Dalam konteks ilmiah, Islam yang disokong oleh wahyu tentu akan memiliki sikap yang berbeda dengan peradaban Barat yang memandang wahyu sebagai sesuatu yang tidak saintifik. Dalam tataran epistemologis, perbedaan cara pandang ini jelas terlihat ketika dihadapkan pada persoalan sumber-sumber pengetahuan. Makalah sederhana ini mencoba membandingkan pandangan Barat dan Islami menyangkut sumber-sumber pengetahuan manusia.
Pandangan-Pandangan Barat Tentang Sumber Ilmiah
Dalam sejarah filsafat Barat, sekurang-kurangnya terdapat empat kecenderungan besar dalam menyikapi proses ilmiah; yakni tentang sumber ilmu pengetahuan. Keempat aliran itu adalah: rasionalisme, empirisisme, kritisisme, dan intuisionisme. Kemunculan aliran rasionalisme biasanya dikaitkan filosof abad ke-17 dan 18, seperti Rene Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Leibniz, walaupun sebenarnya akar dari pemikiran ini dapat dilacak sampai filsafat Yunani. Paham ini berpendapat bahwa pada hakikatnya ilmu itu bersumber dari akal budi manusia. Dalam penjelasannya, Descartes mengatakan bahwa dalam jiwa manusia terdapat ide bawaan (innate ideas) yang dinamakan substansi yang sudah tertanam. Lebih lanjut Descartes menyebut tiga hal yang disebut sebagai ide bawaan; pemikiran, Tuhan, dan keluasan (ekstensi). Adapun ilmu-ilmu lain yang dicapai manusia pada hakikatnya adalah derivasi dari ketiga prinsip dasar tersebut. Menurut aliran ini sumber ilmu adalah akal melalui deduksi ketat seraya mengabaikan pengalaman. Hal ini, menurut mereka, karena ilmu adalah sesuatu yang sudah ‘built in’ dalam jiwa manusia dan tugas kita adalah mencapainya melalui deduksi. Karenanya, ilmu yang dihasilkan oleh aliran ini—biasanya dianggap—bersifat universal.
Mazhab kedua adalah empirisisme yang menekankan pentingnya pengalaman sebagai sarana pencapaian pengetahuan. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon, sekalipun dalam pengertian tertentu pemikiran yang mengutamakan pendekatan empirik dapat terlacak pula dalam filsafat Yunani. Puncak pemikiran aliran ini terdapat pada pemikiran David Hume yang dalam karyanya A Treatise of Human Nature mengupas persoalan-persoalan epistemologis penting. Berbanding terbalik dengan rasionalisme, mazhab ini, seperti yang dijelaskan oleh Hume, mengatakan bahwa seluruh isi pemikiran manusia berasal dari pengalaman, yang kemudian diistilahkan dengan persepsi. Persepsi, kemudian, dibagi menjadi dua macam, yaitu kesan-kesan (impressions) dan gagasan (ideas). Yang pertama adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup. Yang kemudian adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Derivasi ilmiah yang diakui oleh aliran ini adalah induksi terhadap fakta-fakta empiris. Tapi hal ini tidak berarti mereka mengklaim univesalitas induksi. Alih-alih, mereka justru menekankan keterbatasan induksi yang hal ini berarti mereka menolak generalisasi.
Aliran ketiga adalah kritisisme yang merupakan usaha untuk menyintesiskan dua kutub ekstrim sebelumnya; rasionalisme dan empirisisme. Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant. Pemikiran yang disampaikan oleh Kant berusaha untuk mengakhiri perdebatan yang terjadi tentang objektivitas pengetahuan antara rasionalisme Jerman, yang diwakili Leibniz dan Wolff, dan Empirisisme Inggris. Dalam usahanya, Kant berusaha menunjukkan unsur mana saja dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur mana yang berasal dari akal. Berbeda dengan aliran filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian pada objek penelitian, Kant mengawali filsafatnya dengan memikirkan manusia sebagai subjek yang berpikir. Dengan demikian fokus perhatian Kant adalah pada penyelidikan rasio manusia dan batas-batasnya.
Kecenderungan berbeda pada mazhab keempat, yakni intuisionisme. Aliran ini dimulai oleh Henry Bergson. Jika ketiga aliran sebelumnya menekankan pentingnya akal dalam mencapai pengetahuan, aliran ini justru mementingkan intuisi. Penekanan terhadap intuisi ini tidak berarti bahwa mereka menafikan sama sekali peran akal dan indera. Mazhab ini menyatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui penghayatan langsung lebih superior dan sempurna. Secara epistemologis, pengetahuan melalui intuisi ini diperoleh melaui pe’rasa’an langsung (dzawq) mengenai hakikat sebuah objek, bukan aspek lahiriah dari objek itu. Henry Bergson membagi pengetahuan menjadi dua macam; ‘pengetahuan mengenai (knowledge about)’ dan pengetahuan tentang (knowledge of). Yang pertama bersifat diskursif-simbolis, sementara yang kedua bersifat langsung.
Perspektif Islam
Bahwa ada persamaan penting antara Barat dan Islam tidaklah dapat disangkal. Hal ini misalnya dalam hal sumber dan metode pengetahuan; yang meliputi cara mengetahui rasional-empiris; gabungan antara realisme, idealism, dan pragmatisme sebagai dasar kognitif filsafat ilmu; dan filsafat dan sains tentang proses. Tapi persamaan ini hanya terkait dengan aspek-aspek eksternal dan tidak menafikan, sama sekali, perbedaan-perbedaan mendasar yang timbul dari perbedaan cara-pandang dan pemahaman tentang Realitas. Keimanan muslim terhadap Wahyu sebagai sumber pengetahuan tentang realitas akhir dan kebenaran tentang makhluk dan Sang Pencipta memungkinkan pembentukan kerangka metafisik untuk pengelaborasian filsafat ilmu integral yang menjelaskan realitas dan kebenaran yang tidak memungkinkan keterlibatan metode-metode rasionalisme filosofis dan empirisisme filosofis dari filsafat dan sains modern.
Berlawanan dengan pandangan filsafat dan sains modern, dalam Islam, ilmu berasal dari Tuhan dan diperoleh melalui indera yang sehat, berita yang benar (khabar shadiq) berdasar otoritas, akal sehat, dan intuisi. Indera yang sehat merujuk pada persepsi dan observasi, yang, hal ini, mencakup panca indera luar dan panca indera dalam. Akal sehat yang dimaksud disini tidaklah terbatas pada elemen-elemen sensibel saja; atau fakultas mental yang mensistematisasi dan menafsirkan fakta dari pengalaman inderawi menurut susunan logis; atau fakultas yang memahami data dari pengalaman inderawi; atau yang mengabstraksi fakta dan data inderawi serta hubungannya; dan yang mengatur itu semua menjadi sesuatu yang bisa dipahami. Akal sehat adalah semua hal diatas yang berfungsi secara harmonis dan tidak bertentangan. Akal (intellect) adalah substansi spiritual yang inheren dengan organ spiritual yang kita sebut hati, yang berfungsi menerima pengetahuan intuitif. Dengan demikian akal dan intuisi saling berhubungan.
Karena itu, berbeda dengan yang dipahami dalam peradaban Barat, intuisi bukan sekedar pemahaman langsung, oleh subjek, tentang dirinya; kesadarannya; ‘diri’ lain selain dirinya; ‘dunia luar’ (external world), yang universal, nilai-nilai, dan kebenaran rasional. Disamping semua itu, intuisi, juga, adalah pemahaman langsung tentang kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan, realitas eksistensi-eksistensi sebagai kebalikan dari esensi; dan karenanya, pada tingkatan yang lebih tinggi intuisi adalah intuisi tentang eksistensi itu sendiri.
Sedangkan berita yang benar (khabar shadiq) terbagi menjadi dua jenis. Berita yang dibawa oleh orang banyak yang memustahilkan terjadinya kebohongan (khabar mutawatir) dan berita yang disampaikan oleh RasuluLlah saw. Otoritas pada jenis yang pertama—yang memasukkan kesepakatan ulama, ilmuwan, dan orang-orang terpelajar—dapat dipertanyakan dengan metode-metode rasional dan eksperimen. Namun, otoritas jenis kedua adalah mutlak. Hal ini karena, sebagaimana terdapat tingkatan pada rasio dan pengalaman, dalam otoritas pun terdapat tingkatan. Dalam keyakinan muslim, otoritas tertinggi adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi saw, yang mencakup pribadinya. Dalam pengertian bahwa kedua bukan hanya menjelaskan kebenaran, tapi keduanya adalah kebenaran itu sendiri yang merupakan representasi otoritas berdasar tingkatan tertinggi intelektualitas, pencerapan spiritual dan pengalaman transendental, sehingga keduanya tidak bisa direduksi pada tingkatan rasio dan pengalaman normal manusia.
Simpulan
Beberapa simpulan yang dapat dihasilkan dari uraian ringkas diatas diantaranya bahwa penjelasan mengenai sumber pengetahuan dalam Islam lebih komprehensif dan menyeluruh; bahwa sekalipun secara sepintas tampak ada persamaan-persamaan antara uraian filsafat Barat dan Islam, namun hal itu tidak menegasikan perbedaan-perbedaan fundamental antar keduanya. WaLlahu a’lam
Bacaan
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Prolegomena to the Metaphysics of Islam. 2001. Kuala Lumpur: ISTAC.
Muslih, Muhammad. Filsafat Ilmu. 2005. Jogjakarta: Belukar.
Posting Komentar