapi sekaligus serba kabur tidak keruan. Dan di samping sinkretisme populer itu masih ada aliran filsafat bermacam-macam, yang berpangkal pada tokoh-tokoh seperti Plato, Arestoteles, Epikurus, Zenon (Stoa), Diogenes dan sebagainya. Dan filsafat itu sedikit banyak "merakyat" ke mana-mana dan juga bercampur aduk. Orang-orang Yahudi di Diaspora, yang berkebudayaan Yunani tentu saja tidak terluput dari sinkretisme umum itu.

Meskipun perbedaannya tidak boleh terlalu dibesar-besarkan, namun antara alam pikiran Yahudi dan alam pikiran Yunani ada perbedaan cukup besar. Alam pikiran Yahudi, cara mereka berpikir, visinya atas realitas secara menyeluruh, boleh dikatakan "dinamis". Yang penting bukanlah apa yang ada, melainkan apa yang terjadi, peristiwa yang menyangkut manusia, mana gunanya atau ruginya bagi manusia serta dunianya, mana pengaruhnya yang nyata. Yang penting bukanlah adanya sesuatu, melainkan adanya bagi orang; bukan halnya sendiri yang penting, tetapi hubungannya dengan orang. Tidak ditanyakan: apa itu, siapa orang itu, tetapi apa yang dikerjakan sesuatu, seseorang, mana kedudukan dan peranannya. Dan dengan cara itu pun Allah dilihat dan dipikirkan. Bahwa Allah ada, tidak terlalu penting sebab tidak ada seorang pun yang meragukan adanya Allah, dewa-dewi dan sebagainya. Tetapi yang penting ialah: Apakah Allah secara aktif hadir, bagaimana Allah bertindak dan berbuat, berkarya di dunia ini. Tanpa berpikir panjang orang Yahudi, sampai dengan Paulus (IKor 8:5), tidak mempersoalkan adanya dewa-dewi bermacam-macam. Namun, bagi mereka sendiri hanya ada satu Allah, yaitu Allah yang secara aktif hadir bagi mereka, bertindak, berbuat dan berkarya dalam sejarah mereka. Bukan adanya, melainkan relevansi Allah yang ditanyakan. Alam pikiran Yahudi, visinya atas realitas dengan arti demikian boleh dikatakan "dinamis".

Sebaliknya alam pikiran Yunani, visinya atas realitas, boleh diistilahkan sebagai "statis" dan "esensial". Realitas dunia tidak dilihat sebagai serangkaian kejadian dan peristiwa dengan awal dan akhir, melainkan sebagai suatu "kosmos", semacam bulatan yang mantap dan serba teratur, meskipun kelihatannya berubah-ubah. Ada beberapa tingkat dalam kosmos itu, di mana setiap realitas mempunyai tempatnya sendiri yang mantap. Antara tingkat paling atas — tingkat bagi yang ilahi — dan tingkat paling bawah — tingkat bagi manusia dan dunianya — terbentang bertahap tingkat lain. Tingkat-tingkat itu dihuni macam-macam makhluk dan kuasa "rohani" yang turut mengatur dan menguasai tingkat manusia. Maka pentinglah manusia tahu akan makhluk-makhluk dan kuasa-kuasa itu untuk melindungi dirinya dan sedikit banyak — melalui magi — mengatur kuasa-kuasa itu. Maka yang paling penting bukanlah apa yang terjadi, melainkan apa yang ada. Permukaan yang tampak mesti ditembusi untuk menemukan di belakangnya mana dasarnya yang stabil. Orang Yunani pertama-tama bertanya: Apa itu, siapa orang itu?

Sebab adanya sesuatu dan seseorang di dalam dirinya sendiri menjelaskan peranan dan kedudukannya dalam keseluruhan. Dengan cara demikian pun Allah didekati. Mereka bertanya dan memeriksa: Apa itu Allah? Siapa Allah itu? Apakah hanya ada satu Allah atau banyak? Tentu saja orang yang berpikir mesti mengatakan: Hanya satu Allah mungkin dan tidak bisa ada temannya. Maka semua dewa-dewi hanya rupa berbeda dari Allah yang satu, yang tentu saja sukar ditangkap dan didekati. Dan orang Yunani juga menanyakan: Mana hubungan Allah itu dengan dunia yang kita lihat yang meski berubah-ubah sekali pun, serba mantap dan teratur? Dan kalau ada hubungan, bagaimana hubungan itu dapat dipikirkan?

Maka refleksi dua-tiga generasi Kristen pertama atas "fenomena" Yesus dan pengalaman umat sendiri terjadi dalam alam pikiran seperti yang digariskan di atas. Mula-mula refleksi itu tinggal dalam rangka alam pikiran dan tradisi religius Yahudi, yang hanya sedikit terpengaruh oleh alam pikiran Yunani. Tetapi lama-kelamaan pengaruh alam pikiran Yunani bertambah besar. Sarana pemikiran yang mula-mula Yahudi semakin menjadi Yunani. Maka iman kepercayaan Kristen yang mula-mula ditampung dalam gagasan, istilah Yahudi lama-kelamaan dipindahkan kepada gagasan Yunani, meskipun istilahnya kerap kali sama. Gagasan dan istilah pinjaman diisi kembali dengan pokok iman kepercayaan Kristen. Mula-mula gagasan dan istilahnya tradisional Yahudi yang diisi kembali, kemudian gagasan dan istilah Yunani (meskipun secara fonetis sama dengan istilah Yahudi) diisi kembali dengan iman kepercayaan Kristen.

Dan begitu jadinya bahwa Yesus Kristus yang tetap sama, kemarin, hari ini, untuk selama-lamanya, seolah-olah bertransmigrasi dari Yerusalem, pangkal dan pusat kebudayaan Yahudi, ke Atena, pangkal dan pusat kebudayaan Yunani. Dan boleh diandaikan saja bahwa transmigrasi itu tidak terjadi tanpa kesulitan. Ada bentrokan antara alam pikiran Yahudi-Kristen semula dengan alam pikiran Yunani-Kristen kemudian, dan antara iman kepercayaan Kristen dan alam pikiran Yahudi dan Yunani.
Proses transmigrasi itu, proses perkembangan kristologi, refleksi umat Kristen semula atas fenomena Yesus terutama tercermin dalam karangan-karangan yang terkumpul dalam Perjanjian Baru. Tetapi sukar sekali, malah mustahil mengikuti jalan transmigrasi dan proses perkembangan itu. Sebab karangan-karangan itu tidak bercorak uraian sistematis dan teratur.

Karangan-karangan itu semua agak fragmentaris. Ditulis dengan alasan tertentu, pada kesempatan tertentu, oleh orang tertentu dan bagi sidang pembaca tertentu. Semua karangan itu dikarang setelah umat Kristen sudah berkembang sedikit, ditulis antara tahun + 50 dan tahun ± 120. Dan tidak jarang di dalamnya bercampur aduk apa yang sudah "tradisional” dan apa yang baru, apa yang berasal dari umat Kristen yang murni Yahudi dengan apa yang disumbangkan umat Kristen yang murni Yunani. Dan bagi kita sukar dipisahkan unsur-unsur yang berbeda-beda latar belakangnya. Sudah penting bahwa seluruh Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani dan hanya sana-sini masih ada bekas dari bahasa Aram yang menjadi bahasa Yesus dan bahasa jemaah awal (Mrk 14:36; Rm 8:15; Mrk 15:34; 5:41; IKor 16:22; Yoh 1:41). Itu berarti bahwa bagi kita tidak lagi tersedia ungkapan iman umat Kristen dalam bentuknya yang paling awal. Semuanya sudah diolah sedikit oleh mereka yang terpengaruh oleh alam pikiran Yunani. Memang masih mungkin melihat bagian-bagian yang ciri Yahudinya cukup kentara, misalnya Kitab Wahyu dan beberapa bagian dari ketiga Injil sinoptik, dan ada bagian yang corak Yunaninya menyolok, seperti misalnya surat-surat pastoral.

Tetapi kebanyakan karangan Perjanjian Baru terlibat dalam peralihan dari alam pikiran Yahudi ke alam pikiran Yunani. Hal itu misalnya paling terasa dalam karangan-karangan Paulus dan Injil Yohanes. Tetapi semua karangan itu memberi kesaksian tentang pergumulan umat Kristen semula dengan fenomena Yesus Kristus, dengan identitas kepercayaannya dan kesinambungan dengan awal. Terasa bagaimana umat itu mencari-cari gagasan dan ungkapan yang paling memadai dan terasa pula bentrokan antara yang lama dengan yang baru. Memang orang seolah-olah menyaksikan bagaimana kristologi dan soteriologi sedang dibentuk.

Mengingat asal usul dan ciri corak sumber yang tersedia (Perjanjian Baru) tidak mengherankan, bahkan wajar sekali bahwa di dalam Perjanjian Baru, hasil generasi Kristen yang pertama ditemukan pelbagai macam kristologi dan soteriologi. Tidak ada keseragaman. Ada beberapa tahap dalam perkembangan, tetapi juga ada perbedaan yang boleh dikatakan "lokal". Jemaah di Antiokhia misalnya memikirkan Kristus dan hal ihwal-Nya secara lain daripada jemaah di Yerusalem yang sendiri serba majemuk. Jemaah-jemaah di Asia Depan, di Yunani dan di Mesir dengan caranya sendiri bergumul dengan Yesus Kristus yang diwartakan kepada mereka. Mereka menangkap serta memikirkan halnya dengan caranya sendiri pula. Belum ada suatu "instansi" umum yang bisa "mengatur" iman kepercayaan Kristen itu, Meskipun agak segera sudah terbentuk rumus-rumus pendek yang meringkaskan pokok iman kepercayaan bersama (IKor 15:3-6; Rm 10:9; 1:3-4; IKor 8:6), namun rumus yang sama bisa dikembangkan dengan cara berbeda-beda, malah dipahami dengan cara lain. Dan tidak ada yang "mengawasi" semuanya. Hanya di kemudian hari umat Kristen menyaring sejumlah karangan (Perjanjian Baru) yang dijadikan tolok ukur bersama. Tetapi apa yang disaring sendiri sudah serba majemuk dan mencerminkan kemajemukan dan kekayaan kristologi umat Kristen semula.

Kupasan-kupasan berikut ini mau menyingkapkan sedikit kemajemukan dan kekayaan yang terkandung dalam Perjanjian Baru. Mengingat ciri corak karangan-karangan itu tentu saja mustahil "merekonstruksikan" perkembangan kristologi semula. Kalau dicoba memperlihatkan semacam garis perkembangan, maka baiklah disadari bahwa ini hanya garis-garis besar saja dan berupa hipotesis yang lebih kurang berdasar. Tetapi dengan cara demikian toh menjadi tampak betapa kaya dan berisi kristologi umat purba.


3. Yesus Kristus dalam tradisi Kristen-Yahudi

Sejauh masih dapat digali dari Perjanjian Baru, khususnya ketiga Injil sinoptik yang memanfaatkan tradisi lebih tua, umat Kristen Yahudi semula melihat Yesus, yang tadinya mati tersalib, sebagai Anak Manusia yang tidak lama lagi sebagai Juru Selamat dan Hakim akan tampak untuk menyelesaikan apa yang selagi hidup di dunia sudah diwartakan dan dimulai, yaitu Kerajaan Allah. Dengan hangat-hangat kedatangan Yesus itu dinantikan dan diharapkan. Gagasan "Anak Manusia" memang sudah tersedia dalam tradisi Yahudi, meskipun tidak banyak dipakai; gagasan itu sebenarnya berpangkal pada kitab Daniel (7:13-14), suatu kitab dari aliran apokaliptis. Mungkin sekali Yesus dalam pewartaan-Nya juga pernah memakai gagasan itu. Anak Manusia dipikirkan sebagai tokoh surgawi yang menjelang akhir zaman sebagai wakil dan kuasa Allah datang untuk menjalankan penghakiman Allah dan menyelamatkan orang benar. Umat Kristen Yahudi atas dasar pengalaman paska, yang membenarkan Yesus, memahami bahwa Yesus sendirilah Anak Manusia (Luk 10:21-22; Mat 28:18), yang oleh Allah dilantik sebagai Anak Manusia. Gelar "Anak Manusia" hampir saja terdapat dalam keempat Injil melulu (kecuali Kis 7:56; Why 1:13; 14:14) dan selalu Yesus sendirilah yang berbicara tentang "Anak Manusia" itu (Mat 8:20; 9:6; 10:23; 11:19; 12:8,32,40; 13:37; 16:13,27,28; 17:9, 12, 22; 19:28; 20:28; 24:27, 30, 44; 26:64; Mrk 8:31; Luk 6:22; 12:8; 17:22; 18:8; 19:10; 21:36; 22:48; Yoh 1:51; 3:13, 14; 5:27; 6:27, 53; 9:35; 12:23; 13:31). Yang paling asli mungkin ucapan Yesus dalam Mrk 8:38; Luk 12:8-9. Yesus sendiri rupanya tidak pernah menyamakan diri dengan "Anak Manusia". Umat Kristen keturunan Yahudi berbuat demikian.

Yesus akan mewartakan Kerajaan Allah yang dekat, bahkan sudah menembus ke dunia ini tapi masih mesti diselesaikan nanti, Yesus oleh Allah dibangkitkan dari antara orang mati. Tetapi kebangkitan orang mati ialah awal akhir zaman dan awal penyelesaian Kerajaan Allah. Maka Yesuslah terbukti sebagai utusan Allah yang terakhir, yang sudah mulai menyelesaikan semuanya. Dan awal penyelesaian itu — seperti diberitakan Yesus — akan disusul penghakiman. Dan semuanya itu cocok, dengan apa yang dipikirkan tentang "anak Manusia" dan peranan-Nya. Maka Yesus, yang tadinya mati terbunuh, nyatanya Anak Manusia yang secara pribadi sudah mewujudkan akhir zaman yang dimulai. Dan oleh karena waktunya pendek, maka perlulah pewartaan Yesus diteruskan, sehingga sebanyak mungkin orang percaya kepada Injil-Nya itu, bertobat (Kis 3:17-19; 5:31) dan menjadi selamat di akhir melalui penghakiman yang mendekat.

Rupanya mula-mula umat Kristen Yahudi meneruskan saja pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah (Luk 10:3-11). Kebangkitan membuktikan benarnya pewartaan Yesus. Maka tidak lama lagi semuanya akan selesai dan berakhir (Luk 10: 2, 9; 11:49-52). Dan Yesus yang dibangkitkan akan menyelesaikan semua, selaku wakil dan kuasa Allah, sebagai Anak Manusia. Tetapi agak segera disadari bahwa dengan diri Yesus penyelesaian sudah terwujud dan akhir zaman sudah dimulai; kebangkitan Yesus menjadi awal kebangkitan umum (Mat 27:51-53; Kis 4:2; 26:23).

Dalam rangka ini nasib malang Yesus di salib dapat dipahami juga. Dengan membangkitkan Yesus Allah membenarkan Yesus sendiri serta pewartaan-Nya. Maka nyatalah Yesus seorang "benar" (Luk 23:47; Kis 3:14; 22rl4; IPtr 3:18) dan malah utusan Allah, bahkan utusan Allah yang terakhir (Luk 13:34; 11:49-52). Dalam tradisi Yahudi ditemukan pikiran bahwa orang benar, khususnya menjelang akhir zaman akan menderita banyak kesusahan (Dan 11:33-35; 12:1) dan seorang nabi mesti mengalami nasib malang (Neh 9:26) dengan dibunuh oleh bangsa-Nya sendiri (Luk 13:33-34). Yesus memang seorang "benar" dan mirip seorang nabi. Maka kematian-Nya di salib tidak berlawanan dengan kedudukan dan peranan-Nya dalam rencana penyelamatan Allah (Kis 2:23; 3:18). Ia mengalami nasib orang benar menjelang akhir zaman dan sebagai seorang nabi Ia dibunuh oleh bangsa-Nya sendiri (1Tes2:15). Dalam tradisi Yahudi di luar Palestina juga tersedia gagasan bahwa kematian orang benar berguna untuk orang lain, orang benar mengganti umat yang berdosa (4Mak 6:28-29; 17:22). Maka orang Yahudi yang berkebudayaan Yunani di Palestina dapat memahami kematian Yesus sebagai sesuatu yang berguna untuk mereka yang berdosa (Mrk 10:45). Dan karena itu malah bangsa Yahudi yang menolak Yesus masih juga dapat bertobat dan ikut diselamatkan pada waktu Yesus sebagai Anak Manusia datang (Luk 21:27-28).

Yesus yang melalui kebangkitan-Nya dinyatakan sebagai utusan Allah dan Anak Manusia nanti, menjadi pelaksana rencana penyelamatan Allah. Dalam tradisi Yahudi Peranjian Lama penciptaan dan penyelamatan Allah dikaitkan dengan hikmat kebijaksanaan Allah. Hikmat kebijaksanaan itu tidak lain kecuali "rencana" penciptaan dan penyelamatan Allah. Kalau boleh dilihat sebagai pelaksana penyelamatan Allah, maka Yesus sebenarnya pelaksana hikmat kebijaksanaan Allah. Hikmat kebijaksanaan itu dalam tradisi Yahudi (Ams 8; Sir 24; Bar 3) sudah diperorangkan, dipikirkan sebagai semacam "tokoh" ilahi. Sebagai pelaksana rencana penyelamatan Allah Yesus dapat dipahami sebagai utusan hikmat kebijaksanaan-Nya (Luk 11:49; Mat 11:28-30). Bahkan dalam Yesus hikmat kebijaksanaan itu sendiri "tampil" di muka bumi itu. Secara dinamis Yesus boleh disamakan dengan hikmat kebijaksanaan Allah itu. Dengan Yesus hikmat kebijaksanaan Allah tampil dalam sejarah dan Dia itu sebagai Anak Manusia nanti menyelesaikan apa yang sudah dimulai sesuai dengan rencana penyelamatan Allah (Mat 28:20).

Dalam tradisi Yahudi di zaman Perjanjian Baru terdapat suatu gagasan lain yang tersebar luas dan jauh lebih penting daripada gagasan Anak Manusia. Gagasan itu ialah "Mesias". "Orang Yang (sebagai raja ataupun imam) Diurapi" oleh Allah sebagai wakil dan kuasa-Nya. Mesias yang juga diberi gelar "Anak Daud", keturunan Daud (Mat 12:23; 12:30; Mrk 12:35), biasanya dipikirkan sebagai "Raja" dengan ciri politik-nasional yang cukup menyolok. Tentu saja dalam tradisi Yahudi gagasan "Mesias" itu agak kabur juga dan Mesias tidak selalu dipikirkan secara sama. Tetapi gagasan itu cukup populer. Pada awal tarikh Masehi pada bangsa Yahudi l.k. secara teratur tampil tokoh-tokoh yang menyatakan diri sebagai "Mesias" atau pun dinilai demikian oleh orang. Yesus dieksekusi sebagai "Raja" orang Yahudi (Mrk 15:26), berarti: Mesias gadungan (Mrk 15:32). Boleh jadi oleh sementara orang Yesus benar-benar dinilai sebagai "Mesias" (politik-nasional) (Mrk 11:9-10). Bila Yesus oleh Allah dibenarkan melalui kebangkitan-Nya dari antara orang mati, maka terbukti pula bahwa Yesus bukan Mesias gadungan, melainkan Mesias sejati. Begitu Ia dinyatakan dan serentak "dilantik" oleh Allah sebagai Mesias atau — Yunaninya — Kristus dalam kebangkitan-Nya (Kis 2:36; 4:26). Maka mereka yang percaya kepada Yesus dan kebangkitan-Nya boleh mengakui Yesus sebagai Mesias dari Allah, kuasa dan wakil-Nya (Mrk 8:29; Luk 9:20; Kis 5:42; 8:5; 9:22).

Hanya nasib malang Yesus disalib, khususnya bahwa ditolak oleh bangsa-Nya sendiri, oleh umat Allah, menjadi soal besar. Bagaimana kematian itu dapat digabungkan dengan Yesus yang diakui sebagai "Mesias"? Dalam tradisi Yahudi memang tidak ada pikiran bahwa Mesias akan menderita dan ditolak oleh bangsa-Nya sendiri. Kalau dibunuh oleh musuh, tewas dalam pertempuran, masih dapat dihormati sebagai pahlawan nasional dan toh diakui sebagai orang "Yang Diurapi" oleh Allah. Yesus tidak dibunuh oleh musuh (orang Roma), tetapi ditolak oleh para pemimpin bangsa Yahudi sendiri. Bagaimana Yesus itu masih bisa diakui dan dipuja sebagai Mesias? Kematian Yesus jelas bagi umat Kristen keturunan Yahudi menjadi suatu problem besar yang mereka gumuli (Mat 16:22; Mrk 9:32). Toh mereka berusaha dan sedikit banyak berhasil memecahkan masalah itu dan memahami kematian Yesus di salib. Allah kini jelas menyatakan Yesus sebagai Mesias. Maka penderitaan dan kematian Yesus tidak dapat tidak sesuai dengan kehendak dan rencana Allah (Kis 4:28; 3:18; 17:3; 26:23). Justru penderitaan dan kematian itulah yang bagi Yesus menjadi jalan menuju kemuliaan-Nya sekarang sebagai Mesias (Luk 24:26). Maka Yesus kini menjadi Mesias bukanlah kendati penderitaan dan kematian-Nya, melainkan justru berkat nasib malang-Nya di dunia. Maka kematian Yesus tidak hanya mempunyai arti negatif (pembunuhan atas orang benar, nabi dan bakal Mesias), tetapi makna positif kristologis.

Tradisi Yahudi masih menyediakan gagasan lain yang dapat menjelaskan fenomena Yesus. Seorang raja dan juga seorang nabi dilengkapi dengan daya kekuatan Allah sendiri, ialah Roh Kudus, untuk menunaikan tugas-Nya (Yes 11:2; 61:7). Dan baik seorang raja (Kis 4:25) maupun seorang nabi (Yer 7:25) diberi gelar Hamba Allah. Tentu saja baru melalui kebangkitan Yesus dilantik sebagai Mesias. Tapi untuk itu sejak awal Ia ditentukan oleh Allah (Kis 3:20). Mengingat kehidupan Yesus, pewartaan dan tindakan-Nya, khususnya kesetiaan-Nya sampai akhir, maka Yesus dahulu sekarang dapat dipahami. Sejak awal penampilan-Nya Yesus dilengkapi dengan Roh ilahi (Mrk 1:10) dan berkat Roh itulah Ia menunaikan tugas-Nya (Luk 4:18; Kis 10:38). Meskipun bakal Mesias, selagi hidup-Nya Yesus menunaikan tugas seorang nabi, didorong dan dibimbing oleh Roh ilahi (Mat 12:18). Maka Yesus bakal raja Mesias dahulu menunaikan tugas sebagai Hamba Allah, nabi yang setia hingga akhir.

Mudah saja dalam tradisi Yahudi Yesus diberi gelar "Anak" atau "Anak Allah". Tradisi itu sudah biasa menggunakan gelar itu untuk menyebut orang istimewa yang mempunyai hubungan khusus dengan Allah. Seluruh umat pilihan Allah boleh disebut Anak-Nya atau pun anak sulung-Nya (Kel 4:22; Yer 31:9), berarti: Anak yang terkasih, Anak dengan segala hak istimewa seorang anak sulung, entahlah masih ada anak lain atau tidak. Seorang raja yang dianggap wakil dan kuasa Allah boleh diberi gelar "Anak Allah" (Mzm 89:28), yang pada hari penobatannya "diperanakkan" oleh Allah (Mzm 2:7). Dan malah semua orang benar boleh digelari "anak Allah" (Keb 2:13,18). Di mana ada "anak" di situ pun ada "ayah". Maka wajar sekali Allah disebut Bapa umat Israel (Ul 32:6), Bapa seorang raja (2Sam 7:14), Bapa orang benar (Sir 23:1). Meskipun belum terbukti bahwa tradisi Yahudi pernah menyebut Mesias sebagai "Anak Allah", pasti tidak ada seorang pun Yahudi yang mempunyai keberatan fundamental terhadap penggelaran semacam itu. Gelar "Anak" bagi Mesias sesuai sama sekali dengan tradisi Yahudi.

Jemaah Kristen keturunan Yahudi yang menghormati dan mengakui Yesus yang dibangkitkan sebagai Mesias dan karena itu pun sebagai anak (keturunan) Daud hampir saja terpaksa menyebut-Nya juga sebagai Anak Allah. Apalagi jika Yesus juga dipahami sebagai orang benar dan mirip seorang nabi, bahkan mirip nabi yang unggul. Dan tentu saja Yesus dapat dipahami sebagai Anak Allah tidak hanya kini, setelah dilantik sebagai Mesias (Kis 13:33; Rm 1:3), tetapi juga dahulu waktu sebagai orang benar dan utusan Allah menunaikan tugas-Nya. Cocok sekali dengan diri-Nya sebagai Anak Allah bahwa Yesus taat kepada Bapa-Nya sampai akhir. Dan Yesus bukan Anak Allah seperti lain-lain orang yang sudah lazim. Bekas pengikut-pengikut Yesus masih ingat bahwa Yesus selagi hidup selalu tampak sebagai seseorang yang mempunyai dan menghayati relasi khusus dengan Allah. Bukankah Yesus biasa menyapa Allah sebagai "abba" (Mrk 14:36)? Sapaan "abba" itu dipakai anak yang secara mesra dan akrab menyapa ayahnya. Sejauh diketahui hanya Yesus sajalah yang berani memakai sapaan takzim itu. Dan itulah sebabnya mengapa sapaan dalam bahasa Aram itu terpelihara dalam tradisi Kristen sampai tercantum dalam Perjanjian Baru (Rm 8:15; Gal 4:6). Kecuali itu Yesus dahulu selalu berbicara dengan wewenang yang melebihi wewenang siapa pun, bertindak seolah-olah memperagakan Allah sendiri. Dan seolah-olah dengan kekuasaan-Nya sendiri Yesus menyembuhkan orang sakit dan mengusir roh jahat. Kini disadari bahwa dahulu sungguh-sungguh kuasa penyelamatan Allah sendiri, Kerajaan-Nya, menjadi nyata dalam diri Yesus dan tindakan-Nya. Maka kalau Yesus diberi gelar Anak Allah, maka gelar tradisional itu oleh jemaah Kristen diberi isi baru, isi jauh lebih mendalam dan padat daripada yang sudah menjadi biasa. Secara khusus dan sempurna Yesus mewujudkan gagasan Anak Allah. Dan itulah sebabnya mengapa akhirnya muncul gelar (Anak) Tunggal Allah (Yoh 1:14; 3:16) dan "Anak Sulung" (Rm 8:29; Ibr 1:6). Yesus adalah Anak Allah dengan lain cara daripada semua anak Allah yang lain. Dan Yesus Kristus yang melalui kebangkitan-Nya oleh Allah dinyatakan sebagai Mesias dan Anak Allah (Rm 1:4; Kis 13:33), sebenarnya sejak awal hidup-Nya sudah demikian. Maka jemaah-jemaah tertentu mulai berceritera tentang Kelahiran Yesus.

Dengan ceritera-ceritera itu jemaah-jemaah mengungkapkan keyakinannya bahwa sejak awal hidup-Nya Yesus sudah Anak Daud, Mesias, Tuhan, Anak dari Yang Mahatinggi, Anak Allah (Luk 1:32.35; 2:11). Sejak awal Ia dilengkapi dengan Roh Kudus, bahkan oleh roh itu Ia dijadikan Anak Allah (Luk 1:35).

Tidak terlalu maju, jika jemaah Kristen yang mengakui Yesus yang dibangkitkan sebagai Mesias dan Anak Allah secara khusus, juga menyebut-Nya dan menyapa Dia "Tuhan". Agak segera setelah Yesus diakui sebagai Anak Manusia (dan Mesias), Ia pun dipanggil dengan sebutan dalam bahasa Aram, yaitu "Maran". Seruan yang agaknya berlatar belakang ibadat jemaah yang berbahasa Aram itu malah sampai tercantum dalam Perjanjian Baru yang berbahasa Yunani (IKor 16:22). Dan sebutan itu secara wajar diterjemahkan dengan "Kyrios" (Tuhan) (Why 22:20). Umat amat tertolong oleh Mzm 110:1, di mana Tuhan (Allah) berkata kepada Tuhan (Raja). Mazmur itu oleh tradisi Yahudi dihubungkan dengan Mesias. Melalui kebangkitan-Nya Yesus menjadi Tuhan (Kis 2:36), tetapi agak segera jemaah juga menyebutnya "Tuhan" selagi hidup dahulu (Mat 17:4; Luk 7:13; 11:1; 17:5). Sebab Yesus memang tetap sama. Hanyalah Yesus yang sekarang menjadi Tuhan dahulu "bakal Tuhan".

Sama seperti gelar Anak Allah, demikian pun gelar Tuhan pada diri-Nya kabur sekali, baik dalam bahasa Ibrani (adonai), bahasa Aram (mare, maran) dan bahasa Yunani (kyrios). Terjemahan yang paling tepat ialah terjemahan ke dalam bahasa Jawa, yakni "Gusti". Sebab gelar “kyrios”, sama seperti gelar gusti, dipakai untuk menyebut dan menyapa: Allah, dewa/dewi, raja, orang terkemuka dan istimewa dan akhirnya malah menjadi sapaan sopan santun (Kis 16:30) antara orang yang terdidik baik. Maka pada dirinya gelar itu hanya menyatakan bahwa orang yang disapa dan disebut demikian dianggap dan diakui sebagai "lebih" daripada yang menyebut dan menyapanya demikian. Gelar itu paling cocok dengan raja dan Allah (dewa/dewi). Sebab raja dan Allah sungguh lebih, terutama lebih berkuasa. Kuasa itu mau diakui, juga secara praktis, oleh mereka yang menyapa Allah, raja sebagai “Tuhannya”.

Maka, jika Yesus dianggap dan dipuja orang Kristen sebagai Mesias ialah Raja, wakil dan kuasa Allah, kalau disebut sebagai Anak Allah secara istimewa, wajar sekali Yesus disapa dan diakui sebagai Tuhan jemaah, apalagi bila diakui bahwa dalam Yesus kuasa Allah penyelamat menjadi nyata (Luk 5:17).

Tetapi kalau yang terakhir diyakini dan diakui, maka gelar tradisional dan serba kabur itu mendapat isi yang jelas dan padat sekali. Yesus diakui dan disapa sebagai Tuhan, oleh karena pada diri-Nya dan karya-Nya dilihat suatu segi ilahi. Baiklah diingat bahwa nama diri Ayahnya Israel, yaitu Yahwe, dialihbahasakan oleh orang Yahudi yang berbahasa Yunani justru dengan gelar “Tuhan” (kyrios) itu. Adapun "Yahwe" tidak begitu saja dapat disamakan dengan Allah (Ibraninya elohim, Yunani: theos). Yahwe ialah Allah yang secara khusus menghubungi umat-Nya dan oleh umat itu secara khusus diakui dan dipuja sebagai berkuasa atas dirinya, sebagai "Raja" umat. Yahwe ialah Allah perjanjian, yang hadir, melindungi, mendukung, tetapi juga dapat
menghakimi dan menghukum umat-Nya yang tidak setia. Maka dalam rangka itu, dalam tradisi Yahudi yang berbahasa Yunani, gelar "kyrios" mendapat ciri ilahi. Jika umat Kristen menjadi yakin bahwa kuasa penyelamatan (dan penghakiman) Allah menjadi nyata dan terwujud dalam Yesus, baik sekarang maupun dahulu, maka gelar Kyrios yang diberikan kepada Yesus mendapat isi yang mirip dengan isi gelar Kyrios yang diberikan kepada Allahnya Israel, Yahwe. Maka oleh jemaah Kristen keturunan Yahudi akhirnya Yesus diakui dan disapa serta dipuja sebagai Dia yang menjadi penyataan kuasa Allah penyelamat dan hakim jemaah Kristen. Malah Yesus diakui sebagai "hakim orang hidup dan mati" (Kis 10:42). Memang Allah tetap "Tuhan langit dan bumi" (Mat 11:25), tetapi kepada Yesus yang dibangkitkan juga diberikan "kuasa atas langit dan bumi" (Mat 28:18). Maka Yesus dalam hal kekuasaan amat dekat dengan Allah dan layak disapa sebagai Tuhan. Dan itulah sebabnya mengapa ayat yang dalam Perjanjian Lama mengenai Tuhan Yahwe, begitu saja dipindahkan kepada Tuhan Yesus (Kis 2:21).

Jemaah Kristen keturunan Yahudi terus bergumul dengan nasib malang yang nyatanya dialami Yesus yang kini diakui dan dipuja sebagai Anak Allah, Mesias yang jaya dan sebagai Tuhan jemaah, Kalau sudah ditemukan dan dipahami bahwa penderitaan dan kematian Yesus merupakan pembunuhan atas orang benar dan seorang nabi, bila nasib Yesus sesuai dengan rencana, maksud dan kehendak Allah dan menjadi jalan menuju kemuliaan Yesus sekarang, maka tetap tinggal masalah: mengapa harus terjadi demikian dan untuk apa terjadi demikian. Ini soal yang paling pelik dan hanya lama-kelamaan jemaah sampai memahaminya.

Dalam menggumuli masalah itu dan memahami kematian Yesus di salib, umat amat tertolong oleh sebuah nas Perjanjian Lama, yaitu Yes 52:13 - 53:12. Dalam nas itu tampil seorang tokoh yang cukup misterius. Ia diberi gelar "Hamba Tuhan" dan mirip seorang nabi. Tokoh itu sangat dihina lain orang dan akhirnya dibunuh. Namun oleh Allah toh dimuliakan dan ditinggikan.

Penderitaan dan kematian Hamba Tuhan itu dihubungkan dengan dosa-dosa lain orang. Hamba itu memikul dosa orang itu dan mengalami kematian dengan rela demi dosa-dosa lain orang. Ia mati untuk orang banyak dan kematian diartikan sebagai suatu korban penebus salah. Nas Yes itu memang sukar dipahami dan tradisi Yahudi sudah lama bergumul dengan nas itu, tetapi tidak berhasil dengan tuntas mengartikannya. Jemaah Kristen keturunan Yahudi tentu saja mengenal nas itu. Dan pada latar belakang nubuat Yes itu kematian ngeri Yesus dapat dipahami. Dosa-dosa manusialah yang menyebabkan kematian itu (Rm 4:25; 2Kor 5:21; Gal 3:13). Tetapi sekaligus kematian itu berguna untuk manusia, orang banyak, justru sehubungan dengan dosa-dosa mereka (Mrk 10:45; 14:24; IKor 15:3; 11:24). Yesus memikul dosa-dosa orang banyak, menderita bagi mereka dan sebagai pengganti mereka dan dengan kematian-Nya justru membenarkan orang yang tidak benar. Kematian Yesus menghapus dosa orang banyak, sehingga tidak lagi menjadi halangan bagi tindakan penyelamatan Allah. Bahkan tindakan penyelamatan Allah itu justru berwujud kematian Yesus di salib. Allah sendiri menyerahkan Yesus kepada penderitaan dan kematian (Rm 4:25; IKor 11:23), dan sebagai Hamba dan Anak yang taat Yesus turut menyerahkan diri-Nya (Rm 8:32; Gal 2:20) demi untuk manusia
(Gal 1:4; 2:20; Rm 5:6-8).

Dengan jalan demikian jemaah Kristen berhasil memahami kematian Yesus di salib sebagai suatu peristiwa penyelamatan. Dan dengan menerapkan Yes 52:13 - 53:12 pada Yesus yang mati di salib jemaah menghubungkan dua gagasan yang belum pernah digabungkan, yaitu gagasan Mesias dan gagasan penderitaan bagi dosa-dosa orang lain. Tradisi Yahudi tidak dapat menerima seorang Mesias yang direndahkan, dihina dan menderita secara ngeri seperti diketahui Yesus menderita dan mati. Baiklah diingat apa artinya dalam masyarakat di zaman itu: Mati tersalib. Mesias yang mati dengan cara demikian memang menjadi "batu sandungan" (IKor 1:23). Jemaah Kristen mengakui Yesus yang mengalami nasib itu sebagai Mesias yang oleh Allah dimuliakan (Kis 3:13) dan ditinggikan (Kis 2:33; 5:31). Dan justru gagasan itulah yang tercantum dalam Lagu Hamba Tuhan yang mati secara terhina. Dan begitu masalah yang tidak dapat tidak menjadi tekanan batin bagi jemaah Kristen semula, dapat diatasi dan salib Yesus dipahami. Tetapi tentu tidak terlepas dari kebangkitan Yesus. Kebangkitan itulah yang akhirnya juga menerangi salib sebagai peristiwa penyelamatan.

Dan pemahaman itu malah dapat berpangkal sedikit pada pemahaman Yesus sendiri tentang kematian-Nya. Memang tidak dapat dibuktikan dengan tuntas bahwa Yesus sudah menghubungkan nasib malang-Nya dengan Hamba Tuhan yang digambarkan Yes 52:13 - 53:12. Tetapi, seperti sudah dijelaskan di muka, Yesus menjelang akhir hidup-Nya melihat kematian yang mungkin mesti dialami-Nya sebagai akibat dan konsekuensi dari kesetiaan-Nya kepada Allah dan tugas panggilan-Nya sebagai pewarta Kerajaan Allah. Maka kematian tidak berlawanan dengan kehendak Allah. Dan justru itulah yang dijelaskan nubuat Yes tersebut. Hamba yang setia mengalami nasib malang sesuai dengan kehendak Allah yang menyelamatkan. Dan kesetiaan Hamba itulah sebabnya mengapa Ia oleh Allah dimuliakan, seperti Yesus dimuliakan dalam kebangkitan. Maka pengartian jemaah Kristen atas kematian Yesus tidak berlawanan dengan pemahaman Yesus sendiri, tetapi melanjutkan dan menjernihkan pemahaman itu lebih jauh.

Apakah Yesus (dan Hamba Tuhan) yang mati untuk dosa-dosa orang lain semacam "kambing hitam" yang dibebani dengan dosa orang, supaya mereka sendiri dapat menganggap dirinya tidak bersalah? Dalam masyarakat memang ada suatu gejala yang tersebar luas. Gejala itu ialah sebagai berikut: Kalau ada suatu bencana atau malapetaka yang menimpa masyarakat, maka orang condong mencari sebabnya. Dan mereka mempersalahkan orang atau golongan tertentu sebagai biang keladi.

Orang atau golongan itu menjadi sasaran kebencian dan kemarahan. Boleh jadi mereka, yang dengan cara demikian dipersalahkan, dianiaya dan dibunuh. Itulah "kambing hitam". Boleh jadi sebagai pengganti "kambing hitam real", dicari pengganti, yang secara ritual dikorbankan sebagai "kambing hitam". "Kambing hitam" sebenarnya tidak bersalah sama sekali, tetapi oleh mereka yang salah dijadikan korban, dianggap bersalah. Kesalahan mereka sendiri dipindahkan kepada yang tidak bersalah, yang dikorbankan saja untuk mencuci tangan. Sudah barang tentu dalam tradisi Yahudi ada seekor kambing yang tampaknya sebagai "kambing hitam" macam itu. Dalam kitab Im 16 disajikan sebuah upacara "pendamaian" atau pentahiran, yang setahun sekali dirayakan untuk memulihkan dosa umat Israel. Dalam upacara itu ada seekor kambing yang secara ritual dibebani dengan dosa-dosa umat, lalu diusir ke gurun (Im 16:10.21-22). Tetapi "kambing hitam itu" tidaklah sama dengan apa yang dalam sosiologi dikatakan "kambing hitam". Sekali-sekali tidak dikatakan bahwa kambing itulah yang menyebabkan "kemurkaan Allah". Israel tidak menganggap diri tidak bersalah. Sebaliknya mereka justru mengakui kesalahannya dan mengharapkan pengampunan dari Allah dan pendamaian dari Tuhan. Kambing hitam itu tidak dianggap sebuah "korban penghapus dosa". Sebaliknya. Dalam upacara itu masih ada kambing lain (Im 16:9.15). Dan justru kambing lain itulah yang dipersembahkan kepada Tuhan sebagai korban penghapus dosa.

Bagaimana kematian Hamba Tuhan dan Yesus dilihat? Kematian ngeri Hamba Tuhan dianggap "korban penebus salah" lain orang dan Hamba itu menjadi pengganti orang-orang durhaka. Demikian pun Yesus dianggap pengganti orang berdosa dari kematian-Nya di salib dinilai sebagai korban penghapus dosa (Rm 3:25-26) yang" disediakan Allah. Surat kepada orang-orang. Ibr — sebuah karangan Yahudi-Yunani — menjajarkan kematian Yesus dengan upacara pendamaian yang tercantum dalam Im 16. Hamba Tuhan dan Yesus memang disingkirkan masyarakat, oleh karena dianggap pengacau masyarakat dan suatu ancaman. Jadi, Hamba Tuhan dan Yesus benar-benar "kambing hitam"? Bila duduk perkaranya dalam Kitab Suci dilihat dengan saksama, maka jelaslah Hamba Tuhan dan Yesus bukan "kambing hitam". Mereka yang menciptakan Yes 52:13 - 53:12 dan umat Kristen yang dengan pertolongan nas itu mengartikan kematian Yesus sebagai "korban", justru menyatakan lain-lain orang berdosa. Hamba Tuhan dan Yesus dengan rela menempuh nasib malangnya sebagai pengganti orang berdosa. Begitulah menurut mereka yang menilai kematian Hamba dan Yesus sebagai korban (lYoh 2:2; 4:10; Ef 5:2). Mereka yang melakukan pembunuhan itu sekali-sekali tidak dilihat sebagai "tak bersalah". Sebaliknya. Jadi, jika mereka yang nyatanya membunuh Hamba Tuhan dan Yesus, masih boleh dikatakan bahwa memperlakukan Hamba Tuhan dan Yesus sebagai "kambing hitam", maka umat yang percaya tidak berbuat demikian. Bagi mereka Yesus bukan "kambing hitam" yang dipakai untuk mencuci tangan. Sebaliknya: umat yang percaya mengakui dirinya sebagai berdosa dan bersalah.

Jadi, Yesus yang mati bukanlah "kambing hitam", tetapi kematian-Nya memang diartikan sebagai "korban penebus salah". Cara bicara dan pemahaman yang berdasarkan Yes 53:10 tentu saja bahasa kiasan. Kematian Yesus bukanlah "korban" berarti "upacara". Tetapi apa yang mau dicapai oleh korban penghapus dosa, yakni pendamaian orang berdosa dengan Allah, memang menurut pengartian Kristen tercapai melalui kematian sukarela Yesus di salib. Bukan demikian duduk perkaranya seolah-olah Allah yang murka diperdamaikan oleh "korban" kematian Yesus. Sebaliknya: Kuasa penyelamatan Allah yang mendapat wujud Yesus Kristus mendamaikan manusia berdosa dengan diri-Nya (2Kor 5:18-19; Rm 5:10). Dalam hal ini Yesus ada di pihak Allah. Sebagai utusan Allah, wakil dan kuasa-Nya, Yesus memang datang untuk "menyelamatkan orang berdosa", meskipun itu berarti: mati tersalib.

Dan dengan demikian, kematian Yesus pun dapat diartikan dan dipahami sebagai "korban peneguh perjanjian". Gagasan perjanjian memang sesuatu yang penting sekali dalam tradisi Yahudi. Dengan istilah sosio-politis itu mau diungkapkan bahwa antara Allah dan umat Israel terjalin hubungan luar biasa dan istimewa. Dan prakarsa datang dari Allah, yang menawarkan ikatan khusus itu yang oleh umat diterima dan diamini. Ikatan khusus dan peneguhannya diperagakan dalam sebuah korban, seperti diceritakan Kel 24:5-8. Adapun Yesus Ia setia kepada Allah dan tugas panggilan-Nya sampai mati. Yesus secara bulat menerima tawaran yang melalui dirinya disampaikan Allah penyelamat kepada umat. Kematian-Nya di salib menjadi tanda bukti kesetiaan Yesus dan pengaminan-Nya terhadap tawaran Allah. Dan dalam pemahaman jemaah Kristen Yesus menjadi wakil manusia, umat yang berdosa, seperti ditegaskan Yes 53:4,6,10,12 tentang Hamba Tuhan. Maka kematian Yesus, yang meneguhkan secara definitif ikatan Allah dengan umat, perjanjian antara Allah dan manusia, boleh dibandingkan dengan dan dilihat sebagai "korban peneguhan perjanjian", sekaligus korban penghapus dosa dan penyilih (Mrk 14:24; IKor 11:25; Mat 26:28). Dan tidak dapat tidak jemaah yang tahu Alkitab teringat akan Yer 31:31-33 yang berkata tentang "Perjanjian Baru" yang melanjutkan sekaligus melampaui dan mengganti perjanjian yang lama, yang pelaksanaannya terhalang oleh ketidaksetiaan, dosa-dosa umat. Dengan demikian kematian Yesus di salib diartikan sebagai korban, artinya: sarana peneguh Perjanjian Baru antara Allah dan umat dengan sekaligus menyilih dosa dan pelanggaran yang menjadi halangan pelaksanaan perjanjian itu.

4. Yesus Kristus masuk dunia Yunani

Agak segera dan dengan cepat sekali iman kepercayaan Kristen yang berpangkal di Palestina dan alam pikiran Yahudi tersebar juga di dunia Yunani. Sudah dikatakan bahwa alam pikiran Yunani berbeda sedikit dengan alam pikiran Yahudi, meskipun alam pikiran Yahudi itu terpengaruh oleh kebudayaan Yunani. Dunia Yunani serta kenyataannya pada awal tarikh Masehi serba sinkretis. Dan dalam dunia Yunani itu tidak hanya kepercayaan Kristen yang disebarkan dan diwartakan. Kepercayaan Kristen mesti bersaingan dengan macam-macam agama dan aliran keagamaan dan filsafat yang mencari penganut dan pendukung.
Sekitar awal tarikh Masehi dunia Yunani-Romawi dilanda suatu gelombang semangat religius/keagamaan yang baru.

Disebarluaskan pelbagai "agama rahasia" yang membentuk macam-macam kelompok yang hanya dapat dimasuki melalui upacara-upacara khusus. Apa yang pada pokoknya ditawarkan oleh "agama-agama rahasia" itu ialah: semacam "keselamatan " dan "penebusan" dari suatu keadaan serba gelap dan tanpa banyak harapan. Melalui upacara-upacara pemasukan yang khas orang mendapat pengetahuan baru tentang yang Ilahi (dewa/dewi tertentu), menjalin hubungan mesra dan akrab dengan yang Ilahi, menjadi peserta dalam kebahagiaan, boleh jadi kebahagiaan kekal dan kebakaan.

Maka ketika kepercayaan Kristen masuk ke dalam dunia Yunani itu, tidak dapat tidak kepercayaan Kristen terpengaruh oleh alam pikiran itu dan mau tidak mau sedikit banyak menyesuaikan diri. Pemikiran jemaah keturunan Yahudi sekitar Yesus Kristus tentu saja dibawa serta dan diteruskan, tetapi juga ditinjau kembali dan berkembang, kini dalam alam pikiran Yunani itu.

Ada beberapa gagasan yang penting dalam alam pikiran Yahudi, tetapi kurang dapat dipahami oleh orang-orang Yunani yang tidak hidup dalam tradisi religius Yahudi itu. Karena itu, tidak mengherankan bahwa beberapa gagasan dari kristologi awal tidak lagi dipakai atau diperkembangkan.

Ternyata bahwa gagasan "Mesias" sebenarnya sedikit banyak hilang dari pemikiran umat Kristen. Gagasan itu memang kurang relevan bagi mereka yang tidak hidup dalam pengharapan Yahudi yang berpusatkan Raja Penyelamat, Mesias itu. Bagi orang Yunani tidak terlalu penting apakah Yesus Mesias atau tidak. Gelar Ibrani/Aram "Mesias" itu sudah diterjemahkan dengan kata Yunani "Khristos". Kata itu memang terus dipakai, tetapi bukan sebagai gelar kerajaan, jabatan, melainkan sebagai nama diri saja (Rm 5:6; 6:4; 8:9;lKor 1:12; Ef 2:12). Yesus mendapat nama majemuk ialah: Yesus Kristus atau pun Kristus Yesus. Tetapi kata "Kristus" sudah kehilangan bobotnya. Dalam tata bahasa Yunani itu sudah terasa. Sebab kata sandang di depan Kristus hilang. Mula-mula dikatakan: Yesus ialah Kristus (Kis 5:42; 18:5; lYoh 5:1), tetapi selanjutnya orang berkata: Yesus Kristus/Kristus Yesus. Nasib yang sama dialami gelar kristologi lain dan yang barangkali paling tua, yaitu Anak Manusia.

Ungkapan ini bagi orang Yunani memang tidak ada artinya. Bahkan bisa menyesatkan! Sebab ungkapan itu dapat dipahami seolah-olah sejalan dengan gelar: Anak Allah. Seperti Yesus adalah "Anak Allah", demikian pun Ia "anak manusia", serentak ilahi dan manusiawi. Tetapi itu bukan maksud dan arti ungkapan dan gelar: Anak Manusia, yang hanya berbobot dalam tradisi Yahudi tertentu, yakni apokaliptis. Maka umat Kristen yang berkebudayaan Yunani meninggalkan gelar itu, yang hanya sebagai bahan baku terus terpelihara dalam tradisi tanpa dipikirkan lebih lanjut, atau diartikan kembali seperti terjadi dalam Injil Yohanes.

Gagasan yang menjadi pokok inti pewartaan Yesus, yaitu Kerajaan Allah semakin kurang penting dalam pewartaan Kristen dan artinya berubah. Sudah dijelaskan bahwa Kerajaan Allah (atau pun: Kerajaan Surga, yang sama artinya: "Surga" merupakan Nama Allah saja dalam tradisi Yahudi) ialah: Kuasa Allah Penyelamat dan Hakim. Dalam pewartaan Yesus Kerajaan Allah itu sekaligus sudah dekat dan mulai terwujud justru dalam pewartaan dan perbuatan Yesus. Mula-mula pewartaan Yesus tentang Kerajaan. Allah diteruskan.

Hanya ada perbedaan ini: Yesus melalui kebangkitan dilantik menjadi Anak Manusia yang tidak lama lagi datang menyelesaikan Kerajaan Allah itu. Bahkan Kerajaan itu sudah sepenuh-penuhnya terwujud dalam Yesus yang dibangkitkan dan mempribadikan Kerajaan Allah itu. Hanya dalam alam pikiran Yunani istilah "Kerajaan Allah" tidak terlalu jelas artinya. Dan lama-kelamaan menjadi kentara bahwa Anak manusia tidak kunjung datang juga. Peranan dan kedudukan Yesus seka-rang ini semakin dipahami dan semakin ditonjolkan. Orang mulai berkata tentang "Kerajaan Kristus" (Mat 20:21; Luk 22:30; Ef 5:5; Kol 1:13; 2Tim 4:1), yang sudah real sekarang. Dan akhirnya "Kerajaan Allah" dipahami sebagai "Kerajaan surgawi" (Kis 14:22; 2Tim4:18). Kerajaan itu ditempatkan di tingkat alas, di surga, atau disamakan dengan "hidup kekal" (Yoh 3:5).

Dan itu memang sesuai dengan pikiran Yunani mengenai "Jagat Raya" dan susunannya dan manusia yang menjadi peserta dalam yang ilahi. Kendati demikian tradisi lama tetap ada, yaitu tradisi yang memikirkan Kerajaan Allah sebagai sesuatu yang nanti baru akan sepenuh-penuhnya terwujud, di akhir zaman, meskipun kini sudah turut menentukan kehidupan orang percaya (Rm 14:17; IKor 6:9; Gal 5:21; 2Tes 1:5). Dan Kristus paling akhir akan mengembalikan "Kerajaan-Nya", ialah kuasa dan martabat kerajaan, kepada Allah (IKor 15:24-28).

Oleh karena orang di luar Palestina tidak pernah langsung mengalami Yesus selagi hidup di dunia dan para pewarta Injil pun sudah tidak mengenal Yesus sendiri, maka mula-mula orang tidak memberi banyak perhatian kepada kehidupan Yesus dahulu. Yang penting hanyalah akhir hidup-Nya dan kebangkitan-Nya (1Tes 1:9-10; 2:19; 4:14; 5:10). Sebab hanya dengan cara itulah Yesus sendiri menjadi penting bagi mereka, Yesus Kristus yang aktual dengan Roh Kudus-Nya berkarya menjadi Juru Selamat (IKor 1:4-9; 2:6-16; Tit 3:4-7; 2:11-14). Hanya ada satu unsur dari riwayat hidup Yesus yang memikat orang-orang Yunani. Yaitu mukjizat-mukjizat Yesus (Kis 10:38; 2:22). Tentu saja Yesus membuat mukjizat, tetapi selalu dalam rangka pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah. Mukjizat tidak dipakai sebagai "tanda bukti" bahwa Yesus seorang tokoh luar biasa. Tradisi Yahudi memang sudah tahu akan mukjizat-mukjizat. Tetapi mukjizat-mukjizat dikaitkan terutama pada "nabi-nabi". Mukjizat mesti membuktikan bahwa sang nabi bukan nabi gadungan. Yesus sendiri tidak pernah memakai mukjizat untuk dengan cara demikian "melegitimasikan did". Bahkan ia blak-blakan menolak "tanda bukti" semacam itu (Mat 12:38-39; 16:1,4). Tetapi orang Yunani di masa itu sangat gemar akan keajaiban dan mukjizat. Ada banyak ceritera tentang pembuat mukjizat dan keajaiban.

Dan keajaiban itu menyatakan bahwa tokoh itu mempunyai sakti luar biasa, berdekatan dengan yang ilahi (Kis 8:9-10). Pokoknya: pembuat mukjizat dan keajaiban ialah seorang tokoh ilahi. Adapun orang Yunani yang masuk Kristen senang kalau Yesus pun digambarkan sebagai "tokoh ilahi", pembuat mukjizat, lepas dari pewartaan-Nya (Mrk 6:32 dst. 45 dst.; 8:22 dst.; 5:3 dst.). Mukjizat-mukjizat itu membuktikan bahwa Yesus seorang tokoh sakti, tokoh ilahi (Luk 5:8; Mrk 6:49) dan bisa mengalahkan semua dukun dan pembuat mukjizat di kalangan Yunani. Maka orang Kristen Yunani itu senang berceritera tentang Yesus sebagai tokoh gaib, pembuat mukjizat.

Dan ada dua gelar Kristus yang sudah tradisional yang tanpa keberatan dapat dipakai orang Yunani, yaitu gelar Anak Allah dan Tuhan. Orang Yunani sudah lama biasa dengan istilah macam itu. Biasa saja bahwa dewa/ dewi punya anak. Tidak jarang juga raja dianggap dan disebut "anak Allah" (dewa tertentu), hasil campuran seorang dewa dengan permaisuri. Lain-lain tokoh pun boleh digelari sebagai ilahi atau Anak Allah, karena kesaktiannya terbukti. Gelar "Tuhan" juga sudah biasa dipakai, khususnya untuk menyapa dewa/dewi, raja-raja dan tokoh-tokoh gaib lainnya.

Jadi, orang Yunani bisa saja mengambil alih gelar tradisional itu, Anak Allah dan Tuhan. Tetapi jelas pulalah bahwa bagi mereka gelar-gelar itu tidak sama artinya dengan artinya bagi orang Yahudi. Serta merta mereka berpikir tentang Yesus sebagai seorang tokoh gaib yang berasal dari Allah. Tentu saja ada bahaya yang tidak kecil bahwa orang Yunani itu sedi-kit banyak melupakan bahwa Yesus seorang tokoh manusiawi, yang dahulu hidup dan mati, bahkan tersalib. Orang Yahudi secara spontan memikirkan hubungan Yesus dengan Allah secara dinamik. Tetapi orang Yunani mudah memikirkannya secara statis. Yesus tidak hanya mengerjakan pekerjaan Allah dan menyampaikan firman Allah, tetapi Yesus menjadi penampakan Allah di muka bumi itu (Tit 2:11; 3:4; 2Tim 1:10; ITim 3:16; IPtr 1:20; lYoh 1:2), mirip dengan penampakan dewa-dewi yang dikenal tradisi Yunani (Kis 14:11-12).

Kalau Yesus Kristus dipahami secara demikian, maka gelar "Tuhan" diberi isi yang sesuai. Dalam tradisi Yahudi gelar itu a.l. suatu gelar (dan nama) Allah. Yesus boleh disebut Tuhan juga, tidak seperti seorang raja, tetapi lebih dari itu. Sebab kuasa Allah, Tuhan, sudah menjadi nyata dan berwujud Yesus Kristus. Orang Yunani mudah saja meneruskan pikiran itu dan oleh karena Yesus dilihat sebagai penampakan Allah, maka gelar "Tuhan" mendapat ciri ilahi seperti dipikirkan orang Yunani. Dan sebagai tokoh ilahi Yesus melebihi kaisar dan lain-lain tokoh yang lazimnya disapa sebagai Tuhan, bahkan sebagai Tuhan Allah (IKor 8:4-6).

Umat Kristen Yunani melalui pewartaan dapat tahu bahwa Tuhan Yesus yang mereka puja bukan seorang dewa yang tinggal di dunia kedewataan. Ia pun bukan seorang pahlawan dari masa purba yang mempunyai ciri ilahi. Yesus dikenal sebagai seorang Yahudi yang belum lama berselang hidup di daerah Palestina dan mati tersalib. Masih ada orang yang langsung berkenalan dengan Dia dan dengan mata kepala sendiri mengamatinya (IKor 15:3-5; IPtr 2:22-25; 3:18-20). Jadi, Yesus ton seorang manusia, mes-kipun seorang manusia luar biasa, seperti digarisbawahi dalam ceritera-ceritera yang beredar tentang keajaiban-keajaiban yang dikerjakan-Nya.

Maka tidak dapat tidak umat Kristen Yunani mulai berpikir. Mana hubungan antara Yesus Kristus, yang mereka puja sebagai Tuhan dan Anak Allah dengan manusia Yesus, orang Nazaret dahulu? Tentu saja orangnya sama. Tetapi mana yang lebih dahulu. Anak Allah dan Tuhan atau Yesus orang Nazaret itu? Jemaah Kristen keturunan Yahudi sudah memahami bahwa dengan Yesus, orang Nazaret, Kerajaan Allah, Kuasa Allah Penyelamat dan Hakim menjadi nyata di bumi dan kini sepenuh-penuhnya terwujud dalam Yesus, Kristus dan Tuhan, yang dibangkitkan. Dan Yesus layak disebut Anak Allah oleh karena hubungan-Nya dengan Tuhan, Allahnya Israel, memang unik. Jemaah Yahudi juga sudah menghubungkan Yesus dengan hikmat kebijaksanaan ilahi, rencana penyelamatan Allah yang terlaksana dalam Yesus Kristus. Dan tradisi Yahudi-Yunani dahulu sudah sampai memperorangkan hikmat kebijaksanaan ilahi yang berupa Hukum Taurat dan Bait Allah serta ibadat-Nya tampil di bumi (Sir 24:10-11, 23; Bar 3:38 — 4:1), Mereka yang masuk Kristen lalu menyamakan Yesus (yang dahulu hidup dan melalui kebangkitkan dibenarkan Allah) dengan hikmat kebijaksanaan ilahi yang diperorangkan itu (Kol 2:3; IKor 2:7-8; 1:30).

Umat Kristen Yunani meneruskan pemikiran itu. Sama seperti hikmat kebijaksanaan Allah (yang kadang kala disebut "putri Allah") Yesus Kristus, Anak Allah dan Tuhan, sudah ada sebelum tampil di muka bumi. Tentu saja bukan "manusia" (Yesus, orang Nazaret) itu yang lebih dahulu. Tetapi Anak Allah dan Tuhan yang berwujud manusia itu lebih dahulu dari penampilan-Nya di muka bumi ini. Dan itulah sebabnya mengapa orang Kristen yang berkebudayaan Yunani mulai berkata tentang Anak Manusia, Anak Allah yang turun dari atas, dari surga, datang dari Allah (Yoh 3:13; 6:38, 62); sejak awal mula Ia ada, sebelum Yohanes Pembaptis, sebelum Abraham, sebelum dunia dijadikan (Yoh 1:30; 8:58; 17:5). Yesus Kristus, Tuhan jemaah, sejak awal berupa Allah dan setara dengan-Nya, lalu menampakkan diri (Flp 2:6-7) dan berupa manusia merendahkan diri. Yesus Kristus yang sejak awal ada, lebih dahulu dan lebih utama dari segala sesuatu (Kol 1:17-18), "diutus ke bumi" (Gal 4:4; Rm 8:3; Yoh 7:29; 10:36; 17:18). Dan tentunya setelah tugasnya dibumi selesai Ia kembali ke tempat-Nya dahulu, naik ke atas melintasi petala langit, ditinggikan dan dimuliakan (Yoh 13:1; 14:12; 6:62; Ibr 1:3; 4:14; 7:26; Ef 4:10; 4:8).

Mudah saja pikiran dasar itu diteruskan dan diperkembangkan lebih lanjut, sebagaimana nyatanya terjadi. Kalau Yesus disamakan dengan hikmat kebijaksanaan Allah yang diperorangkan, kalau dikatakan bahwa sama seperti hikmat kebijaksanaan itu Ia ada sebelum sekalian zaman (Kol 1:15, 17), maka segala apa yang dahulu dikatakan tentang hikmat kebijaksanaan ilahi, khususnya oleh orang Yahudi yang berkebudayaan Yunani, boleh dipindahkan kepada Yesus juga. Yesus adalah "Anak Allah", seperti hikmat kebijaksanaan ilahi adalah putri-Nya. Yesus boleh disebut "gambar Allah" (2Kor4:4; Kol 1:15; Ibr 1:3), apalagi oleh karena seorang anak memang "gambar ayahnya" (Kej 5:3) dan penerus pekerjaan ayah (Sir 30:6; Yoh 5:19). Yesus adalah pantulan kemuliaan (= daya kekuatan) Allah (Ibr 1:3). Yesus turut menciptakan semesta dunia (Yoh 1:3; Kol 1:16; Ibr 1:2), sehingga menjadi lebih utama dari segala sesuatu (Kol 1:18). Ia menjadi kepala jagat raya dan menaklukkan segala kuasa (Kol 1:16; 2:10; Ef 1:22). Dan Ia dahulu sudah berkarya, yaitu waktu umat Israel (oleh hikmat kebijaksanaan) diantar ke luar dari Mesir melalui padang gurun (Yud 5; IKor 10:4).

Salah satu peran hikmat kebijaksanaan ilahi ialah menyatakan Allah dan kehendak-Nya di bumi bagi umat. Dalam tradisi Yahudi kadang kala hikmat kebijaksanaan disamakan dengan firman Allah, yang menciptakan alam semesta tetapi juga menyatakan Allah dan kehendak-Nya kepada manusia. Dalam rangka pemikiran itu Yesus dapat disebut "firman Allah". Dan gagasan ini sangat menarik orang Yunani. Di dunia Yunani gagasan "logos" sudah terkenal. Logos itu menciptakan dunia, mengatur segala sesuatu dan menjadi "jiwa dunia semesta" dan tentu saja alat komunikasi, alat penyataan. Kalau Yesus dilihat demikian dan diberi gelar "Firman", maka jelaslah bahwa Yesus dilihat terutama sebagai penyataan Allah, sebagai pewahyu.

Tetapi bukan "pewahyu" dengan arti: pemberi tahu, melainkan dengan arti: penyataan (Yoh 1:18). Dalam Yesus, Firman Allah, Anak Tunggal Allah (Yoh 1:1, 14), Allah Bapa, Allah yang menghubungi manusia, menyatakan diri kepada manusia, dapat dikenal (Mat 11:27; Yoh 14:7; 17:3), diimani dan dihubungi (Yoh 14:6) oleh manusia. Dengan Yesus Kristus, firman Allah, yang menciptakan segala sesuatu (Yoh 1:3), secara nyata tampil di muka bumi secara kelihatan. Ia menjadi "daging" (Yoh 1:14), menempuh sejarah umat manusia, langsung melibatkan diri dalam hal ihwalnya dan dengan demikian menyatakan siapa sebenarnya Allah bagi manusia.

Akhirnya umat Kristus yang berkebudayaan Yunani sampai menyebut Tuhan Yesus sebagai "Allah". Dalam karangan-karangan Perjanjian Baru tidak sering sebutan itu tampil, Beberapa ayat (Rm 9:4-5; Tit 2:13; 2Ptr 1:1; 2Tes 1:12) tidak jelas. Tapi ada ayat yang jelas menyebut Yesus Kristus sebagai "Allah" (Yoh 1:1; lYoh 5:20; Yoh 20:28). Hanya baiklah diingat betapa kabur arti kata Yunani: "theos" (allah). Dengan kata itu disebut macam-macam tokoh, oleh karena dianggap amat dekat dengan "yang Ilahi". Namun, tokoh-tokoh itu tidak begitu saja disamakan dengan Allah yang satu (pada orang-orang Yunani memang sudah berkembang semacam monoteisme). Maka penggunaan kata "Allah"itu belum juga menyamakan Yesus Kristus begitu saja dengan Allah Mahaesa (Mat 23:9; Rm 3:30; IKor 8:4, 6; Gal 3:20; ITim 2:5; Yak 2:19). Yesus Kristus tentu saja dianggap "ilahi" tapi kata "Allah" tidak dengan tuntas dan jelas mengungkapkan bagaimana dan sejauh mana Yesus "ilahi". Bagi manusia Yunani (yang percaya) Yesus Kristus memang "Allahnya" (Yoh 20:28).

Tentu saja cara berpikir dan berbicara macam itu, yang dipinjam dari alam pikiran Yunani yang serba sinkretis (populer), berbau mitologi. Bahasa itu jelas bahasa mitologis. Hanya umat Kristen Yunani dengan bahasa mitologis itu selalu mau berbicara tentang tokoh tertentu dalam sejarah, yaitu Yesus Kristus, orang Nazaret, yang pernah hidup dan mati, tetapi menurut keyakinan mereka, kini hidup dan berkuasa (Rm 14:9). Dan tokoh itu bukan suatu idea abstrak atau buah khayal manusia, seperti "logos" filsafat Yunani, dewa-dewi dan pahlawan ilahi dalam mitologi Yunani suatu idea atau buah khayal manusia.

Dengan bahasa mitologis itu umat Kristen hanya mau menegaskan bahwa Tuhan yang mereka puja sekarang sebagai relevan, berarti dan bermakna bagi mereka. Dan yang sama dengan Yesus, orang Nazaret itu, sebenarnya sejak awal melampaui semua batas manusia, batas ruang dan waktu. Dengan tokoh historis dan konkret itu Allah sendiri mendekati manusia, merangkul manusia dengan kekuatan kasih-Nya (Yoh 3:16-17; lYoh 4:9; Rm 5:8) dan serentak mendekatkan manusia kepada diri-Nya (Ef 2:17; IPtr 3:18). Dengan jalan itulah dijembatani jurang yang memisahkan Allah dengan dunia-Nya. Yesus Kristus, Tuhan jemaah dan Anak Allah, menjadi perwujudan hubungan unik Allah dengan manusia. Dan dengan demikian menjadi nyata Allah yang bagaimana diandalkan, dipuja dan disembah umat Kristen. Dan memang demikian Allah pada diri-Nya, sejak awal dan kekal, justru oleh karena Ia Allah yang setia kepada diri-Nya. Tidak disangkal bahwa bahasa mitologis itu dapat menyebabkan salah paham dan dapat menjadi bahaya bagi identitas iman kepercayaan Kristen. Tetapi cara berpikir dan berbahasa itu merupakan suatu usaha untuk lebih jauh menjelaskan teka-teki Yesus Kristus. Semuanya hanya merupakan lanjutan, dalam tata bahasa dan alam pikiran lain, dari apa yang sudah terasa sejak Yesus tampil. Melalui Yesus, pewartaan dan karya-Nya, kuasa Allah penyelamat dan hakim, sudah menjadi terwujud. Semuanya dibenarkan dan diperteguh serta diselesaikan melalui kebangkitan Yesus. Hanya itulah yang diteruskan oleh umat yang berkebudayaan Yunani, sehingga Yesus Kristus tetap dapat relevan bagi mereka juga, meskipun Ia memang tetap sama, kemarin dan hari ini untuk selama-lamanya.

Tetapi dalam pendekatan Yunani tersebut yang terlebih berpusatkan Yesus, Tuhan dan Anak Allah yang kini berkuasa, nasib malang Yesus mesti dipikirkan juga. Kematian Yesus bagi orang Yahudi menjadi batu sandungan tetapi bagi orang Yunani menjadi kebodohan belaka (IKor 1:23). Dan tambah lagi: Bila kebangkitan Yesus bagi jemaah Yahudi memberi kelegaan, oleh karena membenarkan Yesus serta pemberitaan-Nya dan menyatakan-Nya sebagai Mesias, maka bagi orang Yunani kebangkitan itu menjadi problem (Kis 17:32).

Mendengar tentang Yesus yang mengalami kematian di salib, orang Yunani tidak dapat tidak berkesan bahwa Yesus itu seorang pemberontak yang oleh pemerintah dieksekusi (Ibr 12:2; 13:13). Bagaimana orang macam itu dapat dipuja sebagai Tuhan dan Anak Allah? Dan setelah mereka sampai percaya soalnya belum juga hilang. Sebab kalau Yesus yang kini hidup dipuja sebagai Tuhan, Anak Allah yang mendekatkan Allah pada manusia dan manusia pada Allah, pernah turun dari Allah ke bumi, mengapa Ia mesti menempuh nasib yang begitu malang, memalukan dan terhina?

Untuk memahami penderitaan dan kematian Yesus ada dua jalan yang ditemukan, yang satu diketemukan oleh karangan-karangan Yohanes, yang kedua khususnya oleh S. Paulus. Penderitaan dan kematian Yesus dapat ditempatkan dalam rangka tugas-Nya sebagai penyataan Bapa. Yesus, Anak Tunggal Allah, turun ke bumi, ke luar dari Bapa (Yoh 8:42) untuk menyatakan Bapa (Yoh 7:16-18, 29). Setelah tugas selesai Yesus kembali kepada Bapa {Yoh 13:3; 16:28), tempat asal-Nya. Seluruh kehidupan Yesus di bumi menjadi penyataan Bapa, penyataan kasih Allah (Yoh 4:17; 17:26), penyataan kemuliaan Bapa — yang sekaligus kemuliaan Anak — , ialah daya penyelamatan dan penghakiman Bapa (Yoh 13:31-32; 17:5, 22, 24). Adapun kasih Bapa dan Anak, daya penyelamatan-Nya, kemuliaan-Nya menjadi paling nyata justru dalam kematian Yesus (Yoh 17: 1-5; 19:30). Betapa besar, radikal dan tanpa pamrih kasih Bapa terbukti waktu blak-blakan ditolak oleh "dunia" yang tidak mau dihakimi melainkan diselamatkan (Yoh 12:47). Kendati demikian kasih itu tidak ditarik kembali, asal saja orang kini mau menerimanya. Justru dari Yesus yang mati di salib berpancarlah "roh kehidupan ilahi" (Yoh 7:38-39; 19:34) yang menerangi kehidupan manusia yang dikasihi Allah dan Anak sampai akhir. Maka justru di salib "kebenaran Allah" (Yoh 18:37), siapa sebenarnya Allah bagi manusia, menjadi sepenuhnya tersingkap (lYoh 4:9-10). Dan dengan cara demikian kematian Yesus sungguh menguntungkan bagi manusia. Satu-satunya yang diminta dari "dunia" ialah: percaya kepada Anak Allah dan bahwa Bapa di dalam Anak dan Anak di dalam Bapa (Yoh 14:11).

Cara yang kedua untuk mengartikan kematian Yesus di salib ialah memperdalam paham yang sudah tercapai: Yesus mati bagi manusia, bagi dosa-dosa manusia. Pemikiran dapat bertitik tolak keadaan malang manusia, semua manusia dengan tidak ada yang terkecuali (Gal 3:22; Rm 3:9; 11:32). Keadaan malang itu meliputi dan seolah-olah mengurung manusia dari semua seginya (Rm 7:24; 8:2, 8). Keadaan malang menyeluruh itu berurat berakar dalam dosa (Rm 5:12, 16-19). Dosa itu pada dasarnya ialah: menolak Allah, secara praktis tidak mengakui-Nya sebagai instansi tertinggi yang menentukan kehidupan manusia (Rm 1:18, 28-32). Dosa itu bukanlah salah satu tindakan atau pelanggaran, melainkan suatu sifat dasar manusia yang sejak awal, sejak "Adam" menjerat manusia (Rm 5:19) demikian rupa sehingga manusia tidak dapat membebaskan dirinya sendiri. Meskipun bebas, namun manusia tidak dapat tidak menolak Allah, membenci-Nya (Km 5:10; 8:8). Dan tanda kemalangan umum itu ialah ke-matian yang tak terelakkan (Rm 6:23). Maka tidak hanya ada dosa, melainkan ada kedosaan, keadaan tetap di mana manusia terkurung, tidak dapat keluar. Manusia berada dalam perbudakan terhadap Dosa dan terhadap Maut (Rm6:20;5:14).

Yesus sendiri dahulu juga sudah menilai situasi umat Israel sebagai situasi malang, dengan tidak ada harapan lagi dari segi manusia dan tidak tersedia sarana mana pun yang dapat membebaskan umat, kecuali Allah. Dan kalau keadaan umat Allah sudah demikian, apalagi keadaan manusia lain, di luar lingkup umat Allah yang terpilih. Di sana juga kemalangan fisik, sosial, politik hanya tanda bukti keterasingan dasariah manusia dari sumber kehidupan sejati, sumber kehidupan selamat.

Visi yang begitu pesimistis terhadap manusia dan situasinya kurang sesuai dengan tradisi Yahudi, tetapi cocok dengan pandangan yang cukup tersebar di dunia Yunani pada awal tarikh Masehi. Di sana pesimisme cukup maharajalela. Manusia sebenarnya tidak berdaya terhadap dunia dan hal ihwalnya. Semua dikuasai oleh "Nasib" yang secara membabi buta menentukan segala sesuatu, termasuk para dewa/dewi. Manusia menjadi permainan nasib itu. Ia diombang-ambingkan tidak menentu dan seluruh usahanya tidak berguna sedikit pun (ITes 4:13; IKor 15:32). Ia menjadi korban dan mangsa segala macam kuasa buruk dan tidak berdaya terhadapnya (Gal 4:3, 9). Dunia sebenarnya suatu teka-teki besar yang tidak tertebak. Memang ada macam-macam aliran dan agama yang menawarkan keselamatan, tetapi kurang berhasil menjelaskan mengapa keadaan manusia tampaknya begitu malang. Dengan melanjutkan pikiran yang sudah tercantum sedikit dalam Perjanjian Lama pandangan Kristen tersebut dapat menjelaskan situasi manusia. Mengapa ia berada dalam kemalangan? "Nasib" yang mempermainkan manusia sebenarnya berasal dari manusia sendiri seperti juga kematian seperti nyata dialami. Semuanya berasal dari manusia yang berdosa, yang menoiak Allah dan sendiri rnenciptakan situasi tanpa harapan.

Tetapi gambaran yang amat hitam tersebut dipaparkan dengan maksud semakin memperlihatkan Allah yang bagaimana diandalkan orang Kristen dan mana peranan dan kedudukan Yesus Kristus. Allah yang dipercayai orang Kristen tetap mau dan nyata menyelamatkan manusia dari kemalangan melalui Yesus Kristus, Anak-Nya (Gal 1:4 Rm 5:18-19; 2Kor 5:19). Dan sarana penyelamatan yang utama ialah Yesus Kristus, yang mati tersalib tapi oleh Allah dibangkitkan. Dan gagasan dasar yang dipakai ialah: Yesus, Anak Allah, atas prakarsa Allah menjadi senasib dengan manusia yang malang, supaya manusia yang malang menjadi senasib dengan Yesus yang tersalib dan dibangkitkan dan hidup bagi Allah.
Karena itu gambaran hitam yang dipaparkan itu tidak memerikan keadaan nyata. Gambaran — yang sedikit banyak berdasarkan pengalaman — berupa suatu hipotesis, yaitu: seandainya Yesus Kristus tidak pernah ada dan Allah tidak seperti yang diandalkan umat Kristen, keadaan manusia memang seburuk itu.

Yesus Kristus, Anak Allah, sejak kekal berada dalam rupa Allah dan mempunyai suatu kesamaan dengan Allah (Flp 2:6). Tetapi pada saat tertentu Allah mengutus Anak-Nya (Gal 4:4). Dan Ia menghampakan diri menjadi serupa dengan manusia (Flp 2:7-8), bahkan serupa dengan manusia yang berdosa (Rm 8:3), yang secara dasariah malang (Ibr 2:14-15; 5:7; 2:9-10). Tentu saja Anak Allah, Yesus Kristus, tidak berdosa (2Kor 5:21), melainkan taat kepada Bapa sampai akhir (Flp 2:8; Rm 5:19), sampai mati di salib. Namun demikian Yesus, Anak Allah sungguh menjadi senasib dengan manusia yang malang, manusia berdosa yang karena itu mesti mengalami kematian orang berdosa. Meskipun sendiri tidak berdosa, Yesus Kristus terjerat dalam keadaan nyata manusia (2Kor 5:21; Gal 3:13). Dan tidak hanya atas kehendak-Nya sendiri (Gal 2:20; Ef 5:2), melainkan atas kehendak Bapa yang menyerahkan Yesus kepada kematian orang berdosa, meskipun Yesus Anak tunggal-Nya yang terkasih (Rm 8:32). Begitu dalam Anak-Nya sendiri Allah penyelamat mendekati manusia (2Kor 5:19). Tetapi tidak dapat tidak manusia yang seolah-olah secara kodrati tidak taat terhadap Allah (Ef 2:2-3; Tit 3:3), menolak tawaran Allah itu. Dan penolakan itulah yang menyalibkan Yesus.

Maka dosa manusia, kedosaannya menyebabkan kematian Yesus di salib. Nyatanya Yesus memang disalibkan di tempat tertentu dan oleh orang tertentu. Tapi itu sedikit "kebetulan" secara historis. Yesus sebagai tawaran Allah, tidak dapat tidak ditolak manusia, kapan saja dan di mana saja Ia tampil di antara manusia mana pun.

Apakah dengan demikian tawaran Allah batal? Tidak. Sebab nyatanya Allah yang menyerahkan Anak-Nya kepada kematian disalib, membangkitkan Yesus dari antara orang mati, dari keadaan paling parah yang dikarenakan dosa manusia. Dan adapun alasannya Allah membangkitkan Yesus ialah: ketaatan Yesus sampai mati disalib (Flp 2:8). Begitu ketidaktaatan manusia diimbangi, malah dilampaui oleh ketaatan Yesus Kristus demi untuk manusia (Rm 5:19, 16). Maka atas dasar itu Allah tidak lagi memper-hitungkan dosa manusia (Rm 4:8), dosa tidak menjadi rintangan mutlak bagi penyelamatan Allah, bagi kasih-Nya. Atas dasar ketaatan Yesus yang memuncak dalam kematian-Nya Allah mendamaikan manusia dengan diri-Nya, mau membenarkan dan menguduskannya (IKor 6:11) dan membebaskannya dari perbudakan dosa (Rm 6:18-20; 8:2). Dosa-dosa, meskipun tetap terjadi, tidak lagi mampu menawan manusia, tidak mampu menghalang Allah terus membenarkan dan menyelamatkan orang berdosa (Rm 4:5). Dosa tidak lagi secara definitif memutuskan persatuan manusia dengan Allah (Rm 8:38-39). Satu-satunya yang diminta dari manusia ialah: percaya kepada Allah yang membangkitkan Yesus Kristus dan yang membenarkan dan menguduskan orang berdosa (Rm 4:24; 10:9; IKor 1:30).

Kesetiakawanan timbal balik antara Yesus Kristus dan manusia, sudah terungkap dalam rumus tradisional yaitu: Yesus Kristus mati (dan bangkit) demi untuk kita, dosa-dosa kita (IKor 15:3-4; Rm 4:25; 8:32). Gagasan itu tradisional dalam tradisi Yahudi yang tercantum dalam Alkitab. Hanya gagasan itu diperdalam dan ditonjolkan dalam karangan-karangan Paulus. Ia suka menggunakan kata kerja, ciptaannya sendiri, untuk menekankan solidaritas timbal balik: Dikubur bersama Kristus (Rm 6:4), disalibkan bersama Kristus (Gal 2:19; Rm 6:6), dimuliakan bersama Kristus (Rm 8:17), hidup bersama Kristus (Rm 6:8), diubah rupa bersama Kristus (Flp 3:10; Rm 8:29; Flp 3:21), menjadi waris bersama Kristus (Rm 8:17), dibangkitkan bersama Kristus (Kol 2:12; 3:1; Ef 2:6), dihidupkan bersama Kristus (Kol 2:13; Ef 2:5), ditahtakan bersama Kristus (Ef 2,6), menderita bersama Kristus (2Kor 1:5; Flp 3:10-11; 2Kor 4:10; Rm 8:17). Dan persekutuan itu dipertegas lagi, bila dikatakan: Oleh karena satu manusia (Kristus) mati, maka semua mati (IKor 15:22; 2Kor 5:14), dan oleh karena satu orang bangkit/ dibangkitkan maka semua bangkit/dibangkitkan (IKor 15:21-22). Dan Yesus yang dibangkitkan menjadi yang pertama dari orang mati (Kol 1:18; IKor 15:20) dan yang sulung di antara semua saudara-Nya (Rm 8:29).

Maka manusia yang percaya menjadi senasib dengan Yesus Kristus yang disalibkan dan dibangkitkan dan kini ada dalam keberadaan ilahi untuk tetap selama-lamanya. Yesus menjadi senasib dengan manusia yang malang, tetapi dengan demikian Anak Allah menjadi senasib dengan manusia berdosa. Dan akibatnya: ada kaitan yang tak terputus antara Yesus Kristus dan umat manusia seanteronya. Dan oleh karena itu, kini ada kaitan tak terputuskan antara umat manusia dan Yesus Kristus yang tersalib tapi dibangkitkan dan sudah masuk ke dalam keberadaan definitif yang teruntuk bagi semua, keadaan selamat dari segala kemalangan oleh karena selamat dari dosa dan kedosaan. Dan kalau orang sungguh beriman, maka ia secara pribadi dipersatukan dengan Yesus Kristus yang tersalib tapi dibangkitkan. Dan dengan demikian kini ia sudah mendapat jaminan untuk masa depan, bila semuanya menjadi terselesaikan, seperti sudah terselesaikan dalam Yesus Kristus (Flp 3:20-21).

5. Yesus anak Maria dan Anak Allah

Uraian yang dipaparkan di atas kiranya memperlihatkan betapa majemuk dan kaya kristologi/soteriologi yang dihasilkan dua-tiga generasi Kristen yang pertama. Dan uraian ini belum juga memperlihatkan segala segi dan unsur yang dapat ditemukan dalam karangan-karangan Perjanjian Baru. Juga jelas — meskipun dalam uraian tersebut belum cukup ditekankan — betapa majemuk dan tidak seragam kristologi/soteriologi itu. Ada pelbagai pendekatan yang tidak selalu dapat diselaraskan satu sama lain. Umat Kristen purba jelas masih juga mencari jalan dan perkembangan belum juga "selesai".

Namun demikian, orang dapat menemukan dalam karangan-karangan Perjanjian Baru dua garis pemikiran yang berbeda. Tentu saja nyatanya kedua garis itu tidak jarang bercampur dan tumpang tindih. Namun demikian, dua pendekatan boleh dibedakan, asal saja tidak secara radikal dipisahkan atau malah diperlawankan satu sama lain. Kedua pendekatan itu dapat diringkaskan dengan dua sebutan yang ditemukan dalam Perjanjian Baru. Yesus Kristus kadang-kadang disebut "Anak Maria" (Mrk 6:3), bahkan bin Yusup pun ditemukan (Yoh 1:45). Tetapi lebih sering disebutkan sebagai "Anak Allah".

Garis pemikiran yang satu, yang menyebut Yesus anak Maria, bertitik tolak pengalaman sementara orang dengan Yesus, orang Nazaret, baik sebelum mati di salib maupun sesudahnya. Khususnya pengalaman paska mencetuskan pemikiran. Pada dasar pengalaman itu akhir hidup Yesus, orang Nazaret, ternyata bukan kegagalan definitif. Allah jelas memulihkan kegagalan Yesus. Yesus yang tadinya mati tetap dipahami sebagai yang menghubungkan manusia dengan Allah. Pengalaman itu diartikan dengan pertolongan gagasan "Roh Kudus", yang dalam pengharapan bangsa Yahudi menjadi ciri khas akhir zaman. Maka dengan pembangkitan Yesus, yang disusul pengalaman akan "Roh Kudus" itu, Allah sudah memulai akhir zaman, zaman keselamatan definitif, yang (tidak lama lagi) akan diselesaikan-Nya dengan Yesus itu juga. Kalau demikian, Yesus ternyata Anak Manusia dan Mesias yang diharapkan, tokoh penyelamatan, wakil dan kuasa Allah. Oleh karena Yesus yang ternyata hidup namun tidak begitu saja kembali ke "dunia" ini, maka Yesus sudah menikmati eksistensi baru. Itu berarti Yesus "ditinggikan", diangkat, pindah ke dunia lain, dunia baru yang dinantikan. Yesus berada "di dunia" Allah, di pihak Allah dan mengerjakan apa yang dikerjakan Allah Juru Selamat umat, dan Hakimnya.

Dengan bertitik tolak akhir hidup Yesus yang ternyata bukan kegagalan definitif seluruh kehidupan Yesus dahulu menjadi lebih jelas. Pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah yang sudah dekat dan malah kini diwujudkan ternyata bukan kekeliruan. Dan dalam tindakan Yesus dahulu Allah sudah memperlihatkan kekuasaan penyelamatan-Nya yang juga membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Dan kekuasaan Allah itu ternyata tidak terhalang oleh dosa manusia yang menolak Yesus, bahkan membunuh-Nya di salib. Kalau Yesus kini di pihak Allah, mendapat kuasa ilahi yang mewujudkan pengampunan dosa dan keselamatan bagi manusia, maka dahulu juga sudah begitu. Kuasa yang sama menjadi nyata dalam kehidupan Yesus. Perkataan dan perbuatan-Nya dahulu sudah memperlihatkan kuasa ilahi itu. Dan kuasa ilahi itu tidak lain dari Roh ilahi yang dahulu dalam Yesus berkarya seperti sekarang berkarya melalui Yesus yang dibangkitkan.

Dalam rangka pemikiran ini kematian Yesus di salib dapat dipahami. Kematian itu memang tetap suatu pembunuhan, suatu kejahatan. Namun demikian, kematian itu sesuai dengan rencana penyelamatan dan kehendak Allah, bukan sesuatu tanpa arti dan makna. Kematian Yesus dalam rencana Allah menjadi jalan menuju peralihan kepada peranan dan kedudukan Yesus sekarang sebagai Mesias dan Anak Allah yang ada di pihak Allah dan mewujudkan keselamatan manusia. Maka dalam analisis terakhir kematian Yesus malah menguntungkan bagi manusia yang berdosa, sebab membuka zaman keselamatan, di mana Yesus sebagai Mesias, Anak Allah dan Tuhan tetap berkuasa. Dosa manusia ternyata tidak menghalangi karya penyelamatan Allah, bahkan ditiadakan oleh-Nya sebagai rintangan keselamatan. Dan semuanya itu dimulai dengan tampilnya Yesus dan diteruskan sesudah kematian dan kebangkitan-Nya.

Dalam garis pemikiran yang bertitik tolak pengalaman dahulu dengan Yesus, seorang manusia, dalam refleksi umat seolah-olah menjadi ilahi, semakin ditempatkan di pihak Allah. Yesus menjadi seorang manusia yang diilahikan. Hanya dalam garis pemikiran ini tidak menjadi terlalu jelas bagaimana manusia Yesus dari Nazaret menjadi ilahi, kapan diilahikan. Waktu dibangkitkan? Waktu mulai berkarya dahulu? Waktu dilahirkan dan diperkandung? Hanya jelaslah Yesus seorang manusia lain dari siapa pun. Ia sungguh-sungguh unggul, seorang tokoh yang bertindak sebagai utusan Allah, sebagai wakil dan kuasa Allah sendiri dan atas dasar itu sedikit banyak dapat disamakan dengan Allah yang menghubungi manusia. Garis pemikiran yang kedua justru menjelaskan kekaburan tersebut. Sejak awal eksistensi-Nya Yesus ada di pihak Allah, sejak awal Ia "Anak Allah". Maka Yesus mesti pikirkan dengan bertitik tolak Allah sendiri. Dengan Yesus orang Nazaret itu Allah menggenapi janji-Nya, kesetiaan-Nya pada diri-Nya dan kepada umat-Nya.

Yesus merupakan pelaksanaan penuh rencana penyelamatan Allah. Dan sejauh itu Yesus malah sudah ada sebelum tampil di muka bumi. Dari segi itu Yesus seabadi dengan Allah sendiri, seperti rencana keselamatan Allah abadi. Maka boleh dikatakan Yesus turut menciptakan alam semesta dan memimpin seluruh sejarah menuju ke puncaknya perwujudan rencana keselamatan dalam Yesus Kristus. Dengan tampilnya Yesus Allah Penyelamat tampil dan melibatkan diri dalam sejarah manusia. Dan kalau Yesus disebut "Anak Allah" dan "Tuhan", maka gelar itu menggarisbawahi ciri ilahi Yesus Kristus. Dengan arti tertentu Yesus malah boleh disebut Allah (Rm 9:5; Yah 1:1; Tit 2:13; 2Ptr 1:1; 2Tes 1:12), sebab dengan-Nya Allah Penyelamat sudah tampil di bumi. Dan dengan memikirkan halnya secara demikian orang boleh berkata bahwa Yesus Kristus "turun dari Allah", berasal dari Allah, dari surga.

Dan dalam rangka pemikiran itu kehidupan dan kematian Yesus menjadi lebih berarti lagi. Ternyata bahwa dalam Yesus Allah sendiri menjadi senasib dengan manusia yang malang dan berdosa. Allah sendiri menjadi terjerat dalam kedosaan manusia. Tetapi oleh karena Yesus ternyata bangkit dan hidup, maka terbukti bahwa Allah sudah mengatasi keadaan malang dan berdosa itu. Manusia kendati dosa dan kemalangan toh tidak secara dasariah dan definitif terasing dari Allah, terpisah dari kehidupan sejati bersama dengan dan dalam Allah sendiri. Dalam Yesus nyata bahwa manusia menjadi peserta dalam kehidupan Allah sendiri yang menjadi kehidupan manusia.

Dalam pendekatan tersebut pemikiran seolah-olah turun dari Allah menuju manusia. Titik tolaknya ialah Allah yang menghubungi manusia, lalu bertindak dalam sejarah. Dan itu terjadi dengan Yesus, orang Nazaret, yang menjadi penampakan aktif Allah dalam sejarah dan di bumi. Maka yang tampak sebagai manusia Yesus orang Nazaret, sungguh unik, Anak Tunggal Allah dengan tidak ada taranya dan bandingnya. Dan Allah dalam Yesus Kristus berupa kekuatan, Roh-Nya, tetap tinggal aktif hadir dalam sejarah manusia sampai akhir. Manusia — asal percaya — menjadi peserta dalam daya kekuatan Allah, dalam kehidupan Allah yang pernah tampak dalam Yesus.

Pendekatan dari atas, yang "menurun" itu, tentu saja Sangat menolong untuk mengkonseptualkan dan membahasakan keunggulan Yesus, kedudukan dan peranan tunggal-Nya. Tetapi konsep dan bahasa itu agak mitologis dan menjadi agak kaburlah bagaimana dan sejauh mana Yesus Kristus masih seorang manusia di tengah-tengah manusia lain dengan segala keterbatasan. Kalau juga jelas bahwa Yesus itu Anak Tunggal, tetapi bagaimana ia masih juga anak Maria! Cara memikirkan Yesus itu agak cocok dengan alam pikiran Yunani yang gemar akan dewa-dewi yang turun dari surga dan menjelma sebagai manusia. Hanya dewa/dewi itu sebenarnya bukan manusia, tetapi terlebih "bertopeng" manusia. Tetapi Yesus jangan dipikirkan sebagai dewa yang bertopeng manusia. Dan justru itulah bahaya yang terkandung dalam pendekatan dari atas dan yang menurun itu.

Pada awal abad II tersedia dua pendekatan tersebut dan kedua-duanya tercantum dalam karangan-karangan yang menjadi Perjanjian Baru. Dan justru itulah tandanya bahwa kedua pendekatan itu perlu dipertahankan. Dua-duanya berat sebelah dan dua-duanya bisa mencetuskan pikiran yang mengubah Yesus Kristus yang mesti tetap sama, kemarin, hari ini untuk selama-lamanya. Kedua pendekatan itu seharusnya saling melengkapi dan saling mengimbangi. Tetapi memang sukar sedikit menyelaraskan kedua pendekatan itu. Dua-duanya berusaha lebih jauh menjelaskan Yesus Kristus, sasaran iman kepercayaan umat Kristen. Tetapi Yesus Kristus toh terus meluputkan diri dari pemahaman tuntas manusia. Tidak tersedia konsep dan bahasa yang sungguh dapat mengungkapkan Yesus Kristus, Anak Maria, Anak Allah, Tuhan dan Juru Selamat.

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama