TV vs Dakwah Keluarga


 

TV vs Dakwah Keluarga

Oleh: Muhammad Rizqi Zulkarnaen


 

    Televisi sebagai media massa mestinya memilki tiga fungsi utama, yaitu sebagai media informasi (information), sebagai media pendidikan (education), dan sebagai media hiburan entertainment (Brown, 1977)

    Teleivisi juga merupakan wahana yang kuat sekali pengaruhnya dalam pembentukan pola pikir, sikap dan tingkah laku disamping menambah pengetahuan dan memperluas wawasan masyarakat (Sri Hardjoko, 1994). Menurut Suprapti Sudarti Widarto (1994), siaran TV memiliki daya penetrasi yang sangat kuat terhadap kehidupan manusia sehingga ia mampu mengubah sikap, pendapat dan perilaku seseorang dalam rentang waktu yang relatif singkat. Di tegaskan Fahmi Alatas (1994) dengan kekuatan pandang dengarnya siaran TV memiliki potensi penetratif untuk mempengaruhi sikap, pandangan, gaya hidup, orientasi dan motivasi masyarakat. Hasil penelitian Dwyer (1978) menyatakan sebagian besar materi pendidikan/ pembelajaran 83 % diserap peserta didik melalui indera penglihatan, dan selebihnya sebanyak 11% melalui indera pendengaran dan sisanya 6% melalui indera pengecapan, penciuman dan rabaan.

    Menilik ragam tayangan berbagai stasiun TV pada umumnya sekarang ini dengan mennghadirkan TV di rumah sama dengan menghadrkan guru atau bisa jadi 'perusak', misalnya tayangan film kartun yang menyasar penonton anak-anak.

    Menurut hasil penelitain Alysia Wittmeyer yang dipublikasi kan LATIM ( 5/07/2005 ), TV dapat menjadi salah satu faktor yang harus disalahkan apabila nilai ujian anak kita jelek. Jika memang mereka senang menjadikan TV sebagai menu sehari-hari pernyataannya itu didasarkan pada tiga kajian yuang dilakukan tiga Universitas di Amerika dan satu hasil penelitian di Selandia Baru.

    Penelitian yang dilakukan Universitas Stanford dan Universitas John Hopkins menemukan, anak yang menonton TV di kamar tidurnya nilai ujiannya lebih rendah daripada anak yang menonton TV dengan frekuensi sama tetapi tidak di kamar tidurnya. Kajian ini juga mengungkapkan, anak yang terbiasa menggunakan komputer di rumah bukan untuk sekedar main PC, mendapat nilai yang lebiih tinggi. Penelitian lain dpernah dilakuakan Universitas Washington menemukan, membiasakan anak menonton TV sebelum berusia 3 tahun dapat merusak ketrampilan baca mereka dan bentuk perkembangan kognitif lainnya ketika mereka akan mencapai usia 6 tahun.

Di Indonesia, melalui penelitiannya pada 2001, Zamris Habib bersama Waldofo dan Indrayanti menyimpulkan bahwa anak-anak lebih menyukai film kartun (majalah teknodik edidsi no.9/V/Oct/2001) Sri Andayani (1997) melakukan penelitian terhadap beberapa film kartun Jepang seperti Sailor Moon, Dragon Ball, dan Magic Knight, Rai Earth. Ia menemukan bahwa film tersebut banyak mengandung adegan anti sosial (58,4%) daripada adegan pro sosial (41,6%). Temuan ini sejalan dengan temuan YLKI, yang juga mencatat bahwa film kartum bertemakan kepahlawanan lebih banyak menampilkan adegan anti sosial (63,51%) daripada adegan pro sosial (36,9%). Setelah menyaksikan film Batman dan Superman, menurut hasil penelitian Stein dan Fredrich di AS, anak-anak menjadi lebih agresif yang dapat dikategorikan anti sosial. Penelitian Yayasan Kasejahteraan Anak YKAI menemukan, ketika anak menonton TV cenderung melakukan kegiatan lain yaitu makan (35%) tidur-tiduran (28%) dan belajar (13%) dalam keterkaitan antara TV dan belajar, penelitian menemukan anak yang tahan godaan TV mengaku malas belajar (80%) dan tidak suka memembaca buku (66%) (Jahja dan Irvan, 2006: 5). Kompas dalam www.howmliner.edu, pada 1997 melakukan survey utnuk mengetahui alasan orangtua di Indonesia membiarkan anak mereka menonton TV (40%) responden membiarkan anak mereka nonton TV dengan alasan untuk menghibur anak, (29%) beralasan supaya anak betah di rumah, (18%) percaya bahwa penyelenggara TV tahu acara yang baik dan bertanggungjawab. Survey ini juga menemukan umumnya orang tua melakukan pembatasan menonton pada waktu menonton, bukan pada apa yang ditonton. Menurut aktifis gerakan anti-TV di Amerika, Abdul Malik Mujahid, sikap pasif seperti itu adalah kesalahan besar orang tua: If you don't control TV, TV will control you. Your pocket, your children, and your wordview. Jika anda tidak mengontrol TV maka TV yang akan mengontrol anda, kantong anda, anak-anak anda, dan pandangan hidup anda. Demikian ia memperingatkan

Sikap tegas dilakoni seorang keluarga da'i. Di rumah mereka di Dermaga, Bogor, sejak dulu tidak ada yang namanya pesawat TV.

"kami memang tidak menyediakan TV. Ketika saya Tanya isteri apakah sanggup mengendalikan TV bagi anak-anak dan dirinya, ternyata isteri saya tidak berani dan takut kalah sama TV, kami realistis untuk tidak bersaing dengan TV di rumah. Tutur beliau yang menjelaskan alasannya berkeluarga tanpa TV.

Sang istri mengaku tak sanggup menghadapi dampak TV bagi keluarganya, misalnya ketika TV menayangkan pornograpi, atau iklan konsumtifisme. Selain itu keberadaan TV akan mengacaukan jadwa kegiatan kelima anaknya. Sebagai gantinya, beliau menyediakan computer multi media. Ia juga berlangganan media cetak yang isinya lebih banyak mendidik. Melalui perangkat computer itulah, kelima anak mereka berkesempatan menikmati tayangan film terpilih. "anak-anak boleh menonton VCD asal ditemani ibunya, ungkap beliau. Beliau mengakui, ketrampilan anak-anaknya berkomputer kadang melebih kemampuannya sendiri. Anak-anak pun jadi hobi membaca. Toh, bukan berarti keluarga da'i tersebut melarang sama sekali anak-anak menonton TV. Kadang-kadang, bila ada acara yang bagus anak-anak diizinkan menonton di rumah tetangga, dengan begitu, mereka pun bergaul dengan tema-temannya. Akhirnya, segala sesuatu itu berasal dari mata, baik itu kebaikan atau keburukan. Semoga mata keluarga kita senantiasa melihat kebaikan.

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama