Yesus Kristus Mencari Tempat di Dunia Yunani (abad II-III)

1. Situasi pada awal abad II

Menjelang akhir abad I Masehi kepercayaan Kristen sudah tersebar luas. Di mana-mana terbentuk jemaah-jemaah Kristen. Menurut petunjuk yang dapat digali dari karangan-karangan yang terkumpul dalam Perjanjian Baru, refleksi umat Kristen atas fenomena Yesus dan pengalaman umat sendiri semakin terpengaruh oleh alam pikiran Yunani. Para penerus Paulus (penulis Ef, Kol, surat pastoral), penulis 2Ptr, Yud, Kis, Ibr, sudah bergerak dalam alam pikiran yang ciri Yunaninya menyolok. Demikian pun karangan-karangan yang berasal dari tradisi Yohanes. Pengaruh kebudayaan Yahudi mundur.

Tradisi awal yang berpangkal pada Yesus sendiri dan pada jemaah semula mulai dibukukan dalam karangan-karangan yang kemudian disebut "Injil-injil sinoptik". Tentu saja tradisi itu pun sudah diolah dan pengolahan itu terpengaruh oleh kebudayaan Yunani. Di samping karangan-karangan itu serta karangan-karangan lain yang kemudian terkumpul dalam Perjanjian Baru, tercipta dan beredar karangan-karangan lain. Sebagian dari karangan-karangan itu pada abad XVII terkumpul menjadi "Patres Apostolici" (Bapa-bapa rasuli). Jumlah karangan yang dimasukkan ke dalam kumpulan itu tidak selalu sama. Boleh disebutkan "Didakhe", ialah "Pengajaran kedua belas Rasul" (disusun sekitar th. 90/100). Didakhe itu merupakan suatu Tata tertib Gereja/Jemaah. Ada sebuah karangan yang disebut "Surat Klemens Romanus", ialah sepucuk surat yang dialamatkan oleh jemaah di Roma kepada jemaah di Korintus. Ditulis sekitar tahun 100. Lagi sebuah karangan yang disebut "Surat Barnabas" yang ditulis sekitar tahun 120. Ada tujuh surat yang oleh Ignatius, uskup Antiokhia di Siria, sekitar tahun 107 dikirim kepada sejumlah jemaah di Asia Depan, Roma dan uskup Smirna, Polykarpus. Polykarpus ini sekitar tahun 107 menulis sepucuk surat kepada jemaah di Filipi. Selama abad II sejumlah besar karangan lain beredar. Hanya saja sukar dipastikan kapan persis karangan-karangan itu disusun. Tetapi di antaranya (Misalnya: Injil yang disebut Injil Tomas) ada yang menjelang akhir abad I atau pada awal abad II digubah, sehingga sezaman dengan beberapa karangan yang tercantum dalam Perjanjian Baru.

Seperti terbukti oleh karangan-karangan Perjanjian Baru dan lain-lain karangan, maka umat Kristen pada awal abad II jauh dari seragam, baik dalam organisasinya maupun dalam pengungkapan iman kepercayaannya. Sebuah Kitab Suci Kristen belum ada. Satusatunya Kitab Suci yang diterima ialah Kitab Suci Yahudi, Perjanjian Lama yang dibaca dan ditafsirkan dengan kaca mata Kristen, ialah pengalaman umat Kristen dengan Yesus dan Roh Kudus. Tetapi sudah terbentuk beberapa rumus pendek yang meringkaskan pokok-pokok inti kepercayaan Kristen (Ibr 5:12; 6:1-2). Beberapa dari rumus itu tercantum dalam Perjanjian Baru (IKor 15:3-5; ITes 4:14; Rm 1:3-4; 4:25; 10:9-10; IPtr 3:18-19; ITim 3:16; 2:5; Kis 8:37). Hanya baiklah diingat bahwa rumus-rumus itu tidak sama di mana-mana dan karangan-karangan yang tercantum dalam Perjanjian Baru cukup terbatas lingkup peredarannya dan boleh jadi dicurigai (2Ptr 3:15-16).

Meskipun tidak ada suatu "pusat" umum, mirip dengan Roma yang di kemudian hari menjadi pusat Gereja (Katolik), ada beberapa tempat yang luas pengaruhnya. Yerusalem sebagai pangkal dan awal mula segala-galanya tetap penting. Tetapi di samping itu berkembanglah beberapa pusat lain: Antiokhia di Siria, Efese di Asia Depan, Roma dan kiranya juga Aleksandria di Mesir (lKor 1:12; 16:12; Kis 18:12, 24; 28:15).

Kekristenan yang tidak seragam itu toh sudah menjadi dua cabang, masing-masing dengan cirinya sendiri. Tentu saja tidak jelas terpisah dan kadang kala tumpang tindih, namun ada dua arus dalam kekristenan. Ada kekristenan Yahudi, yaitu jemaah-jemaah yang terutama terdiri atas orang yang berbangsa Yahudi. Pusat jemaah-jemaah itu tentu saja Yerusalem, tetapi mereka toh terutama tersebar di Diaspora dan terpengaruh oleh alam pikiran dan sinkretisme Yunani. Rupanya jemaah-jemaah Kristen-Yahudi itu terutama terdapat di Palestina, Siria, Asia Depan dan Mesir. Dan ada kekristenan Yunani, ialah jemaah-jemaah yang secara eksklusif atau terutama terdiri atas orang yang tidak berbangsa Yahudi dan seluruhnya berkebudayaan Yunani. Karangan-karangan Perjanjian baru, khususnya karangan-karangan Paulus, membuktikan bahwa antara kedua cabang kekristenan itu ada ketegangan yang juga menyangkut caranya Yesus Kristus dipikirkan dan dinilai. Paulus memang berbangsa Yahudi, tetapi toh tampil sebagai suara jemaah-jemaah Yunani. Dan jelaslah antara Paulus dan jemaah di Yerusalem, pusat kekristenan Yahudi, ada ketegangan dan malah permusuhan (Kis 15:1, 39; Gal 2:4, 12; 6:13; IKor 11:21; Flp 3:2-3; Rm :30-31). Dan kekristenan Yahudi selama abad II terus bermusuhan dengan Paulus, yang dinilai sebagai "pengkhianat" dan "murtad".

Tiap-tiap cabang kekristenan, Yahudi, dan Yunani, menempuh perkembangannya sendiri. Dan perkembangan yang berbeda itu pun menyangkut refleksi atas fenomena Yesus. Muncullah "kristologi" yang berbeda.

2. Yesus Kristus pada kekristenan Yahudi

Tentang kekristenan Yahudi selama abad II-III tidak amat banyak diketahui dengan pasti. Nyatanya kekristenan itu semakin mundur dan akhirnya hilang lenyap dari panggung sejarah. Itu a.l. disebabkan oleh dihancurkannya pusat kekristenan itu, yaitu Yerusalem, oleh tentara Roma sampai dua kali, yakni pada tahun 70 dan tahun 135. Ada berita bahwa menjelang tahun 70 jemaah Yerusalem melarikan diri ke Pela, sebuah kota di seberang sungai Yordan di wilayah Dekapolis. Kemudian jemaah itu kembali. Tetapi sejak tahun 135 orang-orang Yahudi dilarang menetap di Yerusalem. Maka jemaah Kristen di sana menjadi jemaah Yunani. Kekristenan Yahudi di Diaspora kehilangan pusatnya. Mereka masih cukup lama dapat mempertahankan diri, khususnya di Siria dan Mesir, tetapi pengaruhnya semakin lemah. Mereka pun jauh dari seragam dan semakin terpecah-belah.

Kekristenan Yahudi terutama menggabungkan diri dengan Petrus, Yohanes dan teristimewa dengan Yakobus, saudara Tuhan. Yakobus itu menjadi pemimpin jemaah di Yerusalem, setelah Yakobus bin Zebedeus dibunuh oleh Raja Herodes Antipas (th 43/44) (Gal 1:18-19; 2:7, 9, 12; Kis 12:17; 15:13; 21:18; IKor 15:7). Jemaah-jemaah Kristen keturunan Yahudi tetap setia dan semakin ketat setia kepada adat kebiasaan Yahudi, termasuk hukum Taurat, ibadat dan sunat (Mat 5:17-19; 6:16; 5:23; 23:2-3, 23; Kis 2:46; 3:1; 10:9; 21:20-24, 26; 16:1-3). Mereka mengakui Yesus, orang Nazaret, sebagai Mesias (Kis 5:42; 8:5; 9:22) dan begitu membedakan diri dengan kelompok-kelompoknya Yahudi yang lain (Kis 24:5, 14; 28:22). Juga setelah pada tahun ± 90 Mas. dikeluarkan dari masyarakat keagamaan Yahudi (Yoh 9:22, 34; 12:42; 16:2), mereka tetap setia dan menganggap dirinya lanjutan Israel sejati, mirip dengan kelompok-kelompok Yahudi yang sebelum tahun 70 menetap di Qumran. Tidak mustahil sebagian dari jemaah Qumram itu masuk Kristen dan membawa serta semangat dan alam pikirannya. Itu menjelaskan mengapa (sebagian dari) jemaah-jemaah Kristen-Yahudi itu menolak ibadat korban di Yerusalem.

Jemaah-jemaah Kristen keturunan Yahudi itu menghasilkan sejumlah karangan (a.l. Didakhe, Pastor, karangan Hermas, Surat para Rasul, sejumlah "Apokalips", yang dikemudian hari dinilai "gadungan", apokrip). Mereka pun mengolah beberapa karangan Yahudi yang sudah tersedia (Misalnya: Kenaikan Yesaya, 4Ezra, 2Henokh, Wasiat XII Bapa Bangsa, Oracula Sibyllarum). Mereka pun menyusun Injil-injilnya sendiri, seperti Injil menurut orang-orang Ibrani, sama dengan Injil orang Nasrani.

Sejak awal jemaah-jemaah Kristen keturunan Yahudi gemar akan jenis sastra dan alam pikiran yang diistilahkan sebagai "Apokaliptik". Kegemaran itu sudah terasa dalam Perjanjian Baru yang memuat juga Kitab Wahyu (apokalipsi) Yohanes, Mrk 13; 2Tes; 2Ptr; Yud. Ini warisan dari aliran tertentu dalam agama Yahudi yang tentu saja diadaptasikan pada kepercayaan Kristen yang secara dasariah berbeda dengan kepercayaan yang menjiwai para apokaliptisi Yahudi. Jenis sastra apokaliptis suka akan macam-macam gambar dan lambang yang bagi kita terasa aneh; akan rahasia-rahasia jagat raya yang terdiri atas pelbagai tingkat: Dari langit tertinggi (boleh jadi yang ketujuh, yaitu "surga" bdk. 2Kor 12:2-4) sampai tingkat terbawah, yaitu dunia orang mati di bawah keping bumi. Astronomi/astrologi berperan besar seperti juga malaikat-malaikat yang ada berbagai tingkatnya dan roh-roh jahat. Malaikat-malaikat dan roh-roh jahat itu seolah-olah membentuk semacam dunia sendiri, masing-masing dengan kepalanya, dan menghuni tingkat-tingkat jagat raya antara langit tertinggi dan bumi. Bagi kita alam pikiran Yahudi-apokaliptis dengan bahasanya yang khas memang ganjil rasanya dan amat fantastis. Namun demikian, cara berpikir dan cara berbicara itu pun legitim dan tidak boleh begitu saja ditolak sebagai kekanak-kanakan, prailmiah, primitif dan sebagainya. Hanya bagi kita sedikit sukar memahami apa yang persis dimaksudkan, lalu memindahkannya ke dalam alam pikiran lain, alam pikiran kita. Tetapi kesulitan yang sama kita hadapi, bila mau memahami alam pikiran dan bahasa seperti misalnya laku di kalangan kebatinan Jawa.

Maka wajar sekali kekristenan Yahudi itu mengungkapkan kepercayaannya dengan menggunakan alam pikiran dan bahasa Yahudi-apokaliptis itu. Dalam rangka pemikiran itu pun mereka berusaha mengungkapkan siapa sebenarnya Yesus Kristus bagi mereka, mana peranan dan kedudukan-Nya dalam karya penyelamatan Allah. Tetap mesti diingat bahwa, kendati pengaruh Yunani, alam pikiran Yahudi itu tetap alam pikiran dinamis, bukan alam pikiran statis, esensial ala Yunani.

Seorang cendekiawan-filsuf Kristen, Yustinus, sekitar tahun 155 memberitahukan bahkan pada masa itu masih ada sekelompok orang Kristen keturunan Yahudi yang meneruskan pandangan terhadap Yesus Kristus seperti pada awal ada. Mereka mengerti Yesus, orang Nazaret, sebagai seorang manusia yang suci dan kudus. Oleh Allah Ia dipilih dan diangkat menjadi Mesias, Kristus. Mereka belum memahami bahwa orang itu sudah ada, entah bagaimana, sebelum tampil di muka bumi, seperti diyakini oleh Yustinus sendiri. Namun demikian, Yustinus tidak mencap mereka sebagai "bidaah", tersesat dari iman sejati. Jelaslah, kelompok Kristen-Yahudi itu tidak mengikuti perkembangan yang tercantum dalam karangan-karangan Perjanjian Baru, yang menyamakan Yesus dengan hikmat kebijaksanaan Allah, Firman Allah dan Anak Allah yang sejak kekal ada dan pada saat tertentu tampil di bumi.

Tetapi rupanya pandangan tersebut yang boleh dikatakan "primitif" tidak menjadi pandangan umum pada jemaah-jemaah Kristen-Yahudi di masa itu. Pada abad II tersebar sebuah karangan lain, Kerygmata Petrou, yang sekarang tercantum dalam sebuah karya yang diistilahkan sebagai "Pseudo-Clementina". Dalam karangan itu Yesus Kristus ditampilkan sebagai seorang Guru (Rabbi) dan terutama sebagai Nabi sejati. "Nabi sejati" itu sebenarnya sejak kekal sudah ada. Dahulu sudah tampak dalam Adam, Musa, dan sebagainya. Nabi sejati itu ialah Roh Kudus, Roh Besar kenabian. Roh itu terus-menerus mengganti nama dan rupa sepanjang sejarah (bdk. Keb 7:27). Ia misalnya merasuki Adam dan Musa. Tetapi pada saatnya Roh Kudus itu mendapat tempat istirahat tetap pada Yesus, setelah Roh itu karena jasanya oleh Allah diurapi (menjadi Kristus). Maka nabi Yesus serentak Kristus, Mesias sejati, melebihi Musa dan lain-lain nabi. Dalam pandangan itu Yesus menjadi semacam "tempat kediaman" Roh Kudus, Kristus surgawi. Caranya Roh itu digambarkan menyatakan bahwa Ia mirip hikmat kebijaksanaan dari Perjanjian Lama. Yesus menjadi tempat kediaman, penampilan tetap hikmat kebijaksanaan. Seperti sudah dijelaskan, benih pandangan macam itu (Yesus disamakan dengan hikmat kebijaksanaan) ditemukan dalam karangan-karangan Perjanjian Baru juga. Dan Perjanjian Lama (Keb 9:17; 1:4-5) sudah menyamakan hikmat kebijaksanaan dengan Roh (dan Firman) Allah.

Dengan caranya sendiri Kerygmata Petrou tersebut berusaha mengungkapkan iman kepercayaannya terhadap Yesus. Di satu pihak dipertahankan bahwa Ia seorang manusia, seorang nabi yang melanjutkan rangkaian nabi dahulu. Di lain pihak Yesus melampaui ukuran manusia, melampaui ukuran nabi terbesar, Musa. Sebelum tampil di bumi sudah ada di pihak Allah dan mempunyai ciri ilahi. Dengan demikian, Yesus menjadi Kristus ilahi yang menggenapi semua harapan para nabi dahulu. Ia juga sudah aktif dahulu serta "menjiwai", menginspirasikan para nabi. Pikiran serupa juga terdapat dalam 1 Ptr 1:11; Yud 5 (Tuhan Yesus menyelamatkan umat dari Mesir).

Pandangan yang sama diperkembangkan dalam sebuah karya lain, Anabathmoi Iakobou, yang juga tercantum dalam Pseudo-Clementina itu. Yesus dipahami sebagai nabi dan Kristus kekal. Dan Kristus kekal itu tidak lain kecuali Roh Kudus. Roh itu sejak kekal ada dan selalu menyertai orang takwa. Pernah Ia tampak pada Abraham dan Musa (theophania). Tetapi Ia kembali ke tahta surgawi-Nya. Akhirnya Ia tampil di bumi dalam Yesus. Maka Yesus lebih besar daripada Musa dan Yohanes pembaptis. Sebab Yesus baik Nabi maupun Kristus (Roh Kudus).

Dalam "Injil menurut orang-orang Ibrani", ialah "Injil orang Nasrani", Roh Kudus disebut sebagai Ibu Kristus. Dalam bahasa Ibrani "roh" (ritah) memang berjenis perempuan. Maria merupakan nama suatu kekuatan surgawi. Waktu Yesus dibaptis oleh Yohanes "Sumber Roh Kudus" (berarti: roh kudus sepenuh-penuhnya) turun atas Yesus dan beristirahat (tetap tinggal) pada-Nya. Roh itu menyapa Yesus sebagai berikut, "Anakku, dalam semua nabi aku menantikan engkau sampai engkau datang. Dan aku beristirahat dalam dirimu. Sebab engkau peristirahatanku. Engkaulah anak sulungku, yang akan berkuasa untuk selama-lamanya." Kembali Roh Kudus yang tinggal pada Yesus mirip hikmat kebijaksanaan ilahi. Dan Yesus yang jelas mempunyai dimensi ilahi melebihi semua nabi lain oleh karena sebagai Anak sulung (= Mesias) berkuasa untuk selamanya.

Pendekatan serupa ditemukan dalam karya Pastor, karangan Hermas (± th. 150). Karangan itu amat laku pada jemaah-jemaah Kristen selama abad II-III dan kadang kala dianggap l.k. setingkat dengan Kitab Suci. Dalam penjelasan atas perumpamaan V Roh Kudus disebut Anak Allah dan Yesus digelari "Hamba Tuhan". Karena kesetiaan dan ketaatan-Nya Hamba itu akhirnya juga diangkat menjadi Anak Allah, sama waris dengan Anak Allah ialah Roh Kudus. Tetapi sebelumnya Roh Kudus itu sudah mendiami "daging" (Hamba itu). Oleh karena "daging" itu dengan baik melayani Roh Kudus dan, sambil hidup dengan baik dan murni, bekerja sama dengan Roh itu, maka "daging" itu (Yesus, Hamba Tuhan) dipilih menjadi kawan Roh Kudus (berarti: Anak Allah). Jadi, sebelum diangkat Yesus sudah didiami Allah (Roh Kudus) dan akhirnya juga menjadi Anak Allah.

Kristologi yang tampil dalam karangan-karangan tersebut boleh diistilahkan sebagai "Kristologi pneumatologis" (roh kudus). Jelas ada usaha untuk menggabungkan "kristologi dari bawah" (seperti ada pada kelompok yang disebut Yustinus) dengan "kristologi dari atas" (yang mengandaikan kepra-adaan, prae-existensi) Kristus. Pada Yesus ada sesuatu, Roh Kudus, kekuatan ilahi, yang sudah ada sejak kekal. Dengan Yesus — sejak dibaptis oleh Yohanes — Roh, Kekuatan ilahi yang diperorangkan, secara definitif tampil di muka bumi dengan memuncak dalam kebangkitan Yesus. Roh ilahi itu sedikit banyak "menjelma" dalam diri Yesus. Maka pada Yesus Kristus — entah sejak kapan — ada suatu dimensi yang melampaui dimensi manusiawi. Boleh dikatakan bahwa dalam pendekatan itu dimensi, ciri manusiawi Yesus semakin disingkirkan sebagai sesuatu yang relevan. Namun terus juga Yesus dianggap sebagai, "manusia", paling tidak sampai mulai "didiami" Roh Kudus.

Kristologi "pneumatologis" tersebut memang sangat mendekati kristologi yang (di kemudian hari) diistilahkan sebagai "adoptianisme". Yesus (hanya) Anak angkat Allah. Adoptianisme itu memang tampil dalam sebuah karangan yang disebut sebagai "Injil kaum Ebyonim". "Kaum "Ebyonim" itu sekelompok orang Kristen-Yahudi yang menamakan diri demikian (kaum miskin), mirip dengan jemaah "orang miskin" di Qumran dahulu. Pujangga Gereja Ireneus (± th. 200) membicarakan orang itu dan menilainya sebagai "bidaah" (haeresis) gnostis. Menurut mereka Yesus seorang manusia, anak wajar Yosef dan Maria. Tetapi secara luar biasa Ia dianugerahi oleh Allah. Waktu Yesus dibaptis oleh Yohanes maka Kristus surgawi turun kepada-Nya. Rupanya Kristus itu tidak lain dari Roh Kudus yang dengannya Yesus diurapi menjadi Kristus (dan Anak Allah). Tetapi Kristus itu meninggalkan Yesus lagi waktu disalibkan. Jadi, waktu Yesus dibaptis ia "kerasukan" Roh Kudus/Kristus surgawi". Dan pada saat itu sebuah suara surgawi berkata kepadanya, "Hari ini engkau Kuperanakkan." Maka pada saat itu Yesus menjadi Anak Allah (dan Mesias), tetapi tidak untuk selamanya. Pandangan itu disebarluaskan juga oleh seorang tokoh yang bernama Kerintus (sekitar th. 100). Menurutnya Kristus surgawi turun atas Yesus, anak Yosef dan Maria, dan memberinya kuasa gaib. Sebelum meninggal di salib Yesus ditinggalkan Kristus itu. Yang mati dan bangkit hanyalah Yesus. Yesus bukan Kristus, sebab Kristus itu sesuatu yang rohani belaka.

Kalaupun pandangan "kaum Ebyonim" dan terutama Kerintus boleh disebutkan "adoptianisme" murni, yang pada dasarnya menyangkal dimensi ilahi pada Yesus, namun boleh ditanyakan apakah pandangan yang memang kelihatannya mirip dan yang ditemukan dalam karangan-karangan lain itu pun sudah suatu "adoptianisme". Kerintus (dan kaum Ebyonim?) jelas terpengaruh oleh alam pikiran Yunani, sehingga dengan kata yang sama dimaksudkan sesuatu yang lain. Soalnya terletak dalam pandangan "kaum Ebyonim" dan Kerintus bahwa Yesus ditinggalkan Kristus waktu menderita dan mati di salib. Itu memang mengimplikasikan bahwa manusia Yesus tidak "memiliki" ciri ilahi. Hanya ditempelkan padanya untuk sementara waktu. Sebaliknya pandangan Kristen Yahudi lain itu tidak berkata demikian. Pemikiran mereka terlebih suatu usaha untuk memahami dan menjelaskan kedudukan dan peranan tetap Yesus dalam data penyelamatan. Dan kalau dilihat secara "dinamis" Yesus baru mulai berperan demikian waktu tampil di depan umum (dengan dibaptis oleh Yohanes). Pandangan itu tidak mengimplikasikan bahwa, dalam pendekatan esensial dan statis, Yesus sejak awal eksistensi-Nya di dunia tidak memiliki dimensi ilahi itu.

Di samping (dan tumpang tindih dengan) kristologi "pneumatologis" di kalangan jemaah-jemaah Kristen keturunan Yahudi berkembanglah pula suatu kristologi yang boleh disebutkan "angelis". Itu berarti bahwa peranan dan kedudukan Yesus diungkapkan dengan pertolongan gagasan, gambar dan istilah yang dipinjam dari pemikiran tentang malaikat-malaikat.

Sekitar awal tarikh Masehi di kalangan orang Yahudi, khususnya yang berhaluan apokaliptis (bdk. Kis 23:8), "angelologi" dan "demonologi" amat berkembang. Dan Perjanjian Baru membuktikan bahwa umat Kristen meneruskan pemikiran itu. Maka tidak mengherankan bahwa orang Kristen keturunan Yahudi yang berhaluan apokaliptis berusaha mengungkapkan iman kepercayaannya kepada Yesus Kristus dengan pertolongan pikiran mereka sekitar malaikat-malaikat (dan roh-roh jahat).

Malaikat-malaikat dalam alam pikiran Yahudi — yang sudah ada dalam Perjanjian Lama (Dan, Za, Yeh) — ialah "utusan" Allah yang berdekatan dengan Allah dan hampir saja tidak dibedakan dengan Allah dalam pengurusan dunia, bangsa-bangsa, umat Allah dan tiap-tiap orang. Malaikat-malaikat itu memang diperorangkan, tetapi dalam pendekatan dinamis. Berhadapan dengan malaikat-malaikat yang membentuk semacam "dunia" surgawi sekitar Allah, ada "roh-roh jahat" yang juga membentuk suatu dunia tersendiri di bawah pimpinan "Iblis" (Setan dan macam-macam nama lain lagi). Biasanya "dunia roh-roh jahat" itu ditempatkan antara "dunia Allah" (tingkat paling atas) dan dunia manusia. Roh-roh jahat menguasi jagat dan dunia manusia. Kadang-kadang di "dunia orang mati" juga terdapat "roh jahat" atau Malaikat Maut sebagai pengurus dan kepalanya. Pikiran-pikiran semacam itu memang sudah terdapat dalam Perjanjian Baru (Luk 10:18; Why 12:8-9; Ef 6:12; 2Kor 6:15; Why 9:11). Kadang-kadang perjanjian Baru mendekatkan Yesus Kristus (yang memang juga utusan Allah, Ibr 3:1) pada malaikat-malaikat (Mrk 1:13; Yoh 1:51; Mat 16:27; 25:31; Ibr 1:4; 2Tes 1:7).

Untuk mengungkapkan kedudukan dan peranan Yesus Kristus, khususnya dalam kepraadaan-Nya, umat Kristen keturunan Yahudi tidak segan memakai lambang malaikat. Dengannya ditekankan bahwa Yesus Kristus melampaui manusia dan ada di pihak Allah dalam hubungan Allah dengan dunia.

Dalam karya karangan Hennas, yaitu Pastor, berulang kali tampil "Malaikat mutabir", "Malaikat kudus", "Malaikat mulia", yang perawakannya raksasa (Vis V:2; Mand V:l. 7; Sim V:4, 4; VII:l-3; IX:1, 3; VIII:1,1-2). Dan Malaikat itu lidak lain kecuali Anak Allah (Sim IX:12, 7). Malaikat-Anak Allah itu melebihi semua malaikat lain dan setingkat dengan Tuhan sendiri. Malaikat-Anak Allah itu dinamai "Mikhael" (Sim VII:3, 3). Itu berarti bahwa Ia adalah kepala semua malaikat, mana pun tingkatnya. Dalam karangan-karangan Kristen-Yahudi lain pun Yesus Kristus digambarkan sebagai malaikat yang melampaui segenap barisan malaikat (seperti dalam Ibr 1:4). Dalam "Surat para Rasul" (± th. 140/170) misalnya dikatakan oleh Kristus sendiri bahwa berupa malaikat Gabriel Ia tampak oleh perawan Maria. Kristus dalam kepraadaan-Nya sebagai Firman Allah masuk ke dalam rahim perawan Maria. Pikiran yang sama ditemukan dalam Oracula Sibyllarum (VIII:456-461). Menarik perhatian sedikit bahwa tidak mulai dengan baptisan, tetapi sejak awal eksistensi-Nya segi ilahi Kristus sudah ditonjolkan.

Sesuai benar dengan pendekatan tersebut bila dikatakan bahwa, waktu tampil di muka bumi Firman dan Anak Allah (yang dipikirkan mirip dengan malaikat) turun dari Bapa dengan melintasi segala tingkat jagat raya dengan penghuninya (ialah barisan para malaikat dan roh jahat). Ditambah bahwa malaikat-malaikat itu tidak mengenal Firman Allah waktu turun. Dalam karangan "Kenaikan Yesaya" (X:7-12) misalnya terbaca sebagai berikut: "Maka Juru Selamat kita, ialah singa rohani, diutus oleh Bapa. Tetapi jejak-jejak rohani-Nya, yaitu keilahian-Nya, disembunyikan-Nya. Dengan malaikat Ia malaikat, dengan Tahta Ia Tahta, dengan Kuasa Ia Kuasa dan dengan manusia Ia manusia selama Ia turun. Ia kan turun ke dalam rahim Maria untuk menyelamatkan jiwa-jiwa manusia. Maka mereka tidak mengenal-Nya waktu Ia turun dari atas". Prae-eksistensi Yesus Kristus jelas, tetapi apa yang menarik perhatian sedikit ialah: Kristus tampaknya mengambil macam-macam rupa dan penyelamatan dikaitkan dengan turun-Nya Kristus, berarti dalam peristilahan lain: dengan inkarnasi. Apa persis maksudnya? Mungkin mau dikatakan bahwa karya penyelamatan Yesus Kristus menyangkut juga "dunia atas" dan tidak hanya dunia manusia. Pikiran yang serupa juga ditemukan dalam Perjanjian Baru, yakni Yesus Kristus, Anak Allah, Firman Allah yang "turun", tentunya untuk nanti kembali (Ef 1:21; 4:9-10; 3:10-12; IKor 2:8; Ibr 1:3-4; 4:14; Yoh 3:13; 6:62).

Sesudah mati dan bangkit Yesus Kristus turun sampai tingkat terbawah jagat raya, yaitu dunia orang-orang mati, Syeol, Hades. Dunia orang-orang mati ialah tempat di bawah keping bumi, di mana semua orang mati dikumpulkan dalam keadaan tidak berdaya. Ungkapan Yesus "turun ke dunia orang mati" dapat berarti bahwa Ia benar-benar mati seperti orang lain, mengalami keadaan orang mati, tidak berdaya sama sekali. Itulah yang dimaksudkan Kis 2:24-31. Tetapi bukan demikianlah pikiran orang-orang Kristen keturunan Yahudi, kalau berkata tentang turunnya Yesus Kristus ke dalam dunia orang mati. Mereka mengembangkan pikiran yang tercantum dalam IPtr 3:19-20; 4:o dan Mat 27:51b-53, sebagaimana mereka mengartikan nas-nas itu. Yesus turun di dunia orang mati untuk mewartakan kemenangan-Nya, mengalahkan "Malaikat Maut" dan membebaskan orang (benar) yang terkurung di sana. Bersama dengan Kristus mereka naik ke atas, kepada Allah, keadaan selamat. Pikiran tersebut, yang memang agak simpang siur dalam karangan-karangan jemaah Kristen-Yahudi, paling lengkap terungkap dalam "Odos (Madah) Salomo", 42 (± th. 150) sebagai berikut: "Dunia orang-orang mati telah melihat Aku (Yesus Kristus) dan Aku telah menang. Maut membiarkan Aku kembali dan banyak orang beserta dengan Aku. Beserta dengan Maut Aku telah turun ke dalam dunia orang mati sedalam-dalamnya. Aku mengadakan sidang bersama orang-orang hidup di tengah-tengah orang-orang mati. Dengan bibir suci Aku telah berbicara dengan mereka. Mereka yang tadinya mati datang berlari-lari kepada-Ku. Mereka telah berseru, katanya: Kasihanilah kami, hai Anak Allah; perlakukanlah kami sesuai dengan kasih karunia-Mu. Keluarkanlah kami dari kegelapan dan bukakanlah kami pintu gerbang. Sebab, Kami melihat bahwa kematian-Mu tidak berdekatan dengan kematian kami. Adapun Aku, Aku mendengarkan suara mereka dan menggariskan nama-Ku pada dahi mereka. Itulah sebabnya maka mereka bebas dan menjadi kepunyaan-Ku".

Apa yang dengan gambaran dan bahasa apokaliptis-mitologis itu mau dikatakan cukup kentara. Yesus Kristus sebagai pemenang membebaskan orang mati dari keadaannya sebagai orang mati, keadaan yang paling memfrustrasikan eksistensi manusia dan akibat paling parah dosa dan kedosaan. Mereka dibawa kepada keselamatan. Yesus Kristus menjadi Juru Selamat juga bagi mereka yang mendahului tampil-Nya di bumi dan di dalam sejarah. Karya penyelamatan Yesus Kristus sungguh universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, seperti juga disarankan Ibr 11:39-40.

Sama seperti Yesus Kristus "turun" demikian pun Ia "naik" dengan melintasi segala tingkat jagat raja. Pikiran itu juga tercantum dalam Perjanjian Baru (Kis 1:9-10; Mrk 16:19; Ef 4:9; Flp 2:5-10; Yoh 16:28). Tetapi benih itu sangat diperkembangkan dalam pemikiran jemaah-jemaah keturunan Yahudi. Tadi ditemukan pikiran bahwa waktu Yesus Kristus, Anak Allah, turun tidak dikenal oleh malaikat dan manusia. Sebaliknya waktu Ia naik ke atas lagi Ia dikenal, diakui, dipuji dan dipuja segala barisan malaikat. Dengan padat tapi lengkap gagasan itu disajikan karya "Kenaikan Yesaya" (XI:21-32). Terbaca: Aku (Yesaya) melihat juga bahwa sesudah tiga hari Ia bangkit dan masih tinggal beberapa hari. Maka malaikat yang mengantar aku berkata "Camkanlah, hai Yesaya,... Aku melihat bagaimana Ia naik sampai ke langit ketujuh dan semua orang benar dan segala malaikat memuji Dia. Maka aku melihat Dia duduk di sebelah kanan Kemuliaan Besar ... ". Duduknya Yesus Kristus di sebelah kanan Allah (lambang kuasa-Nya sebagai penyertaan dalam kekuasaan Allah) dalam Perjanjian Baru juga berulang kali diungkapkan (Ibr 1:3; Kis 7:55; Rm 8:34; Ef 1:20; Kol3:l; !Ptr3:22).

Pada umumnya jemaah-jemaah Kristen keturunan Yahudi tidak menyangkal bahwa Yesus benar-benar mati di salib. Hanya mereka yang amat terpengaruh oleh gnosis Yunani sampai menyangkal realitas kematian Yesus. Tetapi di lain pihak kristologi Kristen-Yahudi, yang jelas terutama "kristologi dari atas", condong menonjolkan ciri ilahi Yesus Kristus. Maka peristiwa kematian Yesus yang ngeri di salib sedikit sukar ditempatkan dalam rangka pikiran yang menekankan kemuliaan Yesus Kristus, kekuatan dan kemenangan-Nya. Kristologi itu jelas bukan "kristologi Salib" ala Paulus, melainkan kristologi kemuliaan, berdekatan dengan kristologi Injil Yohanes.

Maka segi negatif Salib Kristus sedikit banyak disembunyikan dan terlupa. Salib Yesus menjadi tanda dan lambang kekuatan dan kemenangan-Nya. Salib itu menyertai Yesus waktu bangkit dan naik ke surga. Nanti pada parousia Salib itu juga menyertai Tuhan yang jaya. Salib dengan palang-palang bersilang menjadi lambang Kristus yang merangkul seluruh jagat raya. Bumi dan surga, timur, barat, utara, dan selatan dipersatukan oleh Salib Kristus. Salib menjadi simbol penyelamatan universal dan kosmis yang dikerjakan Yesus Kristus.

Memanglah kematian Yesus dan kebangkitan Kristus yang menang tidak pernah dapat dipisahkan dalam kristologi mana pun. Tetapi dalam kristologi Kristen-Yahudi dipersatukan begitu rupa sehingga penderitaan dan kematian diserap oleh kebangkitan dan kemuliaan Yesus Kristus. Realitas historis peristiwa itu sangat dikurangi. Salib — penderitaan dan kematian Yesus — tidak dipahami terutama sebagai penyilih dosa manusia, melainkan sebagai pemulihan kosmis, pemulihan jagat raya yang dibebaskan dari kuasa-kuasa jahat yang menguasai dan mengacaukan jagat raya. Tentu saja benih pikiran itu ditemukan dalam Perjanjian Baru juga (Kol 1:16, 20; 2:15; Ef 2:15-16; 1:10, 21-22). Tetapi segi itu hampir saja secara eksklusif diperkembangkan dalam kristologi Kristen-Yahudi. Dalam pendekatan itu Salib bukan suatu batu sandungan lagi. Untuk memahami penderitaan dan kematian Yesus di salib jemaah Kristen-Yahudi meminjam suatu simbolik yang sebenarnya tidak Kristen. Sebelum kekristenan tampil dan di luar lingkup kekristenan Salib sudah dipakai sebagai lambang jagat raya berupa pohon kosmis yang tertanam di tengah dan merangkul segala sesuatu. Terlalu mudah salib Kristus, suatu kenyataan historis, disamakan saja dengan pohon kosmis dan metologis itu. Mudah kejadian historis menjadi peristiwa mitologis.

Kristologi sebagaimana berkembang pada jemaah-jemaah keturunan Yahudi boleh dikatakan kristologi kerakyatan. Pemikiran kurang sistematis, kurang teologis dan agak simpang siur. Dan pemikiran itu tidak memakai atau mengungkapkan diri dalam konsep dan gagasan rasional dan abstrak, melainkan dalam lambang-lambang dan gambar-gambar (apokaliptis) yang konkret dan bahasa figuratif, bahkan mitologis. Tetapi jelas pula bahwa jemaah-jemaah itu rajin memikirkan, tegasnya merenungkan fenomena Yesus, memperdalam dan menyelaminya guna mengungkapkan relevansi dan maknanya. Dalam renungan itu daya khayal berperan besar.

Pada umumnya — sudah ditunjuk kekecualian — pendekatan jemaah-jemaah Kristen-Yahudi itu pendekatan dari atas, bertitik tolak pada Allah yang peranan dan kedudukan-Nya tidak terganggu gugat. Pendekatan itu mengakibatkan bahwa segi transenden, segi ilahi Yesus Kristus ditonjolkan. Segi historis dan segi manusiawi Yesus kurang mendapat perhatian. Tendensi itu malah terlalu meresap ke dalam "Injil-injil" yang disusun jemaah-jemaah Kristen Yahudi, yang suka menggarisbawahi segi ajaib Yesus yang ditampilkan sebagai Guru ilahi. Ditinjau dari zaman kemudian pemikiran Kristen Yahudi mesti dinilai sebagai condong untuk bersesat, tidak mempertahankan kesinambungan dalam identitas iman kepercayaan Kristen, menjurus ke bidaah. Tetapi baiklah diingat bahwa pada abad II-III belum ada "ajaran umum dan resmi", belum ada "orthodoxia". Semuanya masih berupa usaha dan percobaan. Seperti nanti akan menjadi kentara, tidak hanya umat Kristen-Yahudi yang masih mencari jalan untuk sebaik-baiknya memahami Yesus Kristus, kedudukan dan peran-Nya. Pemikiran umat Kristen pada umumnya masih simpang siur dan berbagai pendekatan berbentrokan satu sama lain. Baru di kemudian hari dari bentrokan itu keluarlah "orthodoxia", ajaran dan refleksi resmi tentang Yesus Kristus yang cukup seimbang dan utuh.

Selama abad II-III umat Kristen keturunan Yahudi hampir saja hilang dari lingkup umat Kristen. Namun, pengaruh pemikiran mereka (yang tercantum dalam sejumlah karangan) tidaklah hilang. Sebaliknya pengaruh pendekatan dan pandangan umat kristen keturunan Yahudi yang kadang-kadang cukup fantastis itu dalam abad-abad berikutnya sampai dengan hari ini besar sekali. Para pujangga Gereja dari lingkungan Yunani tidak sedikit terpengaruh olehnya, tetapi pengaruh itu terutama disalurkan melalui agama rakyat, pada umat Kristen di luar kalangan para "ahli". Banyak dari "devosi" rakyat berpangkal pada pemikiran umat Kristen-Yahudi; ikonografi (seni rupa) Kristen menyalurkan banyak motif yang berasal dari umat Kristen-Yahudi dan tidak sedikit dari unsur Kristen-Yahudi masuk ke dalam ibadat (liturgi).

Boleh disesalkan bahwa umat Kristen keturunan Yahudi hilang dari lingkup umat Kristen. Pemikirannya, juga sekitar Yesus Kristus, tidak sempat menjadi matang, utuh dan lengkap. Khususnya boleh disesalkan bahwa pemikiran umat Kristen-Yunani tidak lagi mendapat imbangannya dalam pemikiran Kristen-Yahudi. Bila pemikiran Kristen-Yahudi berat sebelah, maka juga pemikiran Yunani berat sebelah, a.l. dalam kristologinya.
3. Yesus Kristus pada kekristenan Yunani.

Sementara kekristenan Yahudi selama abad II semakin mundur, kepercayaan Kristen semakin meluas dan berurat-berakar di dunia Yunani. Nyatanya kepercayaan Kristen itu hampir saja secara eksklusif menyebar dalam lingkup negara Roma dan kebudayaan Yunani. Kalaupun mungkin bahwa kepercayaan Kristen sudah sampai di Etiopia (bdk. Kis 8:26-40) dan di India (ada tradisi mengenai rasul Thomas yang memberitakan Injil di India), namun dari penyebaran itu tidak ada bekasnya yang pasti. Oleh karena pengharapan akan kedatangan (parousia). Tuhan mengendor (2Ptr 3:4-9), maka kepercayaan Kristen terpaksa mencari tempatnya yang mantap di dunia Yunani itu. Mau tidak mau kepercayaan Kristen mesti menyesuaikan diri dengan lingkungan baru itu.

Proses penyesuaian itu tidak dapat tidak juga menjadi ancaman bagi identitas kepercayaan Kristen, yang semakin jauh dari awalnya. Sudah dikatakan bahwa menjelang akhir abad I kepercayaan Kristen dalam konsep-tualisasi dan pengungkapannya jauh dari seragam. Dan ketidakseragaman itu terus bertambah besar selama abad II.

Menjelang akhir zaman rasuli (abad I) sudah ada usaha untuk membendung sedikit perkembangan itu. Berturut-turut disusun tiga karangan (yang kemudian disebut Injil-injil sinoptik) yang menyajikan semacam "riwayat hidup Yesus". Karangan-karangan itu mengumpulkan, mengolah dan menyusun sejumlah tradisi sekitar Yesus yang beredar. Dengan jalan itu dua hal serentak tercapai. Jemaah-jemaah yang baginya Injil-injil itu disusun dikaitkan pada awal mula, pada Yesus dahulu, sehingga tidak lupa akan asal usulnya. Sekaligus pandangan jemaah-jemaah itu tentang Yesus diseragamkan. Namun karangan-karangan itu tidak berhasil menjamin persatuan dalam pengungkapan iman. Di satu pihak lingkup peredaran tiap-tiap karangan terbatas dan tidak meliputi seluruh umat Kristen di dunia Yunani. Di lain pihak ketiga karangan itu sendiri tidak seragam dalam pendekatannya terhadap Yesus, apa pula bila ditambah karangan keempat, yaitu Injil karangan Yohanes. Bila Injil karangan Markus, Matius dan Lukas masih berdekatan satu sama lain, Injil karangan Yohanes terlalu berbeda.

Kecuali karangan-karangan yang kemudian terkumpul dalam perjanjian Baru, umat Kristen-Yunani — sama seperti umat Kristen-Yahudi – pada akhir abad I dan sepanjang abad II-III masih memproduksikan sejumlah besar karangan lain. Karangan-karangan itu biasanya dikaitkan pada tokoh tertentu dari awal, seorang rasul, murid Yesus lain, murid-murid rasul atau pun pada semua rasul. Karangan-karangan itu macam-macam bentuknya: Injil, Kisah, Surat, Wahyu. Karangan-karangan itu diistilahkan sebagai "pseudepigraph". Dan kalau tidak berhasil dicantumkan dalam Perjanjian Baru diistilahkan sebagai "apokrip". Banyak karangan bersifat esoteris, berarti: teruntuk bagi kalangan terbatas. Isi karangan itu dikatakan berasal dari tokoh yang diperkenalkan sebagai "penulis" dan kerap kali "ajaran" itu disampaikan. secara rahasia oleh Yesus sendiri, khususnya di masa Ia masih tinggal di bumi setelah bangkit dari antara orang mati. Karangan-karangan itu jelas menghaki semacam kewibawaan khusus. Ada juga karangan yang lain sifatnya, karangan-karangan l.k. resmi dari salah seorang pemimpin (misalnya Ignatius dari Antiokhia, Polycarpus, Papias) atau jemaah (misalnya Roma, Smirna).

Karangan-karangan anonim atau pseudonim tersebut biasanya berasal dari kelompok-kelompok orang Kristen tertentu yang dengan jalan itu menyebarkan pandangan dan pikirannya. Ataupun karangan-karangan itu hanya ingin tahu apa yang tidak tercantum dalam karangan-karangan awal. Lalu diciptakan dan dikhayalkan saja. Ini karangan-karangan "kerakyatan", devosional saja.

Meskipun di kemudian hari banyak dari karangan "pseudepigraph" dan "apokrip" itu dinilai kurang berbobot, gadungan, menyebarkan ajaran sesat dan sebagainya, baiklah diingat bahwa pada masa karangan itu diedarkan tidak serta merta jelas mana bobot, nilai dan kewibawaannya. Belum ada tolok ukur berupa Kitab Suci Perjanjian Baru. Hanya Perjanjian Lama dianggap berwibawa. Tetapi Perjanjian Lama membutuhkan "tafsiran" juga. Tentu saja ada "tolok ukur" lain juga, yaitu sejumlah kebenaran pokok yang l.k. umum diterima. Tetapi pemakaian tolok ukur itu tidak mudah dan tafsirannya dapat bermacam-macam. Maka kerangka yang dipasang oleh kebenaran-kebenaran itu belum juga jelas dan tidak gampang dipakai. Maka agak sukar membedakan karangan mana yang sungguh menyalurkan iman kepercayaan Kristen, mana yang tidak menyalurkannya.

Maka selama abad II jauh dari jelas mana iman kepercayaan Kristen sejati. Kepercayaan itu mulai menetap di dunia Yunani, tetapi masih juga mencari bentuknya yang l.k. utuh lengkap. Lama-kelamaan dan melalui banyak bentrokan antara aliran dan kelompok halnya menjadi jelas. Beberapa karangan yang tercantum dalam Perjanjian Baru sudah memperlihatkan pergumulan dan bentrokan itu.

Sudah dikatakan di muka bahwa sekitar awal tarikh Masehi dunia Yunani, khususnya di bidang keagamaan, serba sinkretis. Dan sinkretisme itu selama abad I-II-III tetap ada dan bertambah besar. Macam-macam agama (rahasia), kepercayaan dan aliran filsafat disebarluaskan dan segala sesuatu dicampuradukkan. Situasi lahir umat Kristen juga kurang menentu. Oleh lingkungannya mereka kerap kali dicurigai. Sebab kelompok-kelompok Kristen selalu agak eksklusif dan tertutup dan l.k. mengundurkan diri dari agama resmi. Umumnya masyarakat Yunani di bidang religius amat toleran, sehingga setiap kelompok yang kurang toleran, seperti kelompok-kelompok Kristen, menimbulkan rasa curiga, fitnahan dan permusuhan. Dan penguasa politik pun tidak jarang terkena rasa curiga itu. Kadang-kadang pemerintah (setempat) bertindak terhadap kelompok-kelompok Kristen. Mereka dicap sebagai "ateis" (sebab tidak memuja dewa/dewi negara) dan penuh takhayul (superstitio) dan cabul. Dan memang ada kelompok-kelompok Kristen yang memberi angin kepada fitnahan dan tuduhan macam itu. Menjelang akhir abad II juga para cendekiawan (seperti Fonto dari Cirta, Lucianus dari Samosata dan Celsus) mulai menyerang agama Kristen dengan tulisan-tulisannya.

Sinkretisme Yunani menjadi paling matang dan paling membahayakan bagi identitas kepercayaan Kristen dalam apa yang diistilahkan sebagai "gnosis". Sedikit sukar menjelaskan secara tuntas apa itu "gnosis". Barangkali boleh dikatakan sebagai berikut: “Gnosis” Yunani itu ialah suatu suasana rohani, "Zeitgeist", yang dengan satu dan lain cara meresap ke mana-mana dan memperlihatkan diri dalam seratus seribu bentuk dan rupa, aliran, ajaran dan kelompok. "Gnosis" itu semacam struktur dasar rohani yang dapat menyerap macam-macam unsur dan serentak mengubah segala sesuatu. Gnosis itu suatu pandangan hidup, sikap dan pandangan terhadap realitas secara menyeluruh. Gnosis Yunani boleh dibandingkan dengan kebatinan Jawa, yang memang juga suatu "gnosis". Meskipun gnosis bukan suatu "agama" khusus, ciri religiusnya cukup menyolok.

Menurut pandangan hidup gnosis itu maka dunia (manusia) seadanya secara dasariah buruk. Ia merupakan hasil kekeliruan besar. Dunia seadanya suatu penipuan belaka, yang berpancar dari sesuatu yang buruk. Dunia yang sesungguhnya, dunia sejati ialah dunia ilahi, suatu prinsip ilahi yang tidak terjangkau dan tidak tercapai. Antara dunia, prinsip ilahi, itu dan dunia yang diamati dan dialami manusia terpasang pelbagai tingkat atau lapis lain yang memang berpangkal pada yang ilahi, tetapi semakin rendah tingkatnya dan semakin buruk. Tingkat terbawah, tingkat material yang dialami manusia ialah tingkat yang paling buruk. Manusia sejati, manusia sebenarnya berciri ilahi, semacam bunga api yang tercetus dari yang ilahi. Tetapi manusia sejati itu terjatuh dan terkurung dalam dunia material ini dengan segala keburukan dan hawa nafsunya. Penyelamatan manusia justru pembebasannya dari kurungan itu dan kembalinya manusia sejati kepada asal-usulnya, yang ilahi. Hanya manusia sejati sudah lama lupa akan asal-usulnya sehingga malah tidak tahu lagi siapa dirinya dan apa itu penyelamatannya dan betapa buruk situasinya. Karena itu manusia sendiri tidak dapat keluar dari penjaranya. Supaya selamat manusia membutuhkan "pengetahuan" (gnosis/makrifat), ngelmu, ilmu mistik eksistensial yang tidak dapat diperolehnya.

Tetapi yang ilahi, Bapa ilahi, tidak lupa akan apa yang berasal dari diri-Nya, yaitu manusia. Maka yang ilahi dari tingkat teratas mengutus seorang penyelamat, Manusia asli sejati, yang membawa gnosis yang perlu, menyampaikan "wahyu" yang membuka mata manusia yang buta dan lupa itu. Bila manusia menerima wahyu itu, maka ia mengenal dirinya. Lalu dengan meninggalkan penjara materialnya manusia sejati kembali kepada yang ilahi dan menjadi selamat. Dan meninggalkan dunia seadanya berarti pula manusia menjadi bebas dari "tata tertibnya", dari segala tata hukum dan tata susila.

Dalam mengutarakan pandangan hidup gnosis itu para penganutnya menggunakan macam-macam cara. Dari mitologi kafir dipinjam konsep, bahasa simbol dan ungkapan. Dengan mitologi itu asal-usul dunia dengan segala tingkatnya dan segala macam penghuni tiap-tiap tingkat dijelaskan. Khususnya asal-usul manusia serta hal ihwalnya sehingga masuk ke dalam keadaan buruknya diterangkan dengan pertolongan mitologi itu. Tetapi gnosis itu pun dapat memanfaatkan filsafat Yunani, khususnya yang berpangkal pada Plato. Terpelihara sekumpulan karangan yang memperlihatkan penggabungan gnosis dengan filsafat Yunani. Kumpulan itu diberi judul "Corpus Hermeticum" (oleh karena dewa Hermes ditampilkan sebagai juru bicara). Orang-orang Yahudi yang menganut "gnosis" itu, termasuk mereka yang masuk Kristen, memanfaatkan Kitab Suci yang ditafsirkan dengan caranya sendiri (allegorese). Dan orang Kristen yang menganut gnosis itu memanfaatkan "ajaran Yesus" dan tradisi injili.

Gnosis dalam bentuk mana pun juga menawarkan keselamatan yang kini sudah bisa diperoleh manusia berkat "gnosis". Di satu pihak gnosis menebak teka-teki eksistensi manusia, yang penuh kemalangan dan keburukan yang mengekang manusia. Dan dengan itu gnosis melayani pesimisme mendalam yang melanda dunia Yunani-Romawi pada awal tarikh Masehi. Di lain pihak gnosis memberi petunjuk jalan dan sarana kepada manusia untuk keluar dari situasi buruk itu. Sarananya ialah ngelmu, pengetahuan mistis. Dan dengan itu gnosis melayani kegemaran Yunani akan "ilmu", pengetahuan, hikmat dan filsafat. Dan karena ciri religiusnya gnosis juga melayani semangat religius yang kembali berkobar-kobar di dunia Yunani-Romawi di zaman itu. Kecuali itu gnosis dapat menyerap dan mengadaptasikan tradisi religius yang sudah ada dengan tidak memaksakan salah satu sistem eksklusif. Dan pelbagai aliran filsafat pun dapat diserap oleh gnosis. Gnosis memang secara dasariah amat toleran dan serentak esoteris, teruntuk bagi kelompok orang pilihan.

Jelas pula bahwa gnosis bercirikan individualisme ekstrem. Yang dicari dan ditawarkan ialah keselamatan tiap-tiap orang secara perorangan, "jiwanya", manusia sejatinya. Keselamatan itu mengimplikasikan bahwa orang keluar dari dunia seadanya, meninggalkan dan menyangkalnya melalui mawas diri, bertapa dan askese atau pun dengan melepaskan segala kekang yang dipaksa masyarakat, dunia. Kaum gnosis pada prinsipnya individualis, kalaupun mereka membentuk kelompok-kelompok. Gnosis itu juga ahistoris. Ia tidak merepotkan diri dengan sejarah dunia yang bagi penyelamatan tidak relevan sama sekali. Pemikiran gnosis tidak mendatar, tetapi tegak lurus. Penyelamatan dan keselamatan berupa ngelmu turun dari atas, dari dunia ilahi, dan manusia yang selamat naik ke atas melintasi segala tingkat yang terpasang antara dunia dan yang ilahi. Dan akhirnya gnosis pada prinsipnya a-moral, a-etis. Yang penting ialah "ngelmu", bukan kelakuan dan tindakan. Tata tertib dan hukum bagi manusia yang terkurung dalam materi dan hawa nafsu (bdk. ITim 1:9), tetapi si gnostikus mengatasi semuanya itu, bebas dari tata tertib dan hukum. Pokoknya: gnosis menawarkan kebebasan.

Selama abad II (dan III) kepercayaan Kristen mesti bergumul dengan gnosis tersebut yang tersebar luas dan meresap ke mana-mana. Memang pandangan gnosis itu langsung berlawanan dengan kepercayaan Yahudi dan Kristen. Kepercayaan Yahudi dan Kristen pada dasarnya "optimis" dalam pandangannya terhadap dunia. Kendati dosa-dosa manusia yang tidak disangkal, dunia merupakan ciptaan Allah sendiri, bukan hasil kekeliruan atau ciptaan prinsip jahat. Maka pada dasarnya dunia itu baik. Kepercayaan (Yahudi dan) Kristen pada dasarnya historis. Keselamatan manusia tidak bergantung pada "ngelmu" yang diwahyukan, melainkan pada peristiwa-perisliwa tertentu, khususnya pada peristiwa Yesus, orang Nazaret itu. Bukan "ngelmu", melainkan iman, andalan pada Allah yang membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diminta dari pihak manusia, lain tidak. Dan kepercayaan Kristen pada dasarnya tidak esoteris, seperti gnosis yang teruntuk bagi orang-orang pilihan saja, melainkan terbuka untuk semua manusia.

Meskipun gnosis bertolak belakang dengan kepercayaan Yahudi dan Kristen, ternyata daya tariknya kuat sekali bagi orang (Yahudi) Kristen, baik keturunan Yahudi maupun dan terutama yang Yunani. Pengaruh gnosis Yunani (dan Yahudi) sudah terasa dalam karangan-karangan Perjanjian Baru. Sekitar tahun 53 Paulus mesti menghadapi sejumlah orang pada jemaah di Korintus yang terlalu gemar akan "hikmat" dan "ngelmu" (IKor 1:18-27), sehingga merasa sudah sepenuh-penuhnya menikmati keselamatan berkat pengalaman aktual akan Roh Kudus (IKor 4:6-13). Mereka pun merasa diri bebas dari segala hukum dan aturan (IKor 6:12), oleh karena mempunyai "gnosis" istimewa (IKor 8:1-2). Kebangkitan orang mati dianggap tidak menguntungkan sedikit pun (IKor 15:12) dan kematian Yesus kurang dihargai (IKor 1:18, 23). Surat Kol (2:8; 2:18) dan Ef (4:14) bergumul dengan sinkretisme Yunani yang berbau gnosis. Demikian pun Yud (19) dan 2Ptr (2:19-20; 1:16), kitab Wahyu (2:6, 9, 14-15; 2:14, 24; 3:9) serta surat-surat Pastoral (ITim 6:20; 2Tim 2:18; Tit 1:14-15; ITim 1:4; 4:7) bergumul dengan orang Kristen yang mempropagandakan semacam "ngelmu" istimewa yang memberi kemerdekaan penuh dan keselamatan definitif, sehingga" perkawinan terlarang, hawa nafsu boleh dilampiaskan oleh yang ber-"ngelmu" dan kebangkitan tak perlu. Tetapi sementara penulis-penulis itu melawan aliran "gnostis" itu, mereka sendiri terpengaruh olehnya dan memakai istilah yang laku di kalangan gnostis itu.

Pengaruh gnosis itu pun terasa dalam karangan-karangan lain. Contoh yang paling mengesankan ialah "Injil Thomas". Injil Thomas itu salah satu dari sekitar 40 naskah yang pada tahun 1945 ditemukan di Nag-Hamadi di Mesir. Ciri gnostis perpustakaan yang dimiliki sekelompok orang Kristen itu jelas sekali. Ada karangan gnostis tidak Kristen atau Yahudi, tetapi juga yang berasal dari orang-orang Kristen keturunan Yahudi. Satu di antaranya justru Injil Thomas tersebut. Barang kali Injil itu sudah disusun pada akhir abad I atau awal abad II. Sebenarnya Injil itu hanya sekumpulan perkataan dan wejangan kecil dari Yesus. Yesus digambarkan sebagai seorang "Guru" yang menyampaikan "gnosis" istimewa dan begitu menjadi Juru Selamat ilahi dengan membebaskan manusia dari dunia seadanya. Sengsara dan kematian Yesus tidak sampai disinggung dan juga kedatangan Yesus kelak tidak berperan sama sekali.

Orang-orang Kristen (rasa-rasanya cukup banyak) yang tertarik oleh gnosis Yunani itu memikirkan Yesus Kristus juga dengan caranya sendiri. Sesuai dengan pandangan gnosis mereka melihat Yesus sebagai tokoh surgawi, ciptaan Allah, Bapa. Memang perkembangan dalam kristologi selama abad I sudah menggeserkan tekanan dari Yesus, orang Nazaret yang melalui kebangkitan dinyatakan sebagai Anak Allah, kepada Anak Allah, Firman yang sudah ada sebelum tampil di bumi. Dan pendekatan ini mudah diterima oleh para penganut gnosis Yunani. Tetapi bahwa Yesus., Juru Selamat, seorang manusia benar, kurang sesuai dengan alam pikiran gnostis. Gnosis menilai kejasmanian secara negatif. Yang ilahi tidak dapat bercampur dengan materi, kejasmanian yang buruk dan kotor. Bila orang Kristen yang terkena gnosis mudah menerima bahwa Yesus Kristus Anak Allah dengan arti tertentu, termasuk dunia ilahi, yang turun ke dunia dan menyampaikan wahyu, maka mereka sukar menerima bahwa ia benar-benar manusia. Mereka memikirkan halnya sebagai berikut: Anak Allah, Firman Allah hanya "bertopeng" manusia, hanya pura-pura mati di salib.

Pendekatan macam itu terhadap Yesus Kristus diistilahkan sebagai doketisme (dianggap sebagai, tampak sebagai). Betapa kuat doketisme itu terbukti oleh tradisi umat Islam yang sampai dengan hari ini mempertahankan bahwa yang mati di salib bukan Isa Almasih, melainkan orang lain, entah Yudas atau Simon dari Kirene atau pun Barabas. Menjelang akhir abad I atau awal abad II doketisme rupanya sudah mesti dihadapi oleh 1 Yoh. Penulis karangan itu berpolemik dengan sejumlah orang Kristen yang menyangkal bahwa Yesus Kristus, Anak Allah datang "dalam daging" (lYoh 4:2) dan Kristus surgawi tidaklah sama dengan manusia Yesus (1Yoh 2:22). Mereka menyangkal bahwa Anak Allah datang dalam "darah" (mati di salib) (lYoh 5:5-8).

Rupanya orang-orang itu mengembangkan lebih lanjut beberapa unsur yang terkandung dalam karangan lain dari tradisi yang sama, yaitu Injil Yohanes. Di sana ditemukan pandangan yang mudah diartikan secara gnostis. Firman yang sejak awal ada dan menjadi "daging"; Anak (Manusia) yang turun dari atas, dari surga, lalu kembali kepada Bapa, kepada kemuliaan-Nya semula dan sebagainya. Dan Anak Tunggal itu dalam Yoh terutama dilihat sebagai "penyataan" Bapa, pewahyu yang memperkenalkan Allah dan manusia, sehingga "mengenal Bapa dan Putra" menjadi keselamatan. Ciri ngeri dari sengsara dan kematian Yesus dihilangkan, sehingga kematian di Salib menjadi penyataan kemuliaan saja. Doketisme dapat tampil dalam pelbagai bentuk, lebih kurang kasar atau halus. Kadang-kadang Kristus hanya mempunyai rupa badan, lain kali Kristus surgawi (Penyelamat) dibedakan dengan Yesus yang mempunyai badan, tetapi untuk sementara waktu "didiami" oleh Kristus surgawi. Sebagai contoh diringkaskan saja bagaimana Yesus Kristus tampil dalam karangan yang disebut "Kisah (Acta) Yohanes" (Rasul) (sekitar th. 150).

Diceritakan bagaimana Yesus selagi hidup di dunia terus mengganti rupa. Kadang-kadang ia berupa anak kecil, lain kali berupa orang dewasa. Kalau diraba-raba kadang-kadang Yesus dirasakan keras, tetapi kadang-kadang juga tidak dirasakan sama sekali. Yesus dapat menegaskan: Apa yang kini tampak bukanlah saya. Waktu disalibkan Yesus tampak oleh Yohanes di bukit Zaitun dan berkata: Menurut orang banyak di bawah situ saya disalibkan, ditusuk dengan tombak, dan diberi minum cuka dan empedu. Tetapi saya sebenarnya berbicara denganmu dan engkau mendengar aku.

Berhadapan dengan gnosis/doketisme lYoh sangat menekankan historisitas Yesus Kristus dan realitas kematian-Nya. Yesuslah Anak Allah (lYoh 5:5) dan sama dengan Kristus (lYoh 2:22; 5:1). Dan Anak Allah datang dalam daging (lYoh 4:2), dalam "air" dan "darah" (lYoh 5:8), berarti: seluruh eksistensi keduniaan Yesus Kristus, termasuk kematian-Nya. Firman Allah sendiri pernah dilihat, didengar dan diraba-raba di dunia ini (lYoh 1:1-3). Penyelamatan tidak terlaksana oleh "ngelmu", gnosis, melainkan oleh Yesus yang menjadi penyilih dosa kita dan dosa dunia melalui kematian-Nya (lYoh 1:7; 2:2; 4:10; 3:5).

Pergumulan dengan gnosis berupa doketisme diteruskan oleh Ignatius, uskup Antiokhia (± 110). Ajaran doketisme itu diperlawankan dengan ajaran yang oleh Ignatius dianggap sebagai benar dan lanjutan kepercayaan Kristen sejati. Ignatius sebenarnya menjadi waris pikiran Paulus tetapi ajaran Paulus itu ditinjau kembali. Ignatius menentang gnosis (berupa doketisme), namun demikian alam pikirannya Yunani dan malah berdekatan dengan alam pikiran yang tampil pada para gnostik dan dalam karangan-karangan dari tradisi Yohanes. Ignatius menentang sejumlah orang (Kristen) yang mengakui bahwa Yesus Kristus ilahi dan Anak Allah ala Yunani. Tetapi mereka tidak hanya menyangkal bahwa Yesus benar-benar menderita dan mati, tetapi bahkan sungguh menjadi manusia (Tral 9-10;Smirn 5).

Berhadapan dengan pandangan itu Ignatius mengemukanan "Injil" ialah kepercayaan jemaah-jemaah yang dipimpin olehnya. Ignatius sangat menekankan bahwa Yesus Kristus benar-benar manusia, diperkandung oleh perawan Maria, dilahirkan, dibaptis, sungguh-sungguh menderita dan mati. Jadi, Ignatius berlawanan dengan pendekatan gnostis menonjolkan segi historis manusiawi Yesus Kristus. Namun demikian, Ignatius jelas menganut "kristologi dari atas" dan berulang kali langsung menyebut Yesus Kristus sebagai "Allah". Hanya Ignatius berusaha mempertahankan keseimbangan dengan menekankan bahwa Yesus Kristus serentak Allah dan manusia (Ef 7:2; Tral 9, Smirn 2:1-2). Yesus Kristus diperanakkan dari daging dan sekaligus dari Roh, sekaligus dari Maria dan dari Allah, dahulu dapat menderita, tetapi kemudian tidak dapat menderita. Yesus Kristus ialah hidup sejati dalam kematian. Dia itu serentak anak manusia dan Anak Allah (Ef 20:2).

Kristologi Ignatius tersebut sungguh-sungguh "Yunani" berarti statis. Yesus Kristus serentak Allah dan manusia, menggabungkan yang ilahi dan yang insani, yang surgawi dan yang duniawi. Dia itulah yang menjadi pelaku seluruh hidup-Nya di bumi ini dan selanjutnya, Ia tetap berkuasa. Tuhan Allah, benar-benar Allah. Ia datang dari Bapa yang satu, tetap tinggal pada yang satu dan telah kembali kepada yang satu. Sesuai dengan alam pikiran Yunani Ignatius bertanya: Siapa Yesus Kristus? Apa itu Yesus Kristus? Dan jawabannya: Yesus Kristus ialah Allah, Allah dan manusia. Bukan hal ihwal Yesus, kalaupun ditekankan berlawanan dengan doketisme, yang menjadi perhatian Ignatius, melainkan Yesus Kristus sendiri. Dengan kelahiran Yesus sebenarnya semua sudah beres. Dalam Ef 19 Ignatius menguraikan tiga "misteri yang tetap tersembunyi bagi penguasa dunia ini", yakni: keperawanan Maria dan bersalinnya dan juga kematian Tuhan. Tetapi tekanan terletak pada yang pertama. Sebab Ignatius meneruskan, "Bagaimana misteri itu dinyatakan kepada "aeones"? Sebuah bintang di langit bersinar melampaui segala bintang.

Cahayanya tak terperikan dan kebaharuannya mengagumkan. Dan semua bintang lain bersama dengan matahari dan bulan menari berbaris sekeliling bintang itu. Tetapi bintang itu sendiri memancarkan cahayanya melebihi segala-galanya. Dan ada kebingungan, dari mana gerangan (bintang) yang baru dan tidak serupa dengan mereka (bintang, matahari, bulan) itu? Maka segala ilmu sihir dilebur dan setiap belenggu kejahatan lenyap; kejahilan disapu bersih, kuasa-kuasa lama jatuh binasa pada saat Allah menyatakan diri dalam rupa manusia menjadi kebaharuan hidup kekal. Kini dimulai apa yang sudah selesai pada Allah. Maka semuanya bergejolak, oleh karena kebinasaan kematian disiapkan sudah". Dalam pendekatan itu bukanlah penderitaan Yesus dan kematian-Nya memutuskan, melainkan tampilnya Allah di bumi.

Tentu saja Ignatius mempertahankan dan meneruskan tradisi yang sudah ada sejak awal dan khususnya diperkembangkan oleh Paulus. Yaitu: Yesus mati (dan bangkit) bagi kita; demi untuk dosa-dosa kita. Berulang kali rumus itu tampil dalam surat-surat Ignatius. Eksistensi Yesus di dunia memang historis dan real. Tetapi Yesus dalam eksistensi keduniaan-Nya toh terutama dilihat sebagai "Guru dan Pengajar" ilahi yang perlu diteladani. Apa yang sebenarnya penting ialah Yesus Kristus sekarang. Sebelum sekalian zaman Ia berada pada Bapa dan akhirnya menjadi nyata (Magn 5:1), Ia melampaui segala waktu, tidak berwaktu, yang tidak kelihatan yang dilihat oleh kita; yang tak tersentuh dan tak berwaktu, yang menderita oleh karena kita (Pol 3:2). Polycarpus (± 108) menganut pendekatan yang sama dengan pendekatan Ignatius dan juga melawan doketisme. Tetapi Polycarpus lebih menekan makna penyelamatan penderitaan dan kematian Yesus.

Masih lebih kuat daripada oleh Polycarpus ciri historis dan realitas manusiawi Yesus Kristus ditekankan oleh sebuah karangan (pseudepigraph) yang disebut "Surat Barnabas". Karangan itu berasal dari orang-orang Kristen (Aleksandria?) yang berkebudayaan Yunani. Dengan pertolongan eksegese allegoris dibuktikan dengan Alkitab Perjanjian Lama (dan apokrif-apokrif) bahwa tata penyelamatan lama sudah diganti tata penyelamatan baru oleh Yesus Kristus. Sesuai dengan Kitab Suci, yang diartikan sebagai nubuat (tipologi), bahwa Anak Allah dan bukan anak manusia atau anak Daud, yaitu Yesus Kristus, sudah ada pada saat penciptaan. Tetapi Ia, yang adalah Tuhan semesta dunia, datang dalam daging dan menyerahkan daging-Nya kepada kebinasaan, agar kita dikuduskan berkat pengampunan dosa. Ia, Tuhan yang menghakimi orang hidup dan mati, menderita dan disalibkan, agar karena kematian-Nya memberi kita kehidupan, sesuai khususnya dengan Yes 53, dan menyelamatkan kita dari kegelapan (Barn 5-7, 12, 14). Meskipun tidak dikatakan dengan tegas surat Barnabas itu jelas menentang doketisme dan gnosis, kalaupun sana sini meminjam istilahnya. lYoh, Ignatius, Polycarpus dan surat Barnabas melawan tetapi tidak berhasil mengalahkan gnosis. Gnosis itu tetap menarik cukup banyak orang Kristen. Malah justru selama abad II gnosis Kristen menjadi matang, menjadi suatu sistem yang ciri Yunaninya menyolok. Boleh disebutkan dua tokoh yang tampil di Mesir, yaitu Basilides (th. 120-145) dan terutama Valentinus (th. 135-160). Pengaruh Valentinus luas sekali melalui sejumlah pengikut yang berbobot (Ptolomeus, Heraklion, Secundus, Theodotius). Dengan sistem lengkap yang dikembangkannya Valentinus menjelaskan seluruh realitas nyata sebagai hasil sebuah drama yang berlangsung di dalam keallahan sendiri. Asas pertama seluruh realitas ialah (Allah) Bapa, yang secara mutlak transenden, tidak kelihatan dan tidak terpahami. Tetapi Bapa (Allah) itu bergabung dengan Enoia (pemikiran) dan melahirkan 15 pasang "aeones", yang bersama-sama membentuk "Pleroma", Aeon yang terakhir bernama Sophia (Hikmat). Sophia itu dibutakan oleh keinginannya melihat Bapa (hal mana tidak mungkin). Dan itulah yang menyebabkan yang jahat dan hawa nafsu muncul. Maka Sophia dikeluarkan dari Pleroma dan bersama dengan apa yang disebabkannya membentuk suatu Sophia rendahan. Sekaligus di tingkat atas sebuah pasang baru diciptakan, yaitu Kristus dan teman perempuannya, ialah Roh Kudus. Dengan demikian, Pleroma dipulihkan dan melahirkan Juru Selamat, yaitu Yesus. Juru Selamat Yesus itu turun ke tingkat-tingkat bawah jagat raya dan membentuk zat tak kelihatan dari bahan materi yang berasal dari Sophia rendahan itu. Dengan unsur-unsur psikis Yesus menjadikan Allah pencipta ialah Demiurg. Allah pencipta itu tidak tahu apa-apa tentang suatu dunia lebih tinggi dan menganggap dirinya satu-satunya Allah. Allah itu menciptakan dunia material.

Dengan nafasnya ia menjiwai materi itu dan menjadikan macam-macam manusia. Ada yang "jasmani" (Hylis) dan ada yang "jiwani" (psikis). Tetapi diam-diam unsur-unsur rohani yang berpancar dari Sophia tertinggi menyusup ke dalam nafas Allah pencipta. Dan begitu muncul jenis manusia yang ketiga, yaitu yang rohani (pneumatis). Dengan maksud membebaskan unsur-unsur rohani yang tertangkap dalam materi itu, Kristus turun ke bumi, meskipun tidak benar-benar menjadi manusia (doketisme). Ia menyatakan pengetahuan (gnosis) rahasia yang membebaskan/menyelamatkan. Terbangun oleh gnosis itu manusia-manusia rohani saja yang bersama dengan Kristus naik kembali kepada Bapa. Gnosis itu yang maunya Kristen berusaha menempatkan Kristus di dalam rangka realitas lain yang ada. Kristus itu memang amat tinggi kedudukan-Nya, tetapi toh jauh di bawah "Bapa" (Allah). Ia juga turun, tetapi tidak menjadi manusia dan hanya berperan sebagai pewahyu, penyalur "ngelmu" belaka.

Dengan bentuk kurang fantastis, kurang mitologis, lebih rasional dan moderat gnosis secara efektif disebarluaskan oleh seorang tokoh yang bernama Markion. Sekitar tahun 140 ia tampil di Roma dan setelah dikeluarkan dari jemaah menciptakan Gerejanya sendiri, yang terorganisasikan dengan baik, punya uskup-uskup, imam, keuskupan dan paroki. Dan Gereja itu tama dapat mempertahankan diri. Markion sebenarnya merasa prihatin tentang situasi jemaah-jemaah Kristen. Ia yakin bahwa iman kepercayaan jemaah-jemaah itu semakin kehilangan indentitas Kristennya. Ia ingin memulihkan iman kepercayaan murni.

Markion memperlawankan Allah Perjanjian Baru dengan Allah Perjanjian Lama. Allah Perjanjian Lama bukanlah (seperti dalam gnosis ekstrem) jahat dan buruk, melainkan Pencipta segala sesuatu, yang adil, hakim dan penghukum. Allah itu mengeluarkan hukum (Taurat) dan menguasai dunia yang ada. Sebaliknya Allah Perjanjian Baru ialah Allah sejati, Allah yang sebenarnya, yang baik dan penuh cinta kasih dan belas kasihan. Allah itulah yang diperkenalkan oleh Yesus Kristus. Penebusan atau pembebasan yang diwartakan Yesus Kristus ialah pembebasan dari hukum Taurat, dari Allah Perjanjian Lama, dari kuasa-Nya dan dunia ciptaan-Nya. Penebusan itulah karya penyelamatan Yesus Kristus. Yesus Kristus itu boleh saja disebut Anak Allah. Dan artinya: Yesus Kristus ialah penampakan Allah sejati. Allah Bapa. Dan Anak itu hanya dalam namanya berbeda dengan Bapa. Kristologi macam itu diistilahkan sebagai monarkianisme-modalistis. Allah hanyalah satu dan esa, tunggal. Itulah yang amat ditekankan alam pikiran Yunani. Maka Anak Allah, Yesus Kristus, hanya suatu "modus", rupa atau bentuk dari Allah Yang Mahaesa itu. Dan Anak Allah itu tidak menjadi sungguh-sungguh manusia. Sebab ciptaan, karya Allah Perjanjian Lama, memang tidak cocok dengan Anak Allah, ialah Allah Perjanjian Baru. Kuasa Allah Pencipta serta hukum-Nya sudah ditumbangkan oleh Anak Allah, Yesus Kristus; bagi orang yang percaya semuanya itu tidak berlaku lagi. Untuk membayar uang tebusan kepada Allah Pencipta, Yesus pura-pura mati disalib. Allah pencipta tertipu oleh Yesus Kristus yang dengan maksud itulah membiarkan diri digelari "Kristus", yang dinubuatkan dan dinantikan dalam Perjanjian Lama. Dengan jalan itu Yesus, Anak Allah, merebut orang berdosa dari kuasa Allah, Hakim, dan Penghukum. Ciri Yunani dan sinkretis sistem Markion cukup kentara. Pandangan linear kepercayaan Kristen (dua tahap dalam sejarah penyelamatan) diganti dengan metafisik Yunani (dua tingkat dalam jagat raya, yang di bawah berciri negatif, yang di atas positif); monoteisme Yahudi-Yunani ekstrem; kristologi "epifania", doketistis dan modalistis; penebusan yang berdasarkan "gnosis" yang diwahyukan berarti: pembebasan dari dunia material dan kuasa negatif.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan teologisnya (dipaparkan dalam karya Markion yang berjudul "Antitheses") Markion menolak Kitab Suci Perjanjian Lama (dan menjadi anti-Yahudi) dan seluruh hukum Taurat. Dalam sikap negatifnya terhadap hukum Taurat Markion meneruskan dan memperuncing sikap Paulus. Di masa itu satu-satunya Kitab Suci umat Kristen ialah Perjanjian Lama. Maka Markion bagi "gerejanya" menciptakan sebuah Kitab Suci baru, Kitab Suci Kristen. Dari sekian banyak karangan yang beredar pada jemaah-jemaah Kristen (entah benar-benar rasuli entah gadungan) Markion menyaring sepuluh surat Paulus (yang tidak ada, barang kali tidak dikenal Markion, ialah surat-surat Pastoral dan Ibr) dan Injil Lukas. Tetapi menurut Markion karangan-karangan itu, seperti nyatanya beredar, sudah dipalsukan. Maka Markion menyadur karangan itu seperlunya. Pikiran bahwa Kitab Suci seadanya dipalsukan juga dipakai beberapa aliran kekristenan Yahudi (Kaum Ebyonim, Pseudo-Clementina) untuk "membersihkan" Perjanjian Lama. Pikiran itu sampai hari ini diteruskan dalam tradisi umat Islam.

Dengan demikian, maka Markionlah yang untuk pertama kalinya menciptakan sebuah Kanon Kitab Suci Perjanjian baru bagi umat Kristen. Akibatnya ialah: Mereka yang tidak setuju dengan pikiran Markion dan dengan Kitab Suci Kristen yang ia ciptakan, mulai juga menyaring karangan-karangan yang dinilai "sejati", penyalur iman kepercayaan Kristen yang benar. Kiranya tidak kebetulan bahwa "Kanon" Perjajian Baru pertama yang dikenal (Kanon Muratorianum) sekitar th. 200 disusun di Roma, tempat Markion mulai kegiatannya. Dan nama Markion tampil sebagai biang keladi "bidaah".

Kristologi seperti selama abad II berkembang pada umat Kristen yang berkebudayaan Yunani jelas jauh dari seragam dan sedikit banyak simpang siur. Boleh dikatakan bahwa ada pendekatan dasariah yang sama, sejauh pemikiran hampir selalu bertitik tolak dari atas. Dengan demikian diteruskan perkembangan seperti sudah nyata dalam karangan-karangan paling belakangan yang tercantum dalam Perjanjian Baru. Ciri ilahi Yesus Kristus amat menonjol.

Namun demikian, boleh dilihat dua arus perkembangan yang berbeda. Tidak sedikit orang dan jemaah Kristen dalam pemikirannya sekitar fenomena Yesus seluruhnya diserap oleh alam pikiran Yunani dan sinkretisme religiusnya. Dalam pendekatan gnostis Yesus Kristus menjadi tokoh mitologis yang ditempatkan antara Allah yang Esa dan mutlak transenden dan dunia manusia dan dunia material. Yesus Kristus bukan sungguh Allah dan bukan pula sungguh manusia. Ia terutama dipikirkan sebagai "penyataan", sebagai "pewahyu" yang dari dunia atas membawa pengetahuan sejati tentang manusia, dunia dan Allah, Yang ilahi. Begitulah Ia menjadi Juru Selamat. Di samping itu ada arus yang diwakili oleh Ignatius dari Antiokhia, Polycarpus dan Surat Barnabas yang meskipun menekankan ciri ilahi Yesus begitu rupa sehingga benar-benar Allah, sekaligus meneruskan tradisi awal tentang Yesus yang memang seorang tokoh historis, seorang manusia yang pada saat tertentu tampil dalam sejarah dan menempuh eksistensi manusiawi, lahir, menjadi dewasa, berkeliling sebagai guru dan nabi, men-derita dan mati di salib serta bangkit dari antara orang mati. Begitulah memang pokok inti pengakuan iman yang pada awal sudah terbentuk. Tetapi tidak secara tuntas dipikirkan bagaimana kedua segi itu dapat dipertahankan dan digabungkan. Ketiga Injil sinoptik yang meriwayatkan kehidupan Yesus dahulu semakin tersebar luas. Dan riwayat itu memang hanya mengisi lebih lanjut dan konkret kerangka yang dipasang oleh "pengakuan-pengakuan iman" yang beredar pada jemaah-jemaah Kristen dan agaknya terutama dipakai dalam rangka pembaptisan mereka yang masuk Kristen.

Tetapi kecuali kesimpangsiuran dan bentrokan di kalangan umat Kris-ten sendiri, mereka masih juga mesti bergumul dengan lingkungan. Di muka situasi sosiopolitik itu sudah disinggung.
Untuk membenarkan dan membela agama Kristen terhadap kritik dari masyarakat dan pejabat-pejabat negara, sejumlah cendekiawan Kristen mengangkat pena dan menyusun pembelaannya yang tidak jarang serentak menyerang kekafiran (dan juga bangsa Yahudi yang turut mengkritik orang Kristen). Boleh disebutkan Quadratus (± th. 123), Aristides dari Atena (± th. 140), Tatianus (± th. 172) dan terutama seorang filsuf yang bernama Yustinus (± 165). Para cendekiawan, pembela kepercayaan Kristen itu mencoba memperlihatkan bahwa kepercayaan itu tidak ateis, melainkan justru monoteisme yang paling murni. Kepercayaan itu masuk akal dan mempunyai akarnya dalam tradisi yang paling tua. Dan dalam pembelaan dan polemiknya mereka memanfaatkan segala macam argumen.

Dalam usahanya menjelaskan siapa sebenarnya Yesus Kristus, yang diimani umat Kristen, mana kedudukan dan peranan-Nya Yustinus memanfaatkan gagasan yang dilontarkan Injil Yohanes, yaitu bahwa Yesus Kristus ialah Firman Allah dan hikmat kebijaksanaan ilahi. Gagasan "firman logos" itu memang suatu gagasan yang laku sekali dalam filsafat Stoa yang bergabung dengan filsafat yang berpangkal pada Plato. Dan aliran filsafat neo-platonis itu tersebar luas di dunia Yunani-Romawi di zaman itu, terutama di kalangan para cendekiawan.

Maka menurut Yustinus, Yesus Kristus ialah "logos" kekal yang berpancar dari Allah yang satu (Dial 100). Dan dengan arti itu boleh disebut "Anak Allah", seperti sudah dikatakan oleh Filo dari Aleksandria. Dalam keallahan itu logos itu suatu kekuatan, daya ilahi. Logos itu diistilahkan sebagai "logos endiathetos". Waktu jagat raya, kosmos, diciptakan dan dalam diselenggarakannya jagat raya itu logos itu keluar dari keallahan (logos prophorikos) dan menjadi tersendiri (2Apol 6:3). Logos itu meresap segala sesuatu dan khususnya manusia yang berakal menjadi peserta dalam logos itu (logos spermatikos), yang berperan sebagai "akal jagat raya". Khususnya tokoh-tokoh seperti para nabi, Sokrates, dan sebagainya, menjadi peserta dalam logos ilahi itu, oleh karena mereka dalam hidupnya mengikuti logos ilahi itu (lApol 32:8; lApol 46:3). Dalam arti demikian mereka sebenarnya sudah Kristen juga. Logos ilahi, yang boleh disebutkan sebagai "Allah kedua", Anak Allah, Malaikat Allah dan Hamba Allah (Dial 56:4), akhirnya lahir dari perawan Maria, menjadi manusia dan menderita seperti manusia lain (lApol 63:10). Sebelumnya logos itu juga tampak dalam pelbagai rupa oleh para bapa bangsa, Musa dan sebagainya, tetapi sepenuh-penuhnya tampak waktu menjadi manusia Yesus Kristus (Dial 61:1-3; 127:2-5).

Jelaslah kristologi Yustinus itu ialah kristologi dari atas, dan subordinasionistis. Tekanan terletak pada "firman Allah" yang ada sejak kekal, sebelum menjadi manusia dan tampil di panggung sejarah. Logos itu dalam ketergantungan pada Allah (karena itu boleh disebut Anak Allah dan Allah boleh disebut Bapanya) mendapat kepribadian dalam penciptaan dan akhirnya tampil sebagai manusia. Yesus Kristus sebagai firman Allah boleh disebut Allah, tetapi "Allah kedua" dan sebagai "pribadi" tidak kekal, meskipun sudah pribadi sebelum tampil di bumi dalam Yesus Kristus. Yustinus blak-blakan menolak pendekatan gnostis dan doketisme. Ia menerima bahwa Anak Allah sungguh-sungguh menjadi manusia, lahir, dibaptis, mengajar, mengerjakan mukjizat, dan benar-benar menderita dan mati dan begitu menyembuhkan orang berdosa. Tetapi dalam hal ini Yustinus hanya meneruskan tradisi yang ia terima. Realitas penderitaan dan kematian Yesus tidak begitu mudah disesuaikan dengan pendekatan Yustinus terhadap Yesus Kristus sebagai Logos ilahi. Yustinus menerima itu oleh karena tidak hanya merasakan diri terikat pada Kitab Suci, ialah Perjanjian Lama, yang dipakai, dengan pertolongan alegogese, untuk membuktikan keilahian Yesus Kristus, dan tidak hanya terikat pada "regula fidei", kebenaran-kebenaran pokok dari tradisi Kristen, tetapi juga pada apa yang diistilahkannya sebagai "Kenangan para Rasul", ialah Injil-injil tertulis, yakni Injil karangan Matius, Lukas, dan barang kali Markus. Meskipun karangan ini tidak setingkat dengan Kitab Suci, bagi Yustinus berkewibawaan.

Gnosis yang tersebar luas pada umat Kristen selama abad II sungguh membahayakan identitas kepercayaan Kristen dan identitas Yesus Kristus yang menjadi tokoh mitologis belaka. Maka gnosis itu tidak dapat tidak memancing reaksi dari pihak umat Kristen. Maka sejumlah tokoh mengangkat pena untuk melawan dan menyerang gnosis dan penyebaran-penyebarannya. Beberapa nama dapat disebut: Agrippa Castor, Philippus dari Gortyna, Rhodon, Candidus, Apion, Sextus, Heraklitos dan terutama Hegesippus, Ireneus dan Tertullianus. Oleh karena kedua tokoh terakhir ini paling gigih menghadapi gnosis dan karya-karya mereka terpelihara, maka cukuplah kedua tokoh ini diperkenalkan sedikit, khususnya dalam pemikiran mereka tentang Yesus Kristus. Suatu keuntungan dari gnosis itu justru bahwa umat Kristen dipaksa memperdalam pahamnya. Berkat gnosis itu kritologi yang sesungguhnya, teologi tentang Yesus Kristus, mulai berkembang.

Ireneuslah, uskup Lyon di Francis (± 202), menjadi lawan paling sistematis terhadap gnosis. Ireneus yang berasal dari Asia Depan seorang terpelajar. Selama pendidikannya dan petualangannya ke mana-mana, a.l. ke Roma, ia mengumpulkan banyak informasi mengenai situasi jemaah-jemaah Kristen di kawasan Laut Tengah. Ia tahu bagaimana iman kepercayaan jemaah-jemaah itu. Ia tahu juga dan menilai setingkat dengan Kitab Suci Perjanjian Lama sejumlah karangan dari kekristenan semula. Ia sudah mempunyai sebuah Kanon Kitab Suci Kristen, Perjanjian Baru. Kanon itu memuat: Keempat Injil, 13 surat Paulus, Kis, Why, IPtr, 1+2Yoh. Kanon Ireneus itu jelas berlawanan dengan kanon susunan Markion. Menurut Ireneus karangan-karangan yang ia pakai dipergunakan oleh jemaah-jemaah di mana-mana. Dengan kanonnya itu Ireneus menggabungkan tradisi yang berpangkal pada Paulus dengan tradisi yang berpangkal pada Yohanes. Kecuali itu Ireneus ternyata membaca banyak (a.l. karangan Klemens Romanus, Hermas — Pastor — Ignatius, Polycarpus, Papias, Yustinus dan juga karangan-karangan yang beredar di kalangan para penganut gnosis). Ireneus menjadi imam dan uskup di Lyon (± 177/178), kawasan barat negara Roma yang kurang menyerap kebudayaan Yunani, namun Ireneus, yang menulis dalam bahasa Yunani, terbiasa dengan alam pikiran Yunani seperti itu berkembang di kawasan timur.
Ireneus yakin bahwa identitas iman kepercayaan Kristen terancam. Ancaman itu datang dari pihak Montanisme, yang mulai tampil sekitar tahun 160. Montanisme mengutamakan peranan Rob Kudus dan tidak menyetujui perkembangan dan penyesuaian iman kepercayaan Kristen dengan kebudayaan Yunani. Aliran itu mau meneruskan saja keadaan semula, keadaan karismatis. Tetapi bahaya terutama datang dari pihak gnosis, khususnya gnosis sebagaimana disistemkan oleh Valentinus dan Markion.

Untuk membendung perkembangan yang dinilai salah, Ireneus mengumpulkan dan mensistemkan apa yang diterimanya sebagai "tradisi rasuli", iman sejati. Berlawanan dengan kenyataan historis Ireneus yakin bahwa Yesus sendiri sudah menyampaikan semua kebenaran kepada para rasul, yaitu Kedua belas, tambah Paulus. Rasul-rasul itu mempercayakan kebenaran-kebenaran itu kepada uskup-uskup jemaah-jemaah yang mereka dirikan. Selama abad II organisasi jemaah-jemaah sekitar satu orang uskup, seperti dipropagandakan Ignatius, sudah menjadi umum. Ireneus mengandaikan bahwa sejak awal demikian. Maka untuk mengenal "ajaran para rasul", tradisi sejati, cukuplah, menurut Ireneus, mengkaji ajaran uskup-uskup "rasuli" itu. Khususnya jemaah Roma, yang didirikan — menurut Ireneus — oleh Petrus dan Paulus, dapat ditanyakan perihal iman sejati. Di samping "tradisi" itu tersedia karangan-karangan rasuli, berarti: sejak awal umum dibaca oleh jemaah-jemaah. Dengan demikian, orang mempunyai seperangkat sarana, tolok ukur, untuk mengenal kebenaran-kebenaran iman sejati dan menolak yang sesat.
Ireneus sendiri mengutarakan prinsip tersebut dan menerapkannya dalam karangan utamanya yang berjudul: Penyingkapan dan bantahan gnosis gadungan, yang biasanya dikutip menurut judul Latinnya: Adversus Haereses. Menurut judulnya itu karya itu khususnya menentang gnosis. Sejarah perkembangan gnosis itu, mulai dengan Simon Magus sampai dengan Valentinus, secara terinci disajikan dalam karya itu.

Meskipun Ireneus hanya mau meneruskan apa yang dinilainya sebagai tradisi sejati, ia mengolah seluruh tradisi itu serta mesistemkannya dengan memakai pemikiran dan penalaran ala Yunani. Maka Ireneus menjadi teolog sistematis yang pertama dan digelari sebagai "Bapa teologi dogmatis", kendati maksud pastoral Ireneus menyolok.
Dalam rangka polemik dengan gnosis Ireneus mengembangkan kristologinya. Dalam kristologi itu Ireneus menggabungkan dua gagasan. Gagasan yang satu ialah: Yesus Kristus adalah firman Allah, logos, dan Anak Allah, yang sejak kekal ada. Menurutnya logos itu layak disebut Anak Allah oleh karena dengannya segala sesuatu dijadikan dan dipertahankan, sedangkan diatur oleh Roh Kudus. Seperti anak bergantung pada ayah, demikian logos bergantung pada Allah (Adv. Haer 2:309; 2:104). Gagasan itu diambil dari tradisi Yohanes, tetapi Ireneus menggunakannya dengan cara yang a.l. terpengaruh oleh pemikiran Yustinus yang bergerak dalam alam pikiran Plato-Stoa. Firman Allah, Anak-Nya yang kekal pada saat tertentu menjadi manusia benar dan utuh.

Gagasan yang sudah lazim tentang logos ilahi itu oleh Ireneus digabungkan dengan pikiran Paulus sekitar solidaritas, kesetiakawanan timbal balik antara Yesus Kristus dan manusia seadanya. Yesus Kristus menjadi senasib dengan manusia berdosa, supaya manusia berdosa menjadi senasib dengan Yesus Kristus yang dibangkitkan Allah. Ireneus merumuskan prinsip solidaritas itu dengan menegaskan: Firman Allah, Anak Allah yang kekal, menjadi seperti kita seadanya, supaya kita menjadi seperti Firman dan Anak Allah seadanya (Adv. Haer 5 Praef). Ireneus sebenarnya mentransposisikan gagasan Paulus ke dalam alam pikiran Yunani. Paulus memikirkan halnya secara dinamis dan lancar, dalam rangka sejarah penyelamatan. Yesus Kristus, Anak Allah tampil dalam sejarah pada saat tertentu dan menjadi senasib dengan manusia keturunan Adam. Adam menjadi pra-lambang, prototipe, wakil dan awal umat manusia dan sejarah kemalangannya. Setelah menempuh nasib malang manusia, Yesus Kristus oleh Allah diselamatkan dengan pembangkitan. Manusia yang atas dasar kematian Yesus di salib dibenarkan oleh Allah (dapat) menjadi senasib dengan Yesus Kristus yang dibangkitkan dan nanti datang bersama dengan orang beriman yang diselamatkan dan dibangkitkan. Sebaliknya Ireneus memikirkan halnya secara vertikal, tegak lurus. Sejak awal Firman, Anak Allah yang kekal menyertai umat manusia. Pada saat tertentu Firman, Anak Allah itu turun menjadi manusia. Ireneus memikirkan halnya agak "modalis". Manusia Yesus Kristus merupakan "rupa" bentuk yang di dalamnya Firman Allah menampakkan diri (Adv. Haer 3:16, 9). Dengan cara demikian Allah (Firman Allah) dan manusia konkret itu sungguh satu. Yesus tidak hanya "didiami" oleh Firman dan Anak Allah (Adv. Haer 3:16, 8; 1:9, 2; 4:6, 7; 3;5, 14; 5:21, 3). Lalu Firman itu menempuh eksistensi manusia seadanya, dari kelahiran sampai dengan kematian dan kebangkitan. Dengan dan dalam eksistensi-Nya itu Firman Allah memulihkan keadaan umat manusia semula, secara terbalik menempuh sejarah umat manusia, sambil memadatkan di dalam dirinya seluruh umat manusia dan sejarahnya (Adv. Haer 3:22, 3; 3:18, 1; 2:22, 4). Dan dengan demikian Ia malah menyelesaikan dan meningkatkan umat manusia dan menjadikannya serupa dengan diri-Nya (Adv. Haer 3:18, 7; 5:21, 2). Adam Baru, ialah Yesus Kristus, tidak hanya prototipe umat manusia baru, tetapi memuat di dalam dirinya umat manusia yang baru itu.

Memanglah gagasan dasar seluruh kristologi Ireneus, yang mempersatukan kedua pemikiran tersebut ialah "recapitulatio", "anakephataiosis". Istilah itu berdasarkan Ef 1:10 dan l.k. boleh dialihbahasakan sebagai: mengumpulkan, memulihkan, memadatkan dan mengangkat di dalam satu pokok, kepala. Ireneus sendiri meringkaskan pendekatannya itu sebagai berikut: Maka ada satu Allah ... dan satu Kristus Yesus, Tuhan kita. Dia itu melintasi seluruh sejarah penyelamatan (ekonomia) dan mempersatukan (anakephalesthai) segala sesuatu di dalam diri-Nya. Ke dalam semuanya itu termasuk manusia, ciptaan Allah.

Maka Ia pun mempersatukan di dalam diri-Nya manusia, oleh sebab Ia yang tak kelihatan menjadi kelihatan, yang tak terpahami menjadi dipahami dan Firman menjadi manusia. Ia mempersatukan jagat raya di dalam dirinya, supaya Ia, sama seperti Firman menjadi Penguasa dalam hal-hal surgawi dan rohani, demikian pun menjadi berkuasa dalam hal-hal kelihatan dan badani, sementara Ia menyandang kekuasaan dan mengangkat diri-Nya menjadi Kepala Gereja dan dengan demikian menarik segala sesuatu kepada diri-Nya pada saat-Nya (Adv. Haer 3:16, 6). Dan lagi Ireneus menegaskan: Pencipta dunia ialah benar-benar Firman Allah. Tetapi Dia itu ialah Tuhan kita, yang pada zaman terakhir menjadi manusia, hidup di bumi ini dan secara tak kelihatan merangkum segala sesuatu serta tertanam di dalam seluruh ciptaan, oleh karena Firman Allah itu menyelenggarakan dan mengatur semuanya. Hanya secara kelihatan Ia datang ke dalam milik-Nya dan menjadi daging serta bergantung pada kayu dengan maksud kembali mengumpulkan di dalam diri-Nya segala sesuatu (Adv. Haer 5:18, 3). Maka menurut pendekatan Ireneus Firman Allah, Anak Allah yang menjadi manusia, ialah Yesus Kristus, mempersatukan, mengumpulkan di dalam diri-Nya, secara vertikal dan secara horisontal segala sesuatu, Secara vertikal ia mempersatukan yang ilahi dengan yang manusiawi; secara horisontal ia mempersatukan di dalam diri-Nya seluruh ciptaan dan segenap sejarah dari awal sampai akhir.

Berlawanan dengan gnosis, khususnya dengan Markion, Ireneus mempertahankan dan mempertegas bahwa Allah Pencipta, Allah Perjanjian Lama, sama dengan Allah Penyelamat, Allah Perjanjian baru (Adv. Haer 2:1, 1; 2:11, 1). Firman Allah, yang selayaknya juga disebut Anak Allah, sejak kekal ada pada Allah, lahir dari Allah. Dan di dalam diri-Nya Firman itu secara ideal memuat seluruh ciptaan (Adv. Haer 2:28, 5). Dengan Firman-Nya itu Allah menciptakan dan menyelenggarakan segala sesuatu (ekonomia), khususnya manusia. Manusia diciptakan menurut gambar (eikon) dan penyerupaan (homoiosis) Allah (Adv. Haer 5:6, 1; 5:16, 2). Gambar dan penyerupaan Allah itu tidak lain kecuali Firman/Anak Allah yang menjadi manusia. Maka sejak awal mula manusia, dan melaluinya jagat raya, terarah kepada Yesus Kristus. Dimaksudkan untuk menjadi serupa dengan Yesus Kristus.

Tetapi akibat dosanya yang dilakukan dalam Adam yang memuat dalam dirinya seluruh keturunannya (Adv. Haer 5:16, 3; 5:34, 2), manusia kehilangan penyerupaan Allah, kemuliaan-Nya (Adv. Haer 3:18, 1). Namun, Allah dengan Firman-Nya tetap menyertai manusia yang malang (Adv. Haer 5:1, 2; 3:18, 1). Pada saat tertentu Firman, Anak Allah yang kekal itu, menjadi benar-benar manusia dan senasib dengan manusia yang kehilangan kebakaannya — yang ada padanya sebagai gambar Allah (Adv. Haer 5:16, 2) —, sehingga jatuh dalam genggaman Maut dan Iblis (Adv. Haer 5:37, 2). Maka Firman yang menjadi manusia, ialah Yesus Kristus, tidak dapat tidak mengalami kematian (Adv. Haer 4:5, 4). Hanyalah dengan bangkit Yesus Kristus, Firman yang menjadi manusia, justru mengalahkan Maut dan Iblis. Tetapi oleh karena Firman yang benar-benar manusia sebagai Adam baru dan imbalan Adam lama, memuat di dalam diri-Nya seluruh umat manusia, maka Firman itu mengulang di dalam eksistensi-Nya seluruh sejarah umat manusia dengan arah terbalik. Dalam Adam, yang tidak taat, umat manusia turun dari keadaan mulia, selaku gambar Allah, dan kebakaan ke dalam keadaan malang yang takluk kepada Maut. Lalu dalam Yesus Kristus yang taat umat manusia dari keadaan malang yang dikuasai Maut dan Iblis diangkat menjadi Anak Allah, serupa (homoios) dengan Anak Allah, suatu keadaan yang melampaui keadaan awal (gambar Allah) tetapi serentak menyelesaikannya. Sebab itulah yang sejak awal ditujui. Dan melalui Anak Allah, Yesus Kristus, umat manusia dipersatukan dengan Allah Bapa untuk selama-lamanya (Adv. Haer 5, 36.3).

Maka antara umat manusia dan Firman, Anak Allah, berlangsunglah suatu pertukaran ajaib. Umat manusia memberikan kepada Firman, Anak Allah, keadaan manusia yang dilanda kemalangan dan maut. Dan Firman, Anak Allah, memberikan kepada umat manusia keadaan mulia-Nya, kebaikan, dan menjadikannya anak Allah. Prasyarat pertukaran itu ialah: Yesus Kristus mesti serentak benar-benar Allah dan benar-benar manusia. Kalau Yesus Kristus tidak benar-benar Allah, maka Allah tidak bersatu dengan manusia dan manusia tidak selamat. Kalau Yesus Kristus tidak benar-benar manusia, senasib dengan manusia seadanya, maka musuh manusia tidak dikalahkan oleh manusia dan manusia seadanya tidak dipersatukan dengan Allah, tidak menjadi anak Allah, jadi tidak selamat (Adv. Haer 3:19, 1;5:14,2-3).

Jelaslah kristologi Ireneus sebenarnya soteriologi. Ia menentang gnosis yang menyangkal bahwa Yesus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia dan menjadikan-Nya sesuatu antara kedua ujung itu. Tetapi dengan jalan demikian keselamatan manusia — seperti dipahami Ireneus — tidak tercapai. Keselamatan tidak tercapai melalui gnosis dan wahyu, melainkan hanyalah kalau Allah dan manusia dipersatukan oleh Allah sendiri. Seluruh pemikiran Ireneus mengenai Yesus Kristus sebagai Firman dan Anak Allah yang sungguh-sungguh menjadi manusia hanya dikemukakan, supaya keselamatan manusia menjadi terwujud. Yesus Kristus tidak boleh dipikirkan sebagai semacam demiurg antara Yang ilahi dan manusia dan tidak boleh dipikirkan seolah-olah hanya pura-pura menjadi manusia. Sebab menurut Ireneus keselamatan manusia — sebagaimana dimaksudkan oleh Allah Pencipta — ialah: persatuan antara Allah dan manusia. Dan dalam pahamnya itu Ireneus memang benar-benar "Yunani": Cita-cita manusia Yunani ialah mendapat kebakaan, tidak mati lagi, menjadi serupa, bersatu dengan Yang Ilahi. Gnosis akhirnya juga mencita-citakan persatuan itu. Dan menurut pendekat Ireneus — yang mempertahankan kebangkitan badan — keselamatan itu tidak hanya meliputi "jiwa" manusia, melainkan seluruh manusia, sebab seluruh manusia diciptakan oleh Allah menurut gambaran dan penyerupaan-Nya: eikon dan homoiosis. Firman Allah menempuh seluruh eksistensi rohani-jasmani manusia, sejak awal sampai dengan akhir, dari lahir sampai mati, untuk mempersatukan seluruh manusia melalui diri-Nya dengan Allah.

Kendati demikian, paham Ireneus tentang apa itu keselamatan toh benar-benar rohani-Yunani. Sebab inti keselamatan menurutnya tidak lain daripada "memandang Allah", kebakaan dan hidup kekal. Kebakaan dan hidup kekal itu berpancar dari memandang Allah. Begitu manusia menjadi peserta dalam kemuliaan Allah, penyerta dalam Allah sendiri. Memang berkat Roh Kudus yang dicurahkan Yesus, keselamatan tiap-tiap orang sekarang sudah dimulai dan berkembang terus, tapi baru tercapai melalui kebangkitan. Ireneus menjadi penganut milinarisme/khiliasme, keadaan bahagia-jasmani selama seribu tahun. Kurang jelas bagaimana Ireneus memikirkan keadaan definitif yang menyusul, sejauh mana "kejasmanian" ikut serta.

Tokoh yang hampir sezaman dengan Ireneus (th. 140-202) ialah Quintus Septimus Florens Tertullianus (th. 166-222). Tertullianus seorang pejuang gigih, malah fanatik, ahli hukum (Romawi) dan seni berpidato. Meskipun mahir dalam bahasa Yunani, namun Tertullianus, seorang penulis yang subur, mengarang semua karyanya dalam bahasa Latin dengan keahlian bahasa yang luar biasa. Tertullianuslah pencipta bahasa Latin Kristen dan cukup banyak istilah teologi yang tradisional berasal dari Tertullianus. Ireneus, meskipun berkarya di kawasan barat negara Roma, berasal dari kawasan timur. Sebaliknya Tertullianus berasal dari Afrika Utara (Kartago) dan, meskipun pernah ke Roma, berkarya di Afrika Utara, suatu pusat kebudayaan Roma, lebih dari Roma sendiri di masa itu. Asal-usulnya dan pendidikannya sebagai ahli hukum dan ahli pidato turut mempengaruhi Tertullianus.

Boleh dikatakan: Tertullianus pada dasarnya seorang tradisionalis yang konservatif. Sifat itulah barang kali menyebabkan Tertullianus akhirnya (sejak ± 205) menggabungkan diri dengan pengikut-pengikut Montanus yang ingin memulihkan keadaan umat Kristen seperti pada awal (karismatik). Sebagai tradisionalis konservatif tapi bermutu dan berbobot Tertullianus melawan dan menyerang segala apa yang dinilainya bertentangan dengan tradisi Kristen yang sejati dan murni, baik dalam masyarakat umum (kekafiran dengan adat kebiasaannya) maupun di kalangan umat Kristen. Ia mencium dan melacak "haereses", bidaah, pembaharuan. Itu terutama termuat dalam karya Tertullianus yang berjudul "De praescriptione haereticorum". Berdasarkan prinsip hukum kedaluwarsa Tertullianus membuktikan absahnya tradisi terhadap segala bidaah.

Terungkap dalam bahasa lebih panas, pemikiran Tertullianus dalam banyak hal teologis sehaluan dengan Ireneus. Tertullianus melawan dan menyerang "gnosis" (Adversus Hermogenem, Adversus Valentinianos, Scorpiace, De resurrectiona carnis) dan doketisme (De came Christi). Berdasarkan tradisi dan penalaran Tertullianus, bersama dengan Ireneus, dengan gigih mempertahankan bahwa Yesus Kristus sungguh-sungguh dan benar-benar manusia, yang lahir, menderita dan mati disalib. Ia menegaskan: "Kristus diutus untuk mati, maka tidak dapat Ia mesti lahir, supaya dapat mati" (De Carne Christi 6). Yesus Kristus mengalami nasib manusia sampai akhir, sebab Ia pun menepati hukum kematian dengan menyandang bentuk kematian insani pada orang-orang mati (De Anima 20). Tetapi Yesus Kristus juga Firman Allah sejak kekal dan Anak Allah sebelum tampil di bumi dan sungguh-sungguh ilahi.

Namun demikian, kendati kesinambungan antara Ireneus dan Tertullianus dalam kristologi, ada penggeseran tekanan. Tentu saja baik kristologi Ireneus maupun kristologi Tertullianus ialah kristologi dari atas, yang di masa itu boleh dikatakan sudah menjadi "tradisional". Hanya, seperti sudah dijelaskan di muka, kristologi Ireneus terutama soteriologi. Ireneus tidak banyak merepotkan diri dengan hubungan antara Firman Allah dan Allah, tetapi dengan arti penyelamatan kenyataan bahwa Firman itu menjadi manusia. Kristologi Ireneus terutama terungkap dalam gagasan recapitulatio dan pertukaran. Tertullianus sedikit meneruskan Ireneus dalam hal itu, tetapi segi manusiawi mundur dan tekanan terletak pada segi ilahi Yesus Kristus. Soal pokok tidak lagi seperti pada Ireneus bagaimana Yesus Kristus menjadi Juru Selamat umat manusia (itulah sebabnya mengapa Yesus Kristus mesti ilahi). Kini soal pokok ialah: bagaimana Yesus Kristus ilahi, bagaimana keilahian Firman Allah dan Anak Allah dalam kepra-adaan-Nya mesti dipikirkan. Jadi, tekanan oleh Tertullianus diberikan kepada keilahian Yesus Kristus dalam pra-eksistensi-Nya. Bagaimana hubungan Firman Allah dan Anak Allah dengan keallahan. Dan selanjutnya bagaimana hubungan antara Firman dan manusia Yesus.

Pergeseran itu kiranya disebabkan perkembangan baru dalam pemikiran umat Kristen mengenai Yesus Kristus. Gnosis dalam bentuk mitologis dan doketisme mulai mundur dengan pesat. Boleh diduga bahwa semakin beredarnya ketiga Injil sinoptik dan karangan-karangan Paulus membendung gnosis dan doketisme. Injil Yohanes (dan karangan-karangan penerus Paulus, Kol, Ef) masih dapat dipasang dalam kerangka pemikiran gnostis. Tetapi Injil-injil sinoptik dan karangan-karangan Paulus — asal tidak "dibersihkan" dahulu, seperti dibuat Markion — sukar disesuaikan dengan gnosis. Realitas duniawi Yesus Kristus dan realitas salib terlalu kentara. Yesus Kristus jelas seorang tokoh historis dan manusiawi. Tetapi kini segi transenden dan ilahi Yesus Kristus menjadi masalah.

Soal pokok ialah: Bagaimana pendekatan terhadap Yesus Kristus dalam kepra-adaan-Nya dapat disesuaikan dengan monoteisme? Baik oleh gnosis, baik oleh tradisi Yahudi, juga seperti tercantum dalam Perjanjian Lama, baik oleh dunia (filsafat) Yunani yang Ilahi/Allah dilihat sebagai secara mutlak transenden, tak tercapai, dan Yang Ilahi/Allah hanya satu dan tunggal. Di samping-Nya tidak mungkin ada sesuatu atau seseorang yang setingkat. "Monarkia", keesaan dan ketunggalan Allah tidak terganggu gugat. Orang-orang Kristen (bersama dengan para filsuf) suka mengecam politeisme, kekafiran populer. Apakah mereka dengan menyebut Yesus Kristus "Allah" dan berkata tentang Firman Allah, Anak Allah, tidak jatuh sendiri dalam politeisme yang halus?

Cukup banyak pemikir Kristen merepotkan diri dengan masalah itu. Sejak awal dalam konfrontasi dengan orang-orang Yahudi masalah itu sudah muncul dan tetap secara laten mengganggu. Pemikir-pemikir Kristen berusaha memecahkan soal itu. Maka muncullah pemikiran yang (oleh Tertullianus pertama kalinya) diistilahkan sebagai "Monarkianisme". Dalam (sebagian) kristologi Kristen-Yahudi problem itu diatasi melalui adoptianisme. Yesus ialah seorang manusia yang secara khusus dianugerahi oleh Allah dan diangkat menjadi Anak-Nya, entah waktu dibangkitkan, entah waktu dibaptis entah sejak lahir. Itulah gampang dalam pendekatan dari "bawah". Tetapi bagaimana dalam kristologi dari atas, yang bertitik tolak kepra-adaan Yesus Kristus?
Ada dua pemecahannya yang muncul. Yang satu, yang sebenarnya menyangkal pra-eksistensia Yesus Kristus, diistilahkan sebagai "monarkianisme dinamik". Firman Allah atau Anak Allah yang sudah ada sebelumnya bukanlah pribadi, melainkan kekuatan, daya ilahi yang mendatangi dan mendiami manusia Yesus Kristus, orang Nazaret. Hanya secara "dinamik" Ia boleh disebut Ilahi. Begitu misalnya Teodotus dari Byzantium (th. 190) berkata: Yesus Kristus ialah seorang manusia yang di dalam dirinya menerima Kristus, ialah pneuma/roh ilahi ialah Kristus. Begitu pula l.k. pemikiran kaum Ebyonim dan Kerintus.

Modalisme dinamis menjadi fantastis, tercampur dengan unsur-unsur dari gnosis pada Teodotus, seorang pengedar uang (± th. 200), Di antara Allah Yang Esa serta tunggal dan manusia Teodotus menempatkan "Kuasa Tertinggi", yang bernama Kristus. Dia itu rohani dan "Anak Allah". Kuasa tertinggi itu (Roh Kudus?) turun atas Yesus, seorang manusia. Tetapi monarkianisme yang tersebar luas pada umat Kristen pada awal abad III ialah: Monarkianisme modalis, yang mendapat pendukung berbobot seperti Praxeas (± th. 200), Noetus (± th. 220) dan Sabellius (± th. 220). Kadang kala monarkianisme itu pun diistilahkan sebagai "patripassionisme" (Bapa yang menderita). Menurut pemikiran monarkianisme itu Allah memang esa dan tunggal secara mutlak. Firman Allah/Anak Allah (dan Roh Kudus) hanya rupa atau manifestasi dari Allah Yang Esa itu. Maka perbedaannya hanyalah sebutan, nama saja. Yang menjadi manusia, menderita, mati dan bangkit ialah Allah (Bapa) sendiri. Menurut Sabellius Allah yang satu dan tunggal itu memang kekal. Tetapi dalam penciptaan dan Perjanjian Lama Ia menyatakan diri, tampak atau berupa sebagai "Bapa", berarti: asal-usul segala sesuatu, Pencipta. Dalam inkarnasi Allah yang satu dan sama itu menyatakan diri sebagai Anak, mendapat rupa Anak dan menjadi Juru Selamat dan dalam pengudusan manusia Allah Yang Esa dan tunggal itu menyatakan diri berupa "Roh Kudus". Jadi, ada semacam "trinitas", tetapi trinitas ekonomis saja, yang berturut-turut menjadi dalam sejarah penyelamatan. Maka Yesus Kristus sebenarnya tidak pra-eksisten sebagai sesuatu, pribadi yang berdiri sendiri dan Firman Allah pun tidak ada.

Dalam polemiknya dengan monarkianisme modalis seperti disebarkan oleh Praxeas Tertullianus memamerkan pikirannya sendiri tentang Yesus Kristus. Dalam pemikirannya itu Tertullianus memanfaatkan gagasan tentang "firman" (logos, nous, akal) yang sudah dilontarkan oleh Yustinus (± th. 163), Tatianus (± th. 165), Theolphilus dari Antiohia (± th. 180) dan Melito dari Sardes (± th. 194). Dengan memanfaatkan filsafat Plato dan stoa tokoh-tokoh itu sudah berusaha memikirkan relasi antara Allah dan Firman/Anak Allah yang pra-eksisten. Tertullianus meneruskan pemikiran itu.

Tertullianus mempertahankan monoteisme. Tidak pernah ia akan mengatakan bahwa ada dua Allah atau dua Tuhan (Adv. Prax 13). Tetapi tidak benar apa yang dikatakan Praxeas bahwa Bapa dan Anak dan Roh satu dan sama saja (Unus, meskipun "umum") (Adv. Prax. 2; 25). Sejak kekal Firman (sermo, logos, nous) ada dalam keallahan. Firman itu ialah "sophia" (Hikmat). Dengan Firman/Hikmat itu segala sesuatu dijadikan. Pada saat penciptaan Firman itu keluar (processit) dan dilahirkan (generatus) dan menjadi Anak yang sesungguhnya (Adv. Prax 7; 2). Firman/Anak itu mesti disebut sesuatu yang berdiri sendiri (persona). Ia itu, Anak "sulung", diperanakkan sebelum segala sesuatu (Adv. Prax. 7). Ia keluar dari zat (substantia, hakikat) Bapa. Maka sebagai "Anak" ia tidak kekal (Adv. Herm 3). Bapa dan Anak (serta Roh Kudus) sebenarnya suatu kesatuan (unum), tetapi tidak satu (Unus). Bapa adalah seluruh zat (substantia, hakikat), tetapi Anak suatu jabaran (derivatio) dari keseluruhan dan bagian (portio) (Adv. Prax 9), seperti sinar dari matahari (Adv. Prax 8). Bapa dan Anak (serta Roh Kudus) adalah dua (tiga), tidak dalam keberadaan (status), tetapi dalam tingkat (gradu), tidak dalam zat (substantia, hakikat), tetapi dalam bentuk (forma), tidak dalam kuasa, tetapi dalam rupa (specie)(Adv. Prax. 2).

Tertullianus memang bergumul dengan masalahnya: Bagaimana menempatkan dalam rangka monoteisme murni tradisi yang diterimanya mengenai Yesus Kristus, Anak Allah dan sungguh ilahi. Bagaimana Anak yang sungguh ilahi toh tidak sama saja dengan Allah-Bapa. Ucapan-ucapan Tertullianus memang berbau "subordinasionis": Anak adalah semacam Allah kedua, Allah yang kemudian, namun benar-benar ilahi. Firman Allah baru benar-benar berdiri sendiri pada penciptaan.

Dalam rangka itu Tertullianus juga memikirkan lebih lanjut bagaimana relasi antara Anak Allah yang menjadi manusia dan manusia Yesus, orang Nazaret. Ia menolak doketisme, tetapi juga menolak bahwa Yesus Kristus semacam campuran (kemudian akan muncul dalam bentuk mono-physitisme). Firman tetap sama, tidak berubah, oleh karena kekal dan tetap sama. Maka pada Yesus Kristus ada dua segi, dimensi, (status), tidak tercampur, tetapi tersambung (coniunctum) dalam satu orang (persona, pribadi), Allah dan manusia, Yesus Kristus. Pada orang yang satu itu tiap-tiap zat (substantia, hakikat) tetap mempunyai ciri-cirinya sendiri dan ada serangkaian hal ihwal, perbuatan dan sebagainya yang berpancar dari yang satu (ciri manusiawi) dan ada serangkaian yang berpancar dari yang lain (spiritus, ilahi) (Adv. Prax 27). Tetapi orangnya tetap satu. Maka Allah disalibkan, Allah benar-benar mati dan dibangkitkan. Yesus Kristus, Anak Allah, tidak dapat dipotong menjadi dua terpisah (De carne Christi 5).

Dengan melanjutkan pikiran Ireneus Tertullianus menegaskan bahwa Kristus menyandang (gestavit) manusia (dan bukan malaikat) demi untuk keselamatan manusia, supaya memulihkan apa yang hilang (De carne Christi 14). Allah memulihkan gambaran (imago) dan penyerupaan (similitudo)-Nya, yang dirampas oleh Iblis (De carne Christi 17).
Usaha Tertullianus untuk secara konseptual menjernihkan sedikit relasi antara Allah dan Firman Allah/Anak Allah dalam kepra-adaan-Nya dan antara Firman/Anak Allah dan manusia Yesus Kristus, patut dikagumi. Tetapi pemikirannya akhirnya terbentur pada rahasia. Secara konseptual duduknya perkara tidak menjadi jelas dan jernih. Dan ditinjau dari sudut "orthodoxia" di kemudian hari beberapa ungkapannya dapat dinilai kurang tepat. Namun, secara teologis pemikiran Tertullianus mesti disebut suatu kemajuan.

Tetapi juga jelas pemikiran Tertullianus sekitar Yesus Kristus cukup abstrak dan spekulatif. Pokok perhatiannya bukanlah eksistensi real Yesus Kristus di muka bumi dan peranan aktual-Nya, melainkan yang merepotkan Tertullianus ialah relasi antara Firman dan Allah, antara Firman dan manusia. Tertullianus — boleh dikatakan: sebagai yang pertama — mulai "menguraikan" struktur batiniah Allah dan struktur batiniah Yesus. Ini memang suatu respons terhadap pemikiran yang mengancam identitas iman kepercayaan Kristen dan identitas Yesus Kristus sendiri. Namun demikian, Yesus Kristus menjadi objek spekulasi. Tertullianus mempertahankan realitas historis Yesus Kristus, namun Yesus Kristus menjadi kurang real, kurang berdarah daging. Tertullianus bergerak dalam alam pikiran Yunani, statis dan vertikal, tidak dalam alam pikiran Kitab Suci, dinamis horisontal.

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama