TARIKH DAN THABAQAT



Oleh: Muhammad Robiaal Mamonto


1.      PENDAHULUAN


Dalam menentukan periwayatan sebuah hadits, apakah hadits itu diriwayatkan dengan sanad yang shahih atau tidak, tentunya sangat penting bagi kita mengenal latar belakang seorang perawi hadits. Dalam ilmu hadits untuk mengetahui hal tersebut, maka sepatutnya kita memahami apa itu ilmu Tarikh dan ilmu Thabaqat. Dalam makalah ini saya akan coba mengangkat pemahaman tentang apa itu ilmu Tarikh dan ilmu Thabaqat yang masuk dalam pembahasan ilmu hadits.



2.      PEMAHAMAN ILMU TARIKH DAN THABAQAT



2.1.Ilmu Tarikh



Tarikh secara bahasa berarti sejarah atau hal-hal yang berkenaan dengan riwayat seseorang. Namun dalam istilah ilmu hadits, tarikh adalah sebuah bagian dari disiplin ilmu hadits yang memuat tentang cara mengetahui keadaan setiap perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang-orang yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah airnya, serta yang selain itu yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka. Dalam ilmu hadits, ilmu ini selalu dinisbatkan dengan keadaan perawi hadits, maka itu sering disebut dengan ilmu Tarikh ar-Ruwwat atau ilmu Rijalul Hadits.[1]



Dengan mengetahui tarikh dari rawi-rawi, maka secara langsung kita akan mengetahui bersambung atau tidak bersambungnya sanad dari sebuah hadits serta kita juga akan bisa membuka kebohongan seorang pendusta yang menceritakan sebuah hadits.



Contoh:



Dalam kita al-Madkhal, imam al-Hakim berkata: “Aku pernah dengar Aba Ali al-Hafidz berkata: ‘Tatkala Abdullah bin Ishaq al-Kirmani menceritakan hadits dari Muhammad bin Abi Ya’qub, aku datang kepadanya. Maka aku bertanya kepadanya waktu lahirnya, lalu dia menerangkan, bahwa dia lahir pada tahun 251 hijriyah. Aku berkata kepada Abdullah bin Ishaq: Muhammad bin Abi Ya’qub al-Kirmani meninggal 9 tahun sebelum engkau dilahirkan’.”



Tegasnya, Abdullah bin Ishaq dilahirkan pada tahun 251 hijriyah dan Muhammad bin Abi Ya’qub wafat pada tahun 242 hijriyah. Jadilah Abdullah dilahirkan sesudah Muhammad meninggal 9 tahun lamanya.[2]



Oleh karena itu, tidak mungkin Abdullah menerima riwayat dari Muhammad. Maka dengan ini, jelas kita bisa mengetahui bahwa Abdullah bin Ishaq dalam hal ini telah berbohong dalam meriwayatkan hadits.



2.2.Ilmu Thabaqat



Thabaqat secara bahasa berarti hal-hal, martabat-martabat, atau derajat-derajat. Seperti halnya tarikh, thabaqat juga adalah bagian dari disiplin ilmu hadits yang berkenaan dengan keadaan perawi hadit. Namun keadaan yang dimaksud dalam ilmu thabaqat adalah keadaan yang berupa persamaan para perawi dalam sebuah urusan. Adapun urusan yang dimaksud, antara lain:[3]

a.      Bersamaan hidup dalam satu masa

b.      Bersamaan tentang umur

c.       Bersamaan tentang menerima hadits dari syaikh-syaikhnya

d.      Bersamaan tentang bertemu dengan syaikh-syaikhnya



Dalam pemahaman thabaqat itu sendiri, thabaqat bisa dijelaskan dengan pandangan-pandangan berikut:[4]

a.      Sahabat-sahabat, kalau kita pandang sahabat-sahabat dari urusan persahabatan mereka dengan Nabi SAW saja, dengan tidak memandang pada urusan lain, maka mereka itu semuanya teranggap satu thabaqah.

b.      Sahabat-ini juga, jika ditinjau dari urusan atau hal lain, maka mereka dibagi menjadi 12 thabaqat:

·         Thabaqah I: Sahabat-sahabat yang masuk Islam paling awal di Mekah, seperti: Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib.

·         Thabaqah II: Sahabat-sahabat yang masuk Islam sebelum orang-orang Quraisy bermusyawarah di Darun-Nadwah.

·         Thabaqah III: Sahabat-sahabat yang berhijrah ke Habasyah, seperti: Utsman, Abu Hurairah, Utbah, dan lainnya.

·         Thabaqah IV: Sahabat-sahabat yang ikut berbai’at di Aqabah yang pertama, seperti: Ubadah bin Shamit dan lainnya.

·         Thabaqah V: Sahabat-sahabat yang berbai’at di Aqabah yang kedua, seperti: Sa’ad bin Ubadah, Abdullah bin Rawahah, Rafi bin Malik dan lainya.

·         Thabaqah VI: Sahabat-sahabat Muhajirin yang pertama sampai di Quba’, sebelum masuk Madinah.

·         Thabaqah VII: Sahabat-sahabat yang terlibat dalam perang Badar, seperti: Abu Zaid, Ubadah bin Shamit, Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Bilal bin Rabah dan lainnya.

·         Thabaqah VIII: Sahabat-sahabat yang hijrah ke Madinah.

·         Thabqah IX: Sahabat-sahabat yang berbai’at di Baitur-Ridwan di Hudaibiah, seperti: Salamah bin Akwa dan Abu Sinan al-Asadi.

·         Thabaqah X: Sahabat-sahabat yang berhijrah ke Madinah sesudah perjanjian Hudaibiah, seperti: Khalid bin Walid dan Amr bin Ash.

·         Thabaqah XI: Sahabat-sahabat yang masuk Islam di masa penaklukan Mekah, seperti: Harits bin Hisyam dan Utsman bin Amr.

·         Thabaqah XII: Anak-anak yang melihat Nabi SAW pada hari penaklukan Mekah, pada hari Haji Wada’, dan lainnya.

c.       Tabi’in, kalau dilihat dari urusan mereka sebagai pengikut sahabat-sahabat Nabi SAW dengan tidak memandang pada urusan atau hal lainnya, maka mereka adalah satu thabaqah.



Mengenai thabaqat sahabat, selain dari dua belas pembagian yang telah tersebut sebelumnya, thabaqat ini juga bisa dibagi kedalam tiga bagian apabila memandang dari segi sering berkumpulnya mereka dengan Nabi SAW dan banyaknya mereka meriwayatkan hadits dari beliau SAW, yaitu:[5]

a.      Kibarush Shahabat artinya sahabat-sahabat yang besar, yaitu sahabat-sahabat yang banyak berkumpul dengan Nabi SAW dan banyak meriwayatkan hadits dari beliau SAW, seperti: Hanzalah bin Abi Amir al-Anshari, Abu Aiyub, Ubai bin Ka’ab, dan lainnya.

b.      Ausatush Shahabat artinya sahabat-sahabat yang pertengahan, yaitu mereka yang tidak begitu sering berkumpul dengan Nabi SAW dan tidak banyak meriwayatkan hadits dari beliau SAW

c.       Shigarush Shahabat artinya sahabat-sahabat yang kecil, yaitu mereka yang sedikit sekali berkumpul dengan Nabi SAW dan sedikit meriwayatkan hadits dari beliau SAW, seperti: Abdullah bin Hanzalah, Anas bin Malik, As-Saib bin Yazid, Shafiyah binti Syaibah, dan lainnya.



3.      PENUTUP



Dengan memahami pembahasan diatas, sudah sepatutnya bagi kita untuk benar-benar meneliti sebuah hadits yang dikeluarkan oleh seseorang, terutama hal itu berhubungan dengan sanad dari sebuah hadits. Karena telah kita ketahui bersama keshahihan sebuah hadits tidak hanya bergantung pada matannya yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadits lainnya yang mendukung, tetapi secara mutlak matan tersebut akan gugur apabila sanad dari hadits tersebut banyak mengandung illat.



DAFTAR PUSTAKA



·         Al-Qaththan, Manna, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka al-Kaitsar, 2006



·         Hasan, A Qadir, Ilmu Mushthalah Hadits, Bandinug: Diponegoro, 1987



[1] Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka al-Kaitsar, 2006, cet. II, hal. 75

[2] A Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, Bandinug: Diponegoro, 1987, cet. III, hal. 394-395

[3] Ibid., hal. 391

[4] Ibid., hal. 391-393

[5] Ibid., hal. 397

2/Post a Comment/Comments

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama