Imam Ali yang maksum melakukan kesalahan besar, menyakiti Nabi SAW
Para Imam syiah wajib untuk menjadi maksum, dalam artian Allah berkewajiban menjadikan kedua belas imam syiah terbebas dari kesalahan, jika tidak melakukannya maka Allah menjadi tercela. Ini menurut pola pikir syiah yang meniru mu'tazilah padahal mereka kafir terhadap pendapat syiah yang menyatakan adanya 12 imam. Mereka menyatakan bahwa Allah berkewajiban melakukan sesuatu yang baik. Kali ini kita tidak mengambil rujukan dari kitab syiah klasik, tetapi dari hasil karya seorang figur syi'ah yang cerdas lagi terampil dalam bertaqiyah. Dia pernah menjabat sebagai "Ulama Cendana" yang berkesempatan memimpin acara tahlilan ratu keluarga cendana yang mangkat. Akhirnya beliau diganjar dengan mendapatkan "bagian kue" yaitu diajak bergabung menjadi anggota rejim orde baru, menjabat Menteri Agama walaupun hanya beberapa hari karena keburu lengser mengikuti sang raja Cendana. Dialah Quraish Shihab, yang menulis dalam bukunya: Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Hal 94:
Aliran Mu'tazilah dan Syiah menegaskan bahwa setiap muslim harus percaya bahwa Allah wajib melakukan ash-Shalah dan al-Ashlah (yang baik dan yang terbaik)…
Lalu syiah membuat asumsi-asumsi –namanya saja asumsi, sebentar lagi anda akan tahu bahwa asumsi itu bertentangan dengan fakta sejarah- dan premis-premis serta silogisme yang panjang lebar hingga sampai pada kesimpulan bahwa seorang Imam haruslah maksum –terjaga dari berbuat salah dan lupa- sejak lahir sampai matinya. Di sini pada hal 100 si Ulama Cendana mengutip dari Syaikh Muhammad Ridha al-Mudzaffar:
Kami (penganut syiah) percaya bahwa imam, seperti Nabi, haruslah terpelihara dari sema keburukan dan kekejian, yang lahir dan yang batin, sejak usia kanak-kanak sampai dengan kematian, dengan sengaja atau lupa dia juga harus terpelihara dari lupa dan kesalahan karena para imam adalah pemelihara syareat dan pelaksana ajaran agama, keadaan mereka dalam hal tersebut seperti keadaan Nabi dalil yang mengantar kami percaya tentang keterpeliharaan Nabi (dari dosa) dan kesalahan itu jugalah yang mengantar kami percaya tentang keterpeliharaan para imam, tanpa perbedaan.
Tapi ulama syiah klasik Ali bin Ibrahim bin Babawaih Al Qummi –yang juga dikenal dengan julukan As Shaduq- mengatakan dalam salah satu kitabnya yaitu Man La Yahdhuruhul Faqih –salah satu dari empat kitab induk ajaran syiah- pada jilid 1 hal 360:
Syaikh kami Muhammad bin Hasan bin Ahmad bin Walid –semoga dirahmati Allah- mengatakan: Derajat pertama bagi sikap berlebihan –ghuluw- adalah menolak bahwa Nabi pernah terlupa, jika dibolehkan menolak dalil yang menyatakan bahwa Nabi pernah terlupa maka seluruh dalil dapat ditolak, menolak dalil dapat menggugurkan syareat dan agama. Saya akan mencari pahala dengan menulis sebuah kitab berisi dalil yang menyatakan bahwa Nabi SAAW pernah terlupa dan membantah mereka yang menafikannya, Insya Allah.
Ternyata Ulama syiah sendiri –yang lebih berotoritas dibanding M Ridha al Mudhaffar dan si ulama cendana- menafikan asumsi itu. Meskipun demikian, ulama syiah yang lain yaitu Al Mufid menentang pendapat Shaduq, bahkan dia menyusun sebuah kitab yang diberi judul "Adam Sahwin Nabi" yang artinya kira-kira artinya: " Nabi tidak pernah lupa". Ini berarti sebuah pernyataan bahwa pendapat mazhab syiah yang benar adalah menganggap para Nabi dan imam tidak pernah lupa dan salah. Pendapat demikian adalah benar adanya dan bukan merupakan tuduhan dari pihak luar.
Ya, syiah berpendapat bahwa Allah wajib memelihara para imam dari dosa dan kesalahan, tentunya para Nabi juga demikian, tetapi kali ini syiah berkonsekwensi untuk menganggap Allah telah melalaikan kewajibannya, karena terbukti Nabi SAAW pernah salah dan terlupa, ada beberapa dalil dari Al Qur'an yang menyatakan demikian, saya nukilkan satu saja dan silahkan syiah mencari lainnya:
Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. (QS. Al Kahfi: 61)
Asumsi yang menyatakan bahwa para imam terpelihara dari kesalahan, kelalaian dan lupa menyelisihi ayat di atas yang jelas menyatakan bahwa Nabi Musa terlupa akan ikannya hingga ikannya melompat ke laut. Asumsi di atas juga mengandung konsekwensi bahwa Imam yang tidak pernah salah dan lupa jelas lebih baik daripada Nabi yang pernah terlupa. Beriman pada ayat Al Qur'an di atas mewajibkan kita menggugurkan asumsi keterpeliharaan para Nabi –apalagi imam-, jika masih ingin mengakui keterpeliharaan para Nabi dan Imam seperti dinyatakan oleh al Mudzaffar maka silahkan kafir pada ayat di atas. Tetapi si ulama cendana memilih untuk tidak menganggap syiah Ja'fariyah sebagai kelompok sesat. Pada hal 11 dia menyatakan:
Dan kendati demikian penulis tidak pernah akan menilai bahwa kelompok syiah Ja'fariyah yang kini tersebar di Iran dan Irak adalah orang-orang sesat dan meyesatkan.
Jadi orang yang menyelisihi Al Qur'an tidaklah sesat, orang yang menganggap kedudukan para imam lebih tinggi dari para Nabi tidaklah sesat. Juga orang yang menganggap Allah telah melalaikan kewajibannya tidak boleh dianggap sesat, lalu siapa yang sesat? Padahal Allah telah berfirman:
Lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. (QS. 20:123)
Yang tidak mengikuti petunjuk Allah –Al Qur'an- adalah sesat, tetapi si Ulama Cendana tidak menganggapnya sesat. Silahkan pilih, mengikuti Allah atau Ulama Cendana.
Disamping menyelisihi Al Qur'an dan ulama syiah sendiri, asumsi di atas juga bertentangan dengan fakta sejarah yang tercantum dalam kitab syiah sendiri, mari kita simak bersama: Ternyata Imam pertama yang diakui syiah yaitu Ali bin Abi Thalib pernah membuat Fatimah marah besar. Sedangkan kita ketahui syiah menganggap Ali dan Fatimah sama-sama maksum. Di sini ada maksum yang marah dan ada maksum yang dimarahi. Ini mengharuskan adanya penyebab yang mendorong marahnya salah satu maksum yaitu Fatimah, karena tidak mungkin Fatimah yang maksum marah-marah tanpa sebab. Ada juga maksum yang dimarahi, yaitu Ali. Di sini pasti ada kesalahan yang diperbuat oleh Ali sehingga Fatimah -yang juga maksum- marah besar. Jika ternyata tidak ada sebab, maka marahnya Fatimah adalah sebuah kesalahan yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang yang maksum.
Ibnu Babawaih Al Qummi –Syaikh As Shaduq- dalam Ilal Syara'i hal 185-186 meriwayatkan Fatimah yang marah pada Ali karena Ali –yang maksum- melamar putri Abu Jahal, hingga akhirnya Nabi SAAW bersabda: Wahai Ali, apakah kamu tidak tahu bahwa Fatimah adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darinya? Siapa yang menyakiti Fatimah sungguh telah menyakiti diriku, siapa yang menyakiti diriku sungguh telah menyakiti Allah…
Jelas fatimah marah besar karena mendengar Ali telah melamar putri Abu Jahal. Di sini Ali tidak meminta ijin Fatimah sebelum melamar calon istrinya yang kedua. Jelas Ali telah melakukan kesalahan yang membuat Nabi SAAW murka dan dianggap telah menyakiti Allah. Apakah yang menyakiti Allah dan RasulNya SAAW bisa dianggap maksum? atau asumsi bahwa keterpeliharaan imam dari dosa dan kesalahan hanyalah asumsi tanpa bukti? Tanyakan pada hati nurani anda.
Posting Komentar