A. PENDAHULUAN
Dalam kajian filsafat, metefisika selalu ditempatkan pada bab pertama dan dijadikan sebagai dasar pijak suatu pemikiran. Bahkan bagi para filosof klasik, filsafat identik dengan metafisika. Dalam filsafat Islam khususnya, kajian metafisika selalu diidentikkan dengan kajian tentang Tuhan (Allah SWT). Bahkan berbagai bangunan epistemologi yang digagas semata-mata hanya untuk satu hal; mengetahui tentang esensi Sang Ada. Memang tren pemikiran waktu itu menuntut bahwa Sang Ada mutlak harus dapat dipahami secara nalar.
Dalam perkembangannya, metafisika banyak menuai kritik dari kalangan pemikir-pemikir muslim sendiri. Al-Ghazali misalnya, ia menolak keras bahwa Tuhan tidak bisa dipahami secara nalar an sich tapi harus dengan hati (al-qalb). Lalu kemudian al-Ghazali lebih memilih jalan tasawuf dari pada filsafat yang dianggapnya sesat. Namun sayangnya, kritik al-Ghazali terhadap filsafat terlampau keras akibatnya perkembangan filsafat di dunia Islam kemudian menjadi layu. Kemerdekaan berfikir umat Islam surut dan diganti dengan model taklid pada para ‘ulama.[1]
Adalah Mohammad Iqbal, seorang pujangga sekaligus filsuf kelahiran Sialkot, Punjab, Pakistan pada 9 November 1877[2] telah tebukti mampu meniupkan angin segar bagi kefilsafatan dunia Islam. Dengan magnum opusnya ”The Reconstuction of Religious Though in Islam” ia dengan sederet pemikir Islam lainnya berupaya mendobrak kejumudan yang menidur-lelapkan dunia Islam. “Agar umat Islam dapat bangkit, rekonstruksi pemikiran harus diupayakan,” itulah inti gagasannya.[3]
Sebagaimana filsuf-filsuf terdahulu, Iqbal mendasari filsafat rekonstruksinya dengan metafisika dan konsep metafisikanya adalah ego dan kehendak manusia (will to power). Rekonstruksi baginya semacam metodologi yang membuka ruang bagi penyesuaian dengan perubahan demi terciptanya pemikiran yang sesuai dengan semangat zaman. Sementara kehendak untuk berbuat dan kekreatifan berpikir adalah kunci utama. Memang, Pemikiran manusia tidak pernah mencapai titik final dan karena itu, rekonstruksi adalah proses tanpa henti.
B. PEMBAHASAN
Ada pendapat dari barat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi Tuhan. Ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan maka manusia menjadi lemah, tidak berkuasa.[4] Iqbal menolak keras pandangan ini, baginya manusia memiliki kehendak bebas (will to power) untuk melakukan sesuatu. Hal inilah yang membuat manusia memiliki dirinya, manusia memiliki ego. Ego yang bersifat bebas unifed dan immoratal dan dapat diketahui secara pasti, tidak sekedar pengandaian logis. Karena itulah, kemudian dikenal bahwa Filsafat Iqbal terpusat pada ego atau “self hood”. Dan demi memperkuat pengetahuan tersebut, ia tidak segan-segannya menimba ilmu pengetahuan Timur maupun Barat.
Sebetulnya, pendapat Iqbal tersebut persisnya membantah tesis Imannuel Kant yang mengatakan bahwa diri yang bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit. Dan Iqbal memaparkan pemikiran ego-nya terbagi menjadi tiga macam antara lain: pantheisme, empirisme dan rasionalisme.
Dalam pandangan Iqbal, pantheisme terlalu memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi riil adalah ego absolut. Hal ini bertentangan dengan keyakinannya bahwa ego manusia adalah nyata. Terbukti bahwa manusia mampu berfikir dan bertindak, yang sekaligus membuktikan bahwa aku ada.
Sementara empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman, sementara yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan panggung teater bagai pengalaman yang silih berganti. Iqbal menolak empirisme karena tidak dapat menyangkal bahwa ternyata adanya kesatuan dalam pengalaman. Iqbal pun menolak rasionalisme ego yang diperoleh melalui penalaran dubium methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas keberadaannya). Baginya, ego yang bebas dan terpusat juga dapat diketahui dengan menggunakan intuisi.
Menurut Iqbal aktivitas ego pada dasarnya berupa aktivitas kehendak. Hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan dan bergerak menuju satu arah (Ego absolut). Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia berkehendak bebas dan berkreatif.[5]
Menurut CA. Qodir, Iqbal mengambil pandangan tentang “ego” ini terutama dari kaum idealis seperti Hegel dan Fichte, tetapi menggabungkannya dengan paham perubahan. Ia berpendapat bahwa ada semacam tangga nada (hierarkhi) ke-aku-an yang muncul secara perlahan-lahan di alam semesta ini hingga mencapai tingkat manusia, di mana ke-ego-an berada pada titik titik tertingginya. Allah SWT dipandang sebagai ego, tetapi Ia adalah Ego absolut. Sementara alam semesta adalah lembah ego-ego yang lebih rendah yang biasanya dipandang sebagai materi.[6]
Iqbal sangat menekankan dan mengukuhkan perkembangan ego dan menjelaskan dengan rinci faktor-faktor pembangun ego dan juga faktor-faktor yang bisa menghancurkannya. Seperti halnya Rumi, Iqbal pun percaya bahwa ego membutuhkan lingkungan sosial untuk berkembang karena dalam kesendirian ia akan melemah dan kering.
Dalam karyanya Romaz-i Bekhudi (Rahasia non-Diri), Iqbal menunjukan adanya saling ketergantungan antara individu dan masyarakat. Dan menyatakan dengan tegas bahwa keanggotaan yang aktif dalam suatu masyarakat yang riil inilah yang memberi tujuan dan makna dalam kehidupan seseorang. Ego sebagai diri adalah keseluruhan kepribadian yang menerima dan mengintegrasikan rangsangan lalu menjawabnya secara kreatif dan inovatif. Ego pada dasarnya bebas dan kebebasan ini dipandang oleh Iqbal sebagai “rahmat”.[7]
Sementara Tuhan harus diperoleh lewat perjuangan yang berkesinambungan dan bertahan. Iqbal sendiri mendefinisikan ego (khudi) sebagai berikut: “Secara metafisik kata “khudi” (keakuan) digunakan dalam arti adanya perasaan yang tak terperikan tentang “Aku” yang membentuk dasar bagi setiap keunikan “individu”. Secara etik kata khudi berarti kemandirian (self reliance), penghargaan diri, kepercayaan diri atau pemeliharaan diri untuk berpegang teguh pada cita-cita kebenaran.[8]
Manusia adalah wakil Allah di atas bumi. Ia dikaruniai kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas tetapi juga dibebani tanggung jawab yang tak terbatas juga. Dalam merealisasikan kemaslahatan dunia melalui kerja dan perjuangan keras, manusia menjadi “yang bekerja sama” dengan Tuhan. Dalam hal ini Iqbal tidak percaya pada fatalisme karena akan menghapuskan kebebasan dan kreatifitas bagi kehendak bebas manusia. Allah dengan kehendaknya sendiri, membatasi kehedak-Nya dengan cara memberikan sebagiannya kepada manusia, suatu pandangan yang barangkali bertentangan dengan pandangan-pandangan ortodoks.
C. PENUTUP
Dengan konsep filsafat ego-nya, Iqbal hendak menafsirkan bahwa setiap manusia memiliki kemerdekaan untuk menentukan dirinya sendiri dengan demikian harus berani berkreasi dan mandiri dalam berfikir (ijtihad). Tidak seperti apa yang selama ini terjadi. Bahkan ia mengkritik, bahwa penyebab kemunduran Islam kerena kurang kreatifnya umat Islam, konkritnya bahwa pintu Ijtihad telah ditutup. Sehingga umat Islam hanya bisa puas dengan keadaan yang sekarang di dalam kejumudan.
Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, ditantang untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak dan perubahan tersebut agar sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu umat Islam dihadapkan kepada masalah signifikan, yaitu sanggupkah Islam memberi jawaban yang cermat dan akurat dalam mengantisipasi gerak dan perubahan zaman?. Dengan tepat Iqbal menjawab, “bisa, kalau umat Islam memahami Islam seperti cara berfikir ‘Umar Ibn Al Khathtab”.
Begitulah M. Iqbal. Dalam kehidupannya, ia telah berusaha secara serius terhadap perumusan kembali tentang pemikiran Islam. Meski ia tidak diberi umur panjang namun lewat tarian penanya ia mampu menghempaskan awan mendung yang menyelimuti dunia islam semasa hidupnya. Memang, pena lebih tajam dari pada pedang.
Semestinya semangat Iqbal perlu diapresiasi dan kemudian diteladani. Dan sayangnya di Indonesia sendiri, semangat Iqbal dalam memberontak kejumudan masih belum terlihat sosoknya.[9] Hal ini terbukti bahwa pemikir-pemikir muslim kita kerap membangga-banggakan iqbal, namun mereka tak mampu menjadi Iqbal. Kejumudan demi kejumudan selalu mengalami bentuk modifikasinya. []
DAFTAR PUSTAKA
Bagus Takwin, Filsafat Timur: Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur, Yogyakarta, Jalasutra, 2003
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, Jakarta, PT Ichtiar baru Van Hoeve, tt
Lukman S. Thahir, Liberalisme Islam (Studi Tentang Pemikiran Filsafat Iqba)l, Tesis Jurusan Aqidah dan Filsafat Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1994
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
Administrator, Konsepsi Manusia Super: Mengkaji Eksistensi Manusia dari Sufistik hingga Mekanistik (Studi Komparatif Atas Perspektif Friedrich Wilhelm Nietzsche dan Muhammad Iqbal), www.skripsizone.com, 5 Agustus 2007
Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001 dalam Rumiadi Hartawa, http://www.mail-archive.com/tasawuf@indoglobal.com, 14 April 1999
Fathurrahman, Pemikiran Mohammad Iqbal, http://udhiexz.wordpress.com, 13 April 2008
Rumaidi Hartawa, Humanisme Religius: Pengantar pada Filsafat Iqbal, http://www.mail-archive.com/tasawuf@indoglobal.com, 14 April 1999
[1] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 127
[2] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar baru Van Hoeve. tt), hal. 410
[3] Muhammad Iqbal merupakan sosok pemikir multi disiplin. Di dalam dirinya berhimpun kualitas kaliber internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, pendidik, filosof dan mujtahid. Sebagai pemikir Muslim dalam arti yang sesungguhnya, Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam secara liberal dan radikal. Dikutip dari Fathurrahman, Pemikiran Mohammad Iqbal, http://udhiexz.wordpress.com/2008/04/13/pemikiran-muhammad-iqbal/, 13 April 2008
[4] Lihat. Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001 dalam Rumiadi Hartawa, http://www.mail-archive.com/tasawuf@indoglobal.com, 14 April 1999
[5] Lihat. Donny Grahal Adian dalam Matinya Metafisika Barat, 2001
[6] Lihat. Rumaidi Hartawa, Humanisme Religius: Pengantar pada Filsafat Iqbal, http://www.mail-archive.com/tasawuf@indoglobal.com, 14 April 1999
[7] Lihat. Lukman S. Thahir, Liberalisme Islam: Studi Tentang Pemikiran Filsafat Iqbal, Tesis Jurusan Aqidah dan Filsafat Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1994
[8] Bagus Takwin, Filsafat Timur: Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur, (Yogyakarta, Jalasutra, 2003), hal. 148
[9] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam…, Op.Cit. hal. 37
Posting Komentar