Meluruskan Pemahaman Tentang Poligami ( 2 )

Hikmah- hikmah dibalik Poligami

Paling tidak, ada tiga bentuk maslahat yang bisa di dapat dari dibolehkanya poligami sampai empat istri.[1] :
Maslahat sosial : yaitu melonjaknya jumlah perempuan jauh di atas jumlah laki-laki. Menurut data statistik Finladia, disebutkan bahwa setiap empat bayi yang lahir, maka tiga diantaranya adalah perempun, sedang sisanya adalah laki- laki. Menurut salah satu sumber yang dipercaya, bahwa jumlah wanita Indonesia 68 %, dan pria hanya 32 %. Bahkan, di AS jumlah perempuan delapan kali lebih banyak daripada laki-laki. Di Guena ada 122 perempuan untuk 100 laki-laki. Nathan and Julie Here Hare di dalam Crisis in Black Sexsual Politics mengungkapkan bahwa di AS ada krisis gender pada masyarakat kulit hitam. Satu dari 20 pria kulit hitam meninggal dunia sebelum berumur 21 tahun. Bagi yang berumur 20-35, penyebab kematian utama adalah pembunuhan. Di samping itu banyak laki-laki kulit hitam yang tidak punya pekerjaan, dipenjara atau kecanduan obat “. Bahkan Philip L. Kilbridge di dalam tulisannya , Plural Marriage for Our Times mengatakan : “ Akibatnya satu dari 4 perempuan kulit hitam, pada umur 40 tidak pernah menikah, dan pada perempuan kulit putih terdapat satu dari 10 perempuan tidak pernah menikah pada usia yang sama. Banyak perempuan kulit hitam menjadi single mother sebelum usia 20 tahun. Akibat ketimpangan dalam man-sharing, perempuan-perempuan ini banyak yang kemudian berselingkuh dengan laki-laki yang sudah menikah “ [2] Ini dalam keadaan damai.


Adapun dalam keadaan perang, maka jumlah laki- laki akan turun drastis dari jumlah perempaun. Di Eropa, ketika terjadi perang dunia dua kali selama seperempat abad, telah terbunuh berjuta- juta laki- laki. Ini menyebabkan beribu- ribu perempuan menjadi janda dan tanpa suami. Sehingga di sebagian negara Eropa, terutama Jerman , muncul berbagai demonstrasi yang dilakukan oleh perhimpunan – perhimpunan wanita menuntut di perlakukannya “ poligami “. Karena jumlah perempuan di Jerman adalah 7,3 juta lebih banyak daripada laki-laki (3,3 jutanya adalah janda). Banyak di antara perempuan-perempuan itu membutuhkan laki-laki bukan hanya sebagai pendamping, tapi juga pemberi nafkah keluarga. [3] Bahkan sebelum Jerman, di Perancis, setelah Perang Dunia I , bermunculan permintaan untuk menghapus aturan yang menghukum seseorang yang menikah lebih dari satu istri, dan permintaan untuk dibolehkannya poligami, ini bertujuan untuk menghindari kerusakan yang timbul akibat meluapnya jumlah perempuan yang tidak terurusi. [4]

Kenyataan ini , mampu menepis anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa data statistik yang ada hanya menyebutkan banyaknya jumlah wanita itu hanya yang sudah berusia senja ( di atas 65 tahun) ataupun dibawah 20 tahun . Apalagi kalau kita lihat akhir- akhir ini, setelah terjadinya perang di Afghonistan dan Iraq dan berpagai kontak senjata yang ada di negara lainnya , tentunya yang banyak terbunuh adalah laki- laki yang ikut perang.

Yang kedua : maslahat pribadi, dan ini sangat banyak sekali, diantaranya , jika istrinya mandul, padahal suaminya punya keinginan untuk mempunyai banyak anak, dan ini merupakan fitroh manusia. Dalam hal ini, hanya ada hanya ada dua pilihan : mencerai istrinya atau menikah lagi. Tentunya pilihan terakhir akan lebih ringan bagi wanita.

Jika istri tertimpa penyakit menahun yang menghalangi suami untuk bisa berhubungan. Jika suami banyak bepergian dalam berbagai urusan kenegaraan atau yang lainnya. Jika suami mempunyai kekuatan sex yang sangat tinggi.

Yang ketiga : masalahat akhlak.

Pelarangan untuk berpoligami, akan mengakibatkan dampak yang sangat jelek terhadap akhlak. Karena perempuan –perempuan yang tidak mendapatkan suami , mereka akan bekerja mencari nafkah sendiri, dan karena kebutuhan sex yang tidak terpenuhi mengakibatkan kegoncangan jiwa, ketidak tenangan di dalam bersikap , kekecewaan , kegelisahan , mudah tersingung dan sebagainya. [5] Karena tidak tersalurkan, sebagian mereka dengan terpaksa atau sukarela melampiaskannya dengan jalan yang haram, sehingga timbulah perzinaan dimana- mana sebagaimana kita lihat sekarang.

Termasuk dampak pelarangan poligami adalah membengkaknya jumlah anak yang lahir hasil perzinaan. Koran “ As Sya’b “ edisi Agustus 1959 menyebutkan : bahwa anak yang lahir diluar pernikahan di Amerika Serikat mencapai 200 ribu anak pertahun. [6]

Selain itu, juga akan bermunculan penyakit- penyakit kelamin akibat terjadinya hubungan di luar pernikahan , seperti AIDS dan sejenisnya. Juga, secara otomatis akan menyebabkan retaknya hubungan keluarga dan hilangnya nasab .

Oleh karenanya, melihat dampak dilarangnya poligami tersebut , Jerman akhirnya mengijinkan rakyatnya untuk melakukan poligami. Dan tidak menutup kemungkinan negara- negara Eropa lainnya akan mengikuti jejak Jerman. [7]

Selain itu disana ada beberapa faedah lainnya, sebagaimana di sebutkan oleh salah seorang wanita karir, Sitoresmi Prabuningrat, istri ketiga Deby Nasution bahwa poligami sangat menolong karir. Karena kesibukan wanita karir dalam kiprahnya tak dapat dihindari. Saat wanita karir itu menjadi istri tunggal, suami akan terabaikan karena sempitnya peluang waktu buat suami. Poligami sangat menolong wanita karir untuk tetap eksis. Artinya, kekurangannya memberikan perhatian kepada suami telah dibantu pemenuhannya oleh istri-istri lain. Inilah solusi yang paling bijaksana. [8]

Bahkan, bukan hanya wanita karir saja yang bisa merasakan, bagi wanita yang berfisik lemah, akan banyak terbantu dengan adanya poligami, karena istri- istri lainnya bisa membantunya merawat anak, atau menyelesaikan urusan dapur dan perawatan rumah. Karena menurut pengalaman dan kenyataan yang ada, seorang perempuan yang lemah fisiknya tidak akan mungkin mampu menyelesaikan urusan rumah tangga yang begitu banyak dan berat , belum lagi untuk merawat anak- anak yang masih kecil, yang harus di tunggui setiap saat. Waktu dan tenaga seorang istri, sangatlah terbatas untuk mengerjakan itusemua tanpa bantuan suami atau istri lainnya.

Begitu juga, poligami menjadikan kesempatan fastabiqul khairat (saling berlomba dalam kebaikan) bagi istri-istri, untuk berbakti diri kepada suami, karena hal itu merupakan ibadah. Poligami menjadikan ajang kompetisi positif antar istri-istri untuk semakin meningkatkan intensitas ibadah tersebut.

Bagi Kyai Nur Iskandar bahkan poligami lebih banyak manisnya., dari pada pahitnya. Salah satu nilai positif yang beliau petik dari poligami adalah lebih freshnya pikiran. Sebab, dengan poligami dia dapat melakukan sharing dengan istri-istri, mendiskusikan banyak hal sehingga beban pikiran pun terasa ringan, terutama beban dakwah. Mereka ikut berpartisipasi menangani beberapa pesantren yang di asuhnya secara langsung. Jadi, beliau tidak perlu repot-repot mengurusi sekian banyak pesantren. Sebab, istri-istrinya sangat siap membantu. [9]

Beberapa keterangan tentang faedah poligami di atas, bukan berarti di sana tidak ada madhorot akibat di bolehkannya poligami. Dalam praktek di lapangan, ternyata tidak semua yang melakukan poligami bisa adil dan mengalami kebahagian , sebagaimana yang di sebutkan di atas. Dan itu kenyataan yang harus kita akui. Akan tetapi untuk menyelesaikan masalah tersebut , solusinya bukan dengan melarang syareat poligami dan berusaha dengan segala cara,walau tanpa dasar ilmu, untuk mengharamkan poligami , bahkan sekalipun harus menyetir dalil- dalil yang saling kontradiksi dan secara parsial. Beberapa pemikir dan pemimpin reformasi dalam masyarakat Islam berusaha untuk mencari solusinya. Kita dapatkan, umpamnya Syekh Muhammad Abduh, ketika melihat kenyataan pahit yang terjadi di masyarakat akibat poligami, beliau melontarkan solusinya dengan memperketat bolehnya poligami yaitu seorang yang ingin berpoligami harus melaporkan “ kemampuan “untuk berbuat adil kepada yang berwenang dan pemrintah diminta untuk menghukum poligamitor yang tidak berbuat adil. Begitu juga harus di terapkan hukuman “ hajr” terhadap poligamitor kecuali ada masalah darurat yang diketahui oleh pengadilan , seperti istri yang sakit atau mandul [10] .

Qosim Amin mengusulkan agar pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya melarang poligami , baik dengan syarat maupun tanpa syarat demi kemaslahatan umat.[11] Hal senada juga dilontarkan oleh Syekh Rosyid Ridlo. [12]

Solusi-solusi yang dilontarkan tersebut, kalau diteliti secara seksama, kuranglah pas untuk di terapkan. Hal itu berdasarkan beberapa pertimbangan , diantaranya :

Pertama : Mafsadahnya jauh lebih banyak dari pada masalahat dibolehkannya poligami seperti aslinya dengan syarat adil. Mafsadah tersebut berupa menyebarnya zina dan rusaknya keharmonisan rumah tangga , lahirnya bayi- bayi terlantar ,ketimpangan- ketimbangan sosial dan lain-lainnya, sebagaimana yang telah di terangkandi atas.

Kedua : Terbukti di lapangan bahwa kerusakan yang terjadi di masyarakat sebagian besar bukanlah akibat praktek poligami yang salah. Bahkan empat puluh lima tahun yang lalu, ketika poligami sangat berkembang pesat di Mesir, melalui data statistik Kantor Lembaga Pelayanan Masyarakat, dari banyak terlantarnya keluarga, hanya 3% saja di akibatkan oleh praktek poligami yang tidak memenuhi syarat adil. Adapun yang 97 % di akibatkan masalah lain[13]. Itu pada saat poligami tumbuh subur . Kalau lihat sekarang, baik itu di Mesir, ataupun di negara lainnya, terutama di Indonesia, sangat sedikit sekali orang Islam yang mempraktekkan poligami,di banding yang bermonogami, terutama karena kondisi ekonomi dan politik yang tidak menentu. Maka , sangat tidak relevan untuk di terapkan undang- undang yang melarang Poligami.

Adapun keharusan orang yang mau berpoligami untuk melapor ke KUA atau Kantor Pendilan, ,supaya bisa dipertimbangkan kemampuannya , walupun usulan tersebut lebih moderat dibanding usulan yang pertama , akan tetapi, masih juga belum diperlukan manakala keadaannya seperti yang diterangkan di atas. Bahkan, Suria pernah memprakrelakn usulan tersebut , tapi berakhir dengan kegagalan. [14]

* Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana , Fakultas Studi Islam, Universitas Al Azhar, Mesir.

( Tulisan ini dinukil dari makalah : « Kesetaraan Gender dalam Pandangan Al Qur’an « 2003 karya ; Ahmad Zain An Najah, MA )

[1] DR. Ali Ali Ali Syahin, al I’lam binaqdli ma jaa fi kitab maqolatun fil Islam, Kairo, Darut Tiba’ah alMuhammadiyah , 1998 Cet. I hlm . 472.

[2] Majalah Sabili, edisi Agustus 2003

[3] DR. Ali Syahin, op.cit., hlm 473 .

[4] DR. Muh Bintaji, op.cit., hlm 193

[5] Prof. DR. dr. Dadang Hawari psikiater, Al- Qur’an , Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa , Jakarta : PT Dana Bhakti Prima Yasa, hlm 317.

[6] Sayid Sabiq, op.cit hlm 394-395

[7] Abdu al Nasir Taufik al ‘Athhor, Ta’addu al Zaaujaat mina nawahi diniyah wal ijtima’iyah wal qonuniyah , yang dinukil oleh DR. Ali Syahin, op.cit. hlm 476.

[8] Majalah Sabili, Agustus. 2003

[9] Ibid

[10] Muh Abduh, Rosyid Ridlo, Tafsir Al-Manar, Kairo : Haihah al Misriyah al Ammah lil Kitab,4/ 286-287.

[11] Tahrir al-Mar’ah : 154-155, Lihat Muh Bnitaji , op. cit, hlm 208.

[12] Muhammad Abduh , Rosyid Ridlo, op. cit, 4/ 297-298

[13] Syekh Mahmud Syltut, Islam Aqidan wa syari’atan , Kairo: Idaroh ‘Amah li al Tsaqofah al Islamiyah, AlAzhar, 1959, hlm 180

[14] Muh Bintaji , op.cit., hlm 231



Ditulis Oleh DR. Ahmad Zain An-Najah, M.A
sumber Ahmadzain.com

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama