Meluruskan Pemahaman Tentang Poligami ( 1 )

Orang – orang Barat yang fanatik, menyerang Islam dengan terang- terangan dan menjadikan isu poligami sebagai bentuk penghinaan dan diskriminasi terhadap perempuan. Padahal dalam masalah poligami , Islam tidaklah sendirian, agama Yahudi sendiri justru membolehkan poligami, bahkan tanpa batas. Para Nabi yang disebutkan di dalam Tauratsemuanya, tanpa terkecuali mempunyai isti lebih dari satu, bahkan disebutkan di dalam Taurat bahwa nabi Sulaiman mempunyai 700 istri merdeka dan 300 budak. Bahkan , bangsa- bangsa terdahulu telah mempraktekan konsepsi poligami, seperti bangsa Atsin, Cina, India, Babilion dan Atsur dan Mesir. Pada bangsa- bangsa tersebut poligami tidaklah di batasi sampai empat seperti yang ada dalam ajaran Islam. Dalam perundang- undangan Bangsa Cina dahulu,seorang laki- laki di perbolehkan berpoligami sampai 130 perempuan. Bahkan beberapa penguasa Cina memiliki 30.000 istri. [1]

Bahkan dalam agama Kristen sendiri, walaupun di dalam Injil tidak di sebutkan secara tegas konsepsi poligami ini , namun dalam surat Paulus I di dapati pernyataan bahwa bagi seorang petingi agama diharuskan mempunyai istri satu saja. Dan ini mengisyaratkan bahwa selain petinggi agama dibolehkan untuk beristri lebih dari satu. Ini terbukti dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Wester Mark pakar yang dipercaya dalam bidang sejarah pernikahan yang isinya : “ Bahwa poligami yang diakui Gereja masih ada hingga abad 17 M. Dan inipun tejadi pada keadaan- keadaan yang tidak bisa di dideteksi oleh Gereja dan Negara “ [2]

Di dalam Islam , konsepsi poligami telah diatur di dalam Q.s. Al –Nisa’ , ayat 3. Allah berfirman :

“ Jika kamu takut untuk tidak bisa berbuat adil terhadap perempuan – perempuan yatim ( jika mengawininya ) , maka nikahilah perempaun- perempuan lainnya yang kamu sukai : dua , tiga, empat . Jika kamu takut tidak bisa berbuat adil maka kawinilah satu saja “

Sebab turunnya ayat di atas :

Di sana ada beberapa sebab diturunkannya ayat di atas, diantaranya, yang paling kuat adalah apa yang diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair ketika beliau bertanya kepada Aisyah ra, tentang ayat tersebut : ( “ wain khiftum ala tuqsitu filyatama “ ) , Aisyah berkata : “ Wahai anak saudaraku , ini diturunkan kepada anak perempuan yatim, yang hidup di rumah walinya, dia ikut makan harta walinya tersebut, dan kebetulan walinya juga mengincar harta anak yatim tadi dan terpesona dengan kecantikannya, wali tersebut hendak menikahinya tapi tidak mau berbuat adil di dalam memberikan maharnya , dia ingin memberikan mahar sama dengan mahar perempuan- perempuan lainnya, maka Allah melarang untuk menikahinya kecuali kalau bisa berbuat adil di dalam memberikan mahar yang sederajat dengannya, dan memerintahkan untuk menikahi perempuan selainnya.Berkata Urwah , berkata Aisyah: “ Sesungguhnya para sahabat bertanya kepada Rosulullah saw setelah ayat ini, sehingga Allah menurunkan ayat ( wa yastaftunaka fi nisai ) Berkata Aisyah : “ Adapun firman Allah ( watarghobuna an tankihuhunna ) artinya jika salah satu dari kamu tidak mau menikahi anak yatim asuhannya, karena sedikit hartanya dan tidak cantik. Berkata Aisyah : “ Maka mereka dilarang menikahi anak yatim jika hanya mengejar kecantikan dan hartanya , kecuali kalau berbuat adil . Hal itu dikarenakan mereka tidak mau menikahinya jika mereka jelek dan sedikti hartanya “ [3]

Dalam menanggapi ayat di atas ada beberapa perbedaan pandangan :

Syekh Muhammad Thohir Asyur di dalam tafsirnya menguatkan apa yang dikatakan Aisyah ra. [4]. Sebelumnya, Ibnu Katsir, walaupun tidak terus terang, beliau cenderung juga untuk membenarkan riwayat Aisyah ini, dengan bukti bahwa hanya riwayat ini saja yang diungkapkan dalam tafsirnya dan menganggapnya riwayat yang paling shohih, padahal di sana ada riwayat- riwayat lain. [5]

Sayangnya sebagian orang menafsirkan ayat tersebut dengan penafsiran yang salah. Dengan mengikuti metode tafsir “ maudlui “ yang bersifat holistis , yaitu yang bersifat menyeluruh, menurut anggapan mereka, maka mereka membuat komparasi tiga ayat yang terkaitan dengan poligami. Yang pertama, adalah Qs. Al-Nisa’ : 3, ayat ini semacam memberi kesempatan untuk poligami. Kedua, adalah ayat yang memberi peringatan atau warningfain khiftum allâ ta‘dilû fawâhidah (kalau engkau sangsi tidak dapat berlaku adil, satu saja). Ketiga, Q.S. Al Nisa’ : 129 : “ walan tashtatî’û ‘an ta’dilî bainan nisâ’ walau harashtum. ( kamu sekalian (wahai kaum laki-laki!) tidak akan bisa berbuat adil antara isteri-isterimu, sekalipun engkau berusaha keras).
kesimpulannya adalah satu ayat membolehkan poligami, sementara dua ayat justru (seakan-akan) menafikan terwujudnya syarat pokok berpoligami, yaitu masalah keadilan. Kalau menggunakan proporsi seperti tadi, akan dihasilkan perbandingan dua ayat banding satu. Maka yang menang adalah yang dua ayat, sehingga poligami di larang dalam Islam. Bahkan untuk memperkuat argumen tersebut, mereka menambahkan bahwa ayat yang membolehkan poligami konteksnya adalah perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang. agar belaku adil:

Gaya penafsiran seperti itu, walaupun ada perbedaan sedikit telah dilakukan olehQosim Amin dalam bukunya “ Tahrir al Mar’ah “[6], kemudian diikuti oleh DR. Nasaruddin Umar, MA, Pembantu Rektor IV IAIN Syarif Hidayatulah Jakarta [7], Faqihuddin Abdul Kodir, MA, dosen STAIN Cirebon dan alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah[8], Dra. Maria Ulfah Anshori, Ketua Umum Fatayat NU [9], Khofifah Indar Parawangsa, mantan Ketua PP. Muslimat NU [10], M. Hilaly Basya peneliti YISC Al Azhar Jakarta , yang juga dosen Fisip di Universitas Muhammadiyah dalam tulisannya : “ Dari Konsumerisme hingga Ekstasi Seksual,” [11] Bahkan juga oleh Syafi’I Ma’arif , Ketua Umum Muhammadiyah, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin bisa di sebut di sini semuanya.



Gaya penafsiran seperti itu, menurut Syekh Muhammad Muhammad Madani , didalam ilmumantiq disebut “ Safsathoh “ , yaitu seperti orang yang menunjuk kepada gambar kuda, kemudian dia mengatakan : “ Ini kuda dan setiap kuda pasti bisa meringkik, maka ini bisa meringkik “ [12]

Lebih ironisnya lagi, cara menafsirkan ayat dengan sistem voting tersebut telah dijadikan pijakan di dalam pelarangan poligami di Tunis, yaitu tersebut di dalam pasal yang ke delapan belas , dan yang melanggarnya akan kena hukuman satu tahun penjara dan membayar denda sebesar 240 ribu frank [13] . Ayat tersebut, menurut Pemerintahan Tunis, merupakan bukti bahwa keadilan di dalam poligami tidak akan pernah terwujud selama-lamanya.[14]

Para ulama menyebutkan bahwa kata “ Adil “ pada ayat yang pertama ( Q.s al- Nisa’ : 3 ) artinya adalah keadilan di dalam nafkah dan tempat tinggal serta giliran tidur , dan juga hal lain- lainnya yang masih di dalam kemampuan manusia. Sedang “ adil “ pada Q.s. al- Nisa’ : 129 : “ walan tastathi’u an ta’dilu baina an nisai walau harastum “ ( Kamu tidak akan bisa berbuat adil, walaupun engkau berusaha keras ) adalah adil di dalam memberikan cinta alami yang ada dalam hati, dan ini memang di luar kemampuan manusia [15] .

Maka dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa tabiat manusia itu sendiri sesuai dengan sifat yang diciptakannya tidak akan bisa mengendalikan kecintaannya kepada sebagian orang saja.[16] Penafsiran semacam ini di dukung dengan dengan hadits Rosulullah saw , ketika beliau berdo’a kepada Allah mengadu tentang perbuatannya selama ini di dalam berpoligami : “ Ya Allah inilah pembagian saya ( kepada istri- istriku ) yang bisa saya perbuat, maka janganlah Engkau cela aku pada hal- hal yang Engkau mampu sedang saya tidak mampu ( yaitu kecintaan di dalam hati ) [17].

Ini juga di kuatkan dengan bunyi ayat berikutnya : “ fala tamilu kulla mail fatadzaruha kal mu’alaqoh “ ( Maka , hendaknya janganlah engkau terlalu cintai , sehingga yang lainnya menjadi terkatung- katung )

Ayat ini menerangkan dengan sangat jelas bahwa dalam masalah hati, Nabi Muhammad pun tidak bisa berlaku adil, karena bagaimanapun derajatnya seseorang , dia pasti ada kecenderungan untuk lebih mencintai kepada orang yang cocok dan sesuai dengannya . Masing- masing dari diri kita , tidak akan mungkin bisa mengingkari hal seperti itu, sebagaimana telah kita rasakan bersama dengan oran – orang yang kita cintai. Dan inilah fitrah manusia, dan Allah tidak akan meletakkan konsepsi yang bertentangan dengan fitroh yang telah Ia letakkan pada diri manusia.

Karena tidak ada kemampuan untuk memaksa hatinya dan membagi rata rasa cinta tersebut , maka Allah mewanti- wanti rosul-Nya agar tidak terlalu cenderung sekali kepada yang di cintainya dengan sikap yang membabi buta dan sangat menyolok , sehinggamengakibat istri- istri lainnya terkatung- katung. [18]

Kalau seandainya benar- benar Allah telah mengharamkan poligami dengan menggabungkan dua ayat di atas, kenapa Rosululah saw membiarkan para sahabat berpoligami dan tidak di larang sama sekali, padahal kedua ayat tersebut telah turun, kemudian diikuti oleh mayoritas kaum muslimin sepanjang sejarah, hingga datang metode penafsiran matematika yang unik tersebut , Ini sama saja menuduh kaum muslimin selama ini telah melakukan bentuk kemungkaran yang di haramkan oleh Allah, yaitu poligami. [19]Masalah ini, nampaknya tidak pernah tersentuh oleh mereka yang mengharamkan poligami.



Keterangan di atas , paling tidak , bisa menjawab apa yang dilontarkan oleh DR. Nasaruddin Umar[20] dalam Desertasinya yang mengatakan bahwa ayat Q.s. Al- Nisa/ 4: 129 ini dapat di artikan menolak poligami. Dan dari keterangan tersebut , beliau menyimpulkan bahwa metode penafsiran maudlui lebih ketat dan lebih tegas terhadap poligami dari pada metode tahlili [21]. Beliau juga mengatakan bahwa metode maudlui secara umum akan menghasilkan penafsiran yang lebih moderat terhadap ayat- ayat gender daripada metode tahlili, karena- menurutnya- metode ini ( mudlui) tidak banyak mengintrodusir budaya Timur Tengah yang cenderung memposisikan laki- laki lebih dominan daripada perempuan.[22]

Penulis, sangat kurang sependapat dengan apa yang beliau ungkapkan, karena terdapat kejanggalan dan kontradiksi di dalamnya. Keterangannya ada dalam beberapa point di bawah ini :

Pertama : Metode tahlili yang dipakai jumhur ulama sebenarnya , tidak sekedar menjadikan teks sebagai fokus perhatian saja, tanpa melihat apa dan bagaimana kasus itu terjadi. Kita temukan dalam buku- buku tafsir yang menggunkan metode tahlili, para mufasiirun menyebutkan juga asbanu nuzul, yang berarti memperhatikan apa dan bagaimana kasus tersebut hingga terjadi. Hampir rata- rata buku- buku tafsir yang besar ( muthowalat ) selalu menyebutkan asbabun nuzul, seperti tafsir at Thobari, tafsir al Qurtubi, tafsir IbnuKatsir dan lain-lainnya. Yang tidak menyebutkan asban nuzul hanyalah tafsir –tafsir yang ringkas, seperti , atau tafsir- tafsir yang cenderung membahas bahasa. Bahkan Ibnu Katsir , walaupun menggunakan metode tafsir tahlili, tapi dalam kenyataannya beliau juga menggunakan metode maudlui, walau tidak secara tuntas. Para ulama sering menyebut tafsirnya sebagai tafsir al Qur’an bil Qur’an, artinya beliau tidak terpaku pada teks yang ada, tetapi juga meihat teks-teks lain yang terkait dengannya. Metode ini ( pendekatan tekstual dan kontekstual ) juga di pakai oleh Imam Qurtubi , walaupun lebih cenderung kepada masalah-masalah hukum. Mufassir kontemporer yang menggunakan metode tahlili, tapi tidak terfokus pada teks itu saja, adalah tafsir Adwaul Bayan , karya Muhammad Amien Syenkiti. Dan banyak contoh- contoh lainnya. Hal ini diakui sendiri DR. Quraisy Syihab , beliau menyakinkan kita, sebagaimana yang di ungkap oleh DR. Siti Musdah Mulia , bahwa pada prinsipnya hampir seluruh mufassir menggunakan pendekatan tekstual dan konstektual dalam menarik makna dan pesan- pesan al Qur’an, atau upaya mereka mengistimbathkan dari teks- teks keagamaan, yang berbeda hanyalah intensitas penggunaan kedua pendekataan tersebut.[23]

Kedua : Gaya penafsiran yang dicontohkan oleh DR.

Nasaruddin Umar dalam membahas ayat poligami, yang menurutnya adalah metode Maudlui, atau metode penafsiran secara holistis, yakni penafsiran al Qur’an secara menyeluruh , pada hakekatnya belum memenuhi syarat dan banyak cacatnya. Karena beliau menggabungkan dua ayat yang berbeda artinya, sehingga menghasilkan kesimpulan yang salah. Itu , akibat dari pembahasanya yang tidak menyeluruh , karena tidak menyertakan hadits yang bisa menafsirkan ayat tersebt, sebagaimana yang di sebut di atas. Lagi pula beliau juga tidak menggabungkan dengan ayat lain seperti dalam Qs. Al Nisa’ : 82 ( Apakah mereka tidak mau tadabbur ( merenungi ) al-Qur’an , seandainya al-Qur’an tersebut bukan dari sisi Allah, tentunya mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya ) . Beliau tidak memperhatikan , bahwa menyimpulkan dua ayat poligami tersebut dengan metode yang beliau pakai, sebetulnya secara tidak langung menganggap ayat –ayat di dalam al-Qur’an saling bertentangan. Karena dalam satu ayat, Allah membolehkan poligami dengan syarat adil, sedangkan dalam ayat lain Allah menafikan adanya keadilan. Selain itu juga, beliau tidak memperhatikan dampak – dampak sosial, moral dan psikologi manusia. Sehingga, kesimpulan yang di dapat kurang tepat dan cenderung kontradiksi. Intinya, metode penafsiran yang beliau anggapnya bersifat holistis ataupun mencakup secara keseluruhan , justru kenyataannya malah parsial, sedang penafsiran para ulama dahulu yang di tuduh parsial dan hanya terfokus pada ayat tertentu, ternyata kenyataannya justru malah holistis dan menyeluruh.

Adapun firman Allah yang berbunyi : “ wain khiftum ala tuqsithu fil yatama “ , syarat tersebut tidak mempunyai mafhum, sebagaiamana yang dikatakan Imam Qutubi. Artinya , rasa kawatir untuk tidak berbuat adil terhadap anak- anak yatim , bukanlah syarat seseorang untuk melakukan poligami . Dan ini, menurut Imam Qurtubi sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin. [24]

Yang di katakan oleh Imam Qurtubi tersebut , sesuai dengan ayat lain yang terdapat dalam( Q.s al- Nisa’ , ayat : 101 ) : ( Apabila kamu bepergan di atas bumi ini, maka tidaklah mengapa, kamu meng-qhosor sholatmu , jika kamu kawatir akan diserang orang- orang kafir )

Syarat dalam ayat di atas, tidaklah mempunyai mafhum, artinya kekawatiran untuk di serang orang kafir, bukanlah syarat untuk dibolehkan melakukan sholat qoshor.

Ajaran Islam yang membolehkan seorang laki-laki berpoligami sampai empat istri dengan syarat adil, bukanlah bentuk diskriminasi atas perempuan, karena ajaran tersebut merupakan salah satu bentuk konsepsi yang diletakkan oleh Islam untuk menyeimbangkan kehidupan sosial. Islam di dalam meletakan ajarannya, melihatnya dengan pandangan yang jauh dan dengan pertimbangan yang bersifat universal serta mempertimbangkan segala seginya, tidak melihatnya dengan pandangan picik dan parsial. Tidak pula dengan melihat kepentingan satu pihak dengan mengorbanan kepentingan pihak yang lain. Artinya menghapus kebolehan seorang laki- laki berpoligami sampai empat istri, merupakan bentuk diskriminasi terhadap laki- laki dan mengekang kemampuan kreatifitas suami, sebaliknya membolehkan berpoligami lebih dari empat merupakan bentuk diskriminasi dan de – humanisasi perempuan serta membunuh perasaannya yang halus.

Syarat berlaku adil untuk dibolehkannya berpoligami , seperti yang disebutkan dalam Surat anNisa’ ayat : 3, nampaknya kurang cukup, menurut sebagian orang , sehingga perlu di tambah syarat lain yaitu “ harus dalam keadaan darurat “. Kalau diteliti secara seksama syarat yang di usulkan untuk ditambahkan dalam berpoligami selain berbuat adil, kurang banyak manfaatnya, karena syarat adil itu sudah mencakup ke arah tersebut. Dan sayang nya lagi yang mengusulkan syarat baru tersebut, belum menjelaskan batasan dlarurat yang sebenarnya.

Sebagian orang yang menolak adanya poligami, menyandarkan pendapat mereka pada larangan Rosulullah saw kepada Ali untuk menikah lagi, dan memadu putrinya, Fatimah.[25] Mereka mengatakan bahwa larangan ini menunjukkan bahwa Rosulullah saw sendiri melarang poligami.

Jadi, metode penafsiran matematika tadi belumlah dianggap kuat untuk menumbangkan dalil- dalil dibolehkannya poligami, sehingga hadits ini , dimunculkan ke permukaan.

Para ulama , alhamdulillah telah menerangkan kedudukan dan maksud hadits di atas. Syekh Sayid Sabiq, memberikan judul pada hadist Fatimah tadi dengan bunyi : “ Hak perempuan untuk mensyaratkan agar tidak dimadu “ [26]

Artinya bahwa larangan Rosulullah kepada Ali untuk memadu Fatimah, bukan karena Rosulullah melarang poligami. Akan tetapi Rosulullah ingin agar Ali ra menepati syarat yang telah diajukan oleh Rosulullah saw, dalam hal ini sebagai wali Fatimah, ketika menikahkannya dengan Fatimah. Apabila seorang wali perempuan mensyaratkan kepada mempelai laki- laki agar anaknya tidak di madu. Apabila mempelai laki- laki setuju, maka syarat itu syah dan wajib dilaksanakan , serta tidak boleh di langgar. Seandainya dilanggar, maka istri berhak mengajukan gugatan untuk membatalkan pernikahan .Begitulah , kira- kira arti dari judul yang di tulis Syekh Sayid Sabiq. Mungkin muncul sebuah pertanyaan, apakah syarat tersebut disebutkan dalam akad antara Ali ra. Dengan Fatimah ra ?Jawabannya, bahwa para Fuqoha telah menetapkan sebuah kaidah. “ al Masyrut ‘Urfan kal masyrut lafdhon “ ( sesuatu yang di syaratkan dengan kebiasaan bagaikan syarat yang di ucapkan ) Artinya walaupun Rosulullah saw tidak mengucapkan syarat tersebut di dalam akad nikah, akan tetapi syarat tersebut mestinya sudah dipahami , menurut kebiasaan, bahwa putri Nabi Muhammad saw, tidak boleh di madu. Dalam kasus ini, menurut teks hadist ini bahwa Fatimah hendak di madu dengan anknya Abu Jahal , pentolan orang musyrik yanh menjadi musuh utama Rosulullah saw.

Di sana ada jawaban versi lain, yaitu larangan Ali untuk memadu Fatimah berkait dengan konspirasi politik yang ada di baliknya. Diriwayatkan, Rasulullah saw berkhutbah di hadapan khalayak ramai, “Sejumlah keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bi Abi Thalib. Ketahuilah aku tidak mengizinkan (tiga kali).” Seperti disebutkan dalam Sirah Ibnu Hisyam, larangan tersebut karena Abu Jahal bermaksud ‘meminang’ Ali untuk menikahi puterinya. Abu Jahal punya maksud tertentu di balik perkawinan ‘politis’ ini. Hal inilah yang membuat Rasulullah saw tegas melarangnya. “Tak mungkin berkumpul puteri Nabiyullah dan musuh Allah dalam satu rumah,” tegas Rasulullah saw.[27] Seandainya larangan itu ditujukan kepada poligami, tentulah beliau melarang para sahabatnya berpoligami. Kalau itu terjadi, tak mungkin ada sahabat yang mau berpoligami. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Banyak para sahabat yang berpoligami.

* Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana , Fakultas Studi Islam, Universitas Al Azhar, Mesir.

( Tulisan ini dinukil dari makalah : « Kesetaraan Gender dalam Pandangan Al Qur’an « 2003 karya ; Ahmad Zain An Najah, MA )

[1] DR. Musthofa Siba’I , al Mar’ah baina al Fiqh wa al Qonun , Kairo: Darus Salam, 1998Cet. I hlm . 48

[2] DR. Musthofa, Siba’I , op.cit , hlm 49

[3] HR Bukhari , Shohih Bukhari, dicetak bersama Fathul Bari, karya Ibnu Hajar al Asqolani, Kairo, Darul Hadits, 1998, Cet. I 8/296 no hadist : 4574 , lihat juga Qurtubi, al Jami’ liahkamil al Qur’an, Beirut, Darul Kutub Ilmiyah, 1996, Cet. V 5/9-10, Sayid Qutub, Fi dhilali al Qur’an, ( Beirut, Darul al Syuruq, 1994 ) cet. XXIII, 1/ 577, Muhammad Al Thohir bin Asyur, Tafsir Al Tahrir wa al Tanwir, Tunis : Dar Tunisiyah ni nasyr , 1984 , 4/222

[4] Muhammad Al Thohir bin Asyur, op.cit . 4/222

[5] Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al Adhim, Beirut : Darul Ma’rifat, 1996, Cet. XIII, 1/ 460

[6] Tahrir al Mar’ah hlm 153-154, yang dinukil oleh Muhammad Bintaji di dalam “ Makanatul Mar’ah fi al- Qur’an al Kariem dan al Sunah al- Shohihah, Kairo : Darul al – Salam, 2000) cet. I hlm : 207

[7] DR. Nasaruddin Umar, MA , op.cit., hlm : 283.

[8] lihat, wawancara Ulil Abshor Abdilah dengan Faqihuddin di situs www. Islamlib.com ( 1/6/ 2003 ) .

[9] ibid, 28/ 4/ 2002

[10] Dalam Acara Perspektif Perempuan , sajian stasiun televisi ANTV, Sabtu malam (09/08) yang di muat pada majalah Sabili edisi Agustus 2003

[11] ibid.

[12] Syekh Muhammad Madani, op. cit , hlm : 192

[13] DR. Muhammad Bintaji , op.cit, hlm : 214

[14] Ibid, hlm. : 174.

[15] Ibid,hlm 193, Muhammad Thohir bin Asyur, op. cit : 4/ 226 , Sayid Qutb, op.cit, 1/ 582, Hasyim bin Hamid al Rifa’I , Mahasin ta’adudi zaujat , ( Jizah : Maktabah Tau’iyah Islamiyah, 1994 ) cet II. Hlm. 20

[16] Qurthubi, op.cit hlm 261

[17] HR Abu Daud , Tirmidzi , Nasai, Ibnu Majah, Imam Ahmad, Al Hakim dan Ibnu Hibban . Imam Al Hakim berkata : “ Hadist ini shohih berdasarkan syarat yang telah di tetapkan Imam Muslim dan di setujui oleh Ad Dzahabi “. Lihat Abu Daud, al-Sunan, Beirut, Darul Fikr, 1995 ) dicetak bersama Aunul Ma’bud, karya Syamsul Hak Adhim Abadi, Kitab : Nikah, Bab : al Qosam baina al Nisa’ , hadist no : 2134 , Tirmidzi, al Sunan, ( Beirut : Darul Fikr, 1995 ) Dicetak bersama Tuhfatul Ahwadhi karya Abdurohima al-Mubarfukuri, Kitab : Nikah, Bab : Ma jaa fi taswiyah baina dhoroir, (hadits no : 1140), Nasai, al- Sunan, ( Beirut : Darul Fikr, 1995 ) dicetak bersama syareh : Jalaluddin Suyuti dan hasyiah : Imam Sindy , Kitab : Nikah, Bab :mail rojulila ba’dhi nisaihi duna ba’dhin, ( hadist no : 3949 ), Ibnu Majah, al-Sunan,Beirut , Darul Fikr, 1995 ,Kitab : Nikah, Bab : qismah baina Al nisa’ , (hadist no : 1971) , Imam Ahmad, al-Musnad, ( 7/ 207 )al-Hakim , al-Mustadrok, ( 2/ 187 ). Ibnu Hibban , as-shohih,Kitab : Nikah, Bab : Al Qosm, hadist no : 4192 )

[18] . Lihat DR. Muham. Bintaji, op.cit, hlm. 176, DR. Abdus Salam Madkur , Dirasat fi Tsaqofah Islamiyah, hlm 283, sebagaimana yang dikutip oleh Hasyim bin Hamid al Rifa’I , op. cit., hlm 26.

[19] DR. Muh. Bintaji, op.cit. , hlm : 174

[20] Sengaja penulis mengambil contoh DR. Nasaruddin untuk mewakili kelompok yang lain yang mempunyai pandangan sama dengan beliau, di karenakan tulisan beliau adalah sebuah Desertasi yangdi tulis selama enam tahun dan setelah melakukan riset di banyak negara.

[21] DR. Nasaruddin Umar . op. cit . ,hlm 284

[22] Ibid hlm 285.

[23] Dr. Siti Musdah Mulia, op. cit., . hlm. 4

[24] Quthubi, op.cit., 5/11, DR. Muh. Bintaji, op.cit., hlm. 178

[25] HR. Bukhori, Kitab : Nikahm, Bab: Dzabbu al Rojuli ‘an Ibnatihi fial Ghiroh wa al Inshof.Juga diriwayatkan oleh Muslim, Kitab : Fadhoil al Shohabah, Bab : Fadhoil Fatimah binti Nabi saw.

[26] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Kairo : Dar al Fath lil I’lam al Arobi, 1999, Cet. II hlm 388

[27] Jawaban ini , adalah versi yang dimuat di dalam majalah Sabili, edisi Agustus 2003 .


Ditulis Oleh DR. Ahmad Zain An-Najah, M.A
sumber: Http://ahmadzain.com

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama