Sunnah dan Bid'ah (Bagian II)

1. PEMBUAT DAN PELAKU BID'AH MENGANGKAT DIRINYA SEBAGAI PEMBUAT SYARIAT BARU DAN SEKUTU BAGI ALLAH SWT


Islam memberikan peringatan keras terhadap masalah bid'ah ini karena (seperti telah kami singgung sebelumnya) dalam kasus seperti ini, si pembuat bid'ah bertindak seakan-akan ingin mengoreksi Rabbnya dan dia memberikan kesan kepada kita atau kepada dirinya bahwa dia mengetahui apa yang tidak diketahui oleh Allah SWT. Seakan-akan dia berkata, "Tuhanku, apa yang Engkau telah syariatkan kepada kami itu tidak cukup. Oleh karena itu, kami menambah praktek ibadah baru atas apa yang telah Engkau syariatkan itu." Dengan demikian, ia telah menetapkan dirinya sebagai pembuat syariat dan memberikan kepada dirinya hak untuk menciptakan syariat baru. Padahal, hak membuat syariat adalah mi1ik Allah SWT semata. Oleh karena itu, Allah berfirman, "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?.... "(asy-Syuura: 21)

Tindakan membuat syariat baru yang tidak dizinkan oleh Allah SWT adalah tindakan yang amat berbahaya. Karena, dalam kasus seperti itu, si pelakunya berarti telah mengangkat dirinya sebagai sekutu bagi Allah SWT dan memberikan hak kepada dirinya untuk menciptakan syariat baru dan berkreasi dalam agama, serta membuat tambahan dalam agama Allah SWT. Hal ini dapat menimbulkan bahaya yang amat besar dan dapat menjerumuskan seseorang menjadi musyrik kepada Allah SWT. Tindakan seperti inilah yang telah merusak agama-agama langit sebelum Islam.
Apa yang telah terjadi pada agama-agama langit sebelum Islam itu? Yaitu, terjadi bid'ah secara besar-besaran dan para pemeluk agama-agama itu memberikan kepada diri mereka hak untuk menambahkan hal-hal baru dalam agama mereka, yang secara khusus dipegang oleh para pendeta dan orang-orang alim mereka sehingga agama yang mereka anut bentuknya berubah sama sekali dari agama aslinya. Inilah yang dikecam oleh Islam dan diabadikan oleh Al-Qur'an dalam firman Allah SWT, "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sehagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Almasih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (at-Taubah: 31)

Al-Qur'an memandang mereka sebagai orang-orang musyrik. Saat Adi bin Hatim ath-Thaai (yang sebelumnya memeluk Kristen pada masa jahiliah) bertemu Rasulullah saw., ia membaca ayat, "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah." Dan, iapun (Adi bin Hatim ath-Thaai) berkata, "(Pada kenyataannya) mereka tidak menyembah para pendeta dan rahib itu." Rasulullah saw. menjawab, "Benar begitu, (namun) mereka (para pendeta dan rahib itu) telah mengharamkan sesuatu yang halal bagi umatnya dan menghalalkan apa yang haram bagi mereka, dan mereka (umatnya) pun mengikuti ketetapan para pendeta dan rahib itu dengan patuh. Itulah bentuk ibadah penyembahan mereka kepada para pendeta dan rahib itu."[30]

Adi bin Hatim memahami ibadah dan penyembahan hanya berbentuk ritus-ritus saja: shalat, ruku, sujud, dan semacamnya. Kemudian, Nabi saw. memberikan penjelasan kepadanya bahwa bentuk penyembahan mereka itu tidak semata-mata seperti itu; ibadah dan penyembahan mempunyai makna yang lebih luas. Taat dan tunduk secara mutlak terhadap apa yang mereka (para pendeta dan para rahib) lakukan, apa yang mereka halalkan, apa yang mereka haramkan, apa yang mereka buat-buat, dalam perkara-perkara duniawi adalah bentuk penyembahan kepada mereka. Karena, status rubbubiyah 'ketuhanan'-lah yang memiliki hak untuk menetapkan syariat, menghalalkan, dan mengharamkan. Dan, status itu pula yang memberikan-Nya hak untuk menetapkan bentuk praktek ibadah manusia kepada-Nya, sesuai yang Dia kehendaki. Tidak ada seorang pun yang mempunyai hak untuk beribadah kepada Allah SWT dengan cara yang dia kehendaki sendiri.

Dengan demikian, orang yang membuat bid'ah meletakkan dirinya seakan-akan pihak yang berwenang menetapkan hukum dan menjadi sekutu bagi Allah SWT dan dia mengoreksi apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.



2. PEMBUAT BID'AH MEMANDANG AGAMA TIDAK LENGKAP DAN BERTUJUAN MELENGKAPINYA

Dari segi lain, orang yang mengerjakan bid'ah seakan-akan menganggap agama tidak lengkap, kemudian ia ingin menyempurnakan kekurangan dan ketidaksempurnaannya. Padahal, Allah SWT telah menyempurnakan agama secara lengkap, sebagai bentuk kesempurnaan nikmat yang diberikan-Nya kepada kita. Dia berfirman, ",...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu...," (al-Maa'idah: 3)

Oleh karena itu, Ibnu Majisyun meriwayatkan dari Imam Malik (Imam Darul Hijrah) bahwa dia berkata, "Siapa yang telah membuat praktek bid'ah dalam agama Islam dan ia melihatnya sebagai suatu tindakan yang baik, berarti ia telah menuduh Nabi Muhammad saw. telah mengkhianati risalah. Karena, Allah SWT berfirman, 'Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.' Jika saat itu agama Islam belum lengkap niscaya saat ini tidak ada agama Islam itu."[31]

Membuat bid'ah dalam agama Islam secara tidak langsung berarti telah menuduh Nabi saw. berkhianat dan tidak menyampaikan risalah agama secara lengkap. Allah SWT berfirman, "Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan, jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya (al-Maa'idah: 67)

Agama Islam telah sempurna dan tidak membutuhkan tambahan lagi. Karena, sesuatu yang sudah sempurna tidak menerima adanya penambahan sama sekali. Hanya sesuatu yang tidak sempurnalah yang dapat menerima penambahan dan penyempurnaan baginya.

Oleh karena itu, para sahabat dan para imam setelah mereka, amat memerangi praktek bid'ah karena hal itu berarti menuduh agama Islam tidak lengkap, dan menuduh Rasulullah saw. telah berbuat khianat.


3. PRAKTEK BID'AH MEMPERSULIT AGAMA DAN MENGHILANGKAN SIFAT KEMUDAHANNYA

Agama yang disyariatkan oleh Allah SWT pada dasarnya bersifat mudah dan Allah SWT juga mengutus nabi-Nya dengan hanifiah samhah 'agama yang orisinal dan mudah dijalankan', hanif 'orisinal' dalam akidah, dan samhah 'mudah dijalankan dalam pemberian beban hukum dan praktek ibadah'. Firman Allah: "...Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...." (al-Baqarah:185). Juga dalam ayat lainnya, ",...dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan,..." (al-Hajj: 78). Juga dalam hadits Nabi SAW, "Kalian diutus sebagai orang-orang yang memberikan kemudahan, bukan sebagai orang-orang yang membuat kesulitan. "[32]

Agama Islam datang dengan sifat mudah dilaksanakan, kemudian orang-orang yang membuat praktek bid'ah mengubah sifat mudah Islam itu menjadi susah dan berat. Mereka membebani manusia dan menyulitkan mereka dengan berbagai macam praktek baru, serta menambahkan hal-hal baru dalam praktek keagamaan yang membuat manusia menjadi terbelenggu oleh beban berat. Padahal, Nabi saw. datang untuk membebaskan manusia dari belenggu dan beban yang berat itu yang dialami oleh umat sebelumnya. Seperti diterangkan tentang sifat Nabi saw. dalam kitab-kitab suci sebelumnya, Taurat dan Injil, "...dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka". (al-A'raaf:157)

Dan, dalam doa-doa Al-Qur'an yang terdapat dalam penghujung surah al-Baqarah tertulis, "...Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami,..." (al-Baqarah: 286)

Para pembuat bid'ah itu berkeinginan mengembalikan beban-beban agama-agama langit sebelumnya ke dalam Islam dan menambahkan taklif 'beban hukum' yang memberatkan manusia serta menyulitkan mereka. Padahal, seungguhnya beban-beban agama Islam ini bersifat sederhana dan mudah dijalankan. Misalnya, Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya, Allah dan malaikat-malaikat Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya," (al-Ahzab: 56)

Dan, redaksi shalawat yang paling afdhal adalah, "Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah sampaikan shalawat-Mu kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah berikan keberkahan kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia."[33]

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca shalawat dengan redaksi tadi? Mungkin hanya seperempat atau setengah menit! Namun, kemudian banyak orang yang mengarang kitab tentang redaksi-redaksi shalawat kepada Nabi saw. dan menciptakan beragam redaksi shalawat baru yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT. Saya sering mendapati orang awam yang membaca redaksi shalawat yang beragam itu dan ternyata ia tidak memahami sama sekali apa yang ia baca itu. Demikian juga halnya dengan redaksi-redaksi doa, banyak orang yang mengarang wirid dan hizb yang beragam. Saat masih kecil, setiap kali saya berangkat ke masjid sebelum subuh, saya mendapati orang-orang awam menghafal dan membaca doa yang dikenal dengan "wirid al-Bakri", yaitu sebuah redaksi doa yang disusun berdasarkan abjad bahasa Arab. Redaksi doa yang pertama dimulai dengan huruf hamzah, kedua dengan huruf ba, ketiga dengan huruf tsa, dan seterusnya.

Misalnya, redaksi doa yang dimulai dengan huruf ghain adalah, "Wahai Tuhanku, kekayaan Mu adalah kekayaan yang mutlak, sementara kekayaan kami adalah kekayaan yang muqayyad 'terbatas'". Jika Anda bertanya kepada salah seorang dari mereka yang membaca doa itu, "Apa makna mutlak dan muqayyad?" niscaya ia tidak tahu sama sekali.

Wahai saudaraku seiman, apakah ada redaksi doa yang lebih afdhal, lebih indah, dan lebih mudah dibandingkan redaksi doa Al-Qur'an dan Sunnah? Redaksi doa dari Al-Qur'an misalnya adalah, "...Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka." (al-Baqarah: 201)

Dan, redaksi doa dari Sunnah misalnya adalah, "Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan pegangan utama bagiku dan perbaikilah duniaku yang merupakan bekal hidupku, perbaikilah akhiratku tempat kembaliku nanti, jadikanlah hidup yang kulalui sebagai tambahan segala kebaikan yang dapat kuraih, dan jadikanlah kematianku sebagai tempat istirahatku dari segala kejahatan dan keburukan. "[34]

Lantas, mengapa kita harus menyusahkan diri sendiri dan menyusahkan orang lain untuk menghafal doa-doa dengan redaksi buatan sendiri itu?

Suatu kali, saya pernah bertanya kepada seseorang, "Mengapa Anda tidak melaksanakan shalat?" Ia menjawab, "Karena aku tidak bisa berwudhu." Aku kembali bertanya, "Apakah engkau tidak mengetahui bagaimana membasuh muka, kedua tangan, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki?" Ia menjawab, "Kalau itu, aku mengetahuinya, namun aku tidak hafal (do'a) apa yang harus dibaca pada setiap kali membasuh anggota wudhu itu." Maksudnya, ia tidak mengetahui doa yang harus dibaca saat akan memulai berwudhu, misalnya doa, "Segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan air sebagai media untuk menyucikan (diri) dan Islam sebagai cahaya." Saat istinsyaaq 'memasukkan air ke hidung', "Ya Allah, rahmatilah aku dengan semerbak surga dan Engkau meridhaiku." Saat membasuh muka, "Ya Allah, putihkanlah wajahku pada saat wajah-wajah (kalangan beriman) memutih dan wajah-wajah (kalangan kafir dan pembuat dosa) menghitam." Saat membasuh dua tangan, "Ya Allah, berikanlah buku catatan amal perbuatanku ke tangan kananku, dan jadikanlah Nabi Muhammad sebagai pemberi syafaat dan penanggungku." Dan, saat mengusap kepala, "Ya Allah, haramkanlah rambut dan kulitku dari api neraka."[35]

Oleh sebagian orang, setiap gerakan wudhu disertai doa tertentu sehingga rekan kita yang malang ini menyangka bahwa agar shalat dan wudhunya sah maka ia harus menghafal seluruh doa yang banyak itu, padahal ia tidak memiliki kemampuan untuk menghafal seluruh redaksi doa yang banyak itu. Mengapa hal ini harus terjadi?

Contoh yang lain adalah apa yang dinamakan oleh sebagian orang sebagai azan syar'i. Pada dasarnya, redaksi dan cara pelafalan azan mudah saja dilakukan, yaitu Allahu Akbar Allahu Akbar dan seterusnya. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengumandangkan azan seperti itu? Paling lama satu menit atau satu menit setengah. Namun, jika kita menguman-dangkan azan dengan cara yang biasa dilakukan pada saat ini, yaitu dengan membaca hayya 'alash-shalaaaaaah, hayya 'alal falaaaaaaah, berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk itu? Tentu akan memerlukan lebih dari lima menit.

Oleh mereka, kata "falah" harus dibaca lebih panjang dari kata "shalaah". Demikian juga redaksi kedua harus dibaca lebih panjang dari redaksi pertama. Tidak hanya itu, mereka juga kemudian mengarang redaksi-redaksi shalawat kepada Nabi saw yang harus dibaca selepas mengumandangkan azan.

Wahai saudaraku seiman, Rabb kita mensyariatkan lafal-lafal azan ini dan mewahyukan bentuk lafal itu kepada Nabi-Nya melalui jalan mimpi[36] yang ditetapkan oleh Nabi saw.. Hal ini dimaksudkan agar Allah SWT mempunyai peran tertentu dalam penentuan azan itu, demikian juga Nabi saw. mempunyai peran tersendiri. Lantas, mengapa Anda kemudian menambahkan redaksi shalawat dan kata-kata tambahan terhadap azan itu yang membuat bagian Nabi saw. dalam azan lebih besar dari bagian Rabb kita? Ini tidak sepatutnya terjadi.

Islam amat memerangi bid'ah agar manusia tidak memasukkan hal-hal baru yang mempersulit pelaksanaan agama, serta agar tidak menambahkan hal-hal yang membuat beban agama menjadi berlipat-lipat banyaknya daripada apa yang diturunkan oleh Allah SWT. Karena, hal itu akan membuat manusia menjadi berat untuk menjalankan perintah-perintah agama.



4. BID'AH DALAM AGAMA MEMATIKAN SUNNAH

Ada ungkapan yang diriwayatkan dari kalangan salaf, secara mauquf dan marfu', "Setiap kali suatu kaum menghidupkan bid'ah maka saat itu pula mereka mematikan sunnah dengan kadar yang setara." Ini adalah suatu keniscayaan (kepastian), sesuai dengan hukum alam dan hukum sosial. Ada orang yang berkata, "Setiap kali aku melihat suatu sikap berlebihan dalam satu segi maka saat itu pula aku dapati adanya suatu hak yang ditelantarkan." Jika Anda menjumpai suatu sikap berlebih-lebihan pada satu segi, Anda pasti akan mendapati adanya sikap mengurang-ngurangi pada segi lain. Jika seseorang mencurahkan energinya untuk melaksanakan perbuatan bid'ah, niscaya energinya untuk menjalankan sunnah menjadi berkurang karena kemampuan manusia terbatas. Oleh karena itu, Anda dapat menandai dengan mudah pada segi apa seorang pelaku bid'ah giat berusaha dan pada segi apa pula ia malas bekerja. Ia giat dan bersegera dalam menjalankan perbuatan-perbuatan bid'ah, sementara lemah dan bermalasan dalam menjalankan hal-hal yang sunnah.

Saya masih ingat ketika masih berstatus pelajar sekolah menengah al-Azhar di Madrasah al-Azhar cabang Thantha. Di kota Thantha itu terdapat makam sayyid Ahmad Badawi yang terkenal itu. Di antara syekh kami ada yang menghabiskan sebagian besar siang dan malamnya di samping makam sayyid Badawi. Saya pernah berdialog dengan salah seorang syekh kami tersebut, seorang ahli fiqih mazhab Hanafi, namun ia termasuk dalam kelompok orang-orang yang menyakralkan tasawuf dan para wali.
Saat itu, ia sedang mengajarkan kepada kami bab al-Udhhiah 'kurban' (dan saya saat itu adalah orang yang senang mengaitkan fiqih dengan kehidupan sehari-hari). Saya berkata kepadanya, "Pak guru, saat ini, masyarakat sudah melupakan sunnah ini sehingga orang yang berkurban amat sedikit sekali. Saya pikir para syekh bertanggung jawab dalam masalah ini dan mereka dapat memperingatkan masyarakat untuk memperhatikan sunnah ini." Syekh kami itu menukas, "Hal itu terjadi karena kemampuan finansial masyarakat saat ini lemah." Saya kembali berkomentar, "Namun, dalam kesempatan lain, mereka malah berkurban untuk sesuatu yang bukan sunnah." Mendengar itu ia bertanya, "Apa yang engkau maksud?" Saya menjawab, "Maksud saya, mereka berkurban pada saat peringatan kelahiran sayyid Badawi. Saat peringatan itu, masyarakat menyembelih puluhan, bahkan ratusan atau ribuan domba, sementara pada Idul Adha amat sedikit yang berkurban. Seandainya para syekh mengarahkan masyarakat untuk menghidupkan sunnah berkurban ini, yaitu sebagai ganti mereka berkurban pada saat peringatan kelahiran sayyid Badawi maka mereka berkurban pada hari Idul Adha, niscaya dengan itu mereka telah menjalankan Sunnah. Sekalipun mereka tidak menyedekahkan sedikit pun dari kurban mereka, namun semata mengalirkan darah kurban pada hari itu sudah menjadi bentuk penghidupan syiar Islam. "Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah." (al-Kautsar: 2)

Setelah saya berkata seperti itu, guru saya langsung marah kepada saya dan mengeluarkan saya dari ruang kelas. Ia kemudian menganggap saya sebagai pembuat onar yang membenci para wali serta kaum shalihin.

Ini mengingatkan saya pada satu pernyataan bahwa setiap kali suatu kaum menghidupkan bid'ah dan menyibukkan diri mereka dengan bid'ah itu, niscaya saat itu pula mereka mematikan sunnah sejenis. Inilah salah satu rahasia mengapa bid'ah diperangi dalam Islam.



5. BID'AH DALAM AGAMA MEMBUAT MANUSIA TIDAK KREATIF DALAM URUSAN-URUSAN KEDUNIAAN

Dari segi lain, sebagaimana telah saya singgung sebelumnya, jika manusia mencurahkan energi dan perhatiannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan bid'ah yang ditambahkan ke dalam agama, niscaya mereka tidak lagi mempunyai energi untuk berusaha di dunia dan berkreasi dalam urusan-urusan duniawi.

Bid'ah, seperti telah kami sinyalir sebelumnya, adalah "jalan beragama yang dibuat-buat". Pada dasarnya, manusia harus mengembangkan kreativitasnya dalam bidang keduniaan, namun karena manusia telah mencurahkan seluruh kreativitasnya dalam urusan-urusan agama maka ia tidak lagi dapat berkreasi dalam urusan-urusan duniawi.

Oleh karena itu, generasi Islam yang pertama banyak menelurkan kreativitas dalam bidang-bidang duniawi dan memelopori banyak hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Sehingga, mereka dapat membangun peradaban yang besar dan tangguh yang menyatukan antara ilmu pengetahuan dan keimanan, antara agama dan dunia. Ilmu-ilmu Islam yang dihasilkan pada masa itu, seperti ilmu alam, matematika, kedokteran, astronomi, dan sebagainya menjadi ilmu-ilmu yang dipelajari di seluruh dunia dan masyarakat dunia belajar tentang ilmu-ilmu itu dari kaum muslimin.

Mayoritas motif yang melatarbelakangi kaum muslimin generasi pertama untuk menggeluti dan mengembangkan ilmu-ilmu tadi adalah motif agama. Apakah Anda mengetahui mengapa al-Khawarizmi menciptakan ilmu aljabar? Ia menelurkan ilmu itu untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu dalam bidang wasiat dan warisan. Tentang warisan, juga wasiat, sebagian darinya memerlukan hitung-hitungan matematika. Oleh karena itu, al-Khawarizmi menulis bukunya yang berbicara tentang ilmu aljabar dalam dua juz; juz pertama tentang wasiat dan warisan, juz kedua tentang aljabar.

Saat Dr. Musa Ahmad dan kelompoknya mentahqiq kitab al-Khawarizmi itu, mereka memberikan anotasi-anotasi pada juz yang berbicara tentang aljabar, sedangkan pada juz yang berbicara tentang wasiat dan warisan, mereka berkata, Kami tidak memahaminya dan kami tidak mengerti sedikit pun apa yang tertulis di dalamnya." Pada masa generasi pertama Islam, ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan agama. Tidak ada dikotomi (pembagian / pencabangan) diantara keduanya.[37]

Para ilmuan dan dokter saat itu juga berstatus ulama dalam bidang agama. Ibnu Rusyd, pengarang kitab al-Kulliyyat dalam bidang kedokteran, adalah juga seorang qadhi, pengarang kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul-Muqtashid dalam bidang fiqih. Kitab itu merupakan kitab fiqih komparatif yang paling baik.

Yang aku ingin tekankan adalah, kaum muslimin pada masa keemasan Islam, dalam bidang agama, mereka semata berpegang pada nash dan Sunnah, sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan, mereka berkreasi, menciptakan hal-hal baru, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan penemuan yang telah ada. Sementara, pada masa kemunduran Islam, yang terjadi adalah sebaliknya. Orang banyak sekali menciptakan hal-hal baru dalam bidang agama, sementara beku dan statis dalam bidang-bidang keduniaan. Mereka (kaum muslimin era kemunduran Islam) berkata, "Generasi pertama Islam sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada generasi berikutnya untuk menciptakan hal-hal baru dan kita sama sekali tidak dapat melakukan seperti apa yang mereka telah perbuat." sehingga, kehidupan umat Islam menjadi beku dan statis, seperti air yang terjebak tak bergerak dan berubah menjadi busuk. Dengan demikian, pengingkaran perbuatan bid'ah dalam bidang agama bermakna menyiapkan energi manusia untuk berkreasi dan mengembangkan urusan-urusan keduniaan.



6. BID'AH DALAM AGAMA MEMECAH BELAH DAN MENGHANCURKAN PERSATUAN UMAT

Yang keenam adalah berpegang teguh pada Sunnah akan menyatukan umat sehingga membuat mereka menjadi satu barisan yang kokoh di bawah bimbingan kebenaran yang telah diajarkan oleh Nabi saw.. Karena, Sunnah hanya satu, sedangkan bid'ah tidak terbilang banyaknya. Kebenaran hanya satu, sedangkan kebatilan beragam warna dan bentuknya. Jalan Allah SWT hanya satu, sedangkan jalan-jalan setan amat banyak. Dalam hadits riwayat Ibnu Mas'ud r.a.,[38] ia berkata, "Suatu hari, Rasulullah saw. membuat garis lurus di hadapan kami,[39] kemudian beliau bersabda, 'Ini adalah jalan Allah.' Setelah itu, beliau menggaris beberapa garis di samping kiri dan samping kanan garis yang pertama tadi, dan bersabda, 'Jalan-jalan ini (adalah selain jalan Allah), masing-masing didukung oleh setan yang menggoda manusia untuk mengikuti jalan itu.' selanjutnya, beliau membaca ayat, "Dan, bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia...." (al-An'aam:153)

Oleh karena itu, saat umat secara konsekuen mengikuti Sunnah maka saat itu mereka bersatu padu. Sementara, saat timbul beragam sekte dan mazhab maka umat terpecah menjadi lebih dari tujuh puluh golongan. Bahkan, masing-masing golongan itu pada gilirannya kembali terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil. Dan, masing-masing golongan dan kelompok itu meyakini bahwa mereka sajalah penganut agama Islam yang sebenarnya. Selanjutnya, masing-masing golongan itu menciptakan bid'ah tersendiri yang demikian banyak.

Sebagian bid'ah itu dalam bidang akidah hingga kadang-kadang ada yang sampai kepada kekafiran, seperti golongan yang mengingkari ilmu Allah SWT dan berkata, "Hal ini adalah sesuatu yang baru sama sekali." Maksud ucapan mereka itu adalah Allah SWT tidak mengetahui hal itu sebelumnya. Mereka itulah yang dikecam dengan keras oleh Ibnu Umar dan ia pemah berkata tentang mereka, "Sekalipun mereka melakukan amal kebaikan sebesar Gunung Uhud, (namun karena perkataan dan sikap mereka tadi) niscaya Allah SWT tidak menerima amal perbuatan mereka itu.

Juga ada kelompok yang menganut antropomorfisme yang menyerupakan wujud Allah SWT dengan makhluk-Nya, mereka terkenal sebagai kelompok Musyabbihah dan Mujassimah. Di antara mereka ada yang mengingkari kodrat Allah SWT, meskipun mereka tidak mengingkari ilmu-Nya. Di antara mereka ada yang mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka, seperti kalangan Khawarij, meskipun ketekunan ibadah mereka amat mengagumkan dan meskipun dalam hadits Nabi saw. pernah diungkapkan tentang mereka, "Dan kalian ada yang melihat shalatnya lebih sederhana dari shalat mereka, qiyamullailnya lebih sederhana dari qiyamullail mereka, dan bacaannya lebih sederhana dari bacaan mereka."

Setelah itu, timbul kalangan tasawuf yang sebagian mereka mengungkapkan hal-hal yang sama sekali tidak dilandasi syariat, seperti berpedoman hanya kepada dzauq 'rasa' dan intuisi, bukan kepada syariat. Menurut mereka, orang tidak perlu berpegang pada apa yang difirmankan oleh Rabbnya, namun yang terpenting adalah berpedoman pada apa yang dikatakan oleh hatinya. Salah seorang dari mereka dengan bangga berkata, "Hatiku berkata kepadaku berdasarkan informasi dari Tuhanku." Karena, ia mengambil informasi langsung dari "atas". Oleh karena itu, saat dikatakan kepada salah seorang dari mereka, "Marilah kita membaca kitab Mushannaf Abdurrazzaq," ia menjawab, "Apa manfaatnya karya Abdurrazzaq itu bagi orang yang mengambil ilmunya langsung dari sang Khaliq?" Maksudnya, ia mengambil ilmunya langsung dari Allah SWT, tanpa melalui perantara!

Dari mereka ada yang berkata, "Kalian mengambil ilmu kalian dari orang yang telah mati yang mendapatkannya dari orang yang telah mati pula, sementara kami mengambil ilmu kami dari Zat Yang Maha Hidup, Yang tidak mati!" Malik dari Nafi dari Ibnu Umar, mereka semua telah mati; mata rantai riwayat emas ini (seperti dinamakan oleh para ahli hadits) bagi kalangan tasawuf dipandang sebagi mata rantai karatan yang tidak bermanfaat sama sekali.

Diantara istilah yang dikembangkan oleh mereka adalah hakikat dan syariat. Kalangan ahli syariat melihat dan memperhatikan sisi yang zahir, sedangkan kalangan ahli hakikat melihat dan memperhatikan sisi batin. Oleh karena itu, mereka berkata, "Orang yang melihat manusia dengan mata syariat, niscaya ia akan membenci mereka, sedangkan orang yang melihat manusia dengan mata hakikat, niscaya ia akan memberikan uzur (sikap memaklumi) kepada mereka."

Orang yang berzina, bermabuk-mabukan, pembuat kezaliman, dan kediktatoran, yang menyiksa manusia dan membunuh ratusan, bahkan ribuan orang, serta yang menghancurkan kampung-kampung dan kota-kota; mereka itu, jika Anda lihat mereka dengan mata syariat niscaya Anda akan membenci mereka karena syariat membenci kemungkaran, kezaliman, dan para pelakunya. Namun, jika Anda memandang mereka dengan mata hakikat, niscaya Anda akan memberikan uzur kepada mereka. Karena, meskipun mereka tidak menjalankan perintah Allah SWT, namun pada hakikatnya mereka menjalankan iradah 'kehendak' Allah SWT karena Allah SWT-lah yang menghendaki semua hal itu. Allah SWT menggerakkan manusia sesuai dengan kehendak-Nya, lantas apakah Anda ingin turut campur dalam kekuasaan Allah SWT? Biarkanlah kekuasaan berjalan di tangan raja, sementara manusia yang lain, biarkanlah mereka hidup sesuai dengan kehendak sang Khalik. Dengan begitu, tumbuh suburlah sikap pasif dalam menghadapi kerusakan dan penindasan, demikian juga dalam dunia pendidikan. Hingga dalam bidang yang terakhir ini, tasawuf mencabut kepribadian manusia, yaitu seperti postulat tasawuf "sikap seorang murid di hadapan syekhnya adalah seperti sikap mayat di tangan orang yang memandikannya", Siapa yang bertanya kepada syekhnya: "Mengapa?" Maka, sang murid itu tidak akan 'sampai' ke tujuannya, dan seterusnya.

Kemudian berapa banyak tarekat yang telah timbul di kolong langit ini? Jika umat Islam kita biarkan mengikuti dan menjalankan praktek bid'ah, niscaya mereka tidak akan bersatu dalam satu shaf. Umat Islam hanya dapat bersatu jika mereka berdiri di belakang Rasulullah saw. dan mengikuti kitab Allah yang muhkam dan Sunnah Rasul-Nya. Setelah mereka bersikap seperti itu, tidak menjadi masalah jika mereka kemudian berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu' (cabang). Perbedaan pendapat dalam bidang furu' ini tidak merusak ukhuwah, juga tidak menghalangi persatuan Islam. Para sahabat sendiri banyak berbeda pendapat dalam masalah furu'[40], namun mereka tetap bersaudara, dan tetap sebagai kaum muslimin.



MENGINGKARI BID'AH DAN MEMERANGINYA ADALAH LANGKAH UNTUK MEMELIHARA KEMURNIAN ISLAM

Karena semua hal tadi maka mengingkari bid'ah dan perbuatan bid'ah adalah tindakan yang dapat menjaga kemurnian Islam hingga saat ini sehingga Islam tidak mengalami distorsi dan adisi seperti yang dialami oleh agama-agama yang lain.

Benar di kalangan kaum muslimin terjadi banyak perbuatan bid'ah dan pihak-pihak yang menciptakan bid'ah, yaitu orang-orang jahil yang tidak mempunyai ilmu agama dan memberikan pengajaran agama dengan tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan, namun di sepanjang masa selalu timbul tokoh di kalangan umat Islam yang memperbarui agama mereka.[41] Selalu ada tokoh-tokoh yang menghidupkan Sunnah dan mematikan bid'ah.[42] Sehingga, setidaknya, Sunnah Rasulullah saw. tetap dapat diketahui dengan jelas dan umat ini tidak sampai bersepakat dalam kesesatan;[43] atau mengakui bid'ah, atau perbuatan bid'ah itu berubah menjadi bagian agama Islam.

Pengingkaran bid'ah itulah yang menjaga rukun-rukun pokok Islam. Bilangan kewajiban shalat tetap terjaga sebanyak lima waktu hingga saat ini, berikut ketentuan waktu dan aturan pelaksanaannya. Pelaksanaan ibadah puasa tidak dipindahkan dari bulan Ramadhan, tidak seperti yang dilakukan oleh Ahli Kitab yang memindahkan waktu pelaksanaan puasa mereka. Dan, waktunya pun tetap dari fajar hingga tenggelamnya matahari. Tata laksana ibadah haji juga tetap seperti itu. Demikian juga aturan zakat tetap seperti sediakala. Pokok-pokok utama Islam tetap terjaga keautentikannya, meskipun telah terjadi banyak bid'ah dan beragam penyimpangan pemikiran di sepanjang masa.

Yang menjaga semua hal tadi adalah prinsip ini, yaitu bid'ah merupakan perbuatan yang tertolak dalam pandangan Islam. Dengan demikian, Islam adalah agama yang agung dan logis, sesuai dengan alur postulat logika yang benar. Lantas, setelah agama ini melewati masa empat belas abad, jika kita menemukan seseorang menulis sebuah artikel dan berkata, "Mengingkari bid'ah dan membenci sesuatu yang baru, apakah sikap islami atau sikap jahiliah?" Apa yang kita akan katakan kepada orang itu?

Perhatikanlah taktik pengelabuan dalam penulisan judul artikel itu. Di situ, kata "pengingkaran bid'ah" disejajarkan dan disandingkan dengan "membenci hal-hal baru", Subhanallah! Padahal, siapa yang pernah berkata bahwa mengingkari bid'ah berarti membenci segala hal yang baru? Kaum muslimin, baik itu kalangan pengikut Sunnah maupun pembuat bid'ah, semuanya mempergunakan hal-hal baru. Bahkan, orang-orang yang amat mengikuti Sunnah, mereka mengendarai mobil, mempergunakan telepon, berbicara dengan mikropon, menaiki pesawat, dan sebagainya. Namun, tidak ada yang mengatakan bahwa menaiki pesawat dan sebagainya itu adalah bid'ah dan kita harus mengendarai unta, seperti yang dilakukan oleh Nabi saw..

Lantas, apa makna redaksi "mengingkari bid'ah dan membenci hal-hal baru, apakah sikap islami atau jahiliah?" Itu adalah sebuah taktik pengelabuan yang vulgar, yang menjadi tertawaan orang. Orang yang menulis artikel itu secara implisit berkata bahwa Islam itu sendiri adalah suatu bid'ah terhadap kejahiliahan. Maka, jika kita mengikuti alur logika ini -- atau pengingkaran terhadap bid'ah -- maka kita juga harus mengingkari Islam, sebagaimana orang-orang jahiliah mengingkari Islam. Karena, bagi orang-orang jahiliah itu, Islam adalah sesuatu yang baru.

Subhanallah! Kejahiliahan itu sendiri sebenarnya suatu bid'ah, yaitu bid'ah yang diperbuat oleh orang-orang jahiliah terhadap agama. Mereka menyelewengkan agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim a.s. dengan bid'ah-bid'ah yang mereka ciptakan itu. Karena, agama Nabi Ibrahim a.s. pada dasarnya adalah agama yang hanif, "Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus (hanif) lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik." (Ali Imran: 67)

Namun, orang-orang jahiliah kemudian menambahkan bid'ah-bid'ah baru dalam agama yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim a.s.. Tentu saja bid'ah yang mereka ciptakan itu ditujukan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah. Saat mereka menyembah berhala, apa tujuan mereka menyembah berhala-berhala itu? Mereka berkata, "..Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya."(az-Zumar: 3)

Orang-orang jahiliah yang menambahkan praktek-praktek baru dalam pelaksanaan ibadah haji (diantaranya berthawaf dengan bertelanjang tanpa pakaian sehelaipun), maka mengapa mereka melakukan hal itu? "Kami tidak boleh berthawaf dengan memakai pakaian kami karena kami telah melakukan maksiat kepada Allah SWT saat mengenakan pakaian itu." Oleh karena itu, merekapun kemudian berthawaf dengan bertelanjang bulat.
Keburukan dan kebobrokan jahiliah, pada dasarnya diciptakan oleh praktek perbuatan bid'ah dalam agama yang diturunkan oleh Allah SWT melalui kitab-kitab suci-Nya dan para rasul-Nya yang memberikan berita gembira dan ancaman. Kemudian, Islam pada hakikatnya adalah suatu gerakan kembali ke asal, yaitu ke agama fitrah yang difitrahkan oleh Allah SWT bagi seluruh manusia. Ia adalah agama yang diserukan oleh Ibrahim a.s., "Dan, siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?" (an-Nisaa':125)

Sebenarnya, seluruh redaksi yang ditulis oleh penulis artikel itu hanyalah berisi kesalahan-kesalahan semata. Namun demikian, saya ingin membicarakan masalah ini hingga tuntas sehingga kita dapat menangkap pemahaman yang jelas dan benar tentang sunnah dan bid'ah.



BEBERAPA PENYIMPANGAN YANG DILAKUKAN OLEH PENULIS ARTIKEL

Pada bagian ini, saya akan mengungkapkan sebagian substansi yang ditulis oleh penulis artikel itu yang diterbitkan oleh majalah "ad-Doha".

Dalam artikel itu, ia menolak banyak hadits Nabi saw. hingga hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sekalipun. Misalnya, ia menolak hadits, "Jauhilah perkara perkara bid'ah karena seluruh perbuatan bid'ah adalah sesat." Juga hadits, "Kalian akan mengikuti perilaku umat-umat sebelum kalian satu jengkal demi satu jengkal dan satu hasta demi satu hasta, hingga sekiranya mereka masuk ke lubang biawak sekalipun kalian akan memasuki lubang yangsama itu, atau kalian mengikuti tindakan mereka itu."

Ia (penulis artikel itu) mengklaim bahwa hadits-hadits tadi bertentangan dengan Al-Qur'an. Mengapa ia berkata demikian? Dan, bagaimana mungkin hadits-hadits seperti itu bertentangan dengan Al-Qur an?

Ibnu Taimiyah telah mengarang kitab tentang masalah ini yang ia beri judul Iqtidha Shiraath al-Mitstaqiim Mukhalafatu Ahlil-Jahiim 'Meniti Jalan Lurus Adalah Meninggalkan Praktek Orang-Orang Penghuni Neraka'. Jalan lurus itu adalah shiraathal-mustaqiim yang kita selalu pinta kepada Allah SWT agar kita ditunjukkan kepada jalan itu, minimal sebanyak tujuh belas kali sehari, Yaitu dengan membaca surah al-Faatihah, "Tunjukilah kami jalan yang lurus," (al-Faatihah: 6)

Ini mengharuskan kita untuk menentang dan meninggalkan praktek orang-orang penghuni neraka yang disebut dalam firman Allah SWT, "(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." (al-Faatihah: 7)

Para penghuni neraka adalah orang-orang yang dimurkai Allah SWT dan orang-orang yang sesat. Kita mempunyai jalan tersendiri dan mereka mempunyai jalan-jalan lain. Dalam salah satu hadits disinyalir, "Kalangan yang dimurkai Allah itu adalah umat Yahudi dan kalangan yang sesat itu adalah umat Nasrani."

Jalan kita berbeda dengan jalan-jalan mereka. Al-Qur'an telah menetapkan bagi kita jalan yang berbeda dengan jalan-jalan mereka itu. Al-Qur'an telah melarang kita dalam banyak ayatnya, menjadi seperti mereka atau melakukan pola hidup dan perilaku seperti mereka. Allah SWT berfirman, "Dan, janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.... "(Ali Imran: 105)

Masih banyak lagi ayat lain, demikian juga hadits-hadits Nabi saw. yang berbicara tentang hal itu, yang keseluruhannya memberikan pernyataan dengan yakin bahwa umat ini mempunyai karakteristik yang istimewa dan khas dan ia tidak boleh mengekor kepada umat-umat lain. Dari kenyataan itu, dalam banyak hadits disabdakan pernyataan khalifuuhum 'bersikap dan berlakulah yang berbeda dengan mereka'. Dan, sabda itu diulang berkali-kali dalam banyak kesempatan.

Independensi kepribadian dan keistimewaan umat Islam tumbuh dari ini, baik dalam penampilan (mazhhar) maupun dalam ilmu pengetahuan (makhbar). Oleh karena itu, kita tidak dibenarkan mengikuti pola kehidupan dan pola perilaku mereka yang menyebabkan kita sama seperti mereka.
Kita harus memiliki kepribadian sendiri karena umat Islam adaiah umat wasath 'pertengahan' yang menjadi saksi bagi seluruh umat manusia. Kita menempati kedudukan sebagai "profesor agung" bagi seluruh umat manusia. Kita adalah umat terbaik yang pernah ada di muka bumi. Lantas, mengapa kita harus mengikuti umat lain?

Rasulullah saw. ingin menanamkan kesadaran akan kemuliaan, keistimewaan, dan independensi kepribadian ini dalam diri kita, dan beliau tidak menginginkan kita menjadi pengekor dan pengikut umat lain. Oleh karena itu, Rasulullah saw. menyabdakan hadits berikut ini yang meskipun disampaikan dalam bentuk berita, namun ia secara implisit mengandung makna peringatan, "Kalian akan mengikuti perilaku umat-umat sebelum kalian satu jengkal demi satu jengkal dan satu hasta demi satu hasta, hingga sekiranya mereka masuk ke lubang biawak sekalipun kalian akan memasuki lubang yang sama itu."

Yang dimaksud dengan lubang biawak dalam hadits itu adalah yang kita kenal sekarang ini dengan nama "trend dan mode". Atau, bisa kita namakan dengan "mode lubang biawak". Jika mereka (non muslim, terutama Barat) memanjangkan kuncir mereka, para pemuda kita pun memanjangkan kuncir mereka. Jika mereka menjadi 'yuppies' dan 'hippies', pemuda kita pun turut menjadi yuppies dan hippies. Ke mana larinya kepribadian istimewa kita yang independen itu? Apakah ada orang yang rela meninggalkan agama dan kepribadian Islamnya untuk kemudian mengikuti kesesatan umat lain?
Kemudian, mengapa ada orang yang mensinyalir bahwa hadits ini bertentangan dengan Al-Qur'an?
Saat Rasulullah saw. ditanya, "siapakah yang dimaksud dengan 'mereka' itu? Apakah orang Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab, "Siapa lagi kalau bukan mereka?"

Bukankah amat disayangkan jika saat ini "guru" kita adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani? Kita dengan sukarela menjalankan poin-poin yang ditulis dalam "Protokol-Protokol Pemimpin Zionis", baik protokol-protokol itu benar milik mereka maupun bukan. Apa yang mereka kehendaki, secara sadar atau tidak, kita telah jalankan dengan tekun sehingga kita menjadi permainan mereka.

Penulis artikel itu mencela dan mengingkari kaum muslimin yang ingin kembali mengikuti jalan Nabi saw., para sahabat, dan cara kehidupan mereka. Aneh sekali sikap sang penulis artikel itu. Apakah keinginan untuk mengikuti Nabi saw. dan para sahabat beliau dalam pola kehidupan mereka patut dicela dan diingkari? Kita mengikuti manhaj Nabi saw. dan para sahabat beliau dalam memahami dan menjalankan agama dengan baik; menjaga pokok-pokok agama itu, memperhatikan substansinya, dan memperhatikan masalah-masalah kehidupan serta melakukan pengembangan dalam kehidupan. Inilah yang kita maksud dengan mengikuti Nabi saw. dan para sahabat beliau itu.

Kemudian, penulis artikel itu berkata, "Aku menemukan di antara sekian hadits, ada hadits yang mensinyalir bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Aku memahami dari hadits itu bahwa orang yang mewarisi peninggalan mempunyai kewajiban moral yang mengharuskan dirinya untuk memelihara warisan itu dan mengembangkannya. Oleh karena itu, para pewaris nabi-nabi mempunyai kewajiban untuk memelihara warisan ruhani yang ditinggalkan oleh para nabi dan mereka juga berkewajiban untuk mengembangkan warisan yang mereka terima itu. Seperti halnya seseorang yang mewarisi toko, ia berhak bahkan berkewajiban untuk mengembangkan toko itu dan menambahkan barang-barang dagangannya, mengganti barang dagangannya yang sudah kadaluwarsa atau yang sudah tidak laku lagi, sesuai dengan tuntutan kebutuhan konsumen. Demikian juga halnya yang harus dilakukan oleh para pewaris nabi terhadap warisan yang mereka terima itu."

Artinya, menurut penulis artikel itu, para ulama harus menambahkan ajaran agama, mengembangkan, meluaskan, dan menyisipkan hal-hal baru. Demi Allah, apakah hal ini dapat diterima akal? Apakah ucapan tadi logis dan dapat diterima? Yaitu, menganalogikan ajaran-ajaran agama dengan barang-barang dagangan yang diperjualbelikan di toko!!!

Selanjutnya ia berkata, "Meskipun mayoritas ulama tidak menyetujui pengembangan dan penambahan hal baru ke dalam agama, mereka hanya menjalankan taklid buta dan sikap 'stagnan' yang batil. Dan, mereka menjustifikasikan ditutupnya pintu ijtihad dengan kemuliaan dan kejayaan Islam pada era pertamanya."

Subhanallah! Penutupan pintu ijtihad itu sendiri adalah bid'ah karena hal itu adalah suatu sikap dan perbuatan baru dalam agama yang tidak diperintahkan oleh Rasulullah saw. dan tidak dilakukan oleh para sahabat, namun hal itu baru terjadi pada masa-masa kemudian. Tidak ada seorang pun yang memiliki otoritas untuk menutup pintu ijtihad yang telah dibuka oleh Allah SWT dan Rasulullah saw..

Perkara-perkara dunia dapat ditambah dan dikembangkan, sedangkan perkara-perkara agama tidak boleh ditambah atau dikurangi. Karena hal itu, seperti telah kami katakan, adalah suatu tindakan mengkritik Allah SWT dan menuduh agama ini tidak lengkap, dan sebagainya.

Dengan demikian, apakah makna peluasan agama itu? Karena, sesuatu yang sudah sempurna sesungguhnya tidak lagi dapat ditambah. Firman Allah SWT, ". . Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu..." (al-Maa'idah : 3)

Catatan Kaki:

[1] Maksudnya di Qathar,penj.


[2] Penjelasan lebih terperinci tentang hal ini dapat dibaca pada buku karya Dr. Yusuf al-Qardhawi, al-Madkhal li Dirasat As-Sunnah an-Nabawiyyah (Kairo: Maktabah wahbah), hlm. 7-13.

 [3] Redaksi hadits di atas merupakan bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, an-Nasa'i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi dengan periwayatan secara ringkas. Lihat karya Dr. Yusuf al-Qardhawi, al-Muntaqa min Kitab at-Targhib tva Tarhib, 1/115, hadits 41. Dan, pengertian "barangsiapa membiasakan (memulai atau menghidupkan) suatu perbuatan baik dalam Islam" adalah selama masa hidupnya, bukan setelah kematiannya, atau karena peran orang tua atau keturunan-keturunannya.

[4] Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam kitab shahih-nya, dan Ahmad. Tirmidzi berkata bahwa hadits ini hasan sahih. Lihat al-Muntaqa min Kitab at Targhib wa Tarhiib 1/ 110, hadits 24.

[5] Hadits diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir r.a.. Lihat karya an-Nawawi, Riyadhush Shalihin, bab "an-Nahyu'an al-Bida' wa Muhdatsaat al-Umur".

[6] Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-Hakim dalam al-Mustadrak dari jalan periwayatan Imam Ahmad, dan oleh Ibnu Abi Ashim dengan sanad hasan dalam kitab as-Sunnah, hadits no. 48, dengan takhrij al-Albani, dan ia mensahihkannya dengan lanjutannya. Lihat kitab al-Muntaqa min Kitab at-Targhib wa Tarhib, 1/114, hadits no. 39.

[7] Ia adalah Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhami al-Garnathi yang terkenal dengan asy-Syathibi. Ia adalah seorang ahli ushul fiqih dan hafizh hadits dari kalangan penduduk Garnathah (Grenada, saat ini). Di samping itu, ia juga seorang imam mazhab Maliki. wafat pada tahun 790 H/1388 M (lihat: al-A'laam, Zerekly, 10/75). Di antara karya-karyanya adalah kitab al-Muwafaqaat fi Ushul asy-syari'ah, sebuah kitab yang amat bagus yang ditulis dalam bidang itu. Juga kitab al-I'tishaam fi Bayaan assunnah wal-Bid'ah. Kitab terakhir itu juga kitab yang amat bagus yang ditulis dalam bidang itu. Namun sayangnya, sampai saat ini manuskrip nash kitab itu hanya ada satu buah, yang kemudian dicetak, di-tashih, dan diberikan anotasi oleh Imam Salafiah kontemporer: syeikh Muhammad Rasyid Ridha r.a. pengasuh majalah al-Manar dan pengarang tafsir al-Manar. Di dalam kitab itu terdapat banyak kontradiksi antar kalimat, dan redaksi-redaksi yang tidak jelas, namun karena manuskrip nash yang ada hanya satu buah saja sehingga naskah itu tidak dapat dikomparasikan antara dua naskah atau antara berbagai naskah manuskrip, untuk mencapai bentuk redaksional yang sebaik-baiknya, seperti yang dilakukan oleh para pen-tahqiq manuskrip-manuskrip lama. Sebagai tambahan, asy-Syathibi juga tidak menyelesaikan penulisan kitab itu.

[8] Asy-Syathibi, al-I'tishaam (Beirut: Darul Ma'rifah), juz 1, hlm. 37.

[43] Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Allah SWT tidak akan mengumpulkan umatku -- atau umat Muhammad saw. -- dalam kesesatan. "Tangan Allah bersama jamaah. Siapa yang menyempal dari jamaah maka ia menyempal ke dalam neraka." Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan ia menilainya sebagai hadits gharib, serta diriwayatkan oleh al-Hakim dengan redaksi sejenis. Lihat ash-Shahwah al Islamiah, baina al-Ikhtilaf al-Masyru' wa at-Tafarruq al-Madzmum, Dr. Yusuf al-Qardhawi, hlm. 25, Muassasah ar-Risalah, Beirut.

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama