Oleh : Muhammad Ramdhoni*
I. Pendahuluan
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan al-Qur’an yang suci dan mulia sebagai penerang dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pembawa risalah kebenaran, al-islam, Rasul Muhammad Saw, juga kepada keluarganya, shahabatnya, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang mulia. Kesuciannya tidak tercemari sedikit pun oleh campur tangan makhluk. Kemuliaannya tidak mampu ditandingi oleh semua kitab yang ada di muka bumi ini. walaupun seluruh makhluk berkumpul dan membuat rekayasa untuk membuat tandingan terhadap al-Qur’an niscaya tidak akan mampu membuatnya walaupun satu ayat.
Tidak semua orang mempunyai kemampuan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang luhur dan mulia. Untuk dapat menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, seseorang membutuhkan seperangkat ilmu yang cukup sehingga ia dapat menggali dan mengurai kandungan ayat-ayat tersebut.
Pada tulisan ini kami akan mencoba sedikit menjelaskan kandungan dakwah dari surat an-Nisa ayat 131-134 yang kami himpun dari beberapa kitab tafsir dan sedikit tambahan dari kami. Semoga bermanfaat.
II. Pembahasan
2.1. Teks dan Terjemahan Ayat
2.2. Arti Kosa Kata
ولقد وصينا الذين أوتوا الكتاب : kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang di beri kitab sebelum kamu, atau kami telah memerintahkan yahudi dan nashrani di dalam kitab mereka, Yang dimaksud dengan Kitab adalah kitab Samawi (wahyu).
واياكم : dan kepadamu, yaitu kepda ahli al-Qur’an.
اتقوا الله : Bertaqwalah kepada Allah, Yaitu takut pada hukuman-Nya dengan mena’atinya.
و كا ن الله غنيا : Dan Allah Maha Kaya, atas segala makhluk dan hamba-hamba-Nya. [1]
2.3. Tafsir Ayat
Pada ayat ini Allah swt mengabarkan bahwa sesungguhnya Dia adalah penguasa langit dan bumi, dan segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah milik Allah. Selanjutnya Allah swt. memerintahkan kepada umat-umat sebelum Nabi Muhammad yang diberi al-Kitab untuk menyembah-Nya dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, serta menegakkan sunnah dan syariat-Nya.
Dan seandainya manusia menginkari segala nikmat Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Kuasa, tidak akan berpengaruh pada kekuasaan-Nya keinkaran dan kemaksiatan manusia. sebagaimana tidak akan bermanfaat rasa syukur dan taqwa manusia pada-Nya. Sesungguhnya Allah memerintahkan demikian (taqwa) karena kasih sayang-Nya bukan karena kebutuhan-Nya.
Dalam menafsirkan ayat 131 surat ini, Hamka menyatakan bahwa isi pelajaran yang diterima baik ahli kitab ataupun kita adalah sama yaitu bahwa kita semua merupakan hamba dari Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan yang mengasai isi langit dan isi bumi, yang teguh kekeuasaan-Nya dan kekal kebesaran-Nya, maka taqwalah kepada-Nya, peliharalah hubungan dengan Dia, sebab kita hanyalah bagian yang sangaat kecil dari alam yang luas ini. “Tetapi jika kamu kufur,” kamu tidak mau bertaqwa kepada Allah dan tidak mau percaya akan kebesaran-Nya, “Maka sesungguhnya kepunyaan Allah-lah apa yang ada dilangit dan bumi.” Artinya jika manusia durhaka, tidak mau peduli akan tuntunan Tuhan, maka tidak berarti apa-apa bagi-Nya. Kekuasaan dan kebesaran Allah tidak akan berkurang. Oeh sebab itu allah memerintahkan hambanya untuk bertaqwa bukanlah untuk kepentingan-Nya, melainkan untuk kepentingan hamba itu sendiri, sebagai suatu bagian kecil dari alam. “Dan adalah Allah itu Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” [2]
Selanjutnya Allah swt. mengulangi firman-Nya diayat 132 untuk menegaskan bahwa sesungguhnya kepunyaan allah-lah apa yang ada dilangit dan di bumi, Dia mengalihkan didalamnya sekehendak-Nya, mengadakan dan meniadakan, menghidupkan dan mematikan. Cukuplah Allah sebagai penolomg, yaitu Allah yang mencukupkan seluruh keperluan hamba-Nya.
Az-Zamakhsyari dalam al-Kasyafnya berkata : pengulangan ini ini menegaskan kewajiban taqwa. Manusia diperintahkan untuk bertaqwa pada-Nya, mena’ati-Nya serta tidak bermaksiat pada-Nya. Karena rasa takut dan taqwa merupakan pangkal dari segala kebaikan.[3]
Kemudian jika Allah berkehendak menggantikan umat ini dengan umat yang lain, maka Allah Maha Kuasa atas semua itu. Karena segala yang ada di alam raya ini berada dalam pengawasan-Nya dan tunduk pada kekuasaan-Nya
Allah swt. berfirman, “Barangsiapa menghendaki pahala dunia, maka pada sisi allah terdapat pahala dunia dan akhirat.” Maksudnya wahai orang yang hanya mengharapkan dunia, ketahuilah bahwa pada sisi Allah terdapat pahala dunia dan akhirat. Jika kamu meminta dari yang ini atau yang itu, niscaya Dia memberimu dan mencukupkanmu, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Maka diantara manusia ada yang berdo’a, ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka’. “ Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan”. (al-Baqoroh : 200-202). Maka harapan itu jangan hanya tertuju pada upaya untuk memperoleh dunia saja, namun cita-citanya itu harus menjulang ke peraihan tujuan-tujuan yang tinggi baik di dunia maupun di akhirat, sebab semuanya itu berpulang kepada Dzat yang dalam kekeuasaan-Nyalah kerugian maupun keuntungan, yaitu Allah Yang Maha Suci, tiada Tuhan melainkan Dia.[4]
Ibnu Jarir berkata : “Yang dimaksud orang-orang yang menginginkan pahala didunia adalah orang-orang munafik yang menampakan keimanan (padahal hatinya ingkar)”.[5] Sedangkan Allah Maha Melihat dan Mendengar (isi hati).
Menurut Wahbah az-Zuhaili, ayat diatas mengandung pelajaran sebagai berikut :
1. Milik Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi, Dia sebagai Penguas, Pencipta, Pembolak-balik dan pemilik segala kekuasaan.
2. Perintah untuk bertaqwa yaitu dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, kepada seluruh umat, baik yang telah lalu ataupu sekarang.
3. Segala keinkaran hamba serta kemaksiatannya tidak akan berakibat buruk pada Allah sedikitpun, begitupun tidak bermanfaat sedikitpun iman dan keta’atan hamba pada-Nya.
4. Allah memiliki kemauan yang mutlak dan kehendak yang sempurna untuk mengusir orang-orang musyrik dan munafik juga setiap pelaku maksiat. Serta berkuasa menggantikannya dengan umat lain yang ta’at pada Allah.
5. Barangsiapa yang beramal untuk menginginkan keridhoan Allah di akhirat, maka akan diberi-Nya di akhirat, dan barangsiapa yang menginginkan pahalanya di dunia maka akan diperolehnya di dunia dan di akhirat dia tidak mendapat apa-apa.[6]
2.4. Pelajaran Dakwah yang Dapat Diambil
1. Sifat Da’i
a. Da’I seharusnya memiliki sifat tawakal, menggantungkan segala sesuatunya hanya kepada Allah, Karena segala yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
b. Da’I hendaknya memiliki sifat ikhlas. Seorang da’I hendaknya ikhlas dalam berdakwah, tidak mengejar keuntungan dunia,
c. Seorang da’I hendaknya selalu memohon kebaikan dunia dan akhirat kepada allah swt.
2. Materi Dakwah
a. Materi da’wah yang paling penting adalah tauhid. Sebagaimana awal ayat ini menjelaskan tentang ketauhidan.
b. Mengajak pada ketaqwaan merupakan materi dakwah yang utama, terbukti hal ini telah diperintahkan oleh Allah swt. pada umat-umat yang diberi al-Kitab terdahulu.
c. Da’I hendaknya memberikan penjelasan berulang-ulang pada mad’u bahwa segala sesuatu yang ada di alam rayaini adalah milik Allah, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sebagaiman hal ini di sebutkan berulang pada ayat 131 dan 132. Sehingga dapat menumbuhkan sifat tawakal pada mad’u.
d. Ketaqwaan atau keinkaran makhluk tidak akan menambah atau mengurangi keagungan allah swt.
e. Da’I hendaknya menerangkan kepada mad’u akan pentingnya keikhlasan, tidak melakukan amal hanya untuk mengejar keuntungan dunia.
f. Allah Maha Kuasa berbuat meneurut kehendak-Nya.
g.. Pentingnya muroqobatullah, seorang da’i hendaknya selalu merasa diawasi oleh Allah, begitupula seorang da’i hendaknya menjelaskan kepada mad’u tentang pentingnya muroqobatullah. Hal ini sebagaimana firman Allah diakhir ayat 134 surat ini.
3. Uslub Da’wah
a. diantara uslub da’wah yaitu da’wah dengan tarhib dan targhib, sebagaimana ayat 133 diatas Allah swt. memberikan ancaman (tarhib) kepada manusia yang inkar.
III. Penutup
Wasiat taqwa merupakan hal penting yang harus disampaikan da’i dalam dakwahnya, sebagaimana hal itu juga menjadi rukun dalam shalat jum’at. Hal ini merupakan anjuran dari Allah, bahkan terhadap umat-umat yang diberi al-Kitab dahulu. Selain itu megajarkan pada mad’u untuk senantiasa menyerahkan segala urusan kepada Allah merupakan hal yang dianjurkan, karena Allah-lah Penguasa alam raya ini.
Dakwah tauhid adalah da’wah yang paling penting, hal ini sesuai dengan ayat 131 dan 132 diatas.
Sejatinya seorang da’i harus memiliki sifat ikhlas, beramal hanya karena mengharapkan ridho dari Allah, tidak untuk mencari keuntungan di dumia. Selanjutnya seorang da’i juga hendaknya memiliki sifat tawakal terhadap Allah, setelah melakukan dakwah dengan optimal maka kita menyerahkan segala urusannya hanya kepada Allah. Karena dalam genggaman-Nyalah segala urusan. Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Singapura : Perpustakaan Nasional, Jilid II, Cet. VII, 2007
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, Beirut : Daarul Jiil, Jilid I, 1991
Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta : Gema insane Pres, Jilid I, 1999
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Beirut : Daarul Fiqr, juz 5-6, 1991
__________
[1] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Beirut : Daarul Fiqr, juz 5-6, 1991, hal. 304
[2] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Singapura : Perpustakaan Nasional, Jilid II, Cet. VII, 2007, hal. 1462
[3] Ibid, hal. 306
[4] Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta : Gema insane Pres, Jilid I, 1999, Hal. 816
[5] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, Beirut : Daarul Jiil, Jilid I, 1991, Hal. 535
[6] Wahbah az-Zuhaili, Op.Cit, hal. 309
* Penulis Adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Da'wah Mohammad Natsir Jakarta Fakultas Da'wah
Posting Komentar