“Semua adalah relatif “(All is relatif) merupakan slogan generasi zaman postmodern di Barat, kata Michael Fackerell, seorang miissonaris asal Amerika. Ia bagaikan firman tanpa tuhan, dan sabda tanpa nabi. Ia menyerupai undang-undang, tapi tanpa penguasa. Tepatnya ia doktrin ideologis, tapi tanpa partai. Slogan itu memang enak didengar dan menjanjikan kenikmatan syahwat manusiawi. Baik buruk, salah benar, porno tidak porno, sopan tidak sopan, bahkan dosa tidak dosa adalah nisbi belaka. Artinya tergantung siapa yang menilainya.
Slogan relativisme ini sebenarnya lahir dari kebencian. Kebencian pemikir Barat modern Barat terhadap agama. Benci terhadap sesuatu yang mutlak dan mengikat. Generasi posmoderins pun mewarisi kebencian ini. Tapi semua orang tahu, kebencian tidak pernah bias menghasilkan kearifan dan kebenaran. Bahkan persahabtan dan persaudaraan tidak selalu bias berkompromi dengan kebenaran. Aristotle rela memilih kebenaran daripada persahabatan.
Tidak puas dengan skedar membenci, posmoderinis lalu ingin menguasasi agama-agama. ‘Untuk menjadi wasit tidak perlu menjadi pemaian’ itu mingkin logikanya. Untuk menguasai agama tidak perlu beragama. Itulah sebabnya mereka lalu membuat “teologi-teologi” baru yang mengikat. Kini teologi dihadapkan dengan psudo-teologi. Agama diadu dengan ideology. Doktrin teologi ‘Pluralisme agama berada di atas agama-agama. “Global Theology” dan “Transcendent Unity of Religions” mulai dijual bebas. Agar nama Tuhan juga menjadi glaobal diciptakanlah nama ‘tuhan baru’ yakni The One, Tuhan semua agama. Tapi bagaimana konsepnya, tidak jelas betul.
Bukan hanya itu “Semua adalah relatif” kemudian menjadi sebuah kerangka berfikir. “Berfikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar,” sebab kebenaran itu relatif. “Jangan terlalu lantang berbicara tentanga kebenran, dan jangan menegur kesalahan,” karena kebenaran itu relatif. “Benar bagi Anda belum tentu banra bagi kami,” Semua adalah relatif. Kalau Anda mengimani sesuatu jangan terlalu yakin keimanan anda benar, iman orang lain mungkin juga benar. Intinya semua diarahkan agar tidak merasa pasati tentang kebenaran. Kalimat bijak Abraham Lincoln “No one has the right to choose to do what is wrong”, tentu tidak sesuai dengan kerangka fikir ini. Hadits Nabi man ra’a minkum munkaran…bukan hanya dikategorikan salah oleh kerangka fikir ini, tapi justru menambah criteria Islam sebagai agama jahat (evil religion) versi Cgarles Kimbal.
Jadi merasa benar menjadi seperti “makruh” dan merasa benar sendiri tentu “haram”. Para artis dan selebriti negeri ini pun ikut menikmati slogan ini. Dengan penuh emosi dan marah ada yang berteriak “Semuanya benar dan harus dihormati”. Yang m,embuka aurat dan menutup aurat sama baiknya. Sadar atau tidak, mereka sedang men-“dakwah”-kan ayat-ayat syetan Nietzscge, tokoh postmodernisme dan nihilisme. “Kalau Anda mengklaim sesuatu itu benar, orang lain juga berhak mengklaim itu salah”. Kalau Anda mersa agama Anda benar, orang lain berhak mengatakan agama Anda salah. Para cendikiawan Muslim pun punya profesi baru, yaitu membuka pintu surga Tuhan untuk pemeluk semua agama. “Surga Tuhan masih terlalu luas kalau hanya untuk ummat Islam,” kata mereka, seakan sudah mengukur diameter surga Allah dan malah mendahului iradat Allah, mereka bicara sepearti atas nama Tuhan.
Slogan “Semua dalah relatif” kemudian diarahkan menjadi kesimpulan “Disana tidak ada kebenaran mutlak”. Kebenaran, moralitas, nilai dan lain-lain adalah relatif belaka. Tapi karena asalnya adalah kebencian maka ia menjadi tidak logis. Kalau Anda mengatakan “Tidak ada kebenaran mutlak” maka kata-kata Anda itu sendiri sudah mutlak, padahal Anda mengatakan semua relatif. Kalau Anda mengatakan ‘semua adalah relatif” atau “semua kebanran adalah relatif” maka pernyataan Anda itu hyga relatif alias tidak absolut. Kalau semua adalah relatif, maka yang mengatakan ‘Disana ada kebenaran mutlak’ sama benarnya dengan tang menyatakan ‘disana tidak ada kebenaran mutlak’. Tapi ini self-contradictory yang absurd.
Mengahapus kepercayaan pada kebenaran mutlak ternyata bukan mudah. Di negeri liberal sekalipun, sperti Amerika Serikat sendiri, 70% penganut Kristen missionaries dan 27% penganut atheis dan agnstik percaya pada kebenaran mutlak. Bahkan 38% warga negara dewasanya percaya pada kebanaran mutlak. Karena itu doktrin posmo pun berubah: “Anda boleh percaya yang absolut asal tidak mencoba memaksakan kepercayaan Anda pada orang lain”. Artinya tidak ada siapapun yang boleh menyalahkan siapa dan melarang siapa. Nah, tetapi pernyataan ini sendiri telah melarang orang lain. Bagi kalangan Katholik di Barat ini adalah siakap pengecut, pemalas dan bahkan hipokrit. Bagi kita pernyataan ini menghapuskan amar ma’ruf nahi munkar.
Slogan “Semua adalah relatif” pun menemukan alas an baru “yang absolut hanyalah Tuhan”. Aromanya seperti Islami, tapi sejatinya malah menjebak. Mulanya seperti berkatian dengan masalah ontology. Selain Tuhan adalah relatif. Namun ternyata dibawa kepada persoalan epistemology. Al-Quran yang diwahykan dalam bahasa manusia, Hadits yang disabdakan Nabi adalah relatif belaka, tidak absolut. Sebab semua dihasilkan dalam ruang dan waktu manusia yang menyejarah. Padahal Allah berfirman al-Haq min rabbika (dari Tuhanmu) bukan ‘inda rabbika (pada sisi Tuhanmu). “Dari Tuhanmu” berarti berasal dari sana dan sudah berada di sini, di masa kini dalam ruang dan waktu kehidupan manusia. Jadi, yang manusiawi dan menyejarah sebenarnya bias mutlak.
Slogan relativisme ini sebenarnya lahir dari kebencian. Kebencian pemikir Barat modern Barat terhadap agama. Benci terhadap sesuatu yang mutlak dan mengikat. Generasi posmoderins pun mewarisi kebencian ini. Tapi semua orang tahu, kebencian tidak pernah bias menghasilkan kearifan dan kebenaran. Bahkan persahabtan dan persaudaraan tidak selalu bias berkompromi dengan kebenaran. Aristotle rela memilih kebenaran daripada persahabatan.
Tidak puas dengan skedar membenci, posmoderinis lalu ingin menguasasi agama-agama. ‘Untuk menjadi wasit tidak perlu menjadi pemaian’ itu mingkin logikanya. Untuk menguasai agama tidak perlu beragama. Itulah sebabnya mereka lalu membuat “teologi-teologi” baru yang mengikat. Kini teologi dihadapkan dengan psudo-teologi. Agama diadu dengan ideology. Doktrin teologi ‘Pluralisme agama berada di atas agama-agama. “Global Theology” dan “Transcendent Unity of Religions” mulai dijual bebas. Agar nama Tuhan juga menjadi glaobal diciptakanlah nama ‘tuhan baru’ yakni The One, Tuhan semua agama. Tapi bagaimana konsepnya, tidak jelas betul.
Bukan hanya itu “Semua adalah relatif” kemudian menjadi sebuah kerangka berfikir. “Berfikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar,” sebab kebenaran itu relatif. “Jangan terlalu lantang berbicara tentanga kebenran, dan jangan menegur kesalahan,” karena kebenaran itu relatif. “Benar bagi Anda belum tentu banra bagi kami,” Semua adalah relatif. Kalau Anda mengimani sesuatu jangan terlalu yakin keimanan anda benar, iman orang lain mungkin juga benar. Intinya semua diarahkan agar tidak merasa pasati tentang kebenaran. Kalimat bijak Abraham Lincoln “No one has the right to choose to do what is wrong”, tentu tidak sesuai dengan kerangka fikir ini. Hadits Nabi man ra’a minkum munkaran…bukan hanya dikategorikan salah oleh kerangka fikir ini, tapi justru menambah criteria Islam sebagai agama jahat (evil religion) versi Cgarles Kimbal.
Jadi merasa benar menjadi seperti “makruh” dan merasa benar sendiri tentu “haram”. Para artis dan selebriti negeri ini pun ikut menikmati slogan ini. Dengan penuh emosi dan marah ada yang berteriak “Semuanya benar dan harus dihormati”. Yang m,embuka aurat dan menutup aurat sama baiknya. Sadar atau tidak, mereka sedang men-“dakwah”-kan ayat-ayat syetan Nietzscge, tokoh postmodernisme dan nihilisme. “Kalau Anda mengklaim sesuatu itu benar, orang lain juga berhak mengklaim itu salah”. Kalau Anda mersa agama Anda benar, orang lain berhak mengatakan agama Anda salah. Para cendikiawan Muslim pun punya profesi baru, yaitu membuka pintu surga Tuhan untuk pemeluk semua agama. “Surga Tuhan masih terlalu luas kalau hanya untuk ummat Islam,” kata mereka, seakan sudah mengukur diameter surga Allah dan malah mendahului iradat Allah, mereka bicara sepearti atas nama Tuhan.
Slogan “Semua dalah relatif” kemudian diarahkan menjadi kesimpulan “Disana tidak ada kebenaran mutlak”. Kebenaran, moralitas, nilai dan lain-lain adalah relatif belaka. Tapi karena asalnya adalah kebencian maka ia menjadi tidak logis. Kalau Anda mengatakan “Tidak ada kebenaran mutlak” maka kata-kata Anda itu sendiri sudah mutlak, padahal Anda mengatakan semua relatif. Kalau Anda mengatakan ‘semua adalah relatif” atau “semua kebanran adalah relatif” maka pernyataan Anda itu hyga relatif alias tidak absolut. Kalau semua adalah relatif, maka yang mengatakan ‘Disana ada kebenaran mutlak’ sama benarnya dengan tang menyatakan ‘disana tidak ada kebenaran mutlak’. Tapi ini self-contradictory yang absurd.
Mengahapus kepercayaan pada kebenaran mutlak ternyata bukan mudah. Di negeri liberal sekalipun, sperti Amerika Serikat sendiri, 70% penganut Kristen missionaries dan 27% penganut atheis dan agnstik percaya pada kebenaran mutlak. Bahkan 38% warga negara dewasanya percaya pada kebanaran mutlak. Karena itu doktrin posmo pun berubah: “Anda boleh percaya yang absolut asal tidak mencoba memaksakan kepercayaan Anda pada orang lain”. Artinya tidak ada siapapun yang boleh menyalahkan siapa dan melarang siapa. Nah, tetapi pernyataan ini sendiri telah melarang orang lain. Bagi kalangan Katholik di Barat ini adalah siakap pengecut, pemalas dan bahkan hipokrit. Bagi kita pernyataan ini menghapuskan amar ma’ruf nahi munkar.
Slogan “Semua adalah relatif” pun menemukan alas an baru “yang absolut hanyalah Tuhan”. Aromanya seperti Islami, tapi sejatinya malah menjebak. Mulanya seperti berkatian dengan masalah ontology. Selain Tuhan adalah relatif. Namun ternyata dibawa kepada persoalan epistemology. Al-Quran yang diwahykan dalam bahasa manusia, Hadits yang disabdakan Nabi adalah relatif belaka, tidak absolut. Sebab semua dihasilkan dalam ruang dan waktu manusia yang menyejarah. Padahal Allah berfirman al-Haq min rabbika (dari Tuhanmu) bukan ‘inda rabbika (pada sisi Tuhanmu). “Dari Tuhanmu” berarti berasal dari sana dan sudah berada di sini, di masa kini dalam ruang dan waktu kehidupan manusia. Jadi, yang manusiawi dan menyejarah sebenarnya bias mutlak.
kebenaran hanyalah hak Mutlaq bagi Allah...
BalasHapusjika kebenaran disandarkan kepada akal maka hasilnya akan selalu relatif tergantung siapa yang memandang..
BalasHapusjika kebenaran disandarkan keapda ilmu dan sains maka ilmu pengetahuan sifatnya probability artinya berdasakranaa kemungkinan.. tidak pasti...
maka kebenaran itu mutlaq milik Allah.. Allahu Akbar....
Posting Komentar