MEMBANTAH METODE HERMENEUTIKA; ISLAM BUKAN AGAMA TEOKRASI



Oleh: Heri Syahmuda Sitorus*

Setiap agama memiliki kitab keagamaan, dan setiap kitab keagamaan memiliki sejarah dan tradisi pemahamannya sendiri-sendiri. Problem memahami teks suatu agama tidak dapat diselesaikan oleh metode pemahaman teks agama lain. Dikalangan cendikiawan Kristen sendiri menunjukkan bahwa teks Bible baik secara historis maupun teologis memang bermasalah. Karena problem teks yang dihadapi para teolog Kristen inilah, maka mengapa hermeneutika asal Yunani itu dipelukan untuk menginterpretasikan Bible. Saya ingin mengomentari pendapat Ioanes Rakhmat, walaupun beliau Pemikir Kristen Liberal, akan tetapi dalam tulisannya beliau lebih mendiagnosa permasalahan tentang mundurnya peradaban Islam. Hal ini disebabkan umat Islam memahami Al-Qur’an secara literalis skriptularis. Dan adanya usaha-usaha Muslim syari’ah sedang bahu-membahu berbagai bentuk kerjasama jangka menengah dan jangka panjang untuk menjadikan negara Indonesia suatu negara teokratis Islami.



Kritik dan Analisa

*      Latar Belakang Sejarah

Ada tiga faktor penting yang menjadi latar belakang, mengapa Barat memilih jalan hidup sekuler dan liberal dan kemudian mengglobalkan pandangan hidup dan nilai-nilainya keseluruh dunia, termasuk Islam. Pertama, trauma sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan. Kedua, problema teks Bible. Dan ketiga, problema teologis Kristen. Ketiga problema itu terkait satu dengan yang lainnya, sehingga memunculkan sikap traumatis terhadap agama, yang pada ujungnya melahirkan sikap berpikir sekuler-liberal dalam sejarah tradisi pemikiran Barat modren.

Pertama. Prolema Sejarah Kristen

Sejarah Kristen penuh dengan perpecahan (skisma) dan kekafiran (heresy), dan dengan konflik antar kelompok yang berujung pada peperangan atau penindasan. Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat telah mengalami masa pahit, yang mereka sebut “zaman kegelapan” (the dark ages). Mereka menyebutnya juga sebagai “zaman pertengahan” (the medievel ages). Zaman itu dimulai ketika imperium Romawi Barat runtuh pada tahun 476 M dan mulai munculnya gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat Kristen Barat sampai dengan masuknya zaman reneissance (lahir kembali) sekitar abad ke-14. Ketika itu Gereja yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan (teokrasi) di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan melakukan berbagai tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi. Di zaman hegemoni kekuasaan Gereja inilah lahir sebuah institusi Gereja yang sangat terkenal kejahatan dan kekejamannya, yang dikenal sebagai “INQUISISI”.



Kedua. Problem Bible

Ada sebagian kalangan yang dengan gegabah mencoba menyamakan Al-Qur’an dengan Bible, dengan menyatakan, bahwasa semuanya Kitab Suci. Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The Making of an Image, menegaskan: “Al-Qur’an tidak ada bandingannya dengan apapun di luar Islam (The Quran has no parallel outside Islam).”

Profesor Bruce M. Metzger dalam bukunya, The text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration, menjelaskan ada dua kondisi yang selalu dihadapi oleh penafsir Bible, yaitu (1). Tidak adanya dokumen Bible yang originil saat ini, dan (2). Bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan lainnya.



Ketiga. Problem Teologi Kristen

Sepanjang sejarah peradaban Barat, terjadi banyak persoalan serius dalam perdebatan teologis. Problema yang kemudian muncul ialah ketika para ilmuwan dan pemikir diminta mensubornasikan dan menundukkan semua pemikirannya kepada teks Bible dan otoritas Gereja, justru pada kedua hal itulah terletak problem itu sendiri. Doktrin teologi Kristen tidaklah tersusun di masa Yesus, tetapi beratus tahun sesudahnya, yakni pada tahun 325 M dalam Konsili Nicea. Sejak Konsili Nicea, problem serius dan kontroversial memang masalah “ketuhanan Yesus”. Bagaimana menjelaskan kepada akal yang sehat bahwa Yesus adalah ‘Tuhan’ dan sekaligus ‘manusia’, perdebatan seputar siapa yang membunuh Yesus. Disamping menghadapi problema otentitas, Bible juga memuat hal-hal yang bertentangan dengan akal dan perkembangan ilmu pengetahuan. Contohnya seperti Gelileo Galilei, beliau membuat satatmen: (1) matahari adalah pusat galaksi dan (2) bumi bukanlah pusat tata surya. Namun hal ini bertentangan dengan Bible dan beliau dihukum oleh kekuasaan Gereja yang mempunyai dokrin infallibility (tidak pernah salah).



*      Metode Hermeneutika

Tugas hermeneutika adalah memahami teks sebagaimana di maksudkan oleh para penulis teks itu sendiri. Adapun tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible, yaitu dengan cara:

1.      Interpretasi Literal, teks Bible haruslah di interpretasikan sesuai dengan makna yang jelas, sesuai konstruksi tata bahasa dan konteks sejarahnya. Model ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan kemauan penulis Bible.

2.      Interpretasi moral, model interpretasi moral ini mencoba membangun prinsip-prinsip penafsiran yang memungkinkan nilai-nilai etik diambil dari beberapa bagian dalam Bible.

3.      Interpretasi alegoris (kiasan), format utama model ini adalah tipelogi. Tokoh-tokoh kunci dan peristiwa-peristiwa penting dalam Perjanjian Lama (Old Testament) dilihat sebagai satu tipe bayangan ke depan untuk tokoh dan peristiwa-peristiwa yang ada pada Perjanjian Baru (New Testament).

4.      Interpretasi anagogical (mystical Interpretation), Model ini dipengaruhi oleh tradisi mistik Yahudi (kabbala) yang diantarany mencoba mencari makna-makna mistis dari angka-angka dan huruf-huruf Hebrew.

Contoh dari interpretasi empat tingkat tersebut diatas adalah kata Jerusalem. Pada level literal, Jerusalem adalah nama kota yang ada di bumi. Pada makna alegoris, Jerusalem diartikan sebagai “gereja Kristen”. Menurut moral, Jerusalem berarti jiwa (soul). Dan pada level anagogical, Jerusalem adalah “kota Tuhan di masa depan”.







Metode Tafsir Al-Qur’an

Secara epistemologis, hermeneutika bersumber dari akal semata, dugaan, asumsi, sedangkan didalam tafsir, sumber epistemologis adalah wahyu Al-Qur’an. Posisi beliau saw. dalam menerima dan menyampaikan wahyu memang pasif, hanya sebagai “penyampai” apa-apa yang diwahyukan kepadanya. Beliau saw. tidak menambah dan mengurangi apa-apa yang disampaikan Allah Swt. kepada beliau melalui malaikat Jibril. Beliaupun terjaga dari kesalahan, karena beliau ma’shum (QS. An-Najm: 3). Nabi Muhammad saw. memang manusia biasa, tetapi berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau menerima wahyu (QS. Fussilat: 6). Bahkan dalam surah Al-Haqqah: 44-46, Allah Swt. memberi ancaman kepada Nabi saw.. Allah Swt. berfirman:

öqs9ur tA§qs)s? $oYø‹n=tã uÙ÷èt/ È@ƒÍr$s%F{$# ÇÍÍÈ $tRõ‹s{V{ çm÷ZÏB ÈûüÏJu‹ø9$$Î/ ÇÍÎÈ §NèO $uZ÷èsÜs)s9 çm÷ZÏB tûüÏ?uqø9$# ÇÍÏÈ

Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami. Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya (Kami beri tindakan yang sekeras-kerasnya). Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. (QS. Al-Haqqah: 44-46)

Jika ada diantara sahabat berselisih atau tidak mengerti mengenai kandungan Al-Qur’an, mereka merujuk langsung kepada Rasulullah saw. mengenai makna sebuah ayat Al-Qur’an sekaligus penjelasannya. Para sahabat menafsirkan Al-Qur’an dengan berpegang pada penafsiran yang diberikan Rasulullah saw.. Mereka mengetahui asbab al-nuzul yang melatar belakangi turunnya ayat Al-Qur’an. Kemudian para tabi’in menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, hadits Nabi dan pendapat para sahabat (metode tafsir bil ma’tsur). Setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan ijtihad. Syarat menjadi mufassir pun ada standarisasinya, seorang mufassir harus menguasai ilmu tata bahasa Arab, ‘ulumul hadits, ‘ulumul Qur’an, berakhlak, wara’, zuhud dan bermanhaj salaf as-sholeh.

Jadi, metode tafsir Al-Qur’an tidak identik dengan hermeneutika Kristen, dan tidak juga sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain. Ilmu Tafsir Al-Qur’an merupakan ilmu asas yang diatasnya dibangun keseluruhan stuktur, tujuan, pengertian pandangan dan budaya agama Islam.



III. Kritik Dan Analisa

Dalam sejarah peradaban Islam, teks Al-Qur’an tidak mengalami problema sebagaimana teks Bible. Seluruh penjuru dunia, umat Islam membaca Al-Qur’an yang sama yakni dengan lafadz arab. Keotentikan Al-Qur’an

Penganutan paham sekulerisme bisa dikatakan sebagai sikap “menyerah” kepada “penyakit menular” yang memang memiliki daya virulensi yang hebat. Itu yang terjadi dalam Kristen. Mereka menyerah dan kemudian mencari legitimasinya dalam Bible. Padahal, hasil pertemuan misionaris Kristen sedunia di Jerusalem tahun 1928, menetapkan sekulerisme sebagaui musuh besar Gereja dan misi Kristen. Barat yang traumatis terhadap sejarah peradabannya, akhirnya mengajukan jalan sekuler, liberal, dan pluralisme teologi dalam kehidupan mereka. Sebagaiman penjajah Kristen dan misionaris yang aktif menyebarkan agama, Barat yang sekuler pun aktif menyebarkan idiologinya dan memaksakan kepada manusia dan agama lain,  termasuk Islam.

Tampaknya, kalangan pemuka dan cendikiawan Kristen menjadi resah, mengapa kajian kritis tentang teks Bible itu berkembang, sementara kitab suci Al-Qur’an masih tetap diyakini kaum Muslimin sebagai kalam Allah Swt. yang suci. Berdasarkan informasi dari Al-Qur’an, setiap Muslim yakin bahwa tokoh-tokoh Yahudi dan Nashrani, telah mengubah-ubah kitab suci mereka, sehingga tidak menjadi suci lagi. Maka, muncul dorongan kuat di kalangan orientalis-misionaris untuk menempatkan posisi Al-Qur’an, sama dengan posisi Bible. Dan misi mereka diteruskan oleh cendikiawan Muslim yang “menetek” pemikiran Barat. Ada yang melakukannya sekadar untuk mencari simpati dari Barat, ada yang melakukannya krena pertimbangan finansial, tapi ada juga melakukannya atas dasar keyakinan.




* Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Da'wah Mohamamd Natsir, Fakultas Da'wah.



0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama