Oleh;
Nizar A. Saputra
Pendahuluan
Membicarakan pemikiran Islam, lebih khususnya filsafat Islam tidak akan lengkap jika tidak mencantumkan nama al-Ghazali. Orang ini memang unik, memiliki berbagai kemampuan yang mumpuni di berbagai bidang pengetahuan. Karenanya, tidaklah mengherankan bila banyak sebutan yang dialamatkan terhadapnya. Mulai dari teolog, fuqoha, filosof sampai sebutan sufi. Banyaknya sebutan yang dialamatkan terhadapnya mencerminkan wawasan keilmuannya yang begitu luas dan dalam. Kita bisa melihat khasanah keilmuwan al-Ghazali dari karya-karyanya yang sangat banyak yang masih tersimpan hingga sekarang.
Banyak orang yang dibuat terpukau oleh karya-karya peninggalan al-Ghazali. Karya-karyanya tersebut pun menjadi bahan penelitian yang cukup menarik minat kalangan akademisi, mulai dari kalangan umat Islam sendiri, maupun dari kalangan non-muslim. Pembahasan al-Ghazali kian menarik manakala para peneliti al-Ghazali dari kalangan umat Islam terbagi sedikitnya ke dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok yang pro terhadap al-Ghazali dan menganggapnya sebagai tokoh muslim yang begitu besar dan sempurna. Bagi kelompok ini, al-Ghazali diagung-agungkan layaknya seorang imam yang ma’sum. Apapun yang dikatakan al-Ghazali, pasti benar. Sikap dukungan yang seperti ini akhirnya menimbulkan fanatisme yang berlebihan, sehingga, di sadari atau tidak mereka terbawa kepada arus ekstrim dalam satu sisi. Kedua, kelompok yang kontra terhadap al-Ghazali. Kelompok ini menganggap al-Ghazali sebagai penyebab kemunduran intelektualisme di dunia Islam, terutama di kalangan sunni. Kelompok ini juga memandang al-Ghazali dengan skeptisisme. Apa yang diutarakan al-Ghazali itu usang, tidak membawa kepada kemajuan dan pandangan-pandangan negatif lainnya terhadap al-Ghazali. Sikap seperti ini juga membawa mereka pada arus ekstrim di sisi lainnya. Ketiga, kelompok yang memandang al-Ghazali secara obyektif, tidak skeptis dan berupaya memahami al-Ghazali sesuai dengan fakta dan data yang ada.
Melalui makalah yang sederhana ini, penulis akan mencoba membahas al-Ghazali dari sudut pandang kelompok ketiga. Meskipun, mungkin dalam beberapa hal, ada sikap bernada pembelaan dari penulis yang oleh para pembaca dikategorikan kepada sikap pembelaan yang berlebihan terhadapnya. Kalau pun ada, itu penulis lakukan berdasarkan fakta dan data yang dimiliki penulis. Makalah ini dibuat dari ketertarikan penulis terhadap al-Ghazali, baik itu menyangkut biografinya, pemikiran dan pengaruhnya terhadap peradaban dunia, baik di Islam maupun di Barat. Pada dasarnya, makalah ini bukan dibuat hanya untuk mendapatkan nilai saja. Namun lebih dari itu, bagi penulis makalah ini merupakan langkah awal meneliti dan menganalisa filsafat al-Ghazali.
Secara garis besarnya, makalah ini dimulai dari pembahasan biografi al-Ghazali. Kemudian penulis akan mencoba menganalisa berbagai hal yang menyangkut al-Ghazali, baik itu menyangkut tuduhan-tuduhan yang dialamatkan terhadapnya, ataupun masalah-masalah lain yang memang dalam pandangan penulis hal itu sangat diperlukan untuk dibahas. Setelah itu, penulis mencoba membahas filsafat al-Ghazali, mulai dari epistimologinya, hingga intisari filsafatnya, baik itu yang menyangkut metafisika, etika, jiwa, dan kenabian. Barulah kemudian penulis membahas pengaruh pemikiran al-Ghazali pada generasi sesudahnya.
Penulis menyadari, makalah yang sederhana ini pasti banyak memuat kekurangan, bahkan mungkin banyak kesalahan. Karenanya, kritikan dan masukan dari para pembaca akan sangat berguna bagi penulis. Mudah-mudahan, karya kecil ini bisa memberikan manfaat, terutama bagi penulis sendiri, dan lebih umumnya bagi para pembaca sekalian.
Biografi Al-Ghazali
Al-Ghazali[i] lahir pada tahun 450 H/1058[ii] M di Gazhaleh, suatu kota yang terletak di dekat daerah Thusi, wilayah Khurasan (Iran)[iii], bertepatan dengan tahun wafatnya al-Mawardi, seorang pengacara (Grand Judge) di ostawa.[iv] Al-Ghazali berasal dari keluarga yang sangat sederhana dan ta’at menjalankan agama. Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali. Namanya dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan Algazel,[v] dan sebutan inilah yang biasa digunakan oleh orang-orang Barat (orientalis) terhadapnya.
Al-Ghazali dikenal sebagai seorang filosof, teolog, ahli hukum, penganut madzhab Imam Syafi’i, dan ahli tasawuf. Ia juga seorang tokoh sufi berpengaruh.[vi] Meskipun dia dianggap sebagai tokoh sufi, namun bukan berarti dia tidak melakukan kritikan terhadap sifat-sifat orang sufi yang melampui batas. Dia sangat kritis terhadap orang-orang sufi yang mempercayai teori inkarnasi dan penyatuan diri dengan Tuhan. Baginya, orang-orang seperti ini menjauhkan logika dan akal, serta tidak mengontrol.[vii]
Sebagaimana ulama pada masanya, kesungguhan al-Ghazali dalam hal ilmu telah terlihat semenjak kecil. Di masa mudanya dia belajar di Nisyapur, juga di Khurasan. Dia belajar fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Al-Radzakani Al-Thusi. Ketika berumur 25 tahun, Al-Ghazali berguru kepada Ali Nashr Al-Ismail, seorang ulama terkenal di Thusi. Kemudian ia menjadi murid Imam al-Haramain al-Juwaini, guru besar di Madrasah al-Nizamiah Nisyapur.[viii] Di antara mata pelajaran yang diberikan di madrasah tersebut adalah teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme dan ilmu alam.[ix]
Dengan perantara Imam al-Juwaini, al-Ghazali berkenalan dengan Nizam al-Mulk, perdana menteri sultan Saljuk Maliksyah.[x] Nizam al-Mulk adalah orang terkemuka di pemerintahan dan pemimpin yang benar-benar memperhatikan ilmu. Ini dibuktikannya dengan mendirikan beberapa sekolah di berbagai daerah untuk mendorong perkembangan ilmu.[xi]
Kepandaian al-Ghazali dalam berdebat dengan argumentasi yang kuat, telah menarik perhatian Raja Nizam. Selain itu, karya-karya briliyan dan orisinalitas yang dibuatnya pada masa itu semakin membuat kagum Raja Nizam, sehingga pada tahun 1091 M, dia ditetapkan menjadi rector pada Universitas Nizamiyyah di Bagdad. Saat itu al-Ghazali berumur 33 tahun.[xii] Di tempat inilah al-Ghazali mulai menulis berbagai kitab. Melalui buku-buku yang ditulisnya itu, al-Ghazali mulai dikenal di masyarakat luas.
Akan tetapi, ketika puncak kejayaan ada dalam dirinya, dia melepaskan jabatannya sebagai rektor, setelah dipegangnya selama empat tahun.[xiii] Ia bermasalah dengan keraguan dalam kepercayaannya pada pendapat-pendapat teologi tradisional (kalam) yang diperolehnya dari al-Juwaini. Sebagaimana diketahui, di dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan dalam diri al-Ghazali; aliran manakah yang betul-betul benar di antara berbagai aliran kalam itu. Selain itu, al-Ghazali juga menganggap bahwa metode yang ditawarkan oleh kalam tidak cocok menjadi obat penawar keraguan yang dideritanya. Al-Ghazali menuturkan;
..mereka (mutakallimin) mengandalkan premis-premis yang mereka ambil alih dari lawan-lawan mereka (falasifah), yang kemudian terpaksa mengakui mereka (falasifah) baik dengan penerimaan tak kritis (taqlid) atau pun karena konsensus komunitas (ijma), atau pun dengan penerimaan sederhana yang dijabarkan dari al-Quran dan Tradisi (hadits). Sebagian dari polemik mereka ditujukan untuk membeberkan ketidak konsistenan lawan dan mencoba mengkritiknya karena konsekuensi-konsekuensi yang secara logis kurang berbobot dari yang mereka kemukakan. Tetapi, ini tidak banyak berguna bagi seseorang yang tidak menerima apa-apa sama sekali apapun kecuali kebenaran-kebenaran primer dan yang terbukti dengan sendirinya. Dengan demikian, dalam pandangan saya, kalam tidaklah mencukupi dan bukan merupakan obat bagi penyakit yang tengah saya derita.[xiv]
Keraguan yang dialami al-Ghazali, hampir melumpuhkan fisiknya selama dua bulan, sebagaimana yang ia kemukakan dalam riwayat hidup batinnya, al-Munqidz min al-Dhalal. Untuk menghilangkan keraguannya, ia mengasingkan diri (uzlah), mengungsi dan bermusafir selama sepuluh tahun di Syiria, Mesir serta kota-kota suci Islam.[xv] Pada tahun 484 H, al-Ghazali pergi ke Makkah menyempurnakan rukun Islamnya. Setelah selesai mengerjakan haji, ia terus ke Damaskus, Bait al-Maqdis, dan Aleksandria sambil mengajar di universitas-universitas yang ada di kota-kota tersebut.[xvi]
Menurut Syaikh al-‘Aidarus, al-Ghazali tinggal di Syam (Damaskus) sekitar dua tahun, beri’tikaf di Menara Masjid Umawi dan bertahanus di sana dengan menutup pintu menara Masjid tersebut. Sementara di Bait al-Muqaddas, al-Ghazali tinggal di Kuba al-Shakhra sambil menutup pintu tempat tinggalnya tersebut. Di tempat ini, al-Ghazali tinggal selama 10 tahun dan menghasilkan berbagai kitab, salah satunya adalah ihya ulum al-Din.[xvii]
Setelah 10 tahun, ia muncul kembali di daerah asalnya pada tahun 1086, dan menerima jabatan rector Nizamiyyah di Nishapur atas desakan anak Nizam al-Mulk, Fakhr al-Mulk. Di tempat asalnya itu, ia kembali mengajar selama tiga tahun dan menulis berbagai buku.[xviii] Menurut Fazlur Rahman disini al-Ghazali menulis salah satu karya besarnya tentang ilmu kedokteran, al-Mustasfa.[xix] Namun, nampaknya Rahman salah mengidentifikasi karya al-Ghazali ini. Al-Mustasfa memang merupakan karya al-Ghazali dan bisa dikatakan salah satu karya terbesarnya. Akan tetapi, karyanya ini bukan membahas tentang kedokteran. Para Ulama dan para akademisi yang menela'ah tentang al-Ghazali beserta karya-karyanya, menyatakan/bersepakat bahwa al-Mustasfa adalah karya al-Ghazali tentang Ushul Fiqih.[xx]
Al-Ghazali meninggal di usia yang ke-53 tahun, pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H.[xxi] Saat meninggalnya tersebut, menurut Osman Bakar, al-Ghazali sedang memperdalam ilmu tentang tradisi.[xxii] Menurut sumber lain, saat itu al-Ghazali sedang memperlajari Shahih Bukhari dan Sunan Abu Dawud.[xxiii] Literature lain menyebutkan al-Ghazali meninggal dengan memeluk kitab Shahih Bukhari.[xxiv]
Informasi ini sangat penting untuk dibahas, sebab bisa jadi al-Ghazali, sebagaimana masa-masa sebelumnya, masih mencari jalan hakikat kebenaran. Bisa jadi al-Ghazali masih belum puas dengan jalan sufistiknya. Dan pada akhirnya al-Ghazali kembali kepada jalan yang ditempuh oleh para ulama salaf, atau dalam bahasa Ibrahim Hilal, kembali kepada metode dan jalan para ulama hadits (Ahli Hadits). Al-Ghazali memang sangat lemah dalam ilmu hadits. Ini bisa dilihat dari salah satu karya besarnya Ihya Ulum al-Din. Seperti kata Ibn Taimiyah, dalam kitabnya itu, al-Ghazali seringkali menggunakan hadits-hadits dhoif (lemah) dalam mendukung teori tasawufnya.[xxv] Kritikan Ibn Taimiyah memang benar adanya.[xxvi] Namun, di lain sisi, sebagaimana juga Ibn Taimiyah[xxvii], kita juga harus bijak bersikap terhadap al-Ghazali, sebab kemungkinan besar memang al-Ghazali pada masa-masa sebelumnya tidak begitu intens bersentuhan dengan ilmu hadits. Hal ini bisa dimengerti, karena faktor dan kebutuhana saat itu memang lebih kepada teologi dan filsafat. Di akhir hayatnya itulah, beliau benar-benar ingin mencurahkan hidupnya mempelajari dan mendalami ilmu hadits. Menariknya, kitab hadits yang dipegangnya ketika meninggal adalah kitab Shahih Bukahri, sebuah kitab yang di dalamnya tidak terdapat hadits dhoif. Kitab yang oleh para ulama hadits disebut sebagai kitab besar yang nilainya (validitas/keshahihannya) paling tinggi setelah al-Quran dan hadits.[xxviii] Kalau saja al-Ghazali diberi umur lebih, bisa dibayangkan betapa khazanah keislamannya akan sangat luar biasa. Dia mungkin akan menjadi ahli hadits yang mashur, dan menulis sebuah kitab mengenai ilmu hadits.
Al-Ghazali adalah pemikir paling hebat dan paling orisinil tidak saja dalam Islam, tapi juga dalam sejarah intelektual manusia. Di mata para sarjana modern Muslim dan non Muslim, al-Ghazali juga dianggap sebagai orang terpenting setelah Nabi Muhammad ditinjau dari segi pengaruh dan peranannya dalam menata dan mengukuhkan ajaran-ajaran keagamaan.[xxix] Dr. Zwemer orientalis Inggris, pernah menempatkan al-Ghazali menjadi salah satu dari empat orang pilihan pihak Islam dari mulai zaman Rosulullah saw sampai kepada zaman sekarang. Empat orang itu adalah Nabi Muhammad, Imam Bukhari, Al-Asy’ari, dan al-Ghazali.[xxx] Selain itu, al-Ghazali juga dikenal sebagai pemikir dan ulama yang sangat besar kontribusinya dalam mendidik dan melahirkan generasi intelektual muslim.[xxxi]
Karya-Karya al-Ghazali
Hampir semua cabang ilmu yang berkembang pada masanya dipelajari secara seksama oleh al-Ghazali, sehingga tidak mengherankan jika ia tumbuh berkembang sebagai seorang ensiklopedis. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya karya tulis yang dihasilkannya. Ia merupakan salah satu pemikir muslim abad pertengahan yang paling produktif menulis karya, sehingga dalam usianya yang relatif pendek, telah meninggalkan karya yang berlimpah yang menjadi bahan kajian hingga sekarang, baik di kalangan muslim maupun non muslim, baik di Barat maupun di Timur. Produktifitas al-Ghazali dalam menelurkan karya ilmiahnya bisa dilihat dari hasil tulisannya yang setiap harinya mampu menulis enam belas halaman.[xxxii]
Para ahli berbeda pendapat mengenai berapa jumlah karya tulis yang dihasilkan al-Ghazali sepanjang hidupnya. Sebagai orang terkenal, ia bukan hanya disegani tapi juga banyak musuhnya. Karena itu, banyak upaya dilakukan untuk mendiskriditkannya, diantaranya dengan menulis karya yang kemudian dinisbatkan kepadanya. Faktor inilah yang kemudian menjadi penelitian yang menarik bagi kalangan ahli sejarah, terutama yang kagum terhadap al-Ghazali.
Masalah lainnya yang menjadi bahan penelitan terhadap karya al-Ghazali adalah adanya beberapa kriteria yang ditentukan al-Ghazali sendiri dalam menulis karyanya. Al-Ghazali menggunakan bahasa dan metode yang berbeda dalam menulis sebuah kitab berdasarkan objek yang dihadapinya. Jika kitab itu ditulis untuk kalangan awam, maka bahasa dan metodenya berbeda dengan kitab yang ditulis untuk kalangan khawas, kalangan filosof, dan yang semisalnya. Karenanya, tidaklah mengherankan bila antara satu kitab dengan kitab lainnya yang ditulis al-Ghazali terdapat perbedaan-perbedaan.
Penulis disini tidak akan membahas kriteria karya-karya al-Ghazali, mengingat bukan pada tempatnya. Pandangan dan hasil penelitian dari para pengkaji al-Ghazali terhadap karya-karyanya juga tidak akan dibahas di sini. Penulis hanya akan membahas karya-karya al-Ghazali yang sudah disepakati benarnya.
Al-Ghazali, seperti dijelaskan sebelumnya, hidup dalam beberapa fase. Untuk mempersingkat pembahasan ini, penulis akan langsung membagi periodesasi al-Ghazali berkaitan dengan karya-karya yang dihasilkan dalam periodesasi tersebut. Menurut Waryono Abdul Ghafur, periodesasi kronologis penulisan karya al-Ghazali, secara garis besar dibagi menjadi dua; periode Baghdad dan sebelumnya, serta periode pasca Bagdad sampai meninggal. Karya tulis yang dihasilkan pada periode Baghdad dan sebelumnya adalah; Mizan al-‘Amal, al-‘Iqtisad fi al-I’tiqad, Mahkan Naza fi al-Manthiq, al-Musfazhiri fi al-Rad ‘ala al-Batiniyyah, Hujjat al-Haq, Qawasim al-Batiniyyah, Jawab Mafsal al-Khilaf, al-Durj al-Marqum bi al-Jadawil, Mi’yar al-‘Ilmi, Mi’yar al-‘Uqul, Maqasid al-Falasifah,Tahafut al-Falasifah, al-Mankhul fi al-Ushul, al-Basit, al-Wasit, al-Wajiz, Khulasaf al-Mukhtasar, Qawa’id al-Qawa’id, ‘Aqaid al-Sughra, Ma’khaz al-Khilaf, Lubnab al-Nazar, Tahsin al-Ma’khadh, al-Mabadi wa al-Ghayat, Muqaddamat al-Qiyas, Shifa al-Ghali/’Alil fi al-Qiyas wa al-Ta’wil, al-Lubab al-Muntakhal fi al-Jidal dan Ithbat al-Nazar. Karya-karya tersebut meliputi bidang-bidang fiqh, ushul Fiqh, teologi, logika, filsafat dan logika.
Adapun karya tulis yang dihasilkan periode pasca Baghdad sampai meninggal adalah; al-Risalah al-Qudsiyyah, Ihya ‘Ulum al-Din, al-Rad al-Jami’ li Ilahiyat Isa bi Sharih al-Injil, Kimiya al-Sa’adah, al-Maqasad al-Asna fi Asma’ Allah al-Husna, al-Madnun bihi ‘ala Ghair Ahlih, al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk, Bidayat al-Hidayah, Mafsal al-Khilaf fi Usul al-Din, Jawahir al-Quran, al-Arba’in fi Usul al-Din, Asrar al-Ittiba’ al-Sunnah, al-Qistas al-Mustaqim, Asrar Mu’amalat al-Din, Faysal al-Tafriqah bayn al-Islam wa al-Zanadiqah, al-Munqiz min al-Dhalal, Qanun al-Ta’wil, al-Risalah al-Laduniyyah, al-Hikmah fi Makhluqat Allah, al-Mustasfa fi ‘ilmi al-Ushul, al-‘Imla ‘an Mushkil al-Ihya, Ma’arij al-Quds, Misykat al-Anwar, al-Darurah al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum al-Akhirah, Mi’raj al-Saliqin, Tabliis Iblis, Ayyuha al-Walad, Kitab al-Akhlaq al-Abrar wa al-Najah min al-Shar, al-Gayah al-Quswa, Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam dan Minhaj al-‘Abidin.[xxxiii]
Ada yang menarik untuk dibahas mengenai karya al-Ghazali; “Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam. Ibn Taimiyah, seperti dikutip Dr. Ibrahim Hilal, dengan tegas menyatakan bahwa karya al-Ghazali ini merupakan bukti bahwa di akhir-akhir masa hidupnya, al-Ghazali kembali memandang benar pemikiran Madzhab Salaf atau Ahli Hadits, setelah beberapa lama beliau bergumul dengan cara pandang kaum filosof dan kalangan sufi.[xxxiv] Ibrahim Hilal sendiri mendukung kesimpulan Ibn Taimiyah tersebut. Sedikitnya ada dua alasan mengapa Ibrahim Hilal mendukung hipotesa Ibn Taimiyah. Pertama, dalam buku Iljam al-‘Awam, al-Ghazali menyebutkan bahwa buku al-Maqshad al-Asna lebih dulu ditulis dari buku Iljam al-‘Awam. Kedua, dalam buku Ihya Ulum al-Din, al-Ghazali tidak pernah menyebutkan nama buku Iljam al-‘Awam, begitu juga dalam buku al-Munqidz min al-Dhalal, dan buku-bukunya yang lainnya yang memaparkan secara historis kehidupan sufinya.[xxxv] Padahal, menurut beberapa peneliti, jika al-Ghazali telah menulis sebuah kitab, biasanya akan disebutkan dalam kitab-kitabnya yang kemudian. Kalaulah Iljam al-‘Awam, ditulis pada masa fase awal atau pertengahan kehidupan al-Ghazali, tentunya kitab tersebut akan disebutkan al-Ghazali dalam Ihya atau al-Munqidh. Namun faktanya tidaklah demikian.
Dengan adanya buku iljam al-‘Awam, Ibrahim Hilal kemudian membuat hipotesa mengenai pola pikir al-Ghazali. Baginya, pola pikir al-Ghazali tersebut dapat dilihat dari tiga kitab yang dikarangnya. Buku Maqashad al-‘Asna; Syarh Asma Allah al-Husna yang merupakan gagasan pola pikir al-Ghazali yang bersifat filosofis. Buku Ihya dan al-Munqidz merupakan gagasan pemikiran al-Ghazali tentang metode penyingkapan dan tasawuf. Dan buku Iljam al-‘Awam merupakan gagasan pemikiran al-Ghazali tentang pola pikir Mazhab Ulama Salaf.[xxxvi]
Dengan melihat alur pola pikir al-Ghazali di atas, Ibrahim Hilal bahkan menyimpulkan bahwa al-Ghazali adalah seorang salafi[xxxvii] dalam pola pikirnya. Untuk memperkuat hipotesanya, Ibrahim Hilal mengutip pernyataan Brockelman: “Saya pernah menemukan buku Iljam al-‘Awam dengan judul lain, yakni Risalah fi Madzhab al-Salaf.”[xxxviii]
Hipotesa di atas bukan hanya karena ada pernyataan Brockelman, melainkan ada pernyataan al-Ghazali yang memang mengindikasikan sebagai pengikut salaf. Dalam Iljam al-‘Awam, al-Ghazali menuturkan:
“Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk yang paling mengetahui kemaslahatan hamba Allah di dunia dan di akhirat. Beliau melimpahkan kepada manusia apa pun yang diwahyukan kepadanya berkaitan dengan kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Beliau tidak pernah menyembunyikan sesuatu pun dari wahyu itu, karena tugas utamanya sebagai utusan Allah adalah penyampai risalahNya. Dan di sinilah letak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Selanjutnya, para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling mengetahui makna-makna sabda beliau dan yang paling layak pemahamannya tentang eksistensi beliau, karena mereka selalu menyaksikan wahyu dan senantiasa bersama dengannya (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) dalam setiap kesempatan. Bahkan, siang dan malam, mereka selalu bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mereka memiliki pemahaman yang benar, tidak menyembunyikannya, dan tidak mengkhianati tugas penyampaian dan pelaksanaan risalah beliau. Dari dasar-dasar pemikiran-pemikiran ini, kita dapat mengetahui dengan pasti bahwa apa yang mereka katakan adalah benar. Apalagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah memberikan pujian bagi mereka; “Sebaik-baik masa adalah masaku, kemudian masa berikutnya, kemudian masa berikutnya”. ….jalan hidup dan pola pikir mereka adalah metode yang paling baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Umatku akan terpecah ke dalam tujuh puluh lebih golongan. Yang selamat hanya satu golongan.” Sahabat bertanya, “Siapa mereka?” Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; “Mereka adalah Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah, yakni orang-orang yang memegang teguh apa yang kupegang dan juga para sahabatku.”[xxxix]
Pemaparan al-Ghazali di atas mencerminkan pola pikirnya dalam fase terakhirnya. Al-Ghazali seperti halnya Ibn Taimiyah yang sering disebut sebagai penganut Madhab Salaf, mendasarkan pikirannya, bahwa Rasulullah adalah sumber kedua setelah al-Quran, kemudian para sahabat sebagai pemahaman yang paling baik dalam memahami al-Quran dan hadits Nabi, dan tentunya mereka yang mengikuti dan sesuai dengan pemahaman Nabi dan para sahabat. Wallahu A’lam
Penyebab Kemunduran Intelektualisme di Dunia Islam?
Sebagian orang ada yang menganggap al-Ghazali sebagai tokoh/pemikir yang harus bertanggung jawab bagi kemunduran dan kemerosotannya intelektualisme di dunia Islam, khususnya di dunia sunni, sebab dikalangan syiah tradisi berfikir bebas tidak pernah mati.
Salah satu yang menyebut al-Ghazali sebagai penyebeb kemunduran di dunia Islam adalah Philip K. Hitti. Dalam salah satu karya besarnya, History of The Arab, Hitti menuturkan;
“Mazhab Skolastik yang dibangun oleh al-Ghazali dan al-Asy’ari menahan laju perkembangan Islam hingga saat ini. Berbeda dengan Kristen yang terus bergerak berkat ajaran Skolastisismenya, khususnya sejak terjadinya revolusi Protestan. Sejak saat itu, Barat dan Timur mengambil dua arus jalan yang berbeda. Barat terus maju, sementara Timur jalan di tempat.[xl]
Pemaparan Hitti di atas dengan jelas menyebut al-Ghazali sebagai penghambat kemajuan di dunia Islam. Di antara alasan yang sering dijadikan justifikasi untuk menyebut al-Ghazali sebagai penyebab kemunduran intelektualisme di dunia Islam adalah penolakan al-Ghazali terhadap filsafat. Tuduhan terhadap al-Ghazali ini disebabkan adanya paradigma yang mengatakan bahwa kemajuan dan kemunduran disebabkan oleh Filsafat. Intelektualisme hanya dapat diperoleh dengan filsafat. Siapa yang ingin maju maka pelajari dan kembangkanlah filsafat. Jika filsafat ditolak maka intelektualisme akan mati. Sementara kita ketahui, bahwa al-Ghazali adalah salah seorang yang mengkritik filsafat dan lebih memilih jalan sufistik dalam mencari kebenaran.
Di sisi lain, kebanyakan orang mempunyai persepsi bahwa tasawuf mempunyai kecenderungan merendahkan akal (intelektualisme). Padahal intelektualisme adalah kunci kemajuan sebuah peradaban. Sementara al-Ghazali, seperti yang kita ketahui, pada perjalanan intelektualnya dalam mencari kebenaran, menganjurkan tasawuf daripada filsafat. Baginya, tasawuf memberikan jawaban terhadap pengetahuan yakini, dibanding dengan metode-metode lainnya, seperti filsafat, teologi dan ta’limiyah (Bathiniyah). Dari asumsi inilah al-Ghazali dituduh sebagai penyebab kemunduran intelektualisme Islam. Selain itu, al-Ghazali juga disebut-sebut sebagai orang yang mencanangkan tertutupnya pintu ijtihad.[xli] Apakah paradigma sebagian orang itu benar? Apakah al-Ghazali adalah penyebab kemunduran intelektualisme Islam? Apakah al-Ghazali menolak filsafat seluruhnya atau tidak? Apakah al-Ghazali begitu merendahkan akal dalam mencari kebenaran?
Kondisi Sosial-Politik
Pemikiran seseorang biasanya dipengaruhi oleh iklim lingkungannya. Lingkungan yang keras biasanya menghasilkan pemikiran radikal, dan lingkungan yang damai biasanya menghasilkan pemikiran yang damai juga. Pemikiran al-Ghazali juga tak ubahnya seperti itu. Oleh karena itu membaca pemikiran al-Ghazali tanpa memperhitungkan iklim lingkungannya, baik kondisi social, politik maupun historisnya, yang melingkari pertumbuhan corak pemikiran tokoh ini dapat memberikan citra yang kurang utuh, sebab ia adalah produk sejarah. Al-Ghazali adalah produk kekuatan-kekuatan spiritual sejarah pada abad ke-11 M.
Abad ke-11 adalah abad di mana manusia pada saat itu diliputi oleh kebingungan spiritual. Selain itu, kekacauan politik dalam imperium Abbasiyah mewarnai kondisi zaman saat itu. Pada tahun 1055 M, atau tiga tahun sebelum al-Ghazali lahir, ibu kota Abbasiyah yaitu Baghdad, jatuh ke tangan kekuasaan Turki Saljuk setelah lebih satu abad diperintah oleh amir-amir Buwaihiyyah yang menganut aliran Syiah.[xlii]
Selain terjadi kekacauan politik dan kebingungan spiritual, pada abad ke-11 M ini juga berlangsung perdebatan antara filosof dan para teolog dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama.[xliii] Meskipun terjadi perdebatan antara filosof dan teolog, menurut al-Ghazali, seperti dijelaskan sebelumnya, pada akhirnya para teolog juga sebenarnya meminjam metode para filosof untuk melawannya. Para filosof pada saat itu, banyak yang melupakan ilmu-ilmu agama, lebih menyukai ilmu-ilmu eksak, seperti astronomi, fisika, kimia, matematika dan ilmu eksak lainnya. Faktor inilah yang menjadi penyebab al-Ghazali menulis buku Ihya Ulum al-Din (menghidupkan ilmu-ilmu agama). Kitab ini menjadi suatu buku standar, terutama tentang akhlak yang mendapat perhatian besar sekali di Eropa.[xliv]
Pada saat itu pula, dalam diri para filosof muncul gejala berkecamuknya pikiran bebas yang banyak membuat orang meninggalkan ibadat, sehingga al-Ghazali membuat buku Tahafut al-Falasifah (kekacauan para filosof). Buku ini, menurut M. Natsir, dapat dikatakan bahwa isi kandungannya banyak menyerang para filosof. Sebelum membuat buku ini, al-Ghazali terlebih dahulu membuat buku Maqashid al-Falasifah (maksud ahli filsafat). Buku yang kedua ini (Maqashid al-Falasifah), sengaja disusunnya untuk mengumpulkan terlebih dahulu bahan-bahan atau teori-teori filsafat yang nantinya akan ia kritik dalam kitab Tahafut al-Falasifah.[xlv] Argumen-argumen yang dilontarkan al-Ghazali kepada para filosof, sangatlah kuat, sehingga tak ada orang yang mampu menandinginya ketika waktu itu. Julukan Hujjatul Islam dan Zainuddin[xlvi] didapatkannya karena kecerdasan yang dimilikinya ketika berhujjah dengan para filosof.
Akan tetapi, sikapnya tersebut tidak berarti dia menolak filsafat dan mengekang kebebasan berfikir (ijtihad).[xlvii] Al-Ghazali tidaklah menolak filsafat. Bahkan dia mengakui kegunaan filsafat sebagai media atau alat untuk membuktikan kebenaran. Al-Ghazali bahkan sering menjadikan bagian-bagian filsafat, seperti Matematika dan Fisika, sebagai sampel dan mengakui kebenaran prinsip-prinsipnya. Ia juga terkadang memakai ilmu logika untuk mendukung ajaran agama. Al-Ghazali, demikian kata Asy-Syarafa, meminjam kaidah-kaidah filsafat untuk membela agama.[xlviii]
Sikap al-Ghazali terhadap Filsafat dan Ilmu pengetahuan
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa al-Ghazali tidaklah menolak filsafat dan tidak pula mengekang kebebasan berfikir (ijtihad). Hal ini dapat dibuktikan dengan sikapnya yang menggabungkan filsafat dengan ilmu kalam. Menggabungkan prinsip-prinsip filsafat dengan mistis dalam teologinya. Dalam hal kebebasan berfikir (ijtihad), al-Ghazali termasuk orang yang mendukungnya. Bahkan dia diberi gelar sebagai kelompok al-Mushawibah, kelompok yang selalu membenarkan upaya ijtihad.[xlix] Informasi ini sekaligus menjawab tuduhan yang menyatakan al-Ghazali sebagai “Penggagas Tertutupnya Ijtihad”.
Bukti lain, bahwa al-Ghazali tidak menolak filsafat seluruhnya, dapat dilihat dari pemikirannya tentang filsafat. Dalam buku al-Munqidz min al-Dhalal, al-Ghazali membagi ilmu-ilmu filsafat kedalam enam bagian, yaitu ;
1. Matematik (Riyadhiyah)
2. Logika (Mantiqiyah)
3. Fisika (Thabi’iyah)
4. Metafisika (Ilahiyah)
5. Ilmu politik (siyasah)
6. Filsafat moral (Khuluqiyah)[l]
Bila kita ingin mengetahui sikap al-Ghazali terhadap filsafat, terlebih dahulu kita harus mengetahui sikap al-Ghazali terhadap ilmu. Dalam buku monumentalnya, Ihya Ulum al-Din, al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian; Syar’iyyah dan Ghairu Syar’iyyah. Ilmu yang pertama ialah segala ilmu yang berasal dari para nabi yang wajib ditekuni oleh setiap muslim. Sedangkan ilmu yang kedua adalah segala ilmu yang bukan berasal dari para nabi, misalnya ilmu kedokteran, ilmu siyasah (politik), ilmu fisika, ilmu logika, matematika (ilmu hisab dan geometri) dan berbagai jenis ilmu lainnya yang bermanfaat untuk manusia.[li] Dalam bukunya Jawahir al-Quran (mutiara al-Quran) al-Ghazali bahkan menulis tentang ilmu-ilmu pengetahuan seperti kedokteran, astronomi, fisika dan lain sebagainya. Meskipun ia menilai ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya lebih rendah dari pada ilmu agama, namun demikian, ia menganggapnya sebagai inti agama dan menyatakannya sebagai fardu kifayah, kewajiban agama yang mewajibkan masyarakat seluruhnya.[lii]
Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa al-Ghazali tidak menolak filsafat seluruhnya. Ilmu fisika, matematika, logika, ilmu politik, dan filsafat moral, yang merupakan bagian dari Filsafat, oleh al-Ghazali tidak ditolak, bahkan menurutnya ilmu-ilmu tersebut hukumnya wajib kifayah bagi kaum muslimin. Filsafat yang diserang oleh al-Ghazali dengan nada yang sangat keras ialah aspek metafisis (ilahiyah). Al-Ghazali bersikap demikian, karena melihat filsafat metafisis, seringkali mengakibatkan penganutnya menjadi sesat bahkan kafir.[liii] Adalah wajar jika al-Ghazali bersikap demikian, karena yang ada dalam benaknya adalah menyelamatkan aqidah umat dari kekufuran. Dan ini dinyatakan langsung oleh al-Ghazali. Dalam Jawahir al-Quran, (The Jewels of The Quran), al-Ghazali menceritakan bahwa buku Tahafut al-Falasifah sengaja dibuat untuk menolak kesesatan dan bid’ah dan menghilangkan keraguan serta menjaga kepercayaan agama orang awam dari keragu-raguan yang diciptakan oleh ahli bid’ah.[liv]
Al-Ghazali bukanlah penyebab kemunduran intelektualisme di dunia Islam khususnya di kalangan Suni. Al-Ghazali bukanlah tokoh yang telah menyebarkan benih anti intelektualisme. Tuduhan bahwa al-Ghazali adalah penyebab kemunduran dan penyeber benih anti intelektualisme di dunia Islam agaknya sebagai simplifikasi masalah yang tidak proporsional dan tidak berdasar. Kalau tuduhan di atas diarahkan kepada al-Ghazali dengan alasan anti rasio, hal itu tidak memiliki pendasaran apapun. Al-Ghazali hanya mendudukan rasio manusia dalam batas-batas wilayahnya (limits of human mind).[lv]
Al-Ghazali tidak pernah menentang penggunaan logika dan penalaran, tapi justru dialah yang memperkuat logika formal[lvi] dan yang mendorong penerimaan rasional sebagai alat yang sah dalam menentukan hukum.[lvii] Bahkan, menurut Iqbal seperti dikutip Nurcholis Majid, secara keseluruhan, al-Ghazali bisa disebut sebagai pengikut Aristoteles dalam logika. Hal tersebut bisa dilihat dalam bukunya al-Qisthas. Di sana al-Ghazali meletakkan beberapa argumen al-Quran dalam bentuk pemikiran Aristoteles.[lviii]
Al-Ghazali bukanlah penolak filsafat secara totaliter. Ia hanya menyerang atau mengkritik dengan tuntas aspek metafisis (ilahiyah) filsafat. Benar bahwa al-Ghazali menentang filsafat, tetapi sikap Imam al-Ghazali tersebut tidak dapat diartikan bahwa beliau anti filsafat. Karena beliau melakukan kritik terhadap filsafat dengan menggunakan filsafat yang mungkin jauh lebih baik daripada filsafat yang dikritiknya.[lix]
Menurut hemat penulis, yang sebenarnya dilakukan al-Ghazali bukanlah menyerang filsafat atau menolak filsafat. Dia hanya mengkritik filsafat yang dipandangnya salah atau keliru, lalu dia menyodorkan filsafat yang dipandangnya benar. Istilah “al-Ghazali menolak filsafat” menurut penulis sangat kurang tepat. Lebih tepat kiranya kita mengatakan “al-Ghazali mengkritik filsafat”. Kritik dibangun bukan untuk meruntuhkan suatu pandangan (pemikiran). Namun, kritik adalah usaha penelitian terhadap suatu pandangan yang berpijak pada pengakuan kebenaran pandangan (pemikiran). Kritik adalah perpindahan dari teks kebenaran menuju kebenaran teks,[lx] Kritik adalah sebuah usaha untuk mengemukakan beberapa kelemahan, lalu memberikan alternatif untuk meluruskannya.[lxi] Dan inilah yang dilakukan al-Ghazali terhadap filsafat. Lagi pula, dari judul bukunya saja, Tahafut al-Falasifah (kerancuan para filosof), sudah terlihat bahwa al-Ghazali bukan menolak filsafat, melainkan menyerang para filosof yang mempunyai pemikiran-pemikiran yang menyimpang dari ajaran agama. Jadi, yang diserang bukan filsafatnya, melainkan para filosofnya yang mempunyai pemikiran-pemikiran yang menyimpang.
Walhasil, apakah al-Ghazali masih bisa disebut sebagai filosof? Tentunya ini perlu diklarifikasi, agar tidak terjadi penganiayaan intelektual terhadap dirinya.[lxii]
Al-Ghazali Filosof?
Penulis merasa penting untuk membahas masalah ini; apakah al-Ghazali masih bisa disebut filosof? Pertanyaan dan ungkapan “al-Ghazali tidak pantas disebut filosof” sering kali kita dengar. Bukannya tanpa sebab, sebutan tersebut biasanya dilatarbelakangi oleh sikap al-Ghazali yang mengkritik filsafat (metafisika) yang sering dijadikan landasan keyakinan para filosof muslim saat itu. Seperti dijelaskan sebelumnya, bagi sebagian orang, sikap al-Ghazali yang mengkritik filsafat sering diartikan sebagai sikap penolakan al-Ghazali terhadap filsafat. Dengan begitu, maka al-Ghazali, bagi mereka, tidaklah pantas disebut filosof.
Persoalan, apakah al-Ghazali masih layak disebut sebagai filosof atau tidak, mungkin oleh sebagian orang dianggap sebagai terlalu berlebihan. Namun bagi penulis, hal ini perlu diklarifikasi agar tidak terjadi pembunuhan karakter. Pembunuhan karakter bisa menyebabkan fitnah terhadap pribadi seseorang. Dalam hal ini, bukan hanya pribadi saja yang dirugikan, namun kapasitas intelektual juga menjadi taruhannya. Meskipun, penulis yakin, disebut filosof atau tidak, bagi al-Ghazali tidaklah begitu penting. Toh sekarang al-Ghazali telah tenang di alam kubur sana.
Untuk mengetahui apakah al-Ghazali masih pantas disebut sebagai filosof atau tidak, nampaknya kita terlebih dahulu harus membahas definisi filsafat, dan kemudian membahas metode dan karakter filsafat itu sendiri. Setelah itu, baru kita akan dapat menyimpulkan masalah ini. Secara etimologi, filsafat diambil dari kata philosophia yang merupakan kata majemuk yang terdiri atas philo dan sophia; philo artinya cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu lalu berusaha mencapai yang diinginkannya itu; sophia artinya kebijakan, yang artinya pandai, pengertian yang mendalam.[lxiii] Dengan demikian, filsafat berarti keinginan yang mendalam (cinta) untuk mendapat kebijakan, atau keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak. Orang yang mempunyai karakter seperti itu disebut filosof. Seorang yang berkeinginan mendalam untuk mendapat kebijakan, secara bahasa, bisa disebut filosof. Namun permasalahannya jelas tidak sesederhana itu. Sebatas mana orang bisa disebut filosof? Apakah bijak atau kebijaksanaan (sophia) itu? Tukang kayu saja menurut Homerus bisa juga disebut orang bijak (filosof).
Karenanya, membahas filsafat dari aspek etimologi saja tidak akan mendapat pemahaman yang utuh dan tidak akan menyelesaikan masalah yang sedang kita bahas (baca; al-Ghazali; filosof atau bukan). Namun, masalahnya, pengertian filsafat secara terminologi juga berbeda-beda. Plato misalnya. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang asli. Sedangkan menurut Aristoteles, filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Sementara menurut al-Farabi, filsafat adalah ilmu tentang hakikat [kebenaran] bagaimana alam maujud yang sebenarnya. Rene Descartes mendifinisikan filsafat sebagai kumpulan semua pengetahuan Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan. Abu Bakar Atjeh juga mendefiniskan filsafat seperti Descartes. Pythagoras, orang yang mula-mula menggunakan kata filsafat, mengartikan filsafat sebagai proses perenungan tentang Tuhan.[lxiv] Bertrand Russell menyebut filsafat sebagai sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains, di dalamnya berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan defenitif tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan. Masih menurutnya, filsafat adalah wilayah tak bertuan.[lxv] Masih banyak sebenarnya pengertian filsafat yang diutarakan para filosof. Perbedaan definisi filsafat tersebut menurut Abu Bakar Atjeh, sebagaimana dikutip Ahmad Tafsir, disebabkan oleh berbedanya konotasi filsafat pada tokoh-tokoh itu karena perbedaan keyakinan hidup yang dianut mereka.[lxvi] Namun, meskipun demikian, dari beberapa ungkapan para filosof di atas, dapat diambil benang emas bahwa filsafat itu titik tekannya adalah kebenaran. Dari analisis di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sophia (bijak/kebijaksanaan) dalam filsafat maskudnya adalah kebenaran (lihat definisi Plato, Aristoteles, al-Farabi). Dengan demikian, akan jelas bagi kita siapa filosof itu? Filosof itu adalah orang yang berkeinginan untuk mendalami, mencari dan memahami kebenaran. Bagaimana dengan al-Ghazali? Kita lihat pernyataan al-Ghazali;
Ketika masih sangat muda, aku menyelami samudera yang dalam ini (baca; mencari hakikat kebenaran). Aku menyelaminya sebagai penyelam handal dan pemberani, bukan sebagai penyelam penakut dan pengecut. Aku menyerang setiap kegelapan dan mengetasi semua masalah, menyelami kegoncangan. Aku teliti akidah setiap golongan, agar aku bisa membedakan antara kelompok yang memperjuangkan kebenaran dan kelompok yang memperjuangkan kebatilan, agar bisa membedakan antara pengikut sunnah dan pencipta bid’ah...Aku tidak meninggalkan Bathiniyah, tetapi aku ingin menela’ah bithanahnya (rahasia terpendam, intisarinya). Aku tidak meninggalkan Zhahiriyah, tetapi aku ingin mengetahui hasil sikap lahiriahnya. Aku tidak meninggalkan filosuf, tetapi aku ingin mengetahui esensi filsafatnya. Aku tidak meninggalkan ahli kalam (mutakallim, ahli retorika), tetapi berusaha menela’ah tujuan ucapan dan debatnya. Aku tidak meninggalkan sufi, tetapi ingin mengetahui rahasia kesufiannya. Aku tidak meninggalkan seorang ahli ibadah (muta’abbid), tetapi ingin melihat akibat dari ibadahnya. Aku tidak meninggalkan seorang zindiq dan pengingkar Tuhan, tetapi aku berusaha mengetahui hal-hal yang menyebabkannya berani melakukan perbuatan zindiq dan mengingkari Tuhan...Mencari tahu tentang hakikat sesuatu perkara adalah kebiasaanku. Itu aku lakukan sejak kecil, sebagai sebuah watak dan fitrah yang diberikan Allah pada kepribadianku, bukan sebagai watak dan fitrah yang aku upayakan untuk mendapatkannya. Kenyataaan ini membuat tali taklid terurai dari diriku dan aqidah tradisional aku tinggalkan di usia belia.[lxvii]
Dari sini, nampklah bagaimana pribadi al-Ghazali sebenarnya. Beliau adalah pencari hakikat kebenaran yang tidak pantang menyerah dengan berbagai rintangan. Jika filosof diartikan sebagai pencari kebenaran, maka al-Ghazali layak untuk disebut sebagai filosof.
Selain itu, untuk meyakinkan statment di atas, nampaknya harus disebutkan ciri-ciri atau kriteria berfikir filsafat. Ada tiga ciri seseorang itu bisa dikatakan berfikir filsafat (rasional).
1. Radikal; berasal dari Radix, bahasa Yunani, berarti akar. Berfikir radikal, berfikir sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai kepada konsekuensinya yang terakhir. Berfikir itu tidak separu-paru, tidak berhenti di jalan, tapi terus sampai ke ujungnya. Tidak ada yang tabu, tidak ada yang suci, tidak ada yang terlarang bagi berfikir yang radikal itu.
2. Sistematis; berfikir sistematis adalah berfikir logis, yang bergerak selangkah-demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling hubungan yang teratur.
3. Universal; yang umum; berfikir universal tidak berfikir yang khusus, terbatas pada bagian-bagian tertentu, tapi mencakup seluruhnya. Yang universal ialah yang mengenai keseluruhan.[lxviii]
Nah, al-Ghazali bisa dimasukan ke dalam tiga kriteria di atas. Al-Ghazali adalah seorang pemikir radikal. Bukti bahwa al-Ghazali berfikir radikal bisa dilihat dari konsekuensi dari pencarian kebenarannya yang hampir lumpuh selama dua bulan. Selain itu, al-Ghazali tidak menyerah mencari hakikat kebenaran sampai tersingkap jelas kebenaran tersebut. Al-Ghazali juga seorang pemikir sistematis dan universal. Al-Ghazali tidak hanya memikirkan hal-hal yang parsial, namun hampir semua aspek jadi bahan perenungan dan pemikiran. Masalah ketuhanan (metafisika), alam, dan manusia, menjadi bahan renungan dan pemikiran al-Ghazali. Tidaklah berlebihan kalau sekiranya banyak orang yang memasukan al-Ghazali sebagai filosof muslim yang handal. Sebab, secara pola pikir, al-Ghazali bisa dimasukan ke dalam filosof. Wallahu A’lam
Filsafat al-Ghazali
Epistemologi
Membicarakan epistemologi, berarti membicarakan objek dan metode. Seperti telah dijelaskan di atas, bagi al-Ghazali filsafat itu meliputi enam bagian, yaitu ; Matematik (Riyadhiyah), Logika (Mantiqiyah), Fisika (Thabi’iyah), Metafisika (Ilahiyah), Ilmu politik (siyasah) dan Filsafat moral (Khuluqiyah).[lxix] Dari keenam filsafat tersebut, sentral filsafat yang paling penting baginya adalah tentang etika (filsafat moral), bukan metafisika. Metafisika baginya bukanlah yang utama.[lxx] Mungkin alasan inilah yang menjadi faktor pendorong baginya menulis magnum opusnya, Ihya Ulum al-Din, sebuah kitab yang di dalamnya sangat kental nuansa etiknya.
Adapun sumber filsafatnya, menurut penulis, adalah al-Quran, hadits dan pendapat ulama. Ini dapat dilihat dari buku beliau Tahafut al-Falasifah. Dari beberapa kritikannya terhadap para filosof, al-Ghazali sering membenturkan pemikiran filosof dengan al-Quran dan hadits. Jika pernyataan filosof tersebut bertentangan dengan al-Quran, dia tolak pemikiran filosof tersebut. Artinya, standar yang dipakai al-Ghazali adalah agamanya sendiri, dalam hal ini al-Quran dan hadits.
Ali Issa Othman, dengan tegas menyatakan bahwa sumber utama dari inspirasi al-Ghazali adalah al-Quran. Kitab ini menjadi dasar pemikiran, bidang perhatian, sikap dasar dan nilai kepercayaan [al-Ghazali] kepada kemampuannya untuk mencapai sasaran yang terjauh dan betapa pentingnya pengetahuan serta fungsi [pengetahuan]; kesemuanya itu bagi al-Ghazali bersumber dari al-Quran.[lxxi] Bahkan, menurut Othman, apa yang ditutukan al-Ghazali dalam al-Munqid min al-Dhalal tentang riwayat hidup intelektualnya dalam mencari kebenaran, tidak jauh berbeda dengan penuturan al-Quran (QS. 6:74-79) tentang kisah Ibrahim dalam mencari Kebenaran. Mereka yang mengetahui al-Quran, kata Othman, akan dapat melihat pengaruh al-Quran terhadap jalan pikiran al-Ghazali.[lxxii]
Adapun metode yang dipakai al-Ghazali adalah al-Jadal dan al-Burhan. Ketika al-Ghazali mengungkapkan kekeliruan para filosof, kemudian dibantahnya dengan pendapat-pendapat yang tidak kalah cemerlangnya dengan argumentasi para filosof. Dia sebutkan terlebih dahulu pendapat-pendapat filosof, kemudian baru dia jelaskan di mana aspek kelemahan dan kekliruannya. Metode ini, menurut hemat penulis, adalah metode Jadal[lxxiii] dan burhan (demonstratif).
Kehidupan al-Ghazali dalam mencari kebenaran yang hakiki, bisa kita masukan ke dalam metode filsafatnya. Bagi al-Ghazali, kebenaran yang hakiki hanya bisa didapatkan dengan tasawuf (intuisi). Pada awalnya al-Ghazali yakin, bahwa kebenaran bisa dicapai melalui panca indra. Al-Ghazali pernah mengungkapkan; “Sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa tiga itu lebih banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa tongkat dapat ia jadikan ular, dan hal itu memang betul ia laksanakan, saya akan kagum melihat kemampuannya, dan sungguhpun demikian, keyakinan saya bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan goyah”.[lxxiv]Dari sini, kita dapat menilai, bahwa kebenaran bagi al-Ghazali adalah sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indera.
Namun, dalam perkembangannya, al-Ghazali menyadari bahwa terkadang panca indera juga berdusta. Bayangan rumah misalnya, kelihatannya dia tidak bergerak, padahal terbukti kemudian, bayangan itu berpindah tempat. Demikian pula bintang-bintang di langit, kelihatannya kecil, tetapi perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi. Karena tidak percaya terhadap panca indra, kemudian al-Ghazali meletakkan kepercayaannya kepada akal. Tetapi, akal juga tak dapat dipercaya. Sewaktu bermimpi, kata al-Ghazali, orang melihat hal-hal yang kebenarannya betul-betul, namun setelah bangun ia sadar bahwa apa yang dia lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar (ilusi). Alasan lain yang membuat kepercayaaan al-Ghazali terhadap akal menjadi goncang adalah, adanya kontradiksi-kontradiksi yang terdapat dalam aliran-aliran teologi yang menjadikan akal sebagai sumber pengetahuan (kebenaran).[lxxv] Artinya, akal pada dirinya membenarkan pandangan-pandangan kontradiktif tersebut.
Akhirnya, al-Ghazali menemukan keyakinan tentang kebenaran melalui tasawuf. Baginya, kebenaran yang hakiki hanya bisa didapatkan melalui pembersihan diri, jiwa dan hati. Jika ketiga komponen tersebut sudah bersih dan suci, niscaya seseorang akan dengan mudah mendapatkan kebenaran. Kebenaran yang bersumber dari ilahi (ilham) yang didapatkan melalui hati (intuisi) yang suci, yang bersih dari unsur-unsur luar.[lxxvi] Bagi al-Ghazali, untuk mendapatkan kesucian hati maka diperlukan usaha-usaha semacam riyadhah, latihan-latihan ruhani. Masih menurut al-Ghazali, kalbu (hati) dapat menerima dua metode mendapatkan ilmu, yaitu metode penelitian dan intuitif (al-Dzawq). Berbagai jenis ilmu bisa digiring masuk ke dalam hati melalui sungai-sungai panca indera dan penelaahan alam semesta, sehingga kalbu dipenuhi dengan ilmu. Di sisi lain, deras laju saluran panca indera yang menggiring ilmu bisa dibendung dengan kontemplasi (‘uzlah) dan pemejaman mata dengan tujuan menyucikan hati, mengangkat seluruh penutup yang menyelimutinya sehingga memancar sumber-sumber darinya.[lxxvii]
Jika diperhatikan, metode al-Ghazali ini ada kemiripan dengan Plotinus. Bagi Plotinus, pengetahuan didapatkan bukan dengan akal, melainkan dengan jalan intuisi, dan intuisi ini dapat diperoleh dengan latihan-latihan rohani dan renungan.[lxxviii] Namun, Plotinus tidak hanya sampai di situ. Baginya, jika telah membersihkan diri dengan latihan-latihan, pada tahap berikutnya akan dapat menyatu dengan Zat Universal (Tuhan).[lxxix] Sementara al-Ghazali tidak sampai pada tahap seperti itu. Al-Ghazali membatasi diri dalam hal ini. Sesuci apapun jiwa dan hati manusia tidak akan bisa menyatu dengan Zat Universal (Allah SWT). Konsep tersebut justru dikritik oleh al-Ghazali seperti yang akan penulis bahas pada bagian selanjutnya di makalah ini. Insya Allah.
Bisa jadi, dalam hal ini pengaruh al-Quran masih melekat kuat dalam benak al-Ghazali, sehingga tidak sampai pada paham Ittihad dan hulul. Meskipun begitu, pada fase ini, al-Ghazali masih saja terjebak dan terpengaruh dengan filsafat Plotinus. Konsepnya tentang jiwa dan alam masih didominasi oleh filsafat Plotinus. Baginya, manusia adalah alam kecil yang merupakan duplikat alam besar. Oleh karena itu, menurut al-Ghazali, di dalam diri manusia terdapat duplikat apa yang ada di alam besar berupa hakikat-hakikat dan berbagai pengetahuan.[lxxx] Bagi al-Ghazali, manusia dapat memahami dan mengenali dirinya dengan mencermati alam ini. Al-Ghazali menuturkan;
“Orang yang melihat langit dan bumi dan kemudian memejamkan matanya akan melihat bentuk langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalamnya dalam fantasinya ketika memejamkan mata….dari daya fantasinya, ia (manusia) meneruskan rekaman kepada kepada hatinya, sehingga timbullah berbagai kenyataan yang dipikirkan olehnya. Dengan demikian, manusia sudah pasti mengetahui segala hal yang ada di alam. Sebab, ia tidak mengetahui sesuatu kecuali apa yang telah ada contohnya di dalam dirinya. Jika Allah tidak menjadikan alam sebagai model jiwa kita, maka tidak akan ada sebuah berita yang akan menjelaskan posisi kita yang sebenarnya.[lxxxi]
Meskipun demikian, seperti yang dipaparkan pada bagian sebelumnya, al-Ghazali ternyata tidak berhenti pada tahap tasawuf dalam menentukan dan menemukan kebenaran yang hakiki. Pada akhir kehidupannya, beliau kembali ke jalan para ulama salaf, yakni kebenaran yang hakiki didapatkan dari al-Quran dan hadits, bukan melalui ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Melainkan seperti yang dilalui oleh para sahabat dan para pengikutnya yang setia. Dalam iljam al-‘Awam al-Ghazali menuturkan; ‘Sesungguhnya pemahaman yang benar tentang makrifat kepada Allah dan sifatNya, kehadiran Ilahi dengan konsepnya yang luas adalah pemikiran yang dipegang oleh ulama salaf, karena didasarkan atas dalil-dalil ‘aqli dan sam’iyat.[lxxxii]
Filsafat Metafisika (Ontologi) al-Ghazali
Berbicara metafisika, tentunya yang pertama dibahas adalah masalah ketuhanan. Dalam masalah ketuhanan, al-Ghazali banyak mengikuti aliran Asy’ariyah. Karenanya, tidak sedikit yang menyebut al-Ghazali sebagai bagian dari pengikut dan penerus “Asy’ariyah”.[lxxxiii]
Meskipun demikian, menurut Yunasir Ali, argumentasi-argumentasi al-Asy’ari mengenai konsep ketuhanan lebih dekat kepada argumen filosofis daripada argumen agamis. Al-Ghazali, karenanya, kemudian mencoba kepada jalan lain yang dianggapnya lebih agamis, dalam hal ini, dia menempuh tasawuf. Meskipun pada dasarnya, menurut penulis sendiri, argumen yang disodorkan al-Ghazali tetap saja lebih cenderung filosofis.
1. Masalah Tentang Wujud Tuhan
Bagi al-Ghazali, dalil-dalil akal saja tidak dapat mengenal Tuhan dengan sebenarnya. Sebab, pengetahuan akal itu terbatas. Karenanya, Tuhan membantu aktifitas akal yang terbatas itu dengan wahyu. Tentang eksistensi Tuhan (wujud Allah), al-Ghazali menggunakan dalil-dalil naqli dan akli. Baginya, perenungan terhadap ayat-ayat al-Quran sembari memperhatikan alam semesta yang teratur sebagai ciptaan Tuhan, akan sampai pada pengakuan adanya wujud Tuhan.
Selain dengan perenungan terhadap ayat-ayat al-Quran dan fenomena alam, al-Ghazali juga menyodorkan argumentasi rasional dalam membuktikan eksistensi Allah. Dalam hal ini, cara yang dilakukannya adalah dengan mempertentangakan wujud Allah dengan wujud makhluk. Wujud Allah, kata al-Ghazali, adalah qadim sedangkan wujud makhluk adalah hadits (baharu). Wujud hadits menghendaki sebab gerak yang mendahuluinya sebagai penggerak yang mengadakannya, sebab-musabab ini tidak akan berakhir sebelum sampai kepada “Yang Qadim”, yang tidak dicipta dan digerakkan. Sedangkan wujud Allah, jika ia hadits tentu akan menghendaki sebab musabab seperti itu juga, yang sudah pasti takkan ada pangkal pokok geraknya. Hal demikian adalah suatu hal yang mustahil dan takkan menghasilkan apa-apa.[lxxxiv]
Dalam hal ini, al-Ghazali tidak jauh berbeda dengan para filosof paripatetik lainnya, semisal al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina. Bahwa Tuhan merupakan prima kausa, penyebab pertama. Perbedaan antara al-Ghazali dengan para filosof semisal al-Farabi dan Ibn Sina terletak dalam cara pandangnya (worldview/tasawwur al-Nadzari) tentang alam. Bagi al-Farabi dan Ibn Sina, Tuhan memang prima kausa, penyebab pertama, penggerak pertama, wajib al-Wujud. Namun, adanya alam bukanlah dan atau tidaklah diciptakan. Menurut al-Farabi Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan sebagai penggerak pertama. Tuhan menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Tuhan menciptakan alam semenjak azali dengan materi alam berasal dari energi yang qadim. Alam ada dari pancaran pikiran Akal Pertama.[lxxxv] Begitu juga Ibn Sina. Menurutnya, sekalipun Tuhan terdahulu dari segi Zat, namun Tuhan dan Akal Pertama –yang dari sana alam dipancarkan– adalah sama-sama azali (qadim).[lxxxvi]
Dalam pandangan al-Ghazali, kedua pandangan filosof tersebut jelas-jelas tidak bisa diterima dalam Islam. Sebab, dalam ajaran Islam (al-Quran dan Hadits) Allah adalah Sang Pencipta (al-Khaliq). Yang dimaksud dengan al-Khaliq adalah yang menciptakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan qadim, tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dan dengan demikian Tuhan bukanlah Pencipta.[lxxxvii] Lebih jauh al-Ghazali menyatakan, bahwa tidak ada orang Islam yang menganut paham bahwa alam ini tidak bermula (qadim), alam haruslah hadits (bermula). Bagi al-Ghazali, segala yang wujud selain Allah adalah hadits (baharu), dan setiap yang hadits itu makhluk (diciptakan). Yang Qadim hanya satu, yakni Allah swt. Pandangan ada yang qadim selain Allah, menurut al-Ghazali, bisa menyebabkan kepada kekafiran.
2. Zat dan Sifat Tuhan
Dalam membahas tentang Zat Tuhan, menurut Yunasir Ali, al-Ghazali membatasi diri dengan mengemukakan hadits Nabi saw, yang melarang manusia memikirkan Zat Allah. Karenanya, al-Ghazali menegaskan bahwa akal manusia tidak akan sampai mencapai Zat itu. Cukuplah bagi manusia hanya mengetahui sifat af’alNya saja.[lxxxviii]
Dalam membahas sifat Tuhan, al-Ghazali menetapkan adanya sifat Zat yang diistilahkan dengan sifat Salbiyah, yakni sifat yang menafikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kesempurnaan Zat Allah. Sifat Salbiyah ini ada lima; Qidam, Baqa’, mukhalafatuhu lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, dan wahdaniyah. Dengan adanya sifat-sifat ini pada Zat Allah, maka ternafilah kesempurnaan makhluk dan tetaplah kesempurnaan Allah.[lxxxix]
Selain sifat salbiyah, ada pula sifat ma’ani, yakni sifat-sifat yang melekat pada Zat Allah, yang dia bukanlah ZatNya (la Hiya wala Huwa). Adanya sifat ini bersamaan dengan adanya Allah dan tidak dapat dipisahkan dari ZatNya. Sifat Ma’ani ada tujuh; Qudrah, iradah, Ilmu, Sama’, bashar, kalam, dan hayat.
Pandangan al-Ghazali ini sama dengan al-Asy’ari. Sebagaimana diketahui, dalam perjalanan hidupnya, al-Asy’ari pernah mempunyai konsep-konsep yang dibuatnya tentang sifat-sifat Allah. Kala itu, konsep ini dibuat oleh al-Asy’ari untuk menyanggah pandangan Mu’tazilah yang tidak mau mengakui adanya sifat Allah. Nampaknya, faktor tersebut juga ada di al-Ghazali. Konsepsi al-Ghazali tentang penetapan sifat-sifat Allah, dengan nama sifat salbiyah dan sifat ma’ani, dilatarbelakangi adanya paham dari para filosof yang menafikan sifat Tuhan. Al-Farabi misalnya. Bagi dia, sifat Tuhan tidak berbeda dengan substansiNya. Tuhan adalah Aql murni. Ia Esa adanya, dan yang menjadi objek pemikiranNya hanya substansiNya saja. Ia tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk memikirkan substansiNya. Tuhan adalah Aql, Aqil dan Ma’qul. Tuhan Maha Tahu. Ia tidak membutuhkan sesuatu di luar ZatNya untuk tahu dan juga memberitahukan untuk diketahuiNya, cukup dengan substansiNya saja.[xc] Dengan demikian, Tuhan bagi al-Farabi tidak memerlukan sifat, tidak perlu sesuatu yang lain di luar dirinya. Al-Farabi mendukung pendapatnya tersebut dengan mengemukakan dalil Qs. Al-Shaffat: 180.[xci]
Asumsi al-Farabi atau siapa saja yang menolak adanya sifat Tuhan, jika dikembalikan kepada al-Quran tentunya salah. Bahkan bisa menjadikannya kafir. Al-Quran secara ekspilist menegaskan bahwa Allah mempunyai sifat kesempurnaan. Inilah yang kemudian dilakukan oleh al-Ghazali terhadap para filosof yang mengingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat. Hanya saja, pemaparan al-Ghazali dengan istilah-istilah yang dipakainya mengenai sifat Allah tidak tepat. Besar kemungkinan, sebagaimana disebutkan sebelumnya, al-Ghazali ketika memformulasikan tentang sifat-sifat Allah memang terpengaruh oleh al-Asy’ari. Padahal, al-Asy’ari sendiri telah mengakui kekhilafannya tentang pandangannya mengenai sifat-sifat Allah dalam kitabnya al-Ibanah min Ushul al-Diyanah.[xcii] Menurut penulis, besar kemungkinan buku al-Asy’ari ini tidak sampai ke tangan al-Ghazali.
3. Af’al (Perbuatan) Tuhan
Menurut al-Ghazali, perbuatan Tuhan tidaklah terbatas dalam menciptakan alam saja, tetapi ia juga menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiarnya. Perbuatan manusia tidaklah terlepas dari kehendak Allah. Manusia hanya diberi kekuasaan dalam lingkungan kehendak Tuhan. Dengan demikian, perbuatan dan ikhtiar manusia terbatas, dan tidak akan melampaui garis-garis qadar. Dalam menguraikan tentang af’al Allah ini, al-Ghazali mengembalikan permasalahan kepada firman Allah: “Allah sesatkan siapa yang dikehendakiNya dan Ia beri hidayah terhadap orang yang dikehendakiNya.” (Qs. Ibrahim: 4).[xciii] Konsep tentang af’al Allah ini, berpengaruh besar terhadap filsafat moral yang dianut al-Ghazali, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya, insya Allah.
Ada yang menarik yang dibahas al-Ghazali dalam masalah metafisika. Pembahasannya itu sebenarnya merupakan respons al-Ghazali terhadap beberapa konsep metafisika yang dianut oleh para filosof muslim sebelumnya. Dalam hal ini al-Ghazali memang sangat serius meluruskan opini yang dibangun oleh para filosof tentang ketuhanan. Bahkan menurutnya, kekeliruan para filosof dalam ilmu metafisika sangatlah banyak. Para filosof, menurut al-Ghazali, sebenarnya tidak dapat melakukan pembuktian apodeiktik (burhani) menurut persyaratan-persyaratan yang mereka tetapkan dalam logika. Oleh karena itu, banyak terjadi perselisihan pendapat diantara mereka tentang persoalan-persoalan metafisika.[xciv]
Salah satu yang menjadi kritikan al-Ghazali terhadap keyakinan metafisika para filosof adalah tentang kebangkitan di hari kiamat nanti, apakah ruhiyah dan jasmaniyah, atau hanya ruhiyah saja? Para filosof seperti al-Farabi dan Ibn Sina berkeyakinan bahwa kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohaniah, terbebas dari unsur-unsur kebendaan (jasmaniyah). Hal ini karena, menurut para filosof, masalah kerohanian adalah lebih tinggi nilainya, demikian pula yang berkaitan dengan kelezatan dan siksaan di akhirat bersifat lebih tinggi atau lebih dahsyat. Selain itu, bagi para filosof, tidak ada keharusan kebangkitan yang bersifat jasmani.[xcv]
Menurut al-Ghazali, pandangan para filosof ini jelas akan bertentangan dengan teks-teks al-Quran dan hadits yang secara eksplisit menunjukkan adanya kebangkitan jasmani di akhirat nanti. Bagi al-Ghazali, Allah itu Maha Kuasa. Dia tentunya mampu menciptakan segala sesuatu dari tiada. Karena itu, Ia pun mampu membangkitkan kembali tubuh dan tulang belulang manusia yang telah hancur menjadi tanah ke dalam bentuk semula.[xcvi] Dalam hal ini, al-Ghazali mendasarkan pandangannya pada firman Allah Qs. Yasin: 78-79. Sebenarnya, pendapat al-Ghazali tidak kalah rasional dengan pandangan para filosof. Selain didukung oleh dalil al-Quran, pandangan al-Ghazali juga selaras dengan rasio. Jika menciptakan sesuatu dari tiada bisa dilakukan oleh Allah, apalagi mengembalikan sesuatu yang tadinya sudah ada. Tentunya itu akan lebih mudah. Dan ini juga yang sering difirmankan Allah dalam al-Quran terhadap orang-orang kafir yang mengingkari adanya hari kebangkitan.
Selain masalah kebangkitan, metafisika para filosof yang dikritik al-Ghazali adalah pandangan para filosof tentang ilmu Tuhan. Bagi para filosof, seperti al-Farabi, Tuhan tidak mengetahui hal-hal dan peristiwa-peristiwa kecil kecuali dengan cara yang umum (kulliyat/universal). Pengetahuan universal tidaklah tunduk, seperti pengetahuan “partikular”, kepada pembatasan-pembatasan ruang dan waktu. Karena itu, Tuhan mengetahui suatu peristiwa (katakanlah gerhana matahari) sebelum atau sesudah kejadiannya, secara serentak. Karena Ia mengetahui secara a priori rangkaian sebab-sebab dari mana ia pada akhirnya akan berhenti. Hal tersebut dikehendaki oleh para filosof dengan pemahaman bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu secara umum (kulliyat) adalah bahwa ilmuNya yang juga adalah ZatNya bersifat kekal (qadim), tetap, dan tidak berubah dengan perubahan yang terjadi pada obyek-obyek di luar Zat Tuhan. Hal ini dimaksudkan untuk menyucikan Tuhan dari segala sesuatu yang dapat merongrong ke-esaanNya.
Menurut al-Ghazali, ilmu Tuhan adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari zat, kalau terjadi perubahan pada tambahan atau sifat tambahan tersebut, Zat Tuhan tetap dalam keadaannya, seumpama kalau ada orang berdiri di sebelah kanan kita lalu berpindah ke sebelah kiri kita, kata al-Ghazali, sebenarnya orang itulah yang berubah bukan kita. Karenanya, al-Ghazali menyangkal kalau perubahan ilmu dapat menimbulkan suatu perubahan pada “Zat Yang Mengetahui”, apakah berbilangnya ilmu juga menimbulkan bilangan pada Zat Tuhan?” Untuk menguatkan pendapatnya, al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan keMaha Tahuan Allah. (Qs. Al-Hujurat: 16 dan Yunus: 61).[xcvii]
Ketiga hal yang diyakini para filosof di atas yang dikritik oleh al-Ghazali, dikritik lagi oleh filosof ulung sang komentator Aristoteles, dari Andalusia, Ibn Rusyd. Menurutnya, al-Ghazali sebenarnya salah paham terhadap konsep-konsep yang dikemukakan oleh para filosof. Bantahan Ibn Rusyd tersebut ditulis dalam sebuah risalah yang diberi judul Tahafut al-Tahafut. Hanya saja, di sini bukan tempatnya membicarakan polemik dua filosof muslim tersebut.
Di Indonesia, bangunan dasar filsafat Ibn Rusyd yang mengkritik al-Ghazali juga banyak diikuti, terutama kalangan Jaringan Islam Liberal (JIL). Dalam sebuah artikel, seorang aktifis Islam Liberal mengkritik al-Ghazali. Isi artikel tersebut merupakan wawancara dengan kordinator JIL yang baru, Luthfi Syaukani. Inti dari wawancara tersebut adalah bahwa yang rancu sebenarnya bukan para filosof, akan tetapi kerancuan itu justru ada dalam diri al-Ghazali;
al-Ghazali-lah yang mengalami kerancuan, persis seperti yang diisyaratkan oleh judul kitab Ibn Rusyd, Tahâfut at-Tahâfut (Rancunya [Kitab] Kerancuan)…. Al-Ghazali dianggap mengalami kerancuan, misalnya, karena sebenarnya ia tidak mengerti secara sungguh-sungguh persoalan-persoalan filsafat-metafisis yang ia tuliskan dalam kitabnya, Tahâfut al-Falâsifah.
Bahkan Luthfi mencurigai bahwa kitab al-Ghazali yang lain, yaitu Maqâshid al-Falâsifah, sebenarnya bukan karya otentik al-Ghazali. “Maqâshid al-Falâsifah adalah buku terjemahan, atau paling jauh hanya parafrase dari buku lain,” tukas Luthfi. Karenanya, yang sebenarnya dilakukan al-Ghazali adalah memukul sesuatu yang salah. Luthfi memberi contoh tentang isu ba’ts al-jasad (kebangkitan ragawi) dan pengetahuan Tuhan tentang juz’iyyât (hal-hal yang partikular) yang dipersoalkan al-Ghazali. Menurut Luthfi, sebenarnya para filosof sebelum al-Ghazali tidak berbicara tentang dua masalah tersebut persis seperti yang dikemukakan al-Ghazali. Dua masalah tersebut hanya hasil asumsi al-Ghazali belaka.
Lebih lanjut, Luthfi menyebut al-Ghazali rancu, juga karena perspektif yang digunakannya dalam kitabnya, Tahâfut al-Falâsifah, adalah perspektif polemis (jadalî), bahkan kadang terjatuh pada level khatthâbi (retoris), dan bukan perspektif kaum filosof, yakni perspektif burhânî (demonstratif). “Kita tahu,” lanjut Luthfi, “bahwa perspektif polemis (jadalî) adalah perspektif para teolog, bukan perspektif filosof. Padahal yang ia target dengan kitabnya adalah para filosof dan persoalan-persoalan filosofis-metafisis! Ini kan rancu?.. sejak awal sampai akhir hayatnya, prototipe al-Ghazali sebenarnya adalah seorang sufi. Jadi inti-diri al-Ghazali sebenarnya adalah seorang sufi. Karena itu, bila dia mencoba masuk ke zona lain, maka hasilnya adalah kerancuan… Makanya, tatkala al-Ghazali mencoba bicara tentang persoalan filosofis-metafisis, ia selalu kembali lagi kepada dalil-dalil Alqur’an guna menopang pendiriannya; seolah-olah dzihniyyah (mentalitas) kesufiannya mengekang dirinya untuk menggunakan akalnya untuk bermain pada level burhânî, sebagaimana yang dilakukan para filosof. “[xcviii]
Dilihat dari kritikannya, hemat penulis tulisannya lebih cenderung bias, daripada ilmiahnya. Dan, yang lebih penting, apa yang diungkapkan oleh aktifis Islam liberal diatas lebih cenderung bersifat tuduhan dibandingkan dengan ilmiahnya. Lutfhi tidak menunjukan referensi atau data dan fakta untuk mendukung statmennya, bahwa kitab maqasid al-Falasifah adalah buku terjemahan, atau paling jauh hanya parafrase dari buku lain.” Luthfi juga salah ketika menyatakan bahwa al-Ghazali rancu, karena perspektif yang digunakannya dalam kitabnya, Tahâfut al-Falâsifah, adalah perspektif polemis (jadalî), bahkan kadang terjatuh pada level khatthâbi (retoris), dan bukan perspektif kaum filosof, yakni perspektif burhânî (demonstratif). Kritikan luthfi terhadap al-Ghazali dan karyanya ini menunjukkan ketidaktahuan dia tentang al-Ghazali dan karyanya. Memang al-Ghazali menulis kitab Tahafut al-Falasifah dalam kapasitasnya sebagai teolog. Dan dia juga menyatakan sendiri dalam kitabnya Jawahir al-Quran,, seperti kata Osman Bakar, bahwa Tahafut al-Falasifah adalah kitab kalam yang dibuat untuk menyelematkan akidah orang awam dari kesesatan dan bid’ah. Tentang kritikan terakhirnya, menurut penulis itu sangat naïf. Sebab, itu juga terjadi pada diri Luthfi. Jika dibandingkan al-Ghazali, para pengkaji baik dari orientalis ataupun kalangan muslim sendiri, banyak yang menggolongkan al-Ghazali sebagai filosof. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika kapasitas al-Ghazali dalam mengkritik para filosof, tidak diragukan lagi. Ini berbeda dengan Luthfi Syaukani. Luthfi dalam beberapa artikelnya, selalu menulis tentang dekonstruksi al-Quran. Padahal, jika dilihat akademisnya, dia tidak pernah disebut sebagai ahli tafsir, atau ahli ulum al-Quran. Ini sangat ironis dengan fakta yang ada dalam dirinya sendiri.
Selain aktifis Islam Liberal, tuduhan bahwa al-Ghazali telah salah paham terhadap konsep para filosof muslim, datang dari Prof. Abdul Aziz Dahlan. Dalam salah satu karyanya tentang filsafat, setelah mengemukakan kritikan al-Ghazali terhadap para filosof, kemudian Aziz Dahlan sampai pada kesimpulan bahwa al-Ghazali sebenarnya telah salah paham dengan para filosof, dan para filosof, kata Aziz Dahlan, tidak semestinya dikafirkan.[xcix]
Kritikan dari para pengikut Ibn Rusyd di atas berbeda dengan beberapa peneliti al-Ghazali. Jika mereka (Luthfi dan Aziz Dahlan) menyebut al-Ghazali telah salah paham terhadap para filosof, berbeda dengan desertasi doctor Michael Marmura. Seperti dikatakan Dr. Fahmi Zarkasyi, dalam laporan desertasi doctoralnya, Marmura berhasil membuktikan bahwa Ibn Rusydlah yang salah faham terhadap al-Ghazali.[c] Menurut penulis, masalah siapa yang benar, siapa yang salah paham, apakah al-Ghazali atau Ibn Rusyd, lebih bersifat klaim dari para pendukung masing-masing pihak. Hal tersebut [klaim dari masing-masing pihak] tidak akan terjadi, mana kala kita menundudukannya dalam kaca mata Islam [al-Quran dan al-Hadits dan manhajnya].
Hal lain yang menarik untuk dibahas dalam filsafat al-Ghazali adalah konsepnya tentang kausalitas. Mungkin di antara pembaca ada yang bertanya, mengapa konsep kausalitasnya al-Ghazali dimasukkan ke dalam filsafat metafisika. Bagi penulis, pertanyaan seperti itu sangatlah wajar. Sebab memang, konsep kausalitas erat kaitannya dengan fenomena-fenomena alam yang dapat diamati oleh panca indra secara kasat mata. Akan tetapi, konsep kausalitas yang dibangun oleh al-Ghazali tidak bisa dilepaskan dari konsep metafasikanya. Al-Ghazali membangun konsepnya dari keyakinan bahwa Allah adalah Maha Kuasa. Segala sesuatu, jika Allah menghendaki pastilah terjadi. Tak terkecuali dalam masalah fenomena-fenomena alam. Alasan inilah yang melatarbelakangi penulis memasukan konsep kausalitas al-Ghazali ke dalam filsafat metafisika al-Ghazali.
Bagi al-Ghazali alam ini dikuasai Tuhan dan tidak bekerja sendiri, maka konsep kausalitas yang terjadi di alam juga berada dalam aturan Tuhan. Pada dasarnya, baik al-Ghazali ataupun para filosof berasumsi bahwa alam ini berada dalam aturan Tuhan. Hanya saja, para filosof berpandangan bahwa kausalitas adalah sebuah keniscayaan. Tuhan telah menetapkan aturan-aturan alam dalam sebuah ketetapan yang pasti, tidak berubah, melalui kausalitas. Sedangkan menurut al-Ghazali, kausalitas itu tidak mesti. Jika Tuhan menghendaki sesuatu di luar kebiasaan, maka itu bisa saja terjadi.
Sebagai tamtsil (contoh), api itu mempunyai sifat membakar, maka bagi para filosof, setiap yang tersentuh api adalah pasti terbakar. Namun, bagi al-Ghazali, tidak semua yang tersentuh oleh api itu pasti terbakar, jika Tuhan menghendaki bisa saja tidak terbakar. Bagi al-Ghazali, kausalitas itu pada dasarnya adalah sebuah kebiasaan bukan sebab-akibat. Untuk memperkuat argumentasinya, al-Ghazali mengutip ayat al-Quran yang mengisahkan Nabi Ibrahim yang tidak terbakar oleh api.[ci]
Pandangan al-Ghazali, bahwa kausalitas itu tidaklah mesti, kontan mendapat kritikan dari para filosof. Yang paling keras datang dari Ibn Rusyd. Sebagai filosof, Ibn Rusyd meyakini bahwa kausalitas itu pasti. Kausalitas adalah asas ilmu alam dan (sains) dan filsafat. Menurut Ibn Rusyd, mengingkari sebab-musabab yang dapat dilihat dalam sebagala kenyataan (al-Mahsusat) adalah shopisme (omong kosong). Orang yang mengatakan hal itu lidahnya mengingkari apa yang ada di dalam hatinya, atau mengakui omong kosong untuk meragukan apa yang ada dihadapannya. Menolak atau meniadakan keniscayaan kausalitas, menurut Ibn Rusyd, berarti meniadakan dan menolak ilmu pengetahuan.[cii]
Menurut Fahmi Zarkasi, kajian tentang perdebatan al-Ghazali dan para filosof tidak dapat didekati dalam perspektif jadali. Ia lebih tepat didekati dengan teori atau framework worldview. Dengan menggunakan framework ini, kata Fahmi, konsep kausalitas al-Ghazali ditelusuri dari konsepnya tentang Tuhan, yang merupakan Realitas Absolut, konsep alam, konsep manusia dan konsep ilmu. Kesemuanya itu diperlukan sebagai matrik perbedaan. Dari matrik ini, maka dapat diketahui bahwa dalam konsep al-Ghazali, kausalitas di dalam realitas fisik dilihat dalam kaitan dengan realitas metafisik. Bahkan kausalitas di dunia fisik sebagai bagian dari kausalitas dalam realitas metafika. Karenanya, ilmu pengetahuan tentang fenomena fisik yang empiris tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan metafisik. Ini berarati bahwa sains merupakan bagian dari teologi. Inilah landasan dari teori kausalitas al-Ghazali yang secara diametrik bertentangan dengan pandangan sains Barat modern yang terpisah dari metafisika (teologi).[ciii]
Apa yang diungkapkan oleh al-Ghazali, bahwa ‘Kausalitas itu tidak mesti (necessary), bukan berarti al-Ghazali menolak kausalitas. Dia tetap mengakui adanya kausalitas, hanya saja itu tidak pasti, melainkan mesti/tentu. Menariknya, apa yang diungkapkan oleh al-Ghazali ternyata sesuai dengan penemuan sains modern. Para saintis modern, ternyata menemukan fakta baru, yakni fisika kuantum. Fisika kuantum mengakui adanya ketidakpastian yang melekat (inhern) dalam memprediksi peristiwa di tingkat atom dan sub-atom. Lebih dari itu, dunia kuantum tidak pernah mengetahui sesuatu melalui sesuatu itu sendiri, tetapi melalui interaksi sesuatu itu dengan pengamat dalam system percobaan tertentu. Fisika kuantum menunjukan keterbatasan pengetahuan manusia.[civ]
Konsep al-Ghazali mengenai kausalitas ternyata memainkan peranan penting dalam diskursus filsafat di Barat. Para filosof Yunani dan filosof Barat pada umumnya, mengakui bahwa kausalitas adalah sebuah keniscayaan. Namun, pada abad 18, di Barat terdapat konsep baru mengenai kausalitas. Adalah David Hume yang menolak pandangan para filosof sebelumnya. Menurut Hume, kausalitas itu tidaklah pasti. Hubungan sebab-akibat sebenarnya merupakan kebiasaan yang sudah ada dalam gagasan ide kita sehari-hari. Keniscayaan hubungan sebab-akibat tidak pernah bisa diamati, kata Hume, karena semua itu masih bersifat kemungkinan.[cv] Pandangan Hume ini kemudian menjadi inspirasi Immanuel Kant dalam mengkritik rasio murni.
Filsafat Moral al-Ghazali
Seperti dijelaskan sebelumnya, filsafat moral merupakan masalah pokok bagi al-Ghazali. Sentral filsafat menurutnya adalah etika. Pandangannya tersebut merupakan dampak dari kehidupan sufistiknya. Selain itu, faktor utama yang menyebabkan dirinya memandanga filsafat etika (moral) sebagai yang lebih utama daripada filsafat metafisika adalah bahwa etikalah yang menjadi dasar social of change. Dengan etika juga, manusia akan mendapatkan kebahagian. Bagi al-Ghazali, seperti diungkapkan Amin Abdullah, bukanlah diskursus metafisika yang rumit dan mendalam yang dapat membimbing manusia untuk meraih keutamaan [kebahagiaan], melainkan aspek praktis atau moralitas (etika) yang dapat melayani tujuan tersebut [keutamaan/kebahagiaan][cvi]
Ada tiga teori penting mengenai tujuan mempelejari akhlak. Pertama, mempelajari akhlak sekedar sebagai studi murni teoritis, yang berusaha memahami cirri kesusilaan (moralitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi perilaku orang yang mempelajarinya. Kedua, mempelajari akhlak dengan tujuan meningkatkan sikap dan perilaku sehari-hari. Ketiga, karena akhlak terutama merupakan subyek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalam penyelidikan akhlak harus terdapat kritik yang terus menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga akhlak menjadi suatu subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri.
Menurut Hasyimsyah Nasution, al-Ghazali menyetujui teori kedua. Dia (al-Ghazali) menyatakan bahwa studi tentang ilmu muamalah dimaksudkan guna latihan kebiasaan yang mana tujuan dari latihan tersebut adalah untuk meningkatkan keadaaan jiwa agar kebahagiaan dapat dicapai diakhirat. Tanpa kajian ilmu ini, kebaikan tak dapat dicari dan keburukan tak dapat dihindari dengan sempurna. Prinsip-prinsip moral dipelajari dengan maksud menerapkan semuanya dalam kehidupan sehari-hari. al-Ghazali menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak diamalkan tidak lebih baik daripada kebodohan.[cvii]
Lalu, bagaimana cara memperoleh prinsip-prinsip moral tersebut? Bagi al-Ghazali, untuk memperoleh dan mempelajari prinsip-prinsip moral tersebut adalah melalui bimbingan seorang Syaikh. Dalam Ihya Ulum al-Din, kata Amin Abdullah, al-Ghazali dengan jelas menyatakan pentingnya Syaikh atau pembimbing moral sebagai figur sentral. Figur pembimbing moral atau rohaniah ini terkait erat dengan inti etika mistik (sufi) al-Ghazali.[cviii]
Pandangan al-Ghazali ini, lagi-lagi berbeda dengan para filosof kebanyakan. Menurut para filosof, konsep tentang etika terkait dengan rasio. Bahwa prinsip-prinsip moral bisa didapatkan atau diketahui dengan rasio. Konsep para filosof muslim kebanyakan ini, memang merupakan pengaruh dari konsep etikanya Aristoteles. Bahwa baik dan buruk, menurut Aristoteles ditentukan oleh akal (rasio). Konsep Aristoteles ini juga banyak berpengaruh terhadap konsep etika yang dianut kelompok Mu’tazilah.
Nah, bagi al-Ghazali, seperti kelompok Asy’ariyah, bahwa baik dan buruk adalah kewenangan Allah yang terwujud dalam wahyu (al-Quran dan hadits). Akal (rasio) tidak akan dapat mencapai pengetahuan baik dan buruk (moral/etika).[cix] Al-Ghazali, kata Amin Abdullah, menolak rasio sebagai “prinsip pengarah” dalam tindakan etis manusia. Al-Ghazali memilih wahyu melalui intervensi ketat dari Syaikh atau pembimbing moral sebagai pengarah utama bagi orang-orang pilihan dalam mempercayai keutamaan mistik.[cx]
Masalah etika memang menarik untuk dikaji. Dalam wacana para filosof pun, moralitas telah lama diperbincangkan. Hasilnya, masih saja berkutat pada teori. Mereka masih saja belum menemukan titik temu tentang moralitas, terutama menyangkut baik dan buruk. Hal tersebut dikarenakan landasan dasar mereka dalam menentukan baik dan buruk adalah akal. Sebagian diantara mereka ada yang pada akhirnya, mengakui relativitas etika. Bahwa baik dan buruk itu tergantung orangnya (subyektif). Aliran ini tidak mengakui adanya etika universal. Di lain pihak, ada juga yang malah menganggap bahwa etika (moralitas) itu adalah absolute.[cxi] Di sinilah sebenarnya yang ingin ditekankan al-Ghazali. Bahwa baik dan buruk sejatinya akan didapatkan dengan pasti, tanpa ragu, hanya melalui wahyu.
Pandangan bahwa akal murni tidak bisa dijadikan landasan etika ternyata diakui juga di Barat. Filosof asal Jerman, Immanuel Kant, dengan tegas menolak rasio murni sebagai landasan etika. Menurut Kant, etika bersifat fitri. Meskipun demikian, sumbernya tidak bersifat rasional atau teoritis. Bahkan, menurutnya, ia bukanlah urusan “nalar murni”. Justru, apabila manusia menggunakan nalarnya dalam berusaha merumuskan etika, ia dengan sendirinya tidak akan sampai pada etika sesungguhnya. Di samping bakal berselisih satu sama lain mengenai mana baik dan mana buruk, etika yang bersifat rasional sudah bukan lagi etika, melainkan bisa terjebak ke dalam perhitungan untung-rugi.[cxii]
Immanuel Kant dan al-Ghazali dalam hal ini sama, bahwa etika; baik dan buruk bukanlah dan atau tidak dapat diketahui melalui nalar murni, keduanya lebih menekankan pada faktor kewajiban sebagai sumber tindakan etis. Hanya saja, untuk mengetahui kewajiban tersebut al-Ghazali dan Kant berbeda. Bagi al-Ghazali, kewajiban itu hanya akan dapat diketahui melalui wahyu. Sementara bagi Kant, kewajiban itu didasarkan pada nalar praktis (perbuatan).
Bisa jadi, pandangan-pandangan al-Ghazali memang melekat dalam diri Kant. Kant mengakui sendiri bahwa dalam epistemologi filsafat spekulatifnya memang dipengaruhi oleh David Hume.[cxiii] Sementara menurut beberapa penelilti, dalam beberapa hal, Hume memang terpengaruh oleh al-Ghazali.[cxiv] Tidaklah mengherankan jika filsafat Kant hampir sama dengan al-Ghazali. Al-Ghazali memang lebih cenderung pada kekuatan hati dalam mendapatkan kebenaran di bandingkan rasio. Begitu juga dengan Kant. Menurut Russel, filsafat Kant lebih tertarik pada hati nurani ketimbang nalar teoritik [rasio] yang kaku.[cxv]
Filsafat Logika, Matematika dan Fisika Menurut al-Ghazali
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, al-Ghazali tidaklah menolak logika. Bahkan menurut Iqbal, sebagaimana dikutip Nurcholis Majid, al-Ghazali secara keseluruhan dalam bidang logika adalah pengikut Aristoteles. Ini dapat dilihat dari bukunya, al-Qisthas, dimana al-Ghazali meletakan beberapa argumen al-Quran dalam bentuk pemikiran Aristoteles.[cxvi]
Logika menurut al-Ghazali, tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Logika berisi penyelidikan tentang dalil-dalil pembuktian, silogisme, syarat-syarat pembuktian, definisi-definisi, dan sebagainya. Semua persoalan itu tidak perlu diingkari, sebab masih sejenis dengan yang dipergunakan mutakallimin, meskipun kadang-kadang berbeda istilah.[cxvii] Bahkan, Menurut al-Syarafa, al-Ghazali terkadang memakai ilmu logika untuk mendukung ajaran agama.[cxviii]
Sikap al-Ghazali terhadap logika tersebut mendapat komentar positif dari Dr. Sayyid Ahmad. Menurutnya, sikap al-Ghazali bisa dibenarkan tatkala ia membela ilmu logika, karena ilmu logika berperan besar dalam membela akidah Islam yang menangkis serangan musuh-musuhnya yang mempersenjatai diri dengan pola pikir analogis-Aristoteles. Dalam kondisi seperti ini, umat Islam membutuhkan senjata yang juga dipakai musuh untuk melawan mereka. Dan, senjata itu tak lain dan tak bukan adalah ilmu logika.[cxix]
Apa yang diungkapkan Sayyid Ahmad tidaklah berlebihan. Pada saat sekarang ini, memang logika begitu dibutuhkan untuk menangkis, bahkan menyerang balik serangan-serang luar yang ingin menghancurkan ajaran Islam dengan kedok rasionalisme dan ilmiah.
Meskipun begitu, seperti sikapnya terhadap ilmu-ilmu yang datang dari luar, al-Ghazali menyebutkan bahaya dari logika. Bahaya yang ditimbulkan oleh logika, menurut al-Ghazali adalah, karena syarat-syarat pembuktian bisa menimbulkan keyakinan, maka syarat-syarat pembuktian tersebut juga menjadi pendahuluan dalam persoalan ketuhanan (metafisika), padahal sebenarnya tidaklah demikian.[cxx] Hal ini memang menjadi dasar al-Ghazali dalam hal metafisika, seperti disebutkan sebelumnya. Baginya, persoalan-persoalan metafisika tidak akan tepat jika diserahkan pada logika. Metafisika haruslah diselesaikan dengan wahyu.
Sementara dalam bidang matematika, al-Ghazali, kata al-Syarafa, tidaklah begitu jenius. Pun demikian, al-Ghazali mengakui kebenaran prinsip-prinsipnya.[cxxi] Menurut al-Ghazali, Ilmu ini mencakup ilmu hitung, teknik dan astronomi. Ilmu matematika adalah ilmu pasti yang bisa dibuktikan kebenarannya. Karena kepastiannya inilah, maka sebagian orang mempercayai para filosuf. Ilmu ini sama sekali tidak mempunyai kaitan dengan agama, baik dalam posisi menafikan atau menetapkan ajaran-ajaran agama.[cxxii]
Meskipun al-Ghazali mengakui tingginya nilai ilmu matematika bangsa Yunani, ia tetap menyebutkan pengaruh buruk yang ditimbulkannya pada dunia Islam. Di antara pengaruh buruk itu antara lain adalah; umat Islam dibuat terpana oleh keakuratan absolut. Mereka menganggap ilmu para filosof adalah benar dan akurat seperti keakuratan matematika. Akhirnya, banyak di antara umat Islam yang meniru secara membabi buta semua perilaku para filosof, termasuk jika para filosuf itu kafir dan tidak mempercayai syariat.[cxxiii] Lebih jauh al-Ghazali menyatakan;
Betapa aku melihat banyak sekali manusia yang meninggalkan keimanan karena menyaksikan kemajuan matematika dan menafikan tempat bergantung selain kepada matematika. Padahal kenyataannya, jika seseorang mempunyai kemampuan hebat dalam satu bidang, belum tentu ia mampu menguasai semua bidang dengan hebat. Setiap bidang mempunyai ahli dan pakarnya yang mencapai prestasi puncak. Bisa saja orang pandai dalam satu bidang, tetapi dalam bidang lain ia bodoh. Temuan para pakar terdahulu dalam ranah matematika dapat dibuktikan kebenarannya secara pasti, tetapi pencarian mereka akan Tuhan masih bersifat dugaan dan kira-kira, tidak mampu menggapai suara kebenaran. Lebih jauh dari itu, dugaan dan kira-kira itu membuat mereka tersesat.[cxxiv]
Pernyataan al-Ghazali di atas semakin memperjelas aspek filsafat apa yang dikritik dan ditolak oleh al-Ghazali. Baginya, masalah-masalah ketuhanan jika diselesaikan dengan filsafat yang menyandarkan sepenuhnya pada akal, tidak akan tepat. Sebab, metafasika tidak sama dengan matematika yang salah dan benarnya bisa diukur dengan rumus-rumus tertentu.
Dalam bidang fisika, al-Ghazali juga tidak mempermasalahkannya. Menurutnya, ilmu fisika yang membicarakan planet, unsur-unsur tunggal, seperti air, udara, tanah dan api, kemudian benda-benda tersusun seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, logam, sebab-sebab perubahan dan pelarutannya, tidaklah bertentangan dengan agama. Sebagaimana untuk agama tidak disyaratkan mengingkari ilmu kedokteran, maka demikian pula ilmu fisika juga tidak perlu diingkari, kecuali dalam empat persoalan; bahwa alam ini dikuasai oleh Tuhan, tidak bekerja dengan sendirinya.[cxxv]
Filsafat al-Ghazali Tentang Jiwa
Menurut al-Ghazali, manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa, yang menjadi inti hakikat menusia adalah makhluk spiritual rabbani yang sangat halus (lathifa rabbaniyah ruhaniyyah). Istilah-istilah yang digunakan oleh al-Ghazali untuk itu adalah al-Qalb, ruh, nafs dan ‘Aql.
Jiwa menurut al-Ghazali adalah suatu zat (jauhar) dan bukan suatu keadaan atau aksiden (ardh), sehingga ia ada pada dirinya. Jasadlah yang adanya bergantung kepada jiwa, dan bukan sebaliknya. Jiwa berada di alam spiritual, sedangkan jasad di alam materi. Jiwa, bagi al-Ghazali, tidak berawal dengan waktu, seperti menurut Plato, dan filosof lainnya. Tiap jiwa pribadi diciptakan Allah di alam alas (alam al-Arwah) pada saat benih manusia memasuki rahim dan jiwa lalu dihubungkan dengan jasad. Setelah kematian, jasad musnah tapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan kematian tersebut, kecuali kehilangan wadahnya. Jiwa mempunyai kemampuan memahami, sehingga persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia, dan seluruh berita tentang akhirat membawa makna dalam kehidupan manusia. Tidak demikian halnya dengan fisik. Sebab, apabila fisik manusia mempunyai kemampuan memahami, obyek-obyek fisik lainnya juga mesti mempunyai kemampuan memahami, kenyataannya tidak demikian.
Menurut al-Ghazali, kendatipun para filosof muslim meyakini keabadian jiwa, tetapi pembuktian mereka dengan akal, hanya bisa ke taraf kemungkinan. Pengetahuan pasti tentang kebakaan hanya diberikan oleh agama. Bagi al-Ghazali, jiwa yang berasal dari ilahi mempunyai potensi kodrat (ashl al-Fithrah), yaitu kecenderungannya kepada kebaikan dan keengganan kepada kekejian. Pada waktu lahir, ia merupakan zat yang bersih dan murni dengan esensi malaikat (‘alam al-Malakut atau ‘alam al-Amr, Qs. 17: 85), sedangkan jasad berasal dari ‘alam al-Khalq. Karena itu, kecenderungan jiwa kepada kejahatan (yang timbul setelah lahirnya nafsu) bertentangan dengan tabi’at asli. Kerena itu, jiwa rindu akan alam atas dan ingin mendampingi malaikat, namun kerap kali diredam keinginan duniawi.[cxxvi]
Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah setiap jiwa diberi jasad, sehingga dengan bantuannya jiwa bisa mendapatkan bekal bagi hidup kekalnya. Jiwa merupakan inti hakiki manuisia dan jasad hanyalah alat baginya untuk mencari bekal dan kesempurnaan; karena jasad sangat diperlukan oleh jiwa, maka ia harus dirawat dengan baik.
Semua yang ada pada jasad merupakan “pembantu jiwa”. Sebagian dari pembantu jiwa itu terlihat nyata, seperti tangan, kaki dan bagian-bagian tubuh luar dan dalam yang lain. Pembantu lain yang tidak terlihat, dapat dikelompokkan kepada tiga, yaitu; a) Yang merupakan sumber bagi motif (dorongan) dan rangsangan. Motif untuk mendapatkan yang bermanfaat disebut keinginan, dan motif untuk menolak yang merusak dinamakan kemarahan., b) Kekuatan yang menggerakan anggota badan ke arah benda yang diinginkan atau menjauhi benda yang dibenci: ini menebar pada semua anggota tubuh, khususnya pada otak dan syaraf, c) kemampuan menangkap pengetahuan, yang terdiri dari dua macam alat; yang pertama panca indera, dan yang kedua adalah lima daya yang berada pada lima tempat di otak manusia. Kemampuan-kemampuan ini dalah daya khayal (takhayyul), daya simpan atau retensi (tahaffuzh), daya fikir (tafakkur), daya ingat (tadzakkur), dan sensus communis (al-hiss al-musytarak). Semua indera dan daya ini juga ditemukan pada hewan-hewan. Adapun daya yang khas pada jiwa manusia, yaitu daya pencapai pengetahuan, yakni akal. Akal mengetahui kenyataan-kenyataan di dunia ini dan di akhirat yang tak dapat ditangkap oleh indera. Akal juga tahu akibat dari suatu perbuatan.[cxxvii]
Selain hubungan jiwa dan jasad seperti di atas, al-Ghazali juga menyebutkan bahwa hubungan dimaksud pada hakikatnya sama dengan interaksionisme. Meskipun jiwa dan jasad merupakan wujud yang berbeda, keduanya saling mempengaruhi dan menentukan jalan masing-masing. Karena itu, bagi al-Ghazali, setiap perbuatan akan menimbulkan pengaruh pada jiwa, yakni membentuk kualitas jiwa, asalkan perbuatan itu dilakukan secara sadar. Perbuatan yang dilakukan berulang-ulang selama beberapa waktu akan memberi pengaruh yang mantap pada jiwa. Sementara perbuatan yang dilakukan tanpa sadar, tidak akan mempengaruhi jiwa. Demikian pula sebaliknya, jiwa mempengaruhi jasad; apabila suatu kualitas telah dimiliki oleh jiwa, perbuatan anggota yang bersesuaian dengan kualitas ini terdorong untuk dilaksanakan. Kemauan atau keengganan untuk melakukan suatu perbuatan tergantung pada kuat atau lemahnya kualitas tadi. Lebih jauh al-Ghazali menegaskan, karena interaksi inilah jiwa itu diturunkan ke alam benda duniawi agar ia dapat menyempurnakan dirinya melalui amal perbuatan.[cxxviii]
Filsafat al-Ghazali Tentang Kenabian
Untuk mengetahui pandangan al-Ghazali tentang kenabian, terlebih dahulu harus dipahami konsep kenabian menurut para sufi. Ini sangatlah penting, sebab dari pembahasan ini, kita dapat mengetahui apakah al-Ghazali memang memegang teguh prinsip keagamaan yang sudah disepakati oleh umat Islam, atau sama dengan pandangan para sufi. Pembahasan ini sekaligus akan memberikan gambaran sikap dan komitmen al-Ghazali terhadap keyakinan-keyakinan dasar yang dianut dan diyakini madzhab sunni.
Orang-orang sufi kebanyakan meyakini, bahwa kenabian dapat diraih melalui latihan-latihan (riyadoh) batin dan ruhani. Memang kita tidak akan mendapatkan ungkapan secara langsung dari para sufi yang mengaku dirinya sebagai nabi. Paling-paling kita akan menemukan syatahat-syatahat dari mereka. Dan jika dilihat, ungkapan tersebut malah lebih berbahaya dari pada ungkapan pengakuan sebagai Nabi. Tidak sedikit orang-orang sufi yang ketika dirinya dalam keadaan fana, mengucapkan ungkapan-ungkapan ghuluw, seperti ungkapan pengakuan dirinya sebagai Tuhan.
Kita bisa melihat misalnya, ungkapan Suhrawardi, Ibn Masarrah dan Ibn Arabi.[cxxix] Seperti diutarakan Ibrahim Hilal, Suhrawardi meyakini adanya kesamaan antara para wali atau para ahli hikmah yang mendalam ketuhanannya dengan para nabi. Ia menghubungkannya dengan akal aktual (Jibril) yang menurutnya merupakan sumber makrifat dan wahyu. Kesempurnaan dua golongan (Nabi dan wali) belum terwujud kecuali setelah penyucian jiwa dengan ibadah fisik dan melakukan perenungan. Kemudian, kedua golongan (nabi dan wali) itu mulai beranjak dari tingkatan-tingkatan rasional menuju tingkatan emanasi dan mengambil ilmu dari akal aktual.[cxxx]
Masih menurut Suhrawardi, hubungan langsung dengan akal aktual bisa mereka (para nabi dan wali) mulai ketika mereka telah mencapai puncak penyucian diri dan penanggalan diri dari berbagai keinginan duniawi. Kewalian, menurut Suhrawardi, adalah sama dengan kenabian dan merupakan hasil dari emanasi yang terus berlangsung. Kenabian terus berlangsung sampai tidak ada zaman yang tidak ada nabinya.[cxxxi]
Begitu juga dengan Ibn Masarrah. Sufi asal Andalusia ini berkeyakinan bahwa kenabian dapat diraih dengan usaha-usaha. Menurut Ibn Hazm, Ibn Masarrah berpendapat bahwa kenabian adalah sebuah maqam yang bisa dicapai dengan usaha (ikhtisabi). Orang yang telah mencapai puncak kesalihan dan kesucian jiwa, menurut Ibn Masarrah, bisa mendapatkan maqam kenabian. Kenabian pada dasarnya bukanlah sesuatu yang istemawa.[cxxxii]
Adapun pendapat Ibn ‘Arabi tentang kenabian tidaklah jauh berbeda dengan Suhrawardi dan Ibn Masarrah. Bahkan, Ibn ‘Arabi melangkah lebih jauh. Jika menela’ah pemikiran Ibn ’Arabi tentang kenabian, akan tampak jelas bagaimana dia memposisikan para nabi dan para wali. Ini bisa dilihat dari pemaparan dia tentang ilmu laduni. Ibn ’Arabi menyatakan;
”ilmu ini (ilmu laduni) hanya untuk utusan Allah terakhir dan wali terakhir. Tiada seorang nabi dan rasul pun kecuali berdasarkan petunjuk rasul yang terakhir. Dan tidak ada seorang wali pun menjadi wali kecuali atas petunjuk wali yang terakhir. Bahkan, sesungguhnya para rasul pun tidak akan mendapatkannya kecuali atas petunjuk wali yang terakhir. Dengan demikian, para rasul yang juga merupakan para nabi tidak akan mendapatkan apa yang kita sebutkan di atas kecuali atas petunjuk wali yang terakhir..[cxxxiii]
Ketahuilah bahwa langit kewalian adalah maha luas, lebih meliputi, dan lebih sempurna dari segi rasional. Sementara itu, langit kenabian adalah langit yang sempurna untuk seseorang saja; dan langit kerasulan adalah langit yang dekat.[cxxxiv]
Dari pemarapan di atas, kita dapat melihat bagaimana pandangan Ibn ’Arabi tentang kenabian; bahwa kewalian lebih utama dari kenabian. Tidak hanya itu, Ibn ’Arabi juga berpandangan bahwa kenabian tetap ada dan hakikat kenabian itu teradapat pada diri para wali. Bagi Ibn Arabi, kenabian secara zahir (tampak) sudah berhenti, namun kenabian secara batin tidaklah terputus, melainkan terus ada. Kenabian batin dalam istilah Ibn ’Arabi diistilahkan dengan kenabian para wali. Untuk melegitimasi konsepnya tersebut, Ibn ’Arabi menakwailkan hadits ; ”Tidak ada rasul setelahku (Nabi Muhammad), juga tidak akan ada nabi”. Menurutnya, nabi dalam hadits tersebut adalah nabi yang menentukan syari’at atau penentu syari’at baginya, yang berarti nabi yang datang dalam rangka melanjutkan syari’at nabi sebelumnya.[cxxxv] Artinya, kenabian, menurut Ibn ’Arabi, tidak terputus kecuali hanya dalam aspek tertentu saja. Oleh karena itu, hukum kenabian tetap ada, sementara hakikatnya ada pada diri para wali.[cxxxvi]
Jika ditelusuri lebih jauh, konsep kenabian yang diyakini para sufi sangat dipengaruhi oleh teori emanasi. Seperti diketahui, teori emanasi menyatakan bahwa alam ini diciptakan melalui pancaran yang kemudian melahirkan akal pertama, kedua, ketiga, sampai kepada akal sepuluh. Akal sepuluh ini, yang juga sering disebut sebagai akal aktual, adalah malaikat Jibril. Dari akal sepuluh ini munculah alam beserta isinya, termasuk jiwa manusia. Menurut teori emanasi, jiwa-jiwa manusia yang terpancar dari akal sepuluh dapat melakukan interaksi secara terus menerus dengan akal sepuluh (Jibril). Interaksi tersebut dapat terjadi jika jiwa-jiwa manusia itu telah suci dengan melakukan berbagai riyadhah batin. Karenanya, tidaklah mengherankan, bila para sufi kemudian meyakini bahwa kenabian dapat diraih dengan usaha, yakni melalui riyadhoh batin. Mereka juga sering mengemukakan justifikasi terhadap keyakinannya itu, dengan argumentasi bahwa Muhammad bin Abdullah sebelum menjadi nabi melakukan uzlah di Gua Hira guna menyucikan jiwanya dan pada akhirnya mendapatkan wahyu dari Jibril.
Teori emanasi inilah yang juga menyebabkan sebagian filosof muslim iluminasi mempunyai pandangan atau keyakinan yang sama dengan para sufi. Al-Farabi dan Ibn Sina misalnya. Menurut mereka, para filosof bisa berhubungan dengan alam malakut, yakni dengan akal fa’al (akal aktual), Jibril. Artinya, bagi mereka berdua, para filosof bisa mencapai kenabian, atau minimal mendapat derajat yang sama dengan para nabi yang mendapat akal limpahan dari akal fa’al, Jibril. Hanya saja, terdapat sedikit perbedaan antara filosof muslim iluminasi dengan para sufi mengenai metode atau cara mendapatkan akal limpahan dari akal fa’al, Jibril. Bagi para sufi, interaksi dengan akal fa’al bisa didapatkan dengan cara penyucian jiwa. Sementara menurut para filosof, interaksi dengan akal fa’al bisa dicapai melalui latihan-latihan rasional sehingga mendapatkan akal mustafad.
Bagaimana dengan al-Ghazali? Meskipun al-Ghazali dikenal sebagai pengkritik teori emanasi, namun sebagai seorang sufi, dia terpengaruh juga oleh teori tersebut. Dalam sebagian konsepnya, pengaruh iluminasi melekat dalam pemikiran al-Ghazali. Kita bisa melihat dari pemaparan al-Ghazali tentang metode untuk meraih penyingkapan dan pencapaian makrifat atau ilmu laduni.
Bagi al-Ghazali, ilmu laduni bisa dicapai dengan melakukan penyucian kalbu (hati). Ilmu yaqin (ilmu ladunni) adalah ilmu yang bisa menyingkapkan objeknya dengan keterbukaan yang tidak menyisakan keraguan sedikit pun dan tidak dihantui oleh kemungkinan keliru dan salah dugaan.[cxxxvii] Ilmu yakini (ilmu ladunni) tidak bisa diukur dan diraih dengan parameter rasional, melainkan bisa diraih dengan kalbu dan mata batin (bashirah). Objek mata batin itu sendiri adalah alam malakut (alam kerjaan), yakni sebuah alam yang berada di balik alam semesta.
Menurut al-Ghazali, seperti dikutip Dr. Ibrahim Hilal, kalbu memiliki dua pintu; pertama, pintu yang terbuka menuju kepada alam malakut (alam kerajaan), yakni lauh al-Mahfuzh dan alam malaikat; kedua, pintu yang terbuka menuju kelima saluran alat inderawi (panca indera) yang selalu bersentuhan dengan kerajaan dunia atau alam semesta. Pintu pertama merupakan jalan para wali, sedangkan pintu yang kedua merupakan jalan para ulama (cendekiawan).[cxxxviii]
Di sini kita dapat mengetahui, bahwa al-Ghazali juga sama-sama mempunyai pemikiran bahwa manusia bisa mencapai alam malakut (alam kerjaan) dan alam malaikat (lauh al-Mahfuzh). Namun, apakah al-Ghazali sama seperti para sufi iluminasi dan para filosof muslim yang menganut emanasi, atau tidak? Apakah manusia, dalam hal ini adalah para wali, dapat berinteraksi dengan Jibril atau tidak?
Untuk mengetahui masalah ini, nampaknya kita harus mengetahui terlebih dahulu pandangan al-Ghazali mengenai cara atau metode para nabi dan para wali dalam mendapatkan ilmu. Bagi al-Ghazali, para nabi dan para wali sama-sama memperoleh ilmu langsung dari Allah, bukan melalui belajar, penelitian dan penela’ahan. Para wali tidak seperti para ulama yang mendapatkan ilmu dengan belajar dan meneliti. Para wali langsung mendapatkan ilmu dari Allah (ilmu ladunni). Al-Ghazali menyatakan;
“Para nabi dan wali tidak memperoleh ilmu melalui belajar, penelitian, dan penelaahan atas berbagai buku. Ilmu mereka diperoleh melalui zuhud di dunia, dan menyingkirkan kesibukan-kesibukan duniawi dari kalbu, serta berkonsentrasi kepada Allah..”[cxxxix]
Dari pernyataan di atas, al-Ghazali terlihat seakan-akan menyamakan derajat para nabi dan para wali. Bahwa pengetahuan keduanya tidak didapatkan melalui upaya dan kerja keras, melainkan merupakan anugerah. Sebagaimana kenabian, pengetahuan wali tidak didapatkan melalui pembelajaran dan penela’ahan. Pengetahuan atau ilmu para wali didapatkan langsung dari Allah melalui ilham.
Menurut al-Ghazali, Ilmu yang dihasilkan melalui usaha dan penggunaan dalil disebut dengan I’tibar dan istibshar. Sementara itu, ilmu yang dihasilkan tanpa melalui usaha susah payah dan penggunaan dalil disebut dzawq dan kasyf (terbukanya hijab penghalang). Ilmu yang disebut terakhir berupa ilham atau wahy, yang hanya terjadi pada para nabi seperti halnya ilham khusus untuk para wali dan orang-orang pilihan.
Ilham berbeda dari wahyu. Segi perbedaannya terletak pada perbedaan bahwa penerima ilham tidak melihat malaikat yang memberikan ilmu, sementara dalam wahyu para nabi melihat Jibril ketika memberikan wahyu itu.[cxl]
Di sini kita bisa mengetahui, meskipun al-Ghazali mempunyai pandangan bahwa manusia, dalam hal ini adalah para wali dan orang-orang pilihan, bisa berhubungan dengan alam malakut dan alam malaikat (lauh al-Mahfuzh), namun tetap saja tidak bisa berinteraksi langsung dengan Jibril. Karenanya, menurut al-Ghazali, seorang yang bisa berhubungan dengan alam malakut dan alam malaikat, tidak mendapatkan wahyu, melainkan hanya mendapatkan ilham.
Ada sedikit yang menjadi persoalan dari ungkapan al-Ghazali yang menyamakan metode mendapatkan ilmu antara para nabi dan para wali, bahwa para wali mendaptkan ilmu tidak melalui pembelajaran dan penela’ahan. Jika demikian, perbedaan antara nabi dan wali tidaklah signifikan. Bukankah derajat seseorang, salah satunya ditentukan oleh ilmunya. Jika cara dan metode ilmu para wali dan para nabi tidaklah berbeda, maka derajatnya pun tidak berbeda. Sebenarnya, inilah yang melatarbelakangi Suhrawardi, Ibn Masarrah dan Ibn ’Arabi menyamakan antara para wali, sufi dan para nabi. Bagi mereka, tidak ada perbedaan antara wali dan nabi, sebab mereka mendaptkan ilmu dengan cara yang sama. Akan tetapi, seperti diungkapkan Ibrahim Hilal, al-Ghazali kelihatannya meralat pemikirannya dengan pernyataan bahwa secara khusus para wali mendapatkan ilmu melalui riyadhah dan penyucian batin. Dalam kenyataannya, al-Ghazali meyakini bahwa para nabi berada dalam derajat yang paling tinggi dan menjelaskan bahwa, bagi para nabi, keterbukaan hakikat terjadi secara menyeluruh atau, paling tidak, sebagian besar hakikat itu tersingkap bagi mereka tanpa melalui usaha dan jerih payah. Akan tetapi, penyingkapan ilahi itu terjadi dalam waktu yang singkat.
Sikap al-Ghazali yang membedakan dengan sangat jelas antara nabi dan para wali terlihat dari pernyataannya; Tidak ada seoerang pun yang mengetahui hakikat Allah kecuali Allah..dan tidak ada yang mengetahui hekikat kenabian kecuali nabi.”[cxli]
Oleh karenanya, al-Ghazali pada fase di akhir-akhir hidupnya, dalam kitab iljam al-‘Awam, menegaskan bahwa kekuatan mata batin dan daya penyaksian (musyahadah) para sufi dan wali ada batasnya. Dan orang yang paling tahu kemashlahatan semua hamba Allah, apalagi kemaslahatan akhirat, hanya Rasulullah. Dan sesungguhnya sesuatu yang menguntungkan atau merugikan di akhirat tidak dapat diketahui melalui percobaan. Siapakah yang datang dari alam tersebut, yang menyaksikan apa yang menguntungkan dan merugikan di sana, lalu memberitahukan hal itu kepada kita semua?[cxlii]
Inilah konsep kenabian menurut al-Ghazali. Kenabian adalah anugerah yang diberikan Allah kepada orang-orang pilihan. Kenabian tidak bisa dicapai dengan latihan-latihan (riyadoh) batin. kalau pun ada, paling hanya sebatas menjadi wali Allah. Dan Wali Allah status dan kedudukannya di bawah kenabian. Mereka tidak mendapatkan wahyu seterang para nabi. Para wali hanya mendapatkan ilham, bukanlah wahyu seperti yang diterima oleh para nabi. Wallahu a’lam.
Pengaruh al-Ghazali di Eropa
Dalam literature Barat, al-Ghazali ditempatkan sejajar dengan St. Agustinus, filosof Kristen yang mengarang buku the city of god. Bahkan orientalis H.A.R. Gibb selain menempatkan al-Ghazali sejajar dengan St. Agustinus, al-Ghazali juga disetarakan kedudukannya dengan Martin Luther, pembaharu agama Kristen.[cxliii] Di Eropa Barat, Ghazali mendapat perhatian besar, tak sedikit orang Barat yang memberikan penghargaan kepadanya. Filosof asal Prancis Renan, Pujangga-pujangga Cassanova, Carra de Vaux, adalah orang-orang yang kagum terhadap al-Ghazali.[cxliv]
Masuknya pengaruh filsafat al-Ghazali di benua Eropa tidak bisa dipisahkan dari adanya pengaruh filsafat Ibn Rusyd yang lebih dulu masuk eropa. Pada abad pertengahan, Eropa dikuasai gereja. Gereja yang mengatasnamakan “wakil Tuhan” bertindak tidak manusiawi dan mengekang rasio. Keadaan semacam ini membuat para ilmuwan Eropa menolak dominasi gereja. Alat yang dipakai para ilmuwan saat itu adalah filsafat Ibn Rusyd. Begitu hebatnya pengaruh Ibn Rusyd sampai-sampai di Eropa ada kelompok Averoesme. Ketika gejolak perkembangan Averoesme sedang menjalar di Eropa pada abad pertengahan, gereja menggunakan Tahafut al-Falasifah sebagai pembendungnya. Alexander Hales, seorang pendeta ternama, adalah orang yang paling mashur dalam membelokkan Averoesme kepada filsafat al-Ghazali. Bahkan Santo Thomas Aquines sebagai pemuda Ibn Rusyd dalam beberapa kritiknya terhadap orang yang dipujanya tersebut tidak sedikit ia mendapatkan ilham dari al-Ghazali.[cxlv]
Kesimpulan
al-Ghazali merupakan sosok yang unik dan menarik. Ini dapat dilihat dari perjalanan hidupnya dalam mencari hakikat kebenaran. Mulai dari tasawuf, kemudian berpindah kepada kalam, filsafat, kembali ke tasawuf lagi, dan di akhir kehidupannya kembali ke madzhab salaf. Al-Ghazali, seperti banyak diakui oleh beberapa peneliti, mempunyai peranan dan pengaruh yang besar bagi generasi Islam sesudahnya. Tak heran, bila Samuel Zwemer memasukan al-Ghazali sebagai salah satu tokoh muslim yang paling berpengaruh pasca Nabi Muhammad.
Meskipun al-Ghazali dipandang sebagai yang berpengaruh pada generasi Islam sesudahnya, namun tak sedikit pula yang menganggap al-Ghazali sebagai penyembelih telur emas, sebab telah mengkritik filsafat dan cenderung merendahkan akal. Karenanya, kemudian, al-Ghazali disebut-sebut sebagai aktor utama kemunduran dan kejumudan intelektualisme di dunia Islam.
Namun, seperti dijelaskan dalam makalah, tuduhan tersebut nampaknya tidak berdasar. Sebab, al-Ghazali tidak menafikan peranan akal sebagai alat, wasail, dalam memahami agama. Yang dipersoalkan al-Ghazali adalah jika akal dijadikan sebagai tujuan dan standar kebenaran, terutama jika digunakan dalam masalah-masalah metafasika. Al-Ghazali tidak menolak logika, matematika, kedokteran dan fisika sebagai ilmu yang harus dipelajari oleh umat Islam. Bahkan al-Ghazali menghukuminya sebagai fardu kifayah untuk dipelajari.
Mengenai filsafat, al-Ghazali tidak sepenuhnya menolak filsafat. Yang dikritik al-Ghazali adalah filsafat metafisika. Para filosof muslim, dalam pandangan al-Ghazali, telah menyandarkan masalah-masalah metafisika kepada para filosof Yunani. Padahal, mereka (baca; filosof Yunani) mendasarkan pemikirannya kepada akal yang mempunyai sifat nisbi dan relatif. Karena itulah, para Filosof Yunani sering berbeda pendapat dalam masalah ketuhanan. Bahkan, kata al-Ghazali, mereka telah tersesat dalam menyelesaikan masalah-masalah ketuhanan. Pencarian dan perjalanan para filosof Yunani dalam mencari Tuhan, berujung pada kesesatan. Ini pula yang terjadi kepada para filosof muslim. Para filosof muslim seperti al-Farabi dan Ibnu Sina telah sebegitu jauh menyimpang karena mengikuti para filosof Yunani. Bagi al-Ghazali, masalah metafisika, terutama masalah ketuhanan, tidak bisa diselesaikan dengan logika, namun harus dengan wahyu.
Dalam beberapa hal, terutama dalam tasawufnya, disadari atau tidak, al-Ghazali juga masih saja terpengaruh oleh Plotinus. Pengaruh iluminasi dalam diri al-Ghazali begitu terlihat, terutama ketika memformulasikan konsep ma’rifat dan ilmu laduni.
Terakhir, membaca pemikiran al-Ghazali tidak akan lengkap jika hanya meneliti dan membahasnya dalam satu sisi. Singkatnya, perjalanan intelektual al-Ghazali mulai dari tasawuf, sampai pada madzhab salaf, harus dikaji secara berkesinambungan dan integral, tidak boleh dikotomis. Sebab, hanya dengan cara itulah, pola pikir al-Ghazali secara utuh akan diketahui. Sementara pembahasan yang dikotomis, menurut penulis, hanya akan mendapat gambaran intelektual al-Ghazali secara parsial. Dari sinilah sebenarnya, timbulnya kesalahfahaman terhadap al-Ghazali, sehingga melahirkan kelompok yang pro dan kontra. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
[i] Kata al-Ghazali kadang diucapkan al-Ghazzali (dengan dua z). Dengan menggunakan dua kali z, sebutan al-Ghazali diambil dari kata ghazzal (tukang pemintal benang), hal itu disebabkan terdapat kesesuaian dengan perkerjaan ayahnya, yakni memintal benang wol. Sedangkan al-Ghazali dengan satu z, diambil dari kata ghazalah, nama kampung tempat kelahiran al-Ghazali. Menurut Hanafi, sebutan terakhir inilah yang banyak dipakai di kalangan para pengkaji al-Ghazali. (Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta: 1996, Cet. VI, hal. 135)
[ii] Mengenai tahun kelahiran al-Ghazali, dalam tarikh Hijriah, semua penulis biografi al-Ghazali sepakat, bahwa dia lahir tahun 450 H dan wafat 505 H. Namun, untuk tahun Masehi, penulis biografi berbebada pendapat dalam menetapkan tahun kelahiran al-Ghazali. Ada yang menetapkan tahun 1056 M (Hasyimsya Nasution), 1058 M (Amin Abdullah dan Hasbullah Bakry), 1059 M (Abuddin Nata), dan 1065 M (JWM. Bakker SY). Sedangkan untuk tahun wafatnya, mereka sepakat tahun 1111 M. Karena perbedaan penetapan tahun kelahiran itu, para pengkaji al-Ghazali juga berbeda dalam menetapkan usianya. Ada yang mengatakan beliau berumur 55 tahun, ada juga yang mengatakan 53 tahun. Sebenarnya, hal tersebut bisa kita maklumi, karena memang penanggalan tahun Hijriah dan Qamariyah memiliki selisih perbedaan. Biasanya, perbedaan tersebut sekitar satu atau dua tahun. Jika kita melihat biografi Nabi Muhammad menurut orientalis misalnya Prof. Dr. Marcel A. Boisard. Dia menyebut usia beliau 61 tahun. (Prof. Dr. Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, terj. H.M. Rasjidi, Bulan Bintang, Jakarta: 1980, cet. 1, hal. 50) Padahal kebanyakan dalam literature Islam, usia beliau adalah 63 tahun (Syaikh Shafiyyurahman al-Mubarakfury, al-Rahiiq al-Makhtum; Sirah Nabawiyah, terj. Khatur Suhardi, Pustaka al-Kautsar, Jakarta: 2000, cet. Ke-9, hal. 619 dan Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah; Analisis Ilmiah Manhajian Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rosulullah, Alih Bahasa, Ainur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc, Robbani Press, Jakarta: 2000, cet. Ke-III, hal. 452)
[iii] Prof. Dr. Juhaya s. Praja. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Yayasan Piara, Bandung: 1997, hal 136
[iv] A. Syafi’I Ma’arif. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Mizan. Bandung, 1993. hal 54
[v] Drs. H.M. Darwis Hude. Et. al, Cakrawala Ilmu dalam Al-Quran. Pustaka Firdaus. Jakarta, 2002. hal 629
[vi] Drs. H.M. Darwis Hude, et all, Loc.Cit. Lihat juga Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam; Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan Qardhawi, (Mizan: Bandung: 2006), cet. Ke-2, hal 163
[vii] Ibid. Menurut al-Ghazali, kebersatuan dengan Tuhan (ittihad) secara rasional tidak mungkin terjadi. Dalam memperkuat ketidakmungkinan hal itu terjadi, ia menggambarkan bersatunya dua Zat yang memiliki tiga kemungkinan. Pertama, masing-masing dari kedua Zat itu masih tetap berada dalam wujudnya semula. Kedua, salah satu di antaranya hilang identitasnya. Ketiga, kedua Zat itu sama-sama hancur. Dalam kemnungkinan pertama, tidak terjadi kebersatuan, begitu pula dalam kemungkinan kedua. Sebab, tidak mungkin akan terjadi kebersatuan antara sesuatu yang maujud dengan sesuatu yang tidak berwujud. Sementara itu, dalam kemungkinan ketiga, pengakuan tentang terjadinya kebersatuan tidaklah benar, karena yang paling tepat dalam kemungkinan ketiga, kita gunakan istilah “menghilang” (inidam) dan bukan “bersatu” (ittihad). Dalam menolak pemikiran inkarnasi, al-Ghazali menjelaskan bahwa inkarnasi bisa terjadi di antara dua materi (jism), padahal Allah yang bebas dari sifat material, sangat mustahul inkarnasi terjadi padaNya. Kedua, inkarnasi terjadi di antara aksiden (‘ardh) dan substansi (jauhar), karena sesungguhnya aksiden aka nada nilainya bila disertai oleh substansi, dan hal ini sangat tidak mungkin terjadi pad suatu Zat yang berdiri sendiri (atau tidak membutuhkan yang lain). (lihat Dr. Ibrahim Hilal, Tasawuf Antara Agama dan Filsafat; Sebuah Kritik Metodologis, terj. Ija Suntana dan E. Kusdian, Pustaka Hidayah, Bandung: 2002, cet. I, hal. 91-92 dan Dr. Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara al-Ghazali dan Ibn Taimiyah, terj. Muhammad Muchson Anasy, Khalifa, Jakarta: 2005, cet. I, hal. 215) Al-Ghazali mengatakan bahwa dalam perkara ini jangan pernah menyebut bahwa hal ini berlaku pada Allah. Lebih lanjut al-Ghazali mempertegas perbedaanNya dengan segala sesuatu yang baru, dan ketinggianNya ata seluruh makhluk, seraya mengatakan;”Ketika seorang manusia berperilaku dengan perilaku Allah atau asmaNya, sesungguhnya perilaku dan assma itu bagiinya tidak lain hanyalah sifat-sifat yang timbul akibat praduga yang keliru. Sebab, bila tidak demikian, penggunaan istilah khusus dengan asma Allah adalah keliru. (Dr. Ibrahim Hilal, Op,Cit, hal. 92)
[viii] Lihat Muqaddimah Hujjat al-Islam al-‘Allamah Muhammad Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din al-Majlid al-Awwal, Editor Syaikh al-‘Aidarus, Dar al-Jail, Bairut: 1412 H/1992 M, hal. 3. Selanjutnya disebut Muqaddimah Ihya.
[ix] Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Op.cit. hal 136. Al juwaini, namanya Abul Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di Naisabur (Iran), kemudian setelah besar pergi ke kota Mu’askar, dan akhirnya tinggal di kota Baghdad. Kegiatan ilmiahnya meliputi Usul Fiqih dan Theology Islam. Ia mengikuti jejak al-Baqillani dan al-Asy’ari dalam menjunjung tinggi kekuasaan akal pikiran, suatu hal yang menyebabkan kemarahan ahli-ahli hadits kepadanya. Akhirnya ia terpaksa meninggalkan Baghdad, menuju Hejaz dan bertempat tinggal di Makkah kemudian ke Madinah untuk memberikan pelajaran di sana. Karena itu, ia mendapat gelar “Imamul Harramain. Setelah Nizamul Mulk memegang pemerintahan dan mendirikan sekolah Nizamiah di Naisabur, al-Juwaini diminta kembali kenegerinya untuk memberikan pelajaran disana. (A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jayamurni, Jakarta; 1974, cet. 2, hal. 116) Menurut Osman Bakar, tinggalnya al-Juwaini di Mekkah dan Madinah merupakan bentuk hukuman dari pemerintahan Baghdad yang saat itu dikuasai oleh Thugrul Beg. (Osman Bakar, Op,Cit, hal. 181) Sebagaimana diketahui, al-Juwaini merupakan seorang Asy’ari, sementara pemerintahan Thugrul Beg dengan Perdana Mentrinya, Abu Nasr Ibn Mansur al-Kunduri (416-456) yang memberlakukan teologi Syi’ah, sekitar empat tahun sebelum al-Ghazali lahir, (Waryono Abdul Ghafur, M.Ag, Kristologi Islam; Tela’ah Kritis Kitab Rad al-Jami’ Karya al-Ghazali, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2006, cet. 1, hal. 44), bahkan menurut Harun Nasution, ketika itu Baghdad yang dikuasai Dinsti Buwaihi, menganut Teologi Mu’tazilah. (Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press, Jakarta: 2002, Edisi Kedua, Cet. Pertama, hal. 74). Al-Juwaini, karenanya masuk dalam daftar Black list (wanted) dalam pemerintahan Thugrul Beg. Nampaknya, al-Juwaini mendapat perlakuan yang sama dengan yang dialami Imam Ahmad ketika diperlakukan oleh sang khalifah penganut Mutazilah, al-Makmun. Pengejaran terhadap al-Juwaini berhenti ketika Thugrul Begh meninggal dan digantikan oleh keponakannya, Alp Arselan, dengan perdana mentrinya Nizam al-Mulk. Perdana mentrinya ini adalah seorang Asy’ariyah. Ada yang menarik tentang al-Juwaini dan al-Ghazali. Menurut Abdul Fattah Sayyid Ahmad, al-Juwaini pernah merasa iri kepada al-Ghazali sang muridnya itu. Al-Juwaini pernah berkata kepada al-Ghazali, “Engkau telah menguburku hidup-hidup. Tidakkah engkau bersabar hingga aku mati.” (Dr. Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Op,Cit, hal. 62)
[x] Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Loc, Cit.
[xi] Hari Sucipto, Op,Cit, hal 163
[xii] Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam. Raja Grafindo Pustaka. Jakarta, 2000. hal 160
[xiii] Fazlur Rahman, Op.cit. hal 160
[xiv] Osman Bakar, Op,Cit, hal. 210
[xv] Muqaddimah Ihya, hal. 4
[xvi] M. Natsir, Kebudayaan Islam; Dalam Presfektif Sejarah, Editor, Endang Saefudin Anshari, Grimukti Pusaka. Jakarta, 1988. hal 170
[xvii] Muqaddimah Ihya, Loc, Cit.
[xviii] Ibid, Osman Bakar, Op,Cit, hal. 189
[xix] Fazlur Rahman, hal 160
[xx] Lihat misalnya, Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushuul al-Fiqh, Dar al-Hadits, tk, 1423 H/2003 M, hal. 17. Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid I, Logos, Jakarta, 2000, cet. II, hal. 40. Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, Ramadhani Sala, tk, 1982, cet. 2, hal. 154, Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Bumi Aksara, Jakarta: 1991, Cet. I, hal. 68 dan Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma’shum et al, Pustaka Firdaus, Jakarta: 2007, cet. 10, hal. 19. Dalam buku tersebut, Abu Zahrah bahkan memasukkan kitab al-Mustasfa tersebut sebagai salah satu dari tiga kitab termashur dalam bidang ushul fiqih yang mewakili aliran teoritis murni.
[xxi]Ada perbedaan penetapan tanggal wafatnya al-Ghazali jika merujuk kalender Syamsiyah. Menurut Hasbullah Bakry, al-Ghazali meninggal tepat pada 9 Januari 1111 M. (Hasbullah Bakry, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam, Tintamas, Jakarta: 1978, Cet. 3, hal. 49). Informasi dari Hasbullah Bakry ini berbeda dengan Abuddin Nata dan Osman Bakar. Menurut Nata, al-Ghazali meninggal tepat tanggal I Desenber 1111 M (Lihat Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta: 2005, Cet.1, Edisi baru, hal. 209) sementara menurut Osman Bakar, al-Ghazali meninggal tepat pada 18 Desember (lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu Menurut al-Farabi, al-Ghazali dan Quthb al-Din al-Syirazi, terj. Purwanto, Mizan, Bandung: 1993, cet. Ke-3, hal. 189). Mengenai perbedaan ini, bagi penulis tidaklah terlalu signifikan. Perbedaan ini hanya dalam kalender Syamsiyah. Adapun dalam kalender Hijriah, mereka semua sepakat al-Ghazali meninggal tepat pada 14 Jumadil Akhir, dan penulis memilih kalender Hijriah untuk menghindari perselesihan.
[xxii] Ibid, hal. 189. Osman Bakar tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan tradisi di sana, apakah ilmu hadits atau yang lain? Namun jika dilihat dari tulisannya, Osman Bakar dalam kesempatan yang lain dibukunya itu menyebut istilah tradisi dengan hadits. Artinya, saat itu al-Ghazali sedang benar-benar belajar hadits.
[xxiii] Waryono Abdul Ghafur, Op,Cit, hal. 40
[xxiv]Ibn Taimiyah, Dar’u al-Ta’arudh al-Aql wa al-Naql; Menghindari Pertentangan Akal dan Wahyu, terj. Munirul Abidi, M.Ag, Kutub Minar Pustaka Zamzami, Malang; 2004M/1425 H, cet. I, hal. 124
[xxv] Ibn Taimiyah, Naqd al-Manthiq, hal. 54, dikutip oleh Afif Muhammad, Op,Cit, hal. 28.
[xxvi] Untuk mengetahui kebenaran kritikan Ibn Taimiyah terhadap al-Ghazali, lihat Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din wa bidzailihi Kitab al-Mughny ‘an Hamli al-Asfar fi al-Asfar fi Takhriji Ma fi al-Ahya min al-Akhbar li al-‘Allamah Zainudin Abi al-Fadhl Abd al-Rahim bin Husain al-Iraqi, Jilid I, Dar al-Diyan li al-Turats, Cet. I, 1408 H/1987 M. Dalam kitab tersebut, Syakh Alaidrus selaku editor, membandingkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Ihya dengan kitab al-Mughny ‘an Hamli al-Asfar fi al-Asfar karya al-Iraqi. Faktanya, memang terdapat banyak hadits dhaif di sana.
[xxvii]Menurut al-Kilani, meskipun Ibn Taimiyah mengkritik al-Ghazali, namun beliau tetap menghormatinya. Ibn Taimiyah selalu berusaha menepis berbagai tuduhan yang dilontarkan kepadanya, dan jika [Ibn Taimiyah] menemukan suatu kesalahan yang dilakukannya, maka dia segera mencari dalih dari kondisi sekelilingnya. Jika membicarakannya, maka Ibn Taimiyah menyebut penggilan kehormatannya, Abu Hamid, dan jika mengkritik pemikirannya, maka ia maklumi perkara-perkara yang ditemuinya selama menjelajahi terminal filsafat, ilmu kalam dan tasawuf. (Dr. Majid ‘Irsan al-Kilani, Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib, terj. Aspe Sobari Lc dan Amaluddin, Lc, MA, Kalam Aulia Mediatama, 2007, cet. I, hal. 83)
[xxviii] Jaluluddin Abd al-Rahman ibn Abi Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Tahqiq, Abdul Wahab Abd al-Latif, al-Maktabah al-Ilmiyah, Mesir: 1972, hal. 88
[xxix] Nurchalis Majid, Khazanah Intelektualisme Islam. Bulan Bintang. Jakarta, 1984. hal 33
[xxx]Lihat Kata Pengantar terjemahan Ihya Ulum al-Din, Jilid I, Faizan, Surabaya: 1966, hal. 5, dan M. Natsir, Op,Cit, hal 175
[xxxi]Mengenai kontribusi al-Ghazali terhadap generasi intelektual Muslim sesudahnya, silahkan rujuk buku karya Dr. Majid ‘Irsan al-Kilani, Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib, terj. Aspe Sobari Lc dan Amaluddin, Lc, MA, Kalam Aulia Mediatama, 2007, cet. I. Dalam buku tersebut, al-Kilani secara panjang lebar, detail dan mendalam menganalisa peran al-Ghazali dalam melahirkan dan mendidik generasi Islam sesudahnya. Bahkan menurutnya, kunci kemenangan perang salib yang dipimpin oleh Shalahudin al-Ayyubi merupakan buah dari madrasah al-Ghazali.
[xxxii] Waryono Abdul Ghafur, Op,Cit, hal. 63
[xxxiii] Ibid, hal. 66-67
[xxxiv] Dr. Ibrahim Hilal, Op,Cit, hal. 103. Untuk tela’ah lebih mendalam silahkan rujuk kitab Ibn Taimiyah, Naqdh al-Manthiq, Jama’ah Anshar as-Sunnah al-Muhammadiyyah, 1370 H, cet. I, hal. 60
[xxxv] Dr. Ibrahim Hilal, Loc,Cit.
[xxxvi] Ibid
[xxxvii] Istilah salafi disini bukan merujuk kepada sebutan kelompok. Namun lebih kepada pola pikirnya. Artinya, dalam hal ini al-Ghazali bisa disebut sebagai yang mengikuti pola pikir atau metode shalaf al-Shalih.
[xxxviii] Ibid, hal. 104
[xxxix] Dikutip Dr. Ibrahim Hilal, Op,Cit, hal. 102-103, dari buku Imam Abu Hamid al-Ghazali, Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilmi al-Kalam, Maktabah al-Jundi, hal. 271-273.
[xl] Philip K. Hitti, History of The Arab; Rujukan Induk dan Paling Otoritatif Tentang Sejarah Peradaban Islam, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Serambi, Jakarta: 2006, cet. II, hal. 546
[xli] Lihat pemaparan Prof. Dr. Nourouzzaman Shiddiqi, MA, Jeram-Jeram Peradaban Muslim, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 1996, cet. I, hal. 169. Dalam bukunya tersebut, Shiddiqi menjelaskan bahwa ada satu riwayat yang menyebut bahwa penggagas ide Ijtihad telah terutup adalah al-Ghazali. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir perpecahan di kalangan umat Islam yang ditengarai sebagai dampak dari banyaknya ijtihad-ijtihad ulama. Riwayat tersebut, menurut penulis, terlalu mengada-ada. Sebab, menurut al-Ghazali, salah satu penyebab terhijabnya akal dalam pencarian kebenaran sehingga ia (akal) mengalami kejatuhan dan kemorosotan dalam menerima ilmu adalah sikap taklid. (lihat Imam al-Ghazali, Intisari Filsafat al-Ghazali, Alih Bahasa, H. Rus’an, Bulan Bintang, Jakarta: 1989, Cet ke-III, hal. 8) Bagaimana mungkin al-Ghazali mencanangkan “Pintu Ijtihad Tertutup”, sementara dirinya mencela sikap taklid.
[xlii] A. Syafi’I Ma’arif. Op.cit. hal 55
[xliii] Ibid
[xliv] M. Natsir, Op,Cit, hal 171
[xlv] Ibid
[xlvi] Ibid, hal 170
[xlvii] Konsep kebebasan berpikir yang penulis maksudkan di sini, bukan seperti konsepnya orang Barat. Di Barat, kebebasan berfikir dikenal dengan istilah Liberalisme. Liberalisme ini merupakan paham dimana akal menjadi sangat dominan dalam menentukan kebenaran. Akal dibiarkan untuk berpikir sebebas-bebasnya, tanpa batas. Sedangkan dalam tradisi khasanah Islam, kebebasan berpikir istilah lainnya adalah ijtihad. Ijtihad di sini merupakan lawan dari taqlid, suatu sikap mengikuti pendapat orang lain tanpa dasar ilmu. Ijtihad dalam khasanah Islam adalah proses mencurahkan segenap pikiran dalam rangka mencapai pengetahuan yang sesuai dengan kehendak ilahi. Artinya, konsep kebebasan berpikir di sini dibatasi dengan kehendak ilahi. Akal diberikan keleluasaan untuk berpikir dengan berpedoman pada teks-teks ilahi atau teks-teks keagamaan (nushush al-Diniyah).
[xlviii] Dr. Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, terj. H. Syofiyyullah Mukhlas, MA, Khalifa Pustaka al-Kautsar Grup, Jakarta: 2005, Cet. Pertama, hal. 128
[xlix] Dr. Abdul Majid al-Najjari, Pemahaman Islam; Antara Rakyu dan Wahyu. Remaja Rosda Karya, 1997. cet. I. hal 51
[l]Dikutip Syafi’I Ma’arif dari buku Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal. Istambul, Husain Hilmi bin Istambuli, 1981. hal 13
[li]Hujjat al-Islam al-‘Allamah Muhammad Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din al-Majlid al-Awwal, Editor Syaikh al-‘Aidarus, Dar al-Jail, Bairut: 1412 H?1992 M, hal. 23-26
[lii] Fazlur Rahman Opcit. Hal 165
[liii] Dr. Afif Muhammad MA. Dari Teologi ke Ideologi. Pena Merah. Bandung, 2004. hal 93
[liv] Osman Bakar, Op,Cit, hal. 184-5
[lv] Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern, LKiS, Yogyakarta: 2004, hal. 126.
[lvi] Nurcholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, Jakarta, 2000. cet. VI. Hal 137
[lvii]Howard R. Turner, Sains Islam Yang Mengagumkan, terj. Zulfahmi Andri, Yayasan Nuansa Cendikia. Bandung, 2004. hal 44.
[lviii]Nurchalis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 137 Di kutip dari buku Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Relegious Thought in Islam. Lahore; SH. Muhammad Asharaf. 1960. Hal 129
[lix]Dr. Afif Muhammad MA. Pelangi Islam I; Ragam Corak Pemahaman Islam. Khazanah Intelektual. Bandung, 2005. hal 110. Menurut Ali Harb, kritikan yang dilontarkan al-Ghazali terhadap filsafat begitu kuat nilainya. Hal tersebut, diakui sendiri oleh Ibn Sina dan al-Farabi. Mereka berdua mengatakan bahwa, hal-hal kontradiktif (filsafat) yang dibangun al-Ghazali lebih kuat dibanding dengan apa yang harus dimusnahkannya. (Ali Harb. Kritik Nalar al-Quran. LKiS. Yogyakarta, 2003. hal 11). Informasi yang diberikan Ali Harb ini, menurut penulis terlalu berlebihan. Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H. al-Farabi meninggal pada tahun 339 H. Sementara Ibn Sina meninggal pada tahun 428 H. (lihat catatan kaki Muhammed Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, Alih Bahasa, Moch Nur Ichwan, Islamika, Yogyakarta: 2003, cet. I, hal. 58-60) Dengan demikian, al-Ghazali tidak pernah bertemu dan tidak sejaman baik dengan Ibn Sina, apalagi dengan al-Farabi. Adalah tidak mungkin, al-Farabi dan Ibn Sina yang telah meninggal dan tidak bertemu dengan al-Ghazali, mengatakan pernyataan pujian terhadap bangunan filsafat al-Ghazali.
[lx]Ali Harb. Loc, Cit.
[lxi] Pelangi Islam; Ragam Corak Pemahaman Islam. Hal 115
[lxii] Beberapa tahun kebelakang, sebuah buku yang menjelaskan tentang filsafat Timur diterbitkan. (lihat Bagus Takwin, Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur, Jalasutra, Yogyakarta: 2003, Edisi ke 2, hal. 109-125). Ulasannya cukup menarik. Sayangnya, ketika membahas filsafat dalam Islam, sang penulis tidak mencantumkan sedikitpun biografi dan filsafat al-Ghazali. Yang dibahas di sana adalah al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, kemudian langsung ke Ibn Rusyd. Setelah Ibn Rusyd, nama-nama seperti Suhrawardi, Mulla Shadra dan terakhir M. Iqbal. Semua biografi dan filsafat para filosof tersebut, dikupas dengan menarik. Namun, namun al-Ghazali tidak pernah disinggung sedikitpun. Padahal jika kita mau cermat terhadap judul bukunya, “Filsafat Timur”, nama Ibn Rusyd tidak bisa dimasukkan. Sebab, beliau ini adalah representasi Filosof Muslim dari belahan Maghribi. (lihat Pengantar Penerbit dalam buku Muhammad Abed al-Jabiri, op,cit, hal. Xiii. Lihat juga Yunasril Ali, Op,Cit, hal. 77-96 dan Dr. Hasyimsyah Nasution, MA, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta: 2002, cet. 3, hal. 93-128)
[lxiii]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Rosda Karya:, 2002), cet. 10, hal. 9. lihat juga Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara, 2005, hal. 1. Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani; Dari Thales ke Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius, 1999, cet. 15, hal. 17
[lxiv] Ahmad Tafsir, Op. Cit, hal. 10, Drs. Surajiyo, Op. Cit, hal. 2
[lxv] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, cet. II, hal. xiii
[lxvi] Ahmad Tafsir, Op. Cit, hal. 11
[lxvii] Dikutip Dr. Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Op,Cit, hal. 69-70 dari kitab Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal (Dar al-Ma’arif), hal. 328-330
[lxviii] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat; Buku Pertama Kepada Dunia Filsafat, Bulan Bintang: Jakarta, 1992, cet. 6, hal. 27
[lxix] Hasyimsyah Nasution, Op,Cit, hal. 81
[lxx] M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant; Filsafat Islam, Mizan, Bandung: 2002, cet. I, hal. 36-37 dan 45-47pembahasan mengenai metafisika dan etika dalam pandangan al-Ghazali, insya Allah akan dibahas di bagian selanjutnya.
[lxxi] Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazali, Terj. Johan Smit, et all, Pustaka Perpustakaan Salman ITB, Bandung: 1981, Cet. I, hal. 1-2
[lxxii] Ibid, hal. 5
[lxxiii] Menurut Musthafa Abd al-Raziq, sebagaimana dikutip Afif Muhammad, jadal adalah suatu perdebatan yang di situ suatu aliran melancarkan sanggahan atau kritikan berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh aliran yang disanggah. Biasanya, kata Afif Muhammad, kalimat-kalimat sanggahan tersebut biasanya berbunyi, “Jika mereka (aliran yang disanggah) menyatakan begini dan begitu, maka mereka “harus menerima kesimpulan atau implikasi begini dan begitu. (Dr. Afif Muhammad, Op,Cit, hal. 17)
[lxxiv] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta: 1999, cet. 10, hal. 36 dan Dr. Hasyimsyah Nasution, Op,Cit, hal. 80
[lxxv] Ibid
[lxxvi] Osman Bakar, Op,Cit, hal. 183 dan Ali Issa Othman, Op,Cit, hal. 15-17
[lxxvii] Dr. Ibrahim Hilal, Op,Cit, hal. 95
[lxxviii] Dalam istilah al-Ghazali, latihan-latihan rohani disebut riyadhah dan ‘uzlah.
[lxxix] Lihat pemikiran Plotinus tentang hal ini dalam A. Hanafi, MA, Filsafat Skolastik, Pustaka al-Husna, Jakarta: 1983, Cet. II, hal. 73
[lxxx] Dr. Ibrahim Hilal, Op,Cit, hal. 95
[lxxxi] Ibid, hal. 96. Menurut Ibrahim Hilal, dari teori al-Ghazali inilah, Ibn ‘Arabi melandasi dan mengembangkan paham Wahdat al-Wujud. Bahkan menurut beliau, al-Ghazali ketika dalam fase sufistiknya masih saja tetap terjebak ke dalam mazhab wahdat al-Wujud. Hal tersebut dikarenakan al-Ghazali mengambil jalur pola pikir tasawuf dari kalangan kaum sufi iluminasi. (lihat Dr. Ibrahim Hilal, Op,Cit, hal. 102, dalam footnote no. 190) Sebagaimana diketahui, paham Wahdat al-Wujud berkeyakinan bahwa segala yang ada di alam ini merupakan cerminan wujud Tuhan, termasuk jiwa manusia. Jika al-Ghazali menyebut alam sebagai model jiwa manusia, Ibn ‘Arabi melangkah lebih jauh. Baginya, alam bukan hanya model jiwa manusia, namun merupakan model wujud Tuhan. Sehingga sebenarnya apa yang ada di dunia ini merupakan cerminan wujud Tuhan.
[lxxxii] Dr. Ibrahim Hilal, Op,Cit, hal. 102
[lxxxiii] Belakangan, sebutan al-Ghazali sebagai bagian dari Asy’ariyah, mendapat sanggahan. Sanggahan ini datang dari cendikiawan Muslim asal Mesir, Muhammad Abu Zahroh. Menurutnya, pada hakikatnya, al-Ghazali tidak mengikuti Abu Hasan al-Asy’ari atau Abu Manshur al-Maturidi. Al-Ghazali melakukan pengkajian secara liberal dan intensif, tidak seperti pengkajian orang-orang yang taklid. Al-Ghazali, tegas Abu Zahroh, hanya kebetulan sependapat dengan Asy’ariyyah dalam berbagai kesimpulan yang mereka hasilkan. Dalam beberapa hal, al-Ghazali berbeda pandangan dengan Asy’ariyah. Perbedaan itu bukan dalam masalah-masalah kecil, melainkan dalam hal yang pokok. Itulah sebabnya, kata Abu Zahroh, banyak diantara pendukung al-Asy’ari yang menuduhnya kafir dan penganut paham Zindiq.” (lihat Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahroh, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, terj, Abd Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Logos, Jakarta: 1996, cet. I, hal. 204).
[lxxxiv] Yunasril Ali, Op,Cit, hal. 73
[lxxxv] Hasyimsyah Nasution, Op,Cit, hal. 37
[lxxxvi] Ibid, hal. 69-70
[lxxxvii] Ibid, hal. 84
[lxxxviii] Yunasir Ali, Loc,Cit.
[lxxxix] Ibid
[xc] Hasyimsyah Nasution, Op,Cit, hal. 36
[xci] Ibid
[xcii]Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Buku Putih Abu Hasan al-Asy’ari. Untuk membandingkan sikap al-Asy’ari tentang sifat-sifat Allah dengan pendapat al-Ghazali silahkan merujuk kepada kitab tersebut.
[xciii] Yunasril Ali, Op,Cit, hal. 74
[xciv] Amin Abdullah, Op,Cit, hal. 61 dan Ahmad Zainul Hamdi, Op,Cit, hal. 144-145
[xcv] Hasyimsah Nasution, Op,Cit, hal. 86
[xcvi] Ibid
[xcvii] Ibid, hal. 85
[xcviii] www.islib.com, “Siapa Yang Rancu; para filosof atau al-Ghazali”, Ahad, 25 November, 2007
[xcix] Prof. Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Djambatan, Jakarta: 2003, hal. 112-113
[c] Lihat laporan Ujian Phd, Hamid Fahmy Zarkasyi, Insists, Depok, 16 Desember, 2006
[ci] Qs. Al-Anbiya: 69
[cii] Dr. Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, penyunting Sutardji Calzoum Bachri, Pustaka Firdaus, Jakarta:1997, cet-8, hal. 115
[ciii] Lihat laporan Ujian Phd, Hamid Fahmy Zarkasyi, Insists, Depok, 16 Desember, 2006
[civ] Lihat prakata buku Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama, terj, E. R. Muhammad, Mizan, Bandung: 2002, cet-I, hal. 15
[cv] Donny Gahral Adian, Op,Cit, hal. 53
[cvi] Amin Abdullah, Op,Cit, hal. 45.
[cvii] Ibid, hal. 87
[cviii] Amin Abdullah, Op,Cit, hal. 30
[cix] Harun Nasution, Op,Cit, hal. 86
[cx] Ibid, hal. 41
[cxi] Lihat diskursus tentang moralitas dalam M. A. Shomali, Relativisme Etika; Analisis Prinisp-Prinsip Moralitas, terj. Zaimul Am, Serambi, Jakarta: 2005, cet. 1
[cxii] Kata Pengantar Haidar Bagir, ETika “Barat”, Etika Islam, dalam M. Amin Abdullah, Op,Cit, hal. 17
[cxiii] Lihat pernytaan Immanuel Kant tentang pengaruh David Hume terhadap dirinya dalam Donny Gahral Adian, Menyoal Obejektivisme Ilmu Pengetahuan; Dari David Hume sampai Thomas Kuhn, Teraju, Jakarta: 2002, cet. 1, hal. 54)
[cxiv] Menurut Fahmi Zarkasyi, Professor Cemil Akdogan memberi contoh bahwa David Hume meniru konsep dan pandangan al-Ghazali tentang kausalitas. Namun, Hume memodifikasinya sehingga menjadi sekuler, dan hasilnya berbeda dari konsep al-Ghazali sendiri. David Hume sendiri bersentuhan dengan konsep al-Ghazali melalui Malebranche yang membaca Tahafut Tajafit Ibn Rusyd melalui tulisan Fonseva, Ruvio dan Suarez. (Dr. Hamid Fahmi Zarkasy, Op,Cit, hal. 11)
[cxv]Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat; dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang, terj. Sigit Jatmiko, at.all, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 2004, cet. 2, hal. 920
[cxvi] Nurcholis Majid, Op,Cit, hal. 139
[cxvii] Dr. Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Op,Cit, hal. 84 dan Hasyimsyah Nasution, Op,Cit, hal. 82
[cxviii] Dr. Ismail Asy-Syarafa, Op,Cit, hal. 128
[cxix] Dr. Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Op,Cit, hal. 85
[cxx] Hasyimsyah Nasution, Loc,Cit
[cxxi] Dr. Ismail Asy-Syarafa, Loc,Cit
[cxxii] Dr. Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Op,Cit, hal. 83
[cxxiii] Ibid
[cxxiv] Ibid, hal. 84, dikutip dari kitab al-Ghazali, al-Munqidz, hal. 350
[cxxv] Hasyimsyah Nasution, Op,Cit, hal. 82
[cxxvi] Hasyimsyah Nasution, Op,Cit, hal. 90
[cxxvii] Ibid, hal. 91
[cxxviii] Ibid, hal. 92
[cxxix] Ibn ‘Arabi pernah menyatakan; “Allah beberapa kali berujar kepadaku secara langsung ketika aku berada di Makkah dan Damaskus. Dia (Allah) berkata kepadaku, ‘Wahai Ibn ‘Arabi, nasihatilah hamba-hambaKu dengan berita menggembirakan yang engkau lihat!’ Dia (Allah) memperlihatkan secara langsung berbagai persoalan kepadaku lebih banyak dari pada apa yang diperlihatkan kepada orang lain. (Dr. Ibrahim Hilal, Op,Cit, hal. 186-187, dikutip dari Dirasat fi Tashawwuf Muhyiddin Ibn ‘Arabi; Mawaqi’ al-Nujum, hal. 6). Pemaparan Ibn Arabi ini mengindikasikan bahwa dirinya mendapatkan wahyu dari Allah.
[cxxx] Suhrawardi, Hayakil al-Nur, hal. 85-88 dan Majmu’ah fi al-Hikmah al-Ilahiyah, hal. 100-101, seperti dikutip oleh Dr. Ibrahim Hilal, Op,Cit, hal. 194-195
[cxxxi] Ibid
[cxxxii] Dikutip Dr. Ibrahim Hilal, Op,Cit, hal. 139, dari kitab Ibn Hazm, al-Fashl, hal. 199
[cxxxiii]Dr. Ibrahim Hilal, Op,Cit, hal. 204, dalam catatan kaki no. 36. lebih jelasnya lagi lihat Ibn ‘Arabi, Fushush al-Hikam, hal. 62 pada bagian tentang Nabi Syits, dan hal. 135 pada bagian al-Uzairi.
[cxxxiv]Dr. Ibrahim Hilal, Op,Cit, hal. 204, dalam catatan kaki no. 36. lebih jelasnya lagi lihat Ibn ‘Arabi, Latha’if al-Asrar; Tanazzala al-Amlak al-Arwah fi al-Aflak, hal. 50
[cxxxv] Dr. Ibrahim Hilal, Op,Cit, hal. 207. Pemikiran Ibn ‘Arabi di atas ada kemiripan dengan Ghulam Ahmad. Seperti yang sering kita dengar dari para pengikutnya, Ahmadi, bahwa kenabian dalam pengertian pembawa syari’at baru memang sudah berakhir. Karenanya, Ahamdi sering beralasan bahwa Ghulam Ahmad itu adalah nabi, namun nabi yang bukan membawa syari’at baru dan merombak syari’at sebelumnya. Nampaknya, pengaruh sufi terhadap Ghulam Ahmad memang sangat besar. Terlebih lagi, pada masa mudanya, Ghulam Ahmad dikenal sebagai yang sering melakukan ritual-ritual sufi.
[cxxxvi] Ibid
[cxxxvii] Dr. Ibrahim Hilal, Op,Cit, hal. 93, dikutip dari al-Munqidz min all-Dhalal, hal. 84-85
[cxxxviii] Dr. Ibrahim Hilal, Op,Cit, hal. 94
[cxxxix] Dr. Ibrahim Hilal, Op,Cit, hal.100.
[cxl] Dr. Ibrahim Hilal, Op,Cit, hal. 97
[cxli] Ibid, hal. 101
[cxlii] Ibid, dikutip dari Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam, hal. 271
[cxliii] A. Syafi’I Ma’arif. Op.cit. hal 56
[cxliv] M. Natsir. Hal 175
[cxlv] Yunasril Ali, Op,Cit, hal. 70, lihat juga Hasyimsah Nasution, Op,Cit, hal. 126-128
Analisa Historis Tentang Biografi dan Filsafat al-Ghazali
byIlham
-
0
Tags
Ghazwul Fikri
Diposting oleh Ilham
Ilham Al-azhary, lahir di Pontianak pada 6 agustus 1988, putra tunggal dari pasangan Abdul ghani dan Hasiah. Orang bugis bone asli.
Ilham Menamatkan SMU/Mas di Ma'had Ibnu Taimiyah di Sedau Singkawang 2007. Kini sedang menyelesaikan kuliah S1 Sekolah Tinggi Ilmu Da'waj Mohammad Natsir Jakarta. Sekarang sedang aktif di Forum Komunikasi Pemuda Peduli Da'wah Kalimantan Barat. Gemar mempelajari tentang Perbandingan Agama (Kristologi), dan Ghazwul Fikri.
Hp: 081352378348
Email: azharyy@gmail.com
Posting Komentar