Belakangan ini tema jihad memang sering dibicarakan, ada yang membicarakan secara keilmuan ada pula yang serampangan. Ada yang ekstrim dan ada pula yang menyepelekan. Sebenarnya bagaimanakah masalah ini?
Membicarakan konsep tentu tidak lepas dari membicarakan definisinya (ta’rif). Untuk itu, kita lihat definisi jihad dahulu.
Ta’rif Jihad
Secara bahasa (lughatan – etimologis)
الجهاد اجهاد مأخوذ من الجهد وهو الطاقة والمشقة
Al Jihad di ambil dari kata Al Juhdu yaitu kuasa (Ath Thaqah) dan kesempitan/kepayahan (Al Masyaqqah). (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 2, Hal. 618. Al Maktabah Asy Syamilah)
Disebutkan dalam Lisanul ‘Arab:
وجَهَدَ يَجْهَدُ جَهْداً واجْتَهَد كلاهما جدَّ
Dan Jahada – yajhadu- jahdan- ijtihadan, semuanya bermakna bersungguh-sungguh. (Ibnul Manzhur Al Mashry, Lisanul ‘Arab, Juz. 3 Hal. 133. Al Maktabah Asy Syamilah)
Disebutkan dalam Majma’ al Anhar fi Syarh Multaqa al Ab-har:
الْجِهَادُ فِي اللُّغَةِ بَذْلُ مَا فِي الْوُسْعِ مِنْ الْقَوْلِ ، وَالْفِعْلِ .
“Secara bahasa, jihad bermakna pengerahan segenap potensi dengan ucapan dan perbuatan.” (Majma’ al Anhar fi Syarh Multaqa al Ab-har, Juz. 4, Hal. 278. Al Maktabah Asy Syamilah)
Secara istilah (syar’an – terminologis)
Saya akan paparkan pandangan beberapa imam kaum muslimin dalam hal ini. Menurut Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
يقال: جاهد يجاهد جهادا ومجاهدة، إذا استفرغ وسعه، وبذل طاقته، وتحمل المشاق في مقاتلة العدو ومدافعته، وهوما يعبر عنه بالحرب في العرف الحديث، والحرب هي القتال المسلح بين دولتين فأكثر
Dikatakan: Jaahada – Yujaahidu – Jihaadan – Mujaahadatan, artinya mengkhususkan waktu dan upaya, serta mengorbankan segenap tenaga serta menanggung segenap kesulitan dalam memerangi musuh dan melawan mereka, yang demikian ini diistilahkan dengan Al Harb (perang) menurut definisi saat ini, dan Al Harb adalah peperangan bersenjata antara dua negara atau lebih. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 2, Hal. 618. Al Maktabah Asy Syamilah)
Penulis Majma’ al Anhar (fiqih bermadzhab Hanafi) mengatakan:
وَفِي الشَّرِيعَةِ قَتْلُ الْكُفَّارِ وَنَحْوُهُ مِنْ ضَرْبِهِمْ وَنَهْبِ أَمْوَالِهِمْ وَهَدْمِ مَعَابِدِهِمْ وَكَسْرِ أَصْنَامِهِمْ وَغَيْرِهِمْ
“Makna menurut syariah adalah memerangi orang kafir dan sebangsanya dengan memukulnya, mengambil hartanya, menghancurkan tempat ibadahnya, dan memusnahkan berhala-berhala mereka, dan selain mereka. “ (Majma’ al Anhar fi Syarh Multaqa al Ab-har, Juz. 4, Hal. 278)
Dalam Hasyiah al Jumal (fiqih bermadzhab Syafi’i) disebutkan:
وَهُوَ فِي الِاصْطِلَاحِ قِتَالُ الْكُفَّارِ لِنُصْرَةِ الْإِسْلَامِ وَيُطْلَقُ أَيْضًا عَلَى جِهَادِ النَّفْسِ وَالشَّيْطَانِ
“Dan makna jihad secara istilah adalah memerangi orang kafir demi membela Islam, dan juga secara mutlak bermakna jihad melawan hawa nafsu dan syetan.” (Imam Abu Yahya Zakaria al Anshari, Hasyiah al Jumal, Juz.21, Hal. 319. Al Maktabah Asy Syamilah)
Sedangkan Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengatakan:
وَفِي الشَّرْعِ بَذْلُ الْجَهْدِ فِي قِتَالِ الْكُفَّارِ أَوْ الْبُغَاةِ .
“Secara syariat, makna berkorban dalam jihad adalah memerangi orang kafir dan para pemberontak.” (Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Juz. 6, Hal. 119. Al Maktabah Asy Syamilah)
Imam Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:
وَشَرْعًا : بَذْلُ الْجُهْدِ فِي قِتَالِ الْكُفَّارِ وَيُطْلَقُ أَيْضًا عَلَى مُجَاهَدَةِ النَّفْسِ وَالشَّيْطَانِ وَالْفُسَّاقِ .
“Secara syariat, artinya mengerahkan kesungguhan dalam memerangi orang kafir, dan secara mutlak artinya juga berjihad melawan nafsu, syetan dan kefasikan.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 8, Hal. 365. Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Juz. 11, Hal. 483. Al Maktabah Asy Syamilah)
Demikianlah makna jihad yang dipaparkan para ulama Islam, yang semuanya selalu mengatakan ‘memerangi orang kafir’, setelah itu melawan nafsu, syetan dan kejahatan. Dalam kehidupan ilmiah, definisi memang selalu ada dua, yakni makna bahasa dan makna istilah. Namun, dalam praktek kehidupan sehari-hari, bahwa semua definisi dalam pembahasan apa pun lebih mengutamakan makna terminologis (istilah) dibanding makna etimologis (bahasa).
Pemaknaan yang dipaparkan para ulama bukan tanpa alasan melainkan berpijak berbagai ayat yang mulia dan hadits yang suci, dan ayat serta hadits tersebut pun juga memiliki latar belakang dan alasan spesifik dalam pensyariatan memerangi mereka.
Ayat-Ayat Al Quran Tentang Jihad
Perlu difahami dengan baik, bahwa jihad merupakan bahasa Al Quran, maka Al Quran-lah yang paling berhak menceritakan apa makna jihad sebenarnya. Akal dan perasaan kita wajib tunduk kepadanya, dan tidak boleh mengingkarinya atau memberikan pemahaman apologi yang menyimbolkan kekalahan mental umat Islam dari orang Barat, hanya karena takut disebut teroris.
Allah Ta’ala berfirman di berbagai ayat:
“Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah (2): 216)
“Dan perangilah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka bunuhlah mereka. Demikanlah Balasan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah (2): 191)
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS. Ali Imran (3): 169)
“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!” (QS. An Nisa (4): 71)
“Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al Anfal (8): 65)
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.” (QS. At Taubah (9): 29)
Dan masih sangat banyak lagi ayat-ayat yang menganjurkan jihad melawan orang kafir, menceritakan keutamaannya, dan mengabarkan balasan bagi mujahidin baik dunia maupun akhirat.
Hadits-Hadits Nabi Tentang Jihad
Hadits-hadits nabawi pun juga banyak, namun saya akan sebutkan beberapa saja:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
“Dari Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang mati dan belum pernah berperang, dan dirinya belum pernah membicarakan perang maka matinya di antara cabang kemunafikan.” (HR. Muslim, Kitab Al Imarah Bab Dzam Man Maata wa lam Yaghzu …, Juz. 10, Hal. 19 No hadits. 3533. Al Maktabah Asy Syamilah)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُو
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak ada hijrah setelah penaklukan kota mekkah, tetapi yang ada adalah jihad dan niat, jika kalian diperintahkan untuk berangkat maka berangkatlah (untuk jihad).” (HR. Bukhari, Kitab Al Jihad was Siyar Bab Fadhl Al Jihad was Siyar, Juz. 9, Hal. 345, No hadits. 2575. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dari Abu Said al Khudri, bahwa ada orang bertanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤْمِنٌ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِنَفْسِهِ وَمَالِه
“Wahai Rasulullah! Manusia bagaimanakah yang paling utama?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Seorang mu’min yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya.” (HR. Bukhari, Kitab Al Jihad was Siyar Bab Afdhalun Nas …., Juz. 9, Hal. 349, No hadits. 2578. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, ada seorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, apakah ada amal perbuatan yang sebanding dengan jihad fi sabilillah?, beliau menjawab: “Kalian tidak akan mampu.” Mereka bertanya hingga dua atau tiga kali, semuanya dijawab: “Kalian tidak akan mampu.” Begitu yang ketiga kalinya, beliau bersabda:
مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى
“Perumpamaan mujahid di jalan Allah bagaikan seorang yang berpuasa, shalat malam, berdzikir membaca ayat-ayat Allah, tidak pernah henti dari puasa dan shalatnya itu sampai pulangnya si mujahid di jalan Allah Ta’ala.” (HR. Muslim, Kitab Al Imarah Bab Fadhlu Asy Syahadah fi sabilillahi Ta’ala, Juz. 9, Hal. 458, No hadits. 3490. Al Maktabah Asy Syamilah)
Jadi seorang yang berjihad, sama nilainya dengan orang yang berpuasa terus menerus dan shalat terus menerus tanpa henti, sampai mujahid itu pulang. Apakah ada manusia yang mampu puasa dan shalat malam tanpa henti selama mujahid pergi perang hingga dia pulang? Tidak ada!
Ketika menerangkan kedhaifan hadits “kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar”, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
وَجِهَادُ الْكُفَّارِ مِنْ أَعْظَمِ الْأَعْمَالِ ؛ بَلْ هُوَ أَفْضَلُ مَا تَطَوَّعَ بِهِ الْإِنْسَان
“Jihad memerangi orang kafir merupakan amal yang paling agung, bahkan merupakan anjuran yang paling utama pada manusia.” (Majmu’ al Fatawa, Juz. 2, Hal. 487. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dan masih puluhan lagi hadits-hadits tentang penyariatan jihad memerangi orang kafir di medan tempur, serta keutamannya yang agung..
Kenapa Islam Mengakui Perang?
Islam mengakui perang, bukan karena ingin menebar kebencian atau dendam tetapi justru untuk menjaga kestabilan keamanan dan meraih perdamaian.
Berkata Imam Hasan al Banna Rahimahullah: “Sekarang mereka mengakui bahwa mempersiapkan diri untuk perang merupakan cara yang paling menjamin terwujudnya perdamaian. Allah Ta’ala mewajibkan berperang atas kaum muslimin bukan untuk menebar permusuhan, bukan sebagai alat pemusnah manusia, tetapi merupakan sebagai pelindung bagi dakwah dan jaminan bagi perdamaian, selain sebagai media untuk untuk menunaikan risalah agung yang diembankan di pundak kaum muslimin, yaitu risalah yang menunjukkan kepada manusia jalan menuju kebenaran dan keadilan. Sebagaimana Islam sangat perhatian dengan jihad, Islam juga sangat perhatian denga perdamaian. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Anfal (8); 61) (Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah Ar Rasail, Hal. 297. Al Maktabah Al Taufiqiyah)
Dalam Majma’ al Anhar disebutkan:
وَالْمُرَادُ الِاجْتِهَادُ فِي تَقْوِيَةِ الدِّين
“Yang diinginkan dari bersungguh (dalam jihad) adalah dalam rangka memperkokoh agama.” (Majma’ al Anhar fi Syarhi Multaqa al Ab-har, Juz. 4, Hal. 278. Al Maktabah Asy Syamilah)
Undang-undang internasional pun, yang dibuat oleh PBB mengakui adanya perang. SIlahkan merujuk ke Fiqhus Sunnah.
Kasih Sayang Dalam Jihad
Kesempurnaan Islam tidak membuatnya melupakan akhlak dalam berjihad memerangi orang kafir. Jihad merupakan amal yang paling mulia, dan Islam memiliki cara yang paling mulia dalam peperangan, dan terbukti dalam sejarah peperangan antar negara di berbagai zaman.
“Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Maidah (5): 87)
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maidah (5): 8)
Dalam peperangan Islam, dilarang membunuh dan menganiaya orang tua, wanita, anak- anak, dan orang tak berdaya dan sudah menyerah. Serta tidak dibenarkan mencincang tubuh manusia, bertindak bengis terhadap musuh. Islam melarang perang jika belum disampaikan dakwah kepada musuh, sebab perang adalah pilihan akhir setelah ajakan kepada kebaikan dan tauhid tidak bisa mereka terima.
Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika dia memerintahkan pasukan atau tim ekspidisi, secara khusus dia mewasiatkan agar mereka bertaqwa kepada Allah Ta’ala dan memerintahkan kaum muslimin yang bersamanya tetap berbuat baik, lalu bersabda:
اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا
“Peranglah dengan nama Allah fi sabilillah, perangilah orang-orang yang kafir terhadap Allah, berperanglah dan jangan melampaui batas, jangan mencincang, dan jangan membunuh anak-anak.” (HR. Muslim, Kitab Al Jihad was Siyar Bab Ta’mir Al Imam Al Umara ‘ala Al Bu’utsi wa Washiyyatihi …, Juz. 9, Hal. 150, No hadits. 3261. At Tirmidzi, Kitab As Siyar ‘an Rasulillah Bab Maa Ja’a fi Washiyyatihi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam fil Qital, Juz. 6, Hal. 156, No hadits. 1542. Ibnu Majah, Kitab Al Jihad bab Washiyyah Al Imam, Juz. 8, Hal. 390, No hadits. 2848. Ahmad, Juz. 47, Hal. 4, No hadits. 21952. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dalam hadits lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبْ الْوَجْهَ
[/b]
Dari Au Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda: “Jika salah seorang kalian berperang, hindarilah memukul wajah.” (HR. Bukhari, Kitab Al ‘Itqu Bab Idza Dharaba Al ‘Abda Falyajtanib Al Wajha, Juz. 8 Hal. 496, No hadits. 2372. Muslim, Kitab Al Birru was Shilah Wal Aadab Bab An Nahyi ‘an Dharbil Wajhi, Juz. 13, Hal. 26, No hadits. 4728. Al Maktabah Asy Syamilah)
Ini hanya sebagian kecil riwayat saja, yang menunjukkan betapa ketika perang Islam pun memiliki akhlak yang mulia. Sebab, jihad adalah perbuatan mulia yang tidak pantas dilakukan dengan cara-cara yang tidak mulia.
Apakah Jihad Selalu Perang?
Harus diakui bahwa memang ada segolongan umat Islam yang mempersempit makna jihad, bahwa seakan-akan ruang lingkup jihad hanya ada pada peperangan melawan orang kafir di medan tempur. Pengertian seperti itu tertolak, oleh sebab teks-teks agama ini justru memberikan keluasan makna jihad. Hanya saja memang, pada dasarnya nilai jihad yang paling tinggi adalah berperang melawan orang kafir di medan tempur, sebagai mana hadits-hadist yang telah dipaparkan sebelumnya. Inilah pandangan yang terpilih, walau ada yang mengatakan lain. Namun, itu tidak berarti meremehkan nilai jihad dalam ruang lingkup lainnya.
Para ulama kita pun menegaskan dan mengakui adanya jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan syetan, jihad harta, jihad lisan, jihad ilmu dan jihad melawan kefasikan. Sebagaimana yang disebut oleh Imam Ibnu Hajar al Asqalani Rahimahullah berikut:
فَأَمَّا مُجَاهَدَة النَّفْس فَعَلَى تَعَلُّم أُمُور الدِّين ثُمَّ عَلَى الْعَمَل بِهَا ثُمَّ عَلَى تَعْلِيمهَا ، وَأَمَّا مُجَاهَدَة الشَّيْطَان فَعَلَى دَفْع مَا يَأْتِي بِهِ مِنْ الشُّبُهَات وَمَا يُزَيِّنهُ مِنْ الشَّهَوَات ، وَأَمَّا مُجَاهَدَة الْكُفَّار فَتَقَع بِالْيَدِ وَالْمَال وَاللِّسَان وَالْقَلْب ، وَأَمَّا مُجَاهَدَة الْفُسَّاق فَبِالْيَدِ ثُمَّ اللِّسَان ثُمَّ الْقَلْب
“Ada pun berjihad melawan hawa nafsu adalah dengan cara mempelajari perkara-perkara agama lalu mengamalkannya dan mengajarkannya. Sedangkan berjihad melawan syetan adalah dengan cara melawan syubhat-syubhat yang dilancarkannya dan melawan syahwat yang dihiasinya. Sedangkan jihad melawan orang kafir adalah dengan tangan, harta, lisan, dan hati sekaligus. Sedangkan berjihad melawan kefasikan adalah dengan tangan, kemudian lisan, kemudian hati. “ (Imam Ibnu Hajar al Asqalani, Fathul Bari, Juz. 8, Hal. 365. Al Maktabah Asy Syamilah)
Apa yang digaris bawahi adalah jihad menuntut ilmu, yakni mempelajari ilmu-ilmu agama. Apalagi jika ilmu tersebut kita gunakan untuk melawan syubhat yang dilancarkan musuh-musuh Islam, baik musuh dari dalam atau orang kafir.
Berkata Imam Ibnu Qayyim al Jauziyah Rahimahullah:
أَنْ يُجَاهِدَ الْعَبْدُ نَفْسَهُ لِيُسْلِمَ قَلْبَهُ وَلِسَانَهُ وَجَوَارِحَهُ لِلّهِ فَيَكُونُ كُلّهُ لِلّهِ وَبِاَللّهِ لَا لِنَفْسِهِ وَلَا بِنَفْسِهِ وَيُجَاهِدُ شَيْطَانَهُ بِتَكْذِيبِ وَعْدِهِ وَمَعْصِيَةِ أَمْرِهِ وَارْتِكَابِ نَهْيِهِ فَإِنّهُ يَعِدُ الْأَمَانِيّ وَيُمَنّي الْغُرُورَ وَيَعِدُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَيَنْهَى عَنْ التّقَى وَالْهُدَى وَالْعِفّةِ وَالصّبْرِ
[/b]
“Sesungguhnya seorang hamba berjihad melawan nafsunya dalam rangka menyerahkan hatinya, lisannya dan perbuatannya karena Allah, dan menjadikan semuanya karena Allah dan demi Allah, bukan karena dirinya dan demi dirinya. Dia juga berjihad melawan syetan dengan cara mendustakannya, memusuhinya, melanggar ajakannya, dan melaksanakan apa yang dicegahnya. Sesungguhnya syetan itu mendatangkan persangkaan, angan-angan, terperdaya, dan jebakan, serta memerintahkan pada kekejian dan mencegah dari ketaqwaan, petunjuk, ‘iffah, dan kesabaran.” (Imam Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, Juz. 3, Hal. 5. Al Maktabah Asy Syamilah)
Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ (69)
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut (29): 69)
Bagaimanakah tafsir ayat ini? Imam al Qurthubi Rahimahullah mengutip dari beberapa ulama salaf:
وقال السدي وغيره: إن هذه الآية نزلت قبل فرض القتال. قال الحسن بن أبي الحسن: الآية في العباد. وقال ابن عباس وإبراهيم بن أدهم: هي في الذين يعملون بما يعلمون. وقال أبو سليمان الداراني: ليس الجهاد في الآية قتال الكفار فقط بل هو نصر الدين، والرد على المبطلين، وقمع الظالمين، وعظمه الامر بالمعروف والنهي عن المنكر، ومنه مجاهدة النفوس في طاعة الله وهو الجهاد الاكبر.
Berkata As Sudy dan lainnya: “Ayat ini turun sebelum diwajibkannya berperang.”
Berkata Al Hasan bin Abil Hasan: “Ayat ini tentang para ahli ibadah.”
Berkata Ibnu Abbas dan Ibrahim bin Ad-ham: “Ayat ini tentang orang-orang yang mengerjakan apa-apa yang mereka ketahui.”
Berkata Abu Sulaiman ad Darani: “Jihad dalam ayat ini bukanlah semata-mata perang melawan orang kafir, tetapi juga menolong agama, membantah para pengusung kebatilan, mengalahkan orang zalim, dan yang paling agung adalah amar ma’ruf nahi munkar dan diantaranya adalah berjihad melawan nafsu dirinya dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, dan itulah jihad paling besar.” (Imam al Qurthubi, Al Jami’ Lil Ahkam Al Quran, Juz. 13, Hal. 365. Al Maktabah Asy Syamilah)
Haji dan Umrah adalah Jihad bagi Orang Jompo, Anak-Anak, Orang Lemah, dan Kaum Wanita
Ini ditekankan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri sebagai berikut.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ جِهَادُ الْكَبِيرِ وَالصَّغِيرِ وَالضَّعِيفِ وَالْمَرْأَةِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jihadnya orang tua, anak-anak, orang lemah, dan wanita adalah haji dan umrah.” (HR. An Nasa’i, Kitab Manasik Al Haj Bab Fadhlul Haj, Juz. 8, Hal. 442, No hadits. 2579. Ahmad, Juz. 19, Hal. 124, No hadits. 9081. Riwayat Ahmad tidak ada “anak-anak”. Imam al Haitsami mengatakan dalam Majma’ az Zawaid, Juz. 3, Hal. 206: “Rijalnya shahih.” Syaikh al Albany mengatakan dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i, Juz. 1, Hal. 61, No hadits. 2626: “Hasan.” Al Maktabah Asy Syamilah)
Apakah beban jihad setiap manusia berbeda-beda?
Ya. Sebab manusia berbeda dalam keimanan dan keadaannya. Allah Ta’ala memberikan rukhshah (dispensasi) untuk tidak berjihad bagi mereka yang memiliki ulud dharar (halangan).
لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (95)
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. An Nisa (4): 95)
Ayat ini turun lantaran pertanyan Abdullah bin Ummi Maktum -seorang sahabat nabi yang buta: “Apakah aku punya rukhshah untuk tidak berperang?” maka turunlah ayat di atas. Demikian yang dipaparkan oleh Imam Ath Thabari dalam tafsirnya.
Jadi, keadaan seseorang sangat pengaruhi kuat tidaknya beban jihad. Jihad bagi orang yang cacat tubuh, sakit wanita, anak-anak, orang tua, tentu tidak sama kuat bebannya dengan lelaki muda dan dewasa yang dalam keadaan fit.
Bahkan menurut ayat di atas, ada orang yang tidak memiliki uzur, tapi mereka duduk-duduk saja tidak ikut berjihad. Ini menunjukkan kondisi kadar keimanan mereka yang melemah.
Ingin Jihad, tapi masih punya kewajiban terhadap Orang Tua
Kondisi ini pun membuat beban jihad seseorang berbeda dengan yang lainnya. Dalam keadaan jihad ofensif, penaklukan (futuhat), maka hukumnya fardhu kifayah bagi umat Islam untuk ikut serta. Inilahj pandangan mayoritas fuqaha. Sehingga ketika kewajiban ini berbenturan dengan kewajiban per kepala (fardu ‘ain) yakni berbakti kepada Orang Tua yang tidak mungkin digantikan orang lain, maka seseorang lebih utama dia berbakti kepada kedua orang tuanya.
Hal ini sesuai dengan hadits berikut:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya oleh Abdullah bin Mas’ud:
أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّه
“Amal apakah yang paling Allah cintai?” Rasulullah menjawab: “Shalat tepat waktu,” Oang itu bertanya: “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Orang itu bertanya lagi: “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah.” (HR. Bukhari, Mawaqitus Shalah Bab Fahdlu Ash Shalah Liwaqtiha, Juz. 2, Hal. 353, No hadits. 496. Muslim, Kitab Al Iman Bab Bayan Kaunil Iman Billahi Ta’ala Afdhalul A’mal, Juz. 1, Hal. 233, No hadits. 120)
Hadits ini menunjukkan berbakti kepada orang tua lebih utama dibanding jihad fi sabilillah. Ini dikuatkan lagi oleh hadits berikut:
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
“Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam dia minta izin untuk berjihad, maka Nabi bertanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” dia menjawab: “Ya.” Nabi bersabda: “Maka berjihadlah kepada keduanya.” (berbaktilah padanya) (HR. Bukhari, Kitab Al Jihad was Siyar Bab Al Jihad bi idzni Abawain, Juz. 10, Hal. 188, No hadits. 2782. Muslim, Kitab Al Bir wash Shilah wal Adab Bab Birrul Walidain wa annahuma Ahaqqu bihi, Juz. 12, hal. 390, No hadits. 4623. Al Maktabah Asy Syamilah)
Tetapi ketika jihad dalam keadaan difensif (mempertahankan diri), musuh masuk ke wilayah kita (negeri muslim), bahkan sudah berhadap-hadapan, dan sudah ada instruksi dari pemimpin negara, maka saat itu jjihad menjadi fardhu ‘ain, yang lebih utama dibanding berbakti kepada orang tua. Saat itu anak tak perlu lagi izin orang tua bahkan orang tua juga harus ikut berjihad menghalau musuh.
Hadits tentang “Kembali dari Jihad Kecil Menuju Jihad Besar.”
Hadits ini cukup terkenal, namun benarkah hadits tersebut? Hadits itu berbunyi:
رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر
“Kita kembali dari Jihad kecil menuju jihad besar.”
Berkata Imam Zainuddin al Iraqi:
أخرجه البيهقي في الزهد من حديث جابر وقال : هذا إسناد فيه ضعف .
Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab az Zuhd dari hadits Jabir, dia berkata: “Di dalam sanadnya dha’if.” (Imam al ‘Iraqi, Takhrijul Ihya’, Juz. 6 Hal. 216. No hadits. 2567. Markaz Nur Al Islam Li Abhats Al Quran was Sunnah Iskandariah. Al Maktabah Asy Syamilah)
Kita simak pembahasan Al ‘Allamah Al Muhaddits Syaikh Mauhammad Nashiruddin al Albany sebagai berikut:
منكر
قال الحافظ العراقي في ” تخريج الإحياء ” ( 2/6 ) :
” رواه البيهقي في ” الزهد ” من حديث جابر ، و قال : هذا إسناد فيه ضعف ” .
و قال الحافظ ابن حجر في ” تخريج الكشاف ” ( 4/114 – رقم 33 ) : بعد أن حكى
كلام البيهقي فيه :
” و هو من رواية عيسى بن إبراهيم عن يحيى بن يعلى عن ليث بن أبي سليم ،
و الثلاثة ضعفاء ، و أورده النسائي في ” الكنى ” من قول إبراهيم بن أبي عبلة
أحد التابعين من أهل الشام ” .
قلت : عيسى بن إبراهيم هو البركي ، و قد قال فيه الحافظ في ” التقريب ” :
” صدوق ربما وهم ” ، فإطلاقه الضعف عليه – كما سبق – ليس بجيد .
و هذا هو الذي اعتمده الحافظ ; أنه من قول إبراهيم هذا ، فقد قال السيوطي في “
الدرر ” ( ص 170 ) :
” قال الحافظ ابن حجر في ” تسديد القوس ” : هو مشهور على الألسنة ، و هو من
كلام إبراهيم بن أبي عبلة في ” الكنى ” للنسائي ” .
“Hadits ini munkar. Al Hafizh Al ‘Iraqi dalam Takhrijul Ihya’ (2/6) mengatakan: “Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab az Zuhd dari hadits Jabir, dia berkata: “Di dalam sanadnya dha’if.” Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Takhrij al Kasysyaf (4/114/no.33) -setelah menceritakan ucapan Al Baihaqi: “Itu adalah riwayat ‘Isa bin Ibrahim, dari Yahya bin Ya’la, dari Laits bin Abi Salim, tiga orang dha’if. Imam An Nasa’i dalam Al Kuna menyandarkan hadits itu sebagai ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ablah, seorang tabi’in (generasi setelah sahabat) penduduk Syam.”
Saya (Syaikh al Albany) berkata: “Isa bin Ibrahim nama lainnya adalah Al Barki, Al Hafizh Ibnu Hajar telah berkata tentang dia dalam At Taqrib: “Jujur tapi banyak kebimbangan.” Maka kedha’ifannya adalah mutlak, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dan hadits ini tidak bagus.”
Al Hafizh Ibnu Hajar telah menyandarkan ucapan ini sebagai ucapan Ibrahim ini. Imam As Suyuthi telah berkata dalam Ad Darar (Hal. 170): “Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Tasdidul Qaus: Ini adalah masyhur sebagai ucapannya Ibrahim bin Abi ‘Ablah dalam kitab Al Kuna-nya An Nasa’i.” (Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 5, Hal 459, No hadits. 2460)
Ada hadits serupa:
قدمتم خير مقدم ، قدمتم من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر : مجاهدة العبد هواه
“Kalian datang dengan sebaik-baik kedatangan, kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar: jihadnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya.”
Berkata Syaikh al Albany:
و نقل الشيخ زكريا الأنصاري في تعليقه على ” تفسير البيضاوي ” ( ق 110/1 ) عن
شيخ الإسلام ابن تيمية أنه قال :
” لا أصل له ” . و أقره .
و قال في مكان آخر ( 202/1 ) :
” رواه البيهقي و ضعف إسناده ، و قال غيره : لا أصل له ” .
Syaikh Zakaria al Anshari, dalam komentarnya terhadap Tafsir al Baidhawi (110/1), mengutip ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang hadits ini: “Tidak ada dasarnya.” Dan dia menetapkan hal itu. Dia berkata dalam halaman lain: “Diriwayatkan oleh Al Baihaqi sanadnya dha’if, ada pun yang lainnya mengatakan: tidak ada dasarnya.” (Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 5, Hal 459, No hadits. 2460. Al Maktabah Asy Syamilah)
Imam Ibnu Taimiyah berkata tentang hadits tersebut:
فَلَا أَصْلَ لَهُ وَلَمْ يَرْوِهِ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَة
“Tidak ada dasarnya dan tidak diriwayatkan oleh seorang ulama pun.” (Majmu’ al Fatawa, Juz. 2, hal. 487. Al Maktabah Asy Syamilah)
Catatan:
Hadits yang shahih, tentang jihad paling agung dan paling afdhal adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ
“Dari Abu Said al Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang ‘adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim.” (HR. Abu Daud, Kitab Al Malahim Bab Al Amru wan Nahyu, Juz. 11, Hal. 419, No hadits. 3781. At Tirmidzi, Kitab al Fitan ‘an Rasulillah Bab Maa Jaa’a Afdhalul Jihad …, Juz. 8, hal. 83, No hadits. 2100. Katanya: hadits ini hasan gharib. Ibnu Majah, Kitab Al Fitan Bab Al Amru bil Ma’ruf wan nahyu ‘anil Munkar, Juz.12 Hal. 15, No hadits. 4001. Ahmad, Juz. 22 Hal. 261, No hadits. 10716. Dalam riwayat Ahmad tertulis Kalimatul haq (perkataan yang benar) )
Syaikh al Albany menshahihkan hadits ini. (Lihat Misykah al Mashabih, Kitab Al Imarah wal Qadha – Al Fashlu al Awal, Juz. 2, Hal. 343, No hadits. 3705. Al Maktabah Asy Syamilah)
Sedangkan jihad paling afdhal bagi kaum wanita adalah haji mabrur, sebagaimana riwayat shahih berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ
يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia bertanya: “Ya Rasulullah kami melihat bahwa amal yang paling utama adalah jihad, maka, apakah kami (wanita) juga berjihad?” Rasulullah menjawab: “Tidak, tetapi jihad paling utama adalah haji mabrur.” (HR. Bukhari, Kitab Al Haj Bab Fadhlu Al Haj al Mabrur, Juz. 5 Hal. 399, No hadits. 1423. Al Maktabah Asy Syamilah)
Catatan:
Kelemahan hadits di atas (bahkan tidak ada dasarnya), tidak berarti mengurangi derajat jihad melawan hawa nafsu. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:
وَلَا رَيْبَ أَنَّ مُجَاهَدَةَ النَّفْسِ مَأْمُورٌ بِهَا وَكَذَلِكَ قَهْرُ الْهَوَى وَالشَّهْوَةِ كَمَا ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي ذَاتِ اللَّهِ وَالْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ } لَكِنْ الْمُسْلِمَ الْمُتَّبِعَ لِشَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ هُوَ الْمُحَرِّمُ مَا حَرَّمَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ فَلَا يُحَرِّمُ الْحَلَالَ وَلَا يُسْرِفُ فِي تَنَاوُلِهِ ؛ بَلْ يَتَنَاوَلُ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ مِنْ طَعَامٍ أَوْ لِبَاسٍ أَوْ نِكَاحٍ وَيَقْتَصِدُ فِي ذَلِكَ وَيَقْتَصِدُ فِي الْعِبَادَةِ ؛ فَلَا يُحَمِّلُ نَفْسَهُ مَا لَا تُطِيقُ .
[/b]
“Tidak diragukan bahwa berjihad mengendalikan diri adalah diperintahkan, begitu pula menguasai hawa nafsu dan syahwat. Sebagaimana telah tsabit (kuat) dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda:
“Mujahid adalah orang yang berjihad melawan nafsunya di jalan Allah, dan orang pintar adalah orang mampu menguasai dirinya dan berbuat untuk hari setelah kematiannya, dan orang lemah adalah orang yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya, dan berangan-angan kepada Allah.”
Tetapi seorang muslim hanya mengikuti syariat Islam, dia mengharamkan apa yang Allah dan rasulNya haramkan, dia tidak mengharamkan yang halal dan tidak berlebihan dalam menikmatinya, tetapi dia menggunakannya sesuai kebutuhan saja baik berupa makanan, nikah, dia sederhana dalam hal itu, dan sederhana pula dalam hal ibadah, dia tidak membebani dirinya dengan apa-apa yang tidak dia mampu.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, Juz. 3, Hal. 302. Al Maktabah Asy Syamilah)
Bahkan seorang ulama mujahid, perawi hadits, Imam Abdullah bin Mubarak mengomentari ayat:
وَجَاهِدُوا فِي اللّهِ حَقّ جِهَادِه
“Berjihadlah kalian di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad.”
Beliau berkata:
هُوَ مُجَاهَدَةُ النّفْسِ وَالْهَوَى
“Itu adalah berjihad melawan jiwa dan hawa nafsu.” (Imam Ibnu Qayyim, Zaadul Ma’ad, Juz. 3, Hal. 5. Al Maktabah Asy Syamilah)
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat dalam menyimpulkan, manakah jihad yang paling afdhal? Sebab berbagai hadits shahih menyebutkan keutamaan jihad yang berbeda. Ada hadits yang menyebut jihad paling afdhal adalah perang melawan orang kafir, ada pula mengucapkan kalimat yang benar kepada penguasa zalim, dan ada pula haji mabrur.
Ini dikompromikan (Al Jam’u) oleh para ulama, di antaranya Imam Ibnul Qayyim. Beliau mengatakan bahwa keutamaan ibadah adalah yang paling mendesak dan sesuai untuk dilaksanakan saat itu. Jika dalam keadaan perang, maka jihad paling utama adalah berperang melawan musuh. Jika dalam keadaan miskin maka jihad paling utama adalah memerangi kemisikinan, dan jika sedang mengalami kebodohan maka jihad paling utama adalah menuntut ilmu. Demikian dalam Madarij as Salikin.
Wallahu A’lam
Share
Posting Komentar