Benarkah Cucu Nabi Diperkosa??? Menjawab TUduhan Syi'ah












Ummu Kultsum, Cucu Nabi, putri Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az Zahra, apakah dia diperkosa? Apa yang sebenarnya terjadi? mungkinkah cucu Nabi diperkosa? Jika benar,siapa pelakunya? Mengapa bisa terjadi? Simak selengkapnya. Barangkali pembaca kaget saat membaca judul di atas, namun kami beritahukan bahwa pernyataan ini bukan pernyataan kami, kami hanya menukil ucapan imam syiah sendiri, yaitu imam Abu Abdullah Ja’far As Shadiq, yang tercantum dalam kitab Al Kafi jilid 5 hal 346, yang mengomentari pernikahan Umar bin Khattab dengan Ummi Kultsum : ini adalah kemaluan kami yang dicuri dengan paksa.



عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) فِي تَزْوِيجِ أُمِّ كُلْثُومٍ فَقَالَ إِنَّ ذَلِكَ فَرْجٌ غُصِبْنَاهُ .



Barangkali Imam Ja’far As Shadiq tidak menyadari, bahwa tokoh utama yang memuluskan peristiwa perampasan ini adalah Ali bin Abi Thalib, karena jika Ali menolak menikahkan Ummu Kultsum dengan Umar, peristiwa ini tidak perlu terjadi, dan Imam Ja’far tidak perlu mengucapkan sabdanya di atas.



Mencuri dengan paksa di sini adalah melakukan hubungan suami istri dengan paksaan. Atau dengan kata lain memperkosa. Artinya Ali menikahkan putrinya Ummi Kultsum dengan terpaksa. Sebenarnya, Ali tidak rela jika Umar menikah dengan putrinya, yang merupakan darah daging Rasulullah, melalui putrinya tercinta, Fatimah Az Zahra. Namun apa boleh buat, Ali tak kuasa menolak permintaan Umar.



Menurut pembaca, apakah orang yang takut menolak pinangan orang yang tidak layak untuk menikah dengan putrinya, layak disebut perkasa dan gagah berani? Kami yakin pembaca sepakat, bahwa orang itu lebih layak disebut penakut dan pengecut. Jika Ali memang takut menolak permintaan Umar untuk menikah dengan putrinya, maka kita perlu mengkaji kembali keyakinan syiah bahwa Ali adalah ksatria yang gagah berani, dan layak menjadi imam.



Jika kita perhatikan, keyakinan syiah selalu mengungkap kontradiksi ajaran syiah sendiri. Contoh yang jelas adalah pernikahan antara Umar bin Khattab. Selama ini syiah meyakini bahwa Umar adalah sosok penjahat besar, yang ikut serta bersama para sahabat yang dipimpin oleh Abubakar, melakukan konspirasi merampas jabatan imamah dari Ali. Bahkan dalam banyak riwayat syiah jelas disebutkan bahwa Umar adalah penghuni neraka, selain juga disebut meragukan kenabian Rasulullah. Tidak hanya pada banyak kitab literatur syiah, kecaman dan celaan pada Umar kita temukan pada banyak forum diskusi dan halaman web. Inilah keyakinan syiah yang tidak dapat diganggu gugat, dan seiring sejalan dengan ajaran imamah. Menganggap Umar sebagai seorang saleh bertolak belakang dengan keyakinan imamah, dan dapat menggugurkannya.

Pertanyaannya, apakah Ali tahu bahwa Umar adalah seorang penjahat? Sudah semestinya tahu, karena Ali adalah salah satu korban, yaitu ketika Umar bersama Abubakar merampas jabatan imamah yang sudah menjadi haknya –seperti keyakinan syiah-. Ditambah lagi, Umar merupakan pelaku pemukulan terhadap Fatimah Az Zahra –sekali lagi, seperti yang diyakini syiah-, hingga tulang rusuknya patah dan janin yang dikandungnya gugur.



Jika demikian, berarti Ali menikahkan putrinya dengan seorang penjahat, sedangkan dalam kitab Al Kafi sendiri –jilid 5 hal 347- tercantum riwayat dari Abu Ja’far :

Siapa yang datang pada kalian (untuk melamar) dan kalian ridha atas agama dan amanatnya, maka nikahkanlah, jika kalian tidak melakukannya, akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.



Menerima lamaran seorang penjahat adalah pelanggaran, karena berakibat fatal bagi istri. Seorang penjahat tidak akan membimbing keluarganya ke jalan yang benar, dan tidak bisa mendidik anak ke jalan yang lurus, keluarga sakinah mawaddah war rahmah mustahil tercipta jika keluarga itu dipimpin oleh seorang penjahat. Mustahil bagi imam yang maksum –seperti diyakini syiah- melakukan pelanggaran dan menjerumuskan putrinya sendiri, apalagi Ummu Kultsum merupakan darah daging Fatimah Az Zahra.



Sudah seharusnya Ali tahu bahwa Umar adalah penjahat, karena syiah mengklaim ajarannya adalah ajaran ahlulbait yang sudah pasti diajarkan juga oleh Ali. Di sini syiah jatuh pada kebingungan, di satu sisi, tidak mungkin Umar dianggap orang baik, sementara di sisi lain, Ali tidak mungkin menikahkan putrinya dengan penjahat. Maka dibuatlah jalan keluar untuk menyelamatkan kaum awam syiah agar tidak terlalu panjang berpikir, agar mereka tidak menemukan kontradiksi pada ajarannya. Muncullah jawaban bahwa Ali menikahkan anaknya secara terpaksa. Tetapi seperti disebut di atas, jawaban ini menimbulkan konsekuensi yang tak kalah berat. Yaitu Ali bukan lagi seorang ksatria yang gagah berani, seluruh kisah tentang keberanian Ali sirna sia-sia. Ali yang gagah berani tiba-tiba loyo dan lemas saat digertak Umar. Semua ini adalah konsekuensi dari pernyataan syiah sendiri.



Pernikahan Umar bin Khattab dengan Ummu Kultsum adalah salah satu kenyataan yang menggoncang mazhab syiah. Mengapa demikian? Pernyataan ini tidak berlebihan, karena orang pemberani seperti Ali akan bersikap tegas menolak pinangan penjahat, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, Ali menikahkan Ummu Kultsum dengan Umar. Ini merupakan persaksian dan referensi dari Ali bahwa Umar adalah orang yang saleh, amanat lagi agamanya baik. Sementara orang yang agamanya baik tidak akan merampas jabatan imamah, dan pasti taat akan perintah Allah dan RasulNya. Sehubungan dengan imamah, orang yang agamanya baik lagi saleh dia akan mentaati wasiat Rasul terkait imamah, ini jika memang benar Rasulullah pernah berwasiat mengangkat Ali menjadi imam. Persaksian Ali tentang kesalehan Umar membuat kita mempertanyakan lagi keyakinan syiah, yaitu tentang wasiat penunjukan Ali sebagai khalifah oleh Nabi. Jika memang Nabi pernah berwasiat tentang imamah Ali, tentu Umar yang saleh ikut berbaiat pada Ali dan tidak menjadi khalifah. Namun yang terjadi adalah Umar tetap dianggap saleh dan baik agamanya oleh Ali, meski membaiat Abubakar dan ikut menjadi khalifah. Ini berarti Umar tetap saleh meski –dalam pandangan syiah- mengkhianati wasiat Nabi. Atau memang Nabi tidak pernah berwasiat mengenai pengangkatan Ali. Inilah yang diyakini oleh Ahlussunnah.



Begitu juga pernikahan ini membantah klaim syiah tentang permusuhan yang terjadi antara sahabat Nabi dan Ahlulbait, di samping juga membuktikan kecintaan Umar pada Ahlulbait.



Sedangkan pandangan syiah terhadap Umar sudah kami singgung sedikit di atas, bahwa Umar adalah salah satu tokoh jahat. Mengapa Ali menerima pinangan tokoh jahat? Ada dua kemungkinan, pertama karena takut, kedua karena memang menerima pinangan penjahat itu. Sekali lagi, ini adalah mengikuti alur berpikir syiah yang menganggap Umar sebagai tokoh jahat. Sedangkan kami beranggapan bahwa Ali adalah seorang gagah berani dan tidak mungkin menerima pinangan seorang penjahat karena takut. Ali menikahkan putrinya dengan Umar adalah karena tahu bahwa Umar adalah seorang sahabat besar, yang layak menikah dengan darah dagingnya, yang juga darah daging Fatimah Az Zahra.



Konsekuensi yang sungguh berat, menganggap Ali penakut, atau Ali menerima pinangan seorang tokoh jahat, atau Umar adalah seorang sahabat yang saleh lagi baik akhlaknya. Sekedar mengingatkan pembaca, Imam Ja’far As Shadiq dalam sabdanya di atas mengakui bahwa Ali tidak kuasa menolak paksaan Umar untuk menikahi Ummu Kultsum. Guna menghindar dari tiga konsekuensi yang berat ini, sebagian kawan-kawan syiah berusaha mengingkari terjadinya pernikahan ini. Mereka menganggap bahwa pernikahan itu adalah karangan Bani Umayah, atau hadits palsu dari orang-orang tidak bertanggung jawab.



Klaim ini ditolak oleh Imam Ja’far As Shadiq, yang mengakui adanya pernikahan itu pada sabdanya di atas. Jika memang pernikahan itu tidak terjadi, tentu tidak ada kemaluan yang dirampas, seperti kata Imam Ja’far sendiri. Riwayat ini diakui sebagai shahih oleh Al Khawaju’I dalam Rasail Fiqhiyyah jilid 2 hal 107. Al Khawaju’I menyatakan:

dalam riwayat shahih-dari Abu Abdullah mengatakan tentang pernikahan Ummu Kultsum: ini adalah kemaluan yang dirampas dari kami.



Meskipun demikian, yang mengingkari terjadinya pernikahan ini bukan hanya kawan-kawan syiah, ternyata ada ulama syiah yang juga mengingkari, seperti dinukil oleh Al Khawaju’I dalam Rasa’il Fiqhiyah jilid 2 hal 106-110, yang menukil dari Nubakhti dalam kitab Itsbatul Imamah, bahwa Ummu Kultsum saat itu masih kecil, dan Umar meninggal dunia sebelum menggaulinya.



Begitu juga Ja’far An Naqdi dalam Al Anwar Al Alawiyah hal 435, mengatakan : diriwayatkan keitka Umar masuk menemuinya, hanya bisa melihat Ummu Kultsum dari jauh, setelah mendekat tiba-tiba ada penghalang yang menghalangi.



Ada lagi cerita bahwa yang dinikahi oleh Umar adalah jin yang menyamar menyerupai Ummu Kultsum, jin yahudi dari Najran yang bernama Sahiqah binti Haririyyah, lalu dia menyamar menjadi Ummu Kultsum, dan menjaga Ummu Kultsum yang asli dari pandangan Umar. Dan ada lagi pendapat yang menyangkal terjadinya pernikahan ini.



Al Mufid meyakini pendapat ini, dalam Mas’alah Sarawiyah , pada Mas’alah kesepuluh, begitu pula dalam kita Mas’alah Ukbariyah, pada Mas’alah kelima belas. Al Mufid juga menulis risalah tersendiri tentanghal ini, dicetak secara terpisah pada edaran mu’tamar Syaikh Mufid.

Selain Al Mufid, Mir Nashir Husein Al Laknawi Al Hindi dalam kitabnya Ifhamul A’da’ wal Khushum, bitakdzibi ma iftarauhu ala Sayyidatina Ummi Kaltsum, juga Muhammad Jawad Al Balaghi juga menyangkal pernikahan ini. Begitu pula ulama lainnya. Sementara Al Khawaju’I dalam Rasa’il Fiqhiyah –idem- mengomentari pernikahan ini:

Nampaknya peristiwa ini hanyalah propaganda Bani Umayah, seandainya peristiwa ini benar-benar terjadi, alasannya telah kami bahas di atas.



Begitulah, Bani Umayah menjadi kambing hitam.



Di bawah ini riwayat-riwayat yang dishahihkan oleh ulama syiah.



Iddah Ummi Kultsum



Dari Al Kafi

Dari Abdullah bin Sinan dan Muawiyah bin Ammar, dari Abu Abdullah, saya bertanya pada Abu Abdullah tentang perempuan yang ditinggal mati suaminya, apakah ber iddah di rumahnya, atau di tempat di mana dia mau? Abu Abdullah menjawab: di tempat yang dia suka. Ketika Umar bin Khattab meninggal dunia, Ali mendatangi Ummu Kultsum dan membawanya ke rumah Ali.



Majlisi mengatakan : riwayat ini muwatsaq. Mir’atul Uqul jilid 21 hal 197



Bahbudi mengatakan : Shahih, Shahih Kitabul Kafi jilid 3 hal 121



Dari Sulaiman bin Khalid, saya bertanya pada Abu Abdullah tentang wanita yang ditinggal mati suaminya, apakah menghabiskan masa iddah di rumah suaminya atau di tempat yang disukai? Jawabnya: di tempat mana saja yang dia mau, Ketika Umar bin Khattab meninggal dunia, Ali mendatangi Ummu Kultsum dan membawanya ke rumah Ali.



Majlisi mengatakan : riwayat ini shahih, jilid 21 hal 199, Bahbudi menyatakan: riwayat ini shahih, jilid 3 hal 122



Riwayat ini juga tercantum dalam kitab Rasa’il Fiqhiyyah karya Al Khawaju’I jilid 2, hal 106 -110



Riwayat ini tercantum juga dalam Al Hadaiq An Nadhirah fi Ahkamil Itrah At Thahirah, jilid 25 hal 472,472



Begitu juga dalam Jami’ul Madarik fi Syarhi Mukhtashari An Nafi’, karya Ahmad Al Khawansari, jilid 561-562



Riwayat tentang Zaid bin Ummi Kultsum dan wafatnya.



Dari Abu Ja’far mengatakan: Ummu Kultsum binti Ali dan anaknya, yang bernama Zaid bin Umar bin Khattab meninggal dunia pada saat yang sama, tidak diketahui mana yang wafat terlebih dahulu, maka masing-masing tidak mewariskan dan mewarisi dari yang lain.



At Tahdzib, jilid 9 hal 362,



Wasa’il Syiah jilid 26 hal 301, Jawahirul Kalam jiid 39 hal 307-308



Mustanadu Syi’ah fi Ahkami Syariah jilid 19 hal 452-453



Begitu juga dalam Raudhatul Muttaqin fi Syarhi Man La Yahdhuruhul Faqih jilid 11 hal 324-325



Sementara dalam mukhtalaful syi’ah fi ahkami syariah hal 308-309 disebutkan:



Syaikh berdalil dengan ijma’, dan dengan riwayat Ammar bin Yasir, yang mengatakan: jenazah Ummu Kultsum binti Ali dan Zaid bin Umar, sedangkan dalam rombongan pengantar terdapat Hasan, Husein, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah, mereka meletakkan jenazah anak (zaid) di depan imam, dan jenazah ibunya di belakangnya, mereka mengatakan: inilah sunnah.



Riwayat ini juga dijadikan dalil dalam Jawahirul Kalam jilid 12 hal 80-81



Sebentar lagi kita akan melihat bahwa ajaran syiah adalah kontradiktif dan menghujat keyakinan syiah sendiri.



Syiah percaya bahwa anak imam maksum diperkosa (baca: dirampas kemaluannya), syiah juga mengingkari bahwa Umar pernah menggaulinya, dengan dalih riwayat yang dinikahi adalah jin perempuan dari Najran, jika Umar ingin menggauli Ummu Kultsum, jin itulah yang menyerupai Ummu Kultsum dan Ummu Kultsum yang asli tidak pernah digauli oleh Umar. Tetapi ketika Umar wafat, Ali menjemputnya dari rumah Umar, untuk dibawa ke rumahnya, dan satu lagi, riwayat syiah menyatakan bahwa Ummu Kultsum memiliki anak.



Ummu Kultsum tidak pernah menikah dengan Umar, tidak pernah digauli, tetapi ketika Umar wafat, Ali menjemput Ummu Kultsum dari rumah Umar, dan Ummu Kultsum memilik seorang anak.



Berarti…. (silahkan pembaca menyimpulkan sendiri)



Syiah tidak bisa menerima terjadinya pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar, tetapi ada beberapa pertanyaan yang –seperti biasanya- susah dijawab:





1. Siapa yang memperkosa Ummu Kultsum, anak imam maksum?



2. Siapa ayah dari Zaid, anak Ummu Kultsum yang meninggal dunia bersamaan dengannya? Riwayat syiah menyatakan Ummu Kultsum memiliki anak.



3. Apakah anak gadis yang belum menikah harus melalui masa iddah? Atau kali ini imam maksum keliru?



4. Dari mana Ummu Kultsum bisa memiliki anak, jika memang tidak pernah menikah? Apakah anak itu adalah hasil perkosaan, seperti disebutkan oleh imam maksum? Atau dari suami lain? Jika memang dari suami lain, siapakah suaminya?



5. Jika memang pernikahan itu tidak pernah terjadi, mengapa imam maksum menyebut nama anak Ummu Kultsum dengan nama Zaid bin Umar bin Khattab, menisbatkan nasabnya pada Umar bin Khattab?



6. Mengapa imam maksum menisbatkan anak Ummu Kultsum pada Umar bin Khattab, bukannya pada sahabat yang diyakini syiah sebagai sahabat sejati, yang meyakini hak Ali untuk menjadi khalifah, untuk menutupi aib?



7. Apakah imam maksum melakukan sandiwara murahan, mengajak Ummu Kultsum ke rumah musuhnya setelah musuhnya meninggal, lalu dibawa kembali ke rumah Ali, apa perlunya semua itu jika memang Ummu Kultsum tidak pernah menikah dengan Umar bin Khattab?





Jika tidak ada Umar, Ali akan terkena aib yang luar biasa.



0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama