Jalan Terjal Seorang Manager Membangun Karir dan Keluarga




Kondisi ekonomiku yang “terjun bebas” sempat membuat istriku kurang sabar. Meski akhirnya Allah berkehendal lain

PADA awalnya, sekalipun kami hidup dalam kekurangan, namun kebahagiaan tetap menyelinapi kehidupan kami sekeluarga yang berjumlah lima orang, terdiri dari; ayah, ibu, aku, dan kedua adikku, yang semuanya laki-laki.

Senyum sumringah acap kali menghinggap di kedua pipi kami, menghiasi hari-hari yang memang cukup memberatkan. Hampir setiap hari sekeluar dari sekolah, kami harus pergi ke sawah/kebun, guna membantu mereka bertani. Kami tidak kenal jam main. Yang ada adalah sekolah, belajar, dan bekerja. Walau demikian, tetap kami lalui hari-hari dengan hati riang, terlebih ketika melihat kekompakkan kedua orang tua kami yang saling bahu-membahu satu sama lain, guna menuju kehidupan yang lebih baik. Hal tersebut menjadi hiburan tersendiri bagi kami sebagai anak.

Namun sayangnya, pada pertengahan tahun 1989 (saat itu saya duduk di bangku kelas tiga SMP), kabut hitam menaungi keluarga kami, setelah ayah beralih profesi dari petani ke tukang ojek. Dia selingkuh dengan wanita lain. Efeknya, kepeduliannya terhadap keluarga turun drastis, bahkan bisa dibilang punah.

Hampir setiap hari, aku dan adik-adik menyaksikan pertengkaran antara ibu dan ayah. Kasih sayang seorang bapak pun, sepertinya ikut hanyut, mengikuti arus wanita lain. Tidak ada lagi istilah belaian kasih sayang, apa lagi uang saku/jajan. Yang tinggal hanyalah umpatan dan makian. Dan yang membuat hati lebih tersayat, ternyata aib keluargaku ini telah tersebar di masyarakat sekitar, termasuk di sokalahanku. Karenanya, setiap sekolah, ejekan, cemoohan teman-teman sebagai anak si-tukang selingkuh -bisa dikatakan- telah menjadi 'menu' tambahan yang cukup menyakitkan perasaan.

Sebagai anak sulung, aku sering mengingatkan beliau. Tapi yang kudapat justru makiannya yang kasar. Karena 'kecerewetan'ku itu, akupun sering dihujat dan diusir dari rumah. Karena melihat sosok ibu lah maka aku bertahan.

Hijrah ke Jakarta

Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata prilaku buruk ayahku tidak juga hilang. Yang terjadi justru sebaliknya, dia sering bergonta-ganti pasangan. Usut punya usut, ternyata -menurut pengakuannya- beliau melakukan hal ini, dikarenakan dia menghendaki anak perempuan, sedangkan ketiga anak yang lahir dari rahim istrinya alias ibuku adalah laki-laki.

Melihat prilaku ayah yang semakin sulit untuk di kendalikan, serta kondisi lingkungan (keluarga, masyarakat, dan sekolah) yang sangat menyesakkan dada, akupun mengutarakan keinginanku ke salah satu paman, yang memang merantau di Jakarta untuk ikut beliau, dan mengais rizki di sana. Prihatin dengan kondisi yang kualami, beliaupun mengamini, meski sebenarnya saat itu saya tengah mempersiapkan diri guna menghadapi ujian akhir sekolah SMP, yang akan dilaksanakan satu minggu mendatang. Atas desakan dan rengekanku, beliau pun mengabulkan dengan konsekwensi yang cukup besar, saya tidak bisa ikut ujian, dan itu artinya, saya tidak akan lulus sekolah.

Jalan Terjal Menuju Sukses

Tidak jauh berbeda dengan impian para perantau lain, akupun memiliki harapan, kedepan, aku bisa memiliki kehidupan yang lebih layak dalam segala hal, termasuk masalah ekonomi. Selain itu, terbesit di dalam hati untuk menghentika perilaku buruk ayah dengan cara memberinya cucu perempuan. Sebab, saban hari, beliau pernah berujar, ”Saya tidak akan berhenti sebelum memiliki anak atau cucu perempuan”, ujarnya dengan nada serius dan tatap mata tajam.

Karena tidak memiliki skill yang cukup serta ijazah, akupun mengarahkan perburuan pada kerja kasar sebagai kuli bangunan. Karena melihat postur tubuhku yang pada saat itu masih kecil serta usiaku yang masih terbilang terlalu dini, lamaranku ditolak. Tak surut semangat, aku coba 'banting setir' dengan melamar pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga. Gayung bersambut, akupun diterima sebagai pembantu di salah satu rumah yang berada di kota Bekasi. Yang membuatku bagai 'ketiban buah durian' ternyata majikanku itu merupakan sosok yang sangat baik. Ketepatan, dia juga memiliki bengkel Kulkas dan AC.

Di sela-sela mengerjakan tugas wajibku sebagai pembantu itulah, dia menganjurkanku untuk turut aktif di bengkelnya. Akupun tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu, ”Sekali berdayung, dua-tiga pulau terlampaui”, ujarku membatin.

Selama dua tahun bekerja di sini, akhirnya pada tahun 1992, setelah melihat kepiawaian baruku dalam bidang bengkel, dia menganjurkanku untuk membuka bengkel sendiri dengan modalnya. Sayang, belum juga lama menjalani profesi baru, biduk rumah tangga orang yang telah berbaik hati mengajariku banyak hal ini, digoncang beberapa masalah yang imbasnya, akupun disarankan untuk mencari pekerjaan lain.

Selanjutnya, aku melamar sebagai buruh di salah satu pabrik sepatu yang terletak di Serang. Di sini, saya senantiasa berusaha bekerja dengan sebaik-baiknya. Apapun yang ditugaskan, selalu saya kerjakan dengan hasil yang memuaskan. Tak disangka, ternyata secara diam-diam ada sosok yang terpicut dengan pola kerjaku yang serius lagi cermat. Dia pun menawariku untuk bekerja di tempatnya sebagai pengawas dengan gaji yang menggiurkan. Setelah berfikir panjang, akupun menekan kontrak.

Di tempat baru ini, tantangan baru harus aku hadapi. Terjadi kecemburuan sosial antara aku sebagai karyawan baru yang langsung diangkat sebagai pengawas, dengan para senior yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri di sana, dan belum juga dipromosikan ke tingkat yang lebih tinggi, terlebih, ketika mereka melihat 'kemesraan' hubunganku dengan sang-Bos.

Puncaknya, mereka pernah mengeroyok, serta mengguna-gunaiku dengan ilmu sihir, hingga aku sempat terkulai beberapa hari. Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah jualah, serta diiringi dengan kesabaran dan komunikasi yang efektif, merekapun akhirnya membuka hati untuk menerimaku.

Menikah dan Ujian

Setelah merasa mapan secara ekonomi, pada tahun 1997 aku bulatkan tekatku untuk menikah dengan seorang gadis yang sudah cukup kukenal. Dari pernikahan itu - dengan izin Allah tentunya- lahirlah putri cantik yang memang sudah lama kami dambakan. Dan setelah mengetahui kalau kami dikaruniai anak perempuan -dengan bantuan hidayah dari Allah tentunya- Ayah benar-benar meninggalkan kelakuan bejatnya yang telah digeluti bertahun-tahun lamanya, tanpa ragu sedikitpun. Beliaupun mengakui akan kekeliruannya selama ini.

Setahun berikutnya, ayah meminta kami untuk tinggal di kampung halaman yang berlokasi di Lampung Timur. Setelah bermusyawarah dengan sang-istri, kamipun menyanggupi. Pekerjaan sebagai pengawas dengan gaji besarpun aku tinggalkan dan beralih profesi sebagai tani biasa. Tak dinyana, ternyata untuk kedua kalinya, peristiwa pahit tentang perselingkuhan keluarga kembali melanda.

Tragisnya, kali ini, istrikulah yang menjadi 'pemeran utamanya'. Peristiwa itu terjadi, ketika dia mendesak untuk pergi ke Malaysia guna menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) pada tahun 2000, karena ketidaksabarannya dalam menghadapi kondisi ekonomi saat itu yang memang sedang 'terjun' bebas.

Dan ternyata di sana (Malaysia) dia justru mengkhianati kepercayaanku dengan cara berselingkuh, dan kelakuannya itu terus berlanjut ketika pulang ke tanah air, dua tahun setelah keberangkatannya. Dia sering menelphon dan berangkat dengan laki-laki lain.

Sebagai suami, aku sempat shock berat menghadapinya. Untuk melampiaskan kekesalanku, akupun melakukan hal serupa. Untungnya kelakuan bejat itu tidak lama menghindap. Aku tersadarkan, bahwa apa yang aku lakukan ini merupakan langkah yang keliru. Demi kebaikkan keluarga, pada tahun 2008 silam, keputusan berat kuambil dengan menceraikannya karena memang -sepertinya- dia sudah sangat enjoy dengan apa yang dia lakukan. Nasehat-nasehat sudah mental.

Saat ini, aku telah menikah lagi dengan seorang janda yang juga memiliki pengalaman yang sama persis denganku, dan telah dikaruniai seorang anak laki-laki mungil. Yang mengharukan, bersamaan dengan lahirnya sang buah hati satu tahun silam, aku dipanggil pihak kantor di Jakarta, tempatku bekerja beberapa tahun terakhir ini untuk diamanahi sebagai 'Project Manager' sebuah perusahaan kontraktor yang nilai proyeknya hingga ratusan milyar rupiah.

Puji syukur kuucapkan pada Allah Yang Maha Mengetahui Segala Hikmah yang tersembunyi di balik kejadian-kejadian yang melanda hamba-hambanya.

Mudah-mudahan apa yang terjadi masa laluku, benar-benar menjadi bekal yang berarti untuk menjadi orang yang lebih baik lagi di masa depan, baik itu sebagai manusia yang bertugas memakmurkan bumi, ataupun sebagai hamba yang harus mengabdikan diri kepada-Nya. Amin...amin yaa Rabbal 'aalamin.  [disampaikan langsung oleh Priyanto, laki-laki asal Sribawono, Lampung Timur, kepada hidayatullah.com]
 

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama