AL-FARABI


Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, yang kepada-Nya kita menyembah dan memohon pertolongan.

Shalawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad Saw., beserta keluarga, shahabat dan seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman.

Pada makalah ini insya Allah kami akan mencoba menjelaskan mengenai Filsafat Ibnu Farabi berikut pemikiran-pemikiran beliau seputar filsafat, serta tidak ketinggalan pula biografi beliau secara singkat agar menambah wawasan kita mengenai Ibnu Farabi.

v Biografi Singkat Farabi

Mengenal sosok atau biografi kehidupan seorang tokoh adalah hal yang sangat penting sebelum mengkaji buah pemikiran seorang tokoh. Sehingga sudah barang tentu kita harus mengenal siapa sosok Ibnu Farabi, meskipun hanya sepintas atau sedikit. Berikut biografi singkat beliau.

Nama lengkap beliau adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhn ibn Auzalagh. Dikalangan orang latin abad tengah ia lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunaser). Ia dilahirkan di Wasij, distrik farab sekarang lebih dikenal dengan kota Atrar, di daerah Turkistan pada 257 H/870 M. ibunya berkebangsaan Turki, sementara Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia.[1] Sejak kecil ia telah meninggalkan kota kelahirannya. Ia mengembara ke berbagai Negara hingga akhirnya tibalah ia ke kota Baghdat, pusat peradaban saat itu di sana ia memperdalam Filsafat selama dua puluh tahun Ia pernah mengajar dan mengulas beberapa buku-buku filsafat yunani, diantara anak muridnya yang terkenal adalah Yahya Ibn ‘Adi, seorang filosuf kristen.

Karena kepintaran dan kepakarannya dibidang Filsafat, ia diangkat menjadi seorang ulama istana pada saat pemerintahan Saif al-Daulah al-Hamdani sebuah dinasti Hamdan di Aleppo kota Damaskus. Dengan demikian ia mendapatkan tunjangan yang lumayan besar, namun ia lebih memilih hidup sederhana dengan empat dirham untuk memenuhi hidupnya dalam 1 hari, dan selebihnya ia sedekahkan kepada para fakir miskin di daerah Aleppo dan Damaskus, bahkan diriwayatkan ia sering kelihatan pada waktu malam sedang membaca dan mengarang dibawah sinar lampu penjaga malam.[2]

Hampir 10 tahun ia hanya berpindah-pindah dari dua kota itu, yang pada akhirnya hubungan dua kota itu semakin memburuk, alhasil membuat sultan Saif ad-Daulah menyerbu kota Damaskus dan berhasil menaklukkanya, sementara Al-Farabi diikut sertakan dalam penyerbuan itu. Sampai akhirnya ia menutup mata selama-lamanya di kota itu dalam usia 80 tahun.

v Peran Al-Farabi Dalam Filsafat

Al-Farabi merupakan Filusuf yang pertama yang berhasil memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh seperti di dalam kitab karangannya yang berjudul Ihsha’u al-‘Ulum” yang memandang Filsafat secara utuh dan sempurna serta membahasnya secara mendetail[3]

ia juga sangat terkenal akan kepakarannya dalam hal filsafat Aristoteles sehingga ia dikenal dengan sebutan Mu’allim Tsani (Guru kedua).[4]

Selain itu lewat usahanya pula perdebatan antara Filsafat Plato dan Aristoteles akhirnya berakhir. Ia berhasil menyatukan kedua filsafat tersebut lewat karyanya “Al-Jam’u baina Ra’yay al-Hakimain Alfathun wa Aristhu” yang sering menjadi rujukan para filosuf sesudahnya seperti Ibnu Rusdy dan Ibnu Sina[5]

Dalam karyanya ini ia berhasil memadukan pemikiran kedua Filsafat ini yakni Plato dan Aristoteles.dalam temuannya ini dikenal dengan istilah “Pemaduan Falsafah” (al-falsafah at-Taufiqiyyah) salah satu contohnya adalah teori simbol dan gaya bahasa.[6] Dalam memahami pemikiran Plato dalam setiap karangannya maka akan menemukan kesulitan dalam memahaminya karena Plato lebih banyak menggunakan gayabahasa yang sulit serta kiasan-kiasan yang sulit dimengerti. Hal ini terkadang membuat penafsiran yang berbeda mengenai pemikirannya. Gaya bahasa serta kiasan-kiasan yang dibuat Plato dalam setiap karangannya karena menurutnya Filsafat hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu saja. Hal ini sungguh berbeda sekali dengan Aristoteles yang menggunakan gaya bahasa yang sistematis dan mudah difahami. Namun dalam beberapa hal terdapat juga pembahasan yang sulit dipahami seperti dalam hal akhlaq, ilmu fisika dan metafisika. Karena memang Aristoteles memang membatasi hal ini hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dan Ibnu Farabi menetapkan bahwa hakekatnya kedua Filosuf ini (Platod dan Aristoteles) membatasi Filsafat hanya untuk orang-orang tertentu saja. Tidak untuk semua orang.[7]

Alfarabi berkesimpulaan bahwa Aristoteles dan Plato memiliki tujuan yang sama yakni mencari sebuah kebenaran, keduanya bertemu dan berjalan seiringan, Alfarabi menamakannya Neo Plato (Neo Platonisme). Keduanya berjalan seiringan hingga akhirnya tiba di dalam Islam, yakni keyakinan Islam.[8]



v Pemikiran Ibnu Farabi Dalam Filsafat

Dalam membahas pemikiran Ibnu Farabi ini kami membagi pemikirannya menjadi beberapa segi diantaranya, metafisika, akhlaq, jiwa dan lain sebagainya.

I. Metafisika

Pembahasan mengenai Metafisika ini al-Farabi memulai bahasan mengenai masalah wujud Allah. Al-Farabi mengemukakan dalil dalam falsafah yang dikenal dengan dalil (Ontologi) : Dalil yang berpijak pada konsep wajib dan Mungkin.[9] Menurut Al-Farabi wujud ada dua macam :

a) Mumkin Wujud, adanya wujud yang nyata karena ada yang lainnya. Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari.

b) Wajibul Wujud Lidzatihi, adanya wujud yang nyata dengan terjadi dengan sendirinya. Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujudnya. Ia adalah sebab yang pertama bagi semua wujud.[10]

c) Kata al-Farabi untuk mengetahui Tuhan dapat dibuktikan dengan adanya bukti dari teori gerak. Semua yang terdapat dialam semesta selalu bergerak yang pada gilirannya bermuara pada satu hal yang pasti, yaitu adanya sesuatu yang tidak bergerak tetapi bertindak sebagai penggerak. [11]

Kemudian pada masalah lainya seperti zat Tuhan, Bagi Al-Farabi tuhan adalah aql murni, Ia esa adanya dan yang menjadi objek pemikirannya hanya substansi-Nya. Jadi tuhan adalah ’aql, ‘aqil, dan ma’qul (akal, substansi yang berfikir dan substansi yang difikirkan).[12]

Tuhan yang digambarkan oleh Al-Farabi adalah tuhan yang jauh dari makhluq-Nya, dan ia tidak dicapai kecuali dengan jalan renungan dan amalan serta pengalaman-pengalaman tasawuf.[13]

Kemudian mengenai penciptaan alam semesta, Al-Farabi yang ingin mengselaraskan filsafat Yunani dengan Islam sehingga cendrung menggunakan teori Emanasi yang diusung Platonisme[14], menurutnya tuhan menciptakan sesuatu dengan bahan yang sudah ada secara pancaran.[15] Pancaran (emanasi) alam dari tuhan terjadi sebagai akibat aktivitas tuhan memikirkan (berta’aqul terhadap) diri-Nya. Aktivitas memikirkan itu menjadi sebab bagi pemancaran segenap alam ciptaan-Nya. Seperti pemancaran sinar dari matahari.[16] Perbedaan teori Emanasi yang dianut Platonisme Yunani dengan Emanasi Al-Farabi terletak pada asal dari pancaran tersebut. Menurut filsafat Platonisme bahwa asal pancaran itu bukanlah tuhan, akan tetapi bagi filsafat yunani tuhan bukan pencipta alam, melainkan sebagai penggerak pertama (Prima Causa). Sementara Al-Farabi menyatakan bahwa asal dari pancaran tersebut adalah Tuhan (pencipta)[17]

II. Jiwa

Filsafat Plato , Aristoteles serta Plotinus, mempengaruhi Al-Farabi tentang jiwa. Jiwa menurut Al-Farabi bersifat Rohani, ia terwujud setelah adanya badan, dan ia tidak bisa berpindah-pindah dari badan kebadan yang lain.

Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, ia berasal dari alam Ilahi sementara jasad berasal dari alam khalq, berbentuk,berupa, berkadar dan bergerak. Dalam jiwa manusia mempunyai daya gerak (makan, memelihara, berkembang), daya mengetahui (merasa, imaginasi), daya berfikir (akal praktis, akal teoritis) sementara daya teoritis (akal potensial, akal aktual, akal mustafad) Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membagi antara Jiwa Khalidah dan Jiwa Fana. Jiwa khalidah adalah jiwa yang mendapatkan kebahagiaan, karena ia bisa melepaskan diri dari kenikmatan jasmani, ia tidak hancur karena hancurnya jasad. Yang termasuk kelompok ini adalah akal mustafad. Sementara jiwa fana tidak sempurna, ia akan hancur seiring hancurnya jasad. Ia akan kekal, tapi dalam kesengsaraan.[18]

III. Politik

Dalam pemikiran politiknya, Al-Farabi banyak terpengaruh pemikiran Platonisme disamping ia selaraskan dengan Islam.

Dalam pembahasannya mengenai Negara, Al-Farabi menyamakan Negara sama dengan Manusia, yakni seperti yang difahami bahwa Manusia memiliki organ-organ tubuh yang saling bekerja dengan baik. [19] Misalnya tangan dengan otak manusia,yang tangan diperintah oleh otak, demikian pula terkadang otak juga diatur oleh Hati yang memiliki perasaan yang mempertimbangkan baik atau buruknya. Menurutnya bahwa yang paling terpenting dari Negara adalah pemimpinnya. Oleh karena itu agar Negara menjadi baik dan maju hendaklah yang menjadi pemimpinnya adalah paling unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya. Dan ia harus memiliki kualitas-kualitas berupa kecerdasan, sehat jasmani, memiliki tutur kata yang baik, cinta pada pengetahuan, cepat tanggap, cinta akan kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, membela keadilan, dan tidak rakus serta menjauhi kelezatan-kelezatan jasmani. [20] namun dalam pemikirannya selanjutnya, karena A-Farabi ingin menselaraskan Filsafat Platonisme dengan Islam sehingga ia menambahkan sebuah syarat lagi bagi seorang pemimpin yang ideal yaitu: akal-fa’al, pemikiran Al-Farabi yang mulai memasuki alam khayalan dimana menurutnya sebuah Negara yang masyarakatnya adalah orang-orang yang suci dan kepala Negara atau pemimpin negaranya adalah seorang Nabi. Sehingga dari pemikiran ini dapatlah kita simpulakan bahwa A-farabi lebih banyak berbicara dalam hal teori dari pada relistis pragmatis, karena memang ia adalah seorang ahli fikir yang dalam.[21]

IV. Akhlaq

Dalam hal ini Al-Farabi menjelaskan bahwa akhlaq itu bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan yang merupakan tujuan tertinggi yang dirindui, maka wajar kalau masalah akhlaq adalah sesuatu yang paling banyak ditulis oleh Al-Farabi dalam berbagai kitabnya.

Dalam kitab Risalah al-Tanbih ‘ala subul al-Sa’adah dan Tahshil al-Sa’adah Al-Farabi menekankan ada empat jenis sifat utama yang harus dimiliki oleh setiap orang, untuk mendapatkan kebahagiaan didunia dan diakhirat. (1) Keutamaan Teoritis, prinsip-prinsip pengetahuan yang kita dapat sejak awal tanpa kita tahu cara dan asalnya. Juga termasuk dengan kontemplasi, penelitian, juga melalui belajar mengajar. (2) Keutamaan Pemikiran, adalah yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal bermanfaat dalam tujuan. (3) Keutamaan Akhlaq, bertujuan untuk mencari kebaikan, dan ini menjadi syarat keutamaan pemikiran. (4) Keutamaan Amaliah, dapat diperoleh dengan dua cara, pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang atau dengan cara lain yaitu dengan pemaksaan.[22]

V. Teori Kenabian

Karena pada masa Al-Farabi pemikiran yang berkembang mengenai kenabian adalah menolak akan kenabian seperti pemikiran Ahmad ibn ishaq al-Ruwandi dan Zakaria al-Razi, yang menolak akan eksistensi Kenabian[23]

Maka Al-Farabi yang memiliki pemikiran yang berbeda yakni menerima eksistensi kenabian membuat Al-Farabi mencoba melawan pemikiran tersebut. Meskipun Al-Farabi dikenal sebagai seorang yang rasionalis namun hal itu bukan berarti ia menolak eksistensi wahyu Tuhan dan Kenabian. [24]

Menurutnya Adanya Nabi dan Rasul yang diutus kedunia, bahwa pada umat manusia, akal dan potensi jiwa mereka terdapat perbedaan keunggulan dalam aktualitas dalam menangkap informasi secara utuh dan lengkap. Seperti kenyataan bahwa ada orang yang unggul dari orang lain. Dengan demikian tidak mustahil bahwa ada orang yang hatinya mampu menerima wahyu, sementara orang lain tidak sanggup. [25] kemudian menurut Al-Farabi ciri khas seorang nabi adalah bahwa seorang Nabi mempunyai daya imaginasi yang kuat, dimana obyek indrawi diluar tidak dapat mempengaruhinya. Jadi manakala ia menerima visi kebenaran atau wahyu dari tuhan melalui aql fa’al ia mampu berkomunikasi dengan baik. Al-Farabi kembali menambahkan bahwa kemampuan seorang Nabi berhubungan dengan malaikat Jibril tanpa diawali latihan, karena Allah telah menganugerahinya dengan kekuatan suci (Qudsiyah). Sementara filsuf dapat berhubungan dengan Tuhan melalui akal Mustafad (perolehan) yang sudah terlatih dan kuat daya tangkapnya, sehingga dapat menerima hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal. Dengan demikian antara nabi dan filsuf tidak sejajar tingkatannya, karena setiap nabi adalah filsuf sementara tidak semua filsuf itu nabi.[26] Karena adanya unsur pilihan. Kembali menurut Al-Farabi bahwa karena nabi dan filsuf sama-sama dapat berhubungan dengan Akal, maka antara wahyu dan filsafat tidak terdapat pertentangan.[27]

v Kesimpulan

Demikianlah pembahasan mengenai Ibnu Farabi atau Al-Farabi dalam setiap tokoh sudah menjadi hal yang lumrah bahwa manusia memiliki kekurangan dan kelebihan. Terkadang bertindak atau berperilaku benar dan juga salah. Dalam berfikir juga demikian salah dan benar memang tidak aneh lagi jika menimpa seseorang. Karena manusia memang tidak terlepas dari salah dan lupa. Apalagi dalam masalah filsafat. Lebih tidak aneh lagi kalau seorang Filosuf berfikir salah, atau nyeleneh. Untuk itu dalam pemikiran Ibnu Farabi ini tentunya berlaku hukum tersebut yaitu ada yang salah dan ada pula yang benar. maka alangkah indahnya apa yang dikatakan Syeikh Bin Baz ketika ditanya bagaimana pandangan beliau terhadap Dr. Sayyid Qutb, maka Syeikh Bin Baz menjawab dengan kata-kata beliau yang indah; “Setiap manusia tidak akan terlepas dari benar dan salah. Maka yang benar dari beliau (Sayyid Qutb) maka ambilah, jika itu salah maka tinggalkanlah”.

v Daftar Pustaka

Aceh, Abu Bakar, “Sejarah Filsafat Islam”, Sala: CV. Ramadhani, Cet. II, 1982.

Dahlan, Abdul Aziz Pemikiran Filsafat dalam Islam, Padang: IAIN IB PRESS, 2000,

Drajat, Amroeni “Filsafat Islam Buat Yang Pingin Tahu,”, Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006

Hanafi, Ahmad, “Pengantar Filsafat Islam,” Bulan Bintang, Jakarta: cet.VI , 1996

Jamia’ah Arraniry,Proyek pembinaan Perguruan Tinggi Agama Iain ,“Filsafat Islam”

Nasution, Hasyimsyah, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. III, 2002.

Nasution,Harun, “Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam”, Jakarta: Pt Bulan Bintang, Cet. X, 1999

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
[1] Hasyimsyah Nasution, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, Cet. III, Hal. 32

[2] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Iain Jamia’ah Arraniry, “Filsafat Islam” ,Hal. 35

[3] “Ibid”., Hal. 35

[4] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, Cet. VI, Hal. 82

[5] Hasyimsyah Nasution. “Op. Cit”., Hal. 33

[6] Iain Jami’ah Arraniry, “Op. Cit”., Hal. 42

[7] “Ibid”., Hal. 42-43

[8] Abu Bakar Aceh, “Sejarah Filsafat Islam”, Sala: CV. Ramadhani, 1982. Cet 2. Hal 51

[9] Iain Jami’ah Arraniry, “Op. Cit”.,Hal. 45

[10] Ahmad Hanafi, “Op. Cit”., Hal.90

[11] Amroeni Drajat, “Filsafat Islam Buat Yang Pingin Tahu,”, Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006, Hal. 32

[12] Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 36

[13] Ahmad Hanafi, “Op. Cit”., Hal. 91

[14] Ia Mengambil Teori Plotinus Yang Mengatakan Bahwa ‘’Dari Yang Satu (Tuhan) Hanya Satu Saja Yang Melimpah’’. Berdasarkan Itu Maka Masalahnya Adalah Alam Ini Dijadikan Secara Tidak Langsung, Karena Sukar Difahami Jika Alam Yang Beraneka Ini Dijadikan Langsung Karena Dapat Menyentuh Keesaan Tuhan. Jami’ah Arraniry, “Op. Cit”., Hal. 52

[15] Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 37

[16] Abdul Aziz Dahlan, “Pemikiran Filsafat Dalam Islam”, Padang: Iain Ib Press, 2000, Cet. II, Hal. 65

[17] “Ibid”

[18] Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 40

[19] Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Pt. Bulan Bintang, 1999, Cet X, Hal. 26

[20] Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 41

[21] Ahmad Hanafi, “Op. Cit”., Hal. 97. Lihat Pula H.M. Rasyidi Dkk, “Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat,” Jakarta: Pt.Bulan Bintang., 1988, Cet. I, Hal. 120

[22] Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 43

[23] “Ibid”., Hal. 44

[24] Abdul Aziz Dahlan, “Op. Cit”., Hal. 73

[25] “Ibid”., Hal. 74

[26] Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 44

[27] “Ibid”., Hal. 44






0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama