Atheisme




Lelaki yang saya temui itu bersih sekali. Bekas air wudlu terkesan memancar dari wajahnya. Cahayanya menyapa jamaah masjid yang kebetulan tergesa-gesa untuk melapor ke yang Kuasa –sebab waktu itu sudah hampir petang. Saya memperhatikannya sekilas –diapun demikian. Sebelum memulai pembicaraan, dia lebih dahulu mencuri start untuk menegur saya.

“Sering ikut diskusi disini ya?”

“Ya iseng-iseng berhadiah. Eh, namanya siapa Mas?”

Tangan kami bersentuhan. Ternyata, namanya Azhar (taruhlah demikian). Seperti biasa yang dilakukan orang-orang, saya kemudian melancarkan basa-basi yang memang bermanfaat untuk membuka pembicaraan.

“Rumah dimana mas?”

Cepat dia menjawab “Di bawah alam semesta!”

Saya sedikit terkejut. Feeling membisikan bahwa orang dihadapan saya ini, tidaklah sembarangan. Saya beri dia sedikit tes lagi, untuk memastikan.

“Maksud saya, mas di Bandung tinggal dimana?”

Dia terkekeh “Ya dimana-mana”

“Kalau begitu, mas bakteri?”

“Benar! Saya bakteri. Seperti Tuhan yang juga, ada dimana-mana!”

“Aha, Pantheisme1) kalau begitu?”

“Itu bahasa kerennya. Bahasa dimasa wali songonya, manunggaling kawula gusti, ana al haq. Sayalah Tuhan!”

Dan kami pun terbahak-bahak. Ia tertawa serius sedangkan saya tertawa sembari menyembunyikan segala macam konsep yang bertentangan dengan pemikirannya. Setelah intensif berdiskusi, Azhar yang saya temui ternyata atheis 100%, bukan atheis yang sekedar sok seksi supaya mendapat perhatian.

Sekilas Sejarah Atheisme

Untuk membedah atheisme tentu memerlukan waktu yang lama. Space yang diberikan Ali pada saya tidak mencukupi untuk membuat kalian faham sedetail-detailnya, serinci-rincinya mengenai atheisme serta pernik-perniknya. Tetapi, saya bersenang hati untuk menjelaskan beberapa fundamen yang menyebabkan mengapa atheis bisa sampai ada di dunia ini, dan pemahaman seperti apa yang mereka miliki.

Selaku orang yang tahu di tidak tahunya, saya tidak merasa canggung untuk mengangkat tangan jika ditodong pertanyaan, kapan atheis muncul didunia?. Apabila dirunut-runut, sangat rumit untuk menjawab pertanyaan itu. Kebanyakan sumber sejarah menyatakan bahwa atheisme telah ada sejak zaman Yunani menjadi mercusuar peradaban. Dari masa itu, hingga masa kegelapan dan rennaisance keberadaan orang atheis belumlah memiliki andil hingga datang orang-orang besar semacam Ludwig Feurbach, filsuf palu Nietche2) , Proudhon serta Bakunin3) ikut serta melanjutkan ide Heraklitos dan Demokritos (filsuf Yunani)4). Adanya mereka menyebabkan ajaran atheis yang semula sepi pengikut menjadi popular.

Di kemudian hari, ketika Karl Marx menuliskan tesis XI tentang Feurbach, yang berisi “para filosof hanya menginterpretasikan dunia dalam berbagai cara, masalahnya adalah mengubah dunia”, barulah gerbang kesadaran kaum atheis dunia (khususnya, yang kekiri-kirian) terbuka. Tesis itu mengajak para filsuf untuk beranjak dari onani intelektualnya menuju kehidupan nyata. Melalui tulisan yang cukup membuat geger kalangan intelektual humaniora Eropa, filsafat atheis Marx mulai dipraktikkan berdasarkan program kerja yang langsung di terapkan ke tengah-tengah masyarakat. Setelah Marx wafat, Vladimir Illich Ulyanov (Lenin) –yang banyak dianggap sebagai pewaris sah ajaran Marx5)— berkerja melanjutkan program Marx dalam membebaskan manusia dari penindasan (termasuk penindasan agama, penindasan Tuhan). Ia berkerja memobilisasi masa untuk merevolusi kekuasaan Tsar Nicholas. Tsar runtuh, kekuasaan terbesar anti Tuhan terbesar muncul menjadi poros kekuatan yang menyaingi hegemoni Eropa dan Amerika hingga keruntuhannya di tahun 1989.

Sejak peristiwa spektakuler yang terjadi di tahun 1917 itu, masyarakat, anak-anak SMA, serta mahasiswa perguruan tinggi, mulai terkena distorsi pemahaman, yang menyatakan bahwa atheis itu pasti sosialis, marxis, atau komunis padahal, atheis tidak selalu kiri sosialis-komunis. Sebab, pada fakta yang terdekat dengan kehidupan saya, Azhar mengaku sebagai atheis yang sepakat dengan ide kapitalis.

Menurut prakiraan pemikiran saya, –setelah membaca berpuluh buku berkenaan topik yang dibicarakan– atheis merupakan sebuah pandangan mendasar mengenai kehidupan diantara keyakinan lainnya (theis : percaya tuhan dan agnostic6)). Atheis merupakan jalan hidup, cara berfikir yang anti terhadap sesuatu yang gaib (yang tidak bisa di indera oleh manusia). Munculnya atheisme kebanyakan dikarenakan adanya ketidakpuasan, atas jawaban-jawaban manusia ketika menyikapi fenomena alam.

Di masa lalu, saat hujan turun, seorang yang dikepalanya berdempet pertanyaan kritis, menanyakan bagaimana dan dari mana asalnya hujan. Orang-orang disekitarnya mengatakan bahwa hujan berasal dari roh halus, dari tuhan. Yang anehnya lagi, ada yang mengatakan bahwa hujan berasal dari kodok (karena sebelum turun hujan kodok acapkali bertoet-toet mengisyaratkannya).

Saat ditanya dari mana datangnya gelombang besar lautan dan badai, orang mengatakan penyebabnya dikarenakan dewa Thor sedang mengamuk. Ketika ditanya, kenapa sampai muncul gempa bumi, maka jawaban yang paling mudah adalah dengan mengatakan bahwa dibalik bumi ini ada sebuah ular besar yang sedang menggeliat. Setelah menjawab –tanpa penelitian lanjutan– permasalahan yang ada, kupas dituntaskan.

Disuguhi pendapat seperti itu, orang kritis tidaklah mungkin puas. Ketika jawaban orang awam mengenai bagaimana fenomena alam terjadi, mulai di ambil penguasa sebagai alat justifikasi kebenaran yang menzalimi orang kritis maka tumbuh suburlah antipati atau kekesalan terhadap sesuatu yang gaib (terlebih, ketika melakukan penelitian ternyata para filsuf tidak melihat –dengan mata kepala sendiri– hal-hal gaib yang orang-orang umum bicarakan). Klimaksnya, titik puncak kebencian terhadap ketidaklogisan memunculkan front antara orang-orang atheis (yang tak mempercayai sesuatu yang tidak bisa ditangkap indera), versus orang yang mengakui adanya dewa-dewa, Tuhan penguasa alam dan hal-hal gaib lainnya.

Dalam tataran epistemologi –yang merupakan ilmu yang ditujukan untuk mencari kebenaran pengetahuan, serta alat-alat apa yang bisa digunakan untuk mencarinya–, orang atheis dapat dipandang memiliki epistemology yang hanya mempercayakan indera untuk menghakimi bahwa sesuatu itu ada atau tidak. Orang atheis mengambil metode ilmiah sebagai landasan berfikirnya. Kemudian, dari landasan utama atheisme, dibangun sekian banyak pemikiran.

Kritik atas Atheis

Dalam ranah pembahasan filsafat, terdapat dua aliran besar materialisme.dan idealisme. Materialisme adalah aliran yang menganggap bahwa tidak ada campur tangan hal-hal yang gaib dalam penciptakan alam semesta dan pengaturan hidup organisme yang ada didalamnya. Sedangkan idealisme adalah pemahaman yang mengatakan bahwa dibalik alam semesta mestilah ada kekuatan supranatural yang mengaturnya.

Saya termasuk idealis, karena mempercayai bahwa dibalik alam ini, terdapat sebuah kekuatan besar yang mengendalikan, mengelola bahkan memporak-porandakan alam, sebab saya menemukan kesimpulan bahwa materi tidak bisa berkuasa atas dirinya sendiri. Air tidak bisa mendidihkan dirinya tanpa ada syarat yang harus dipenuhi. Air baru mencapai titik didih dalam 100 derajat celicius pada 1 atmosfir. Lantas, siapa yang menentukan titik didih air? Apakah materi air itu sendiri?. Selaku manusia, saya tidak bisa mengatur debaran jantung, harus berdetak sepersekian detik atau sedetik sekali. Saya tidak bisa mengatur aliran darah atas kuasa saya pribadi. Saya tidak bisa menghentikan aliran darah hanya dengan mengatakan “stop” dan “jalan!” untuk menghentikan dan mengalirkannya kembali. Dan saya menemukan, bahwa panjang bulu alis tidak bisa melebihi panjang rambut (semenjak lahir, saya tidak pernah mengupayakannya demikian).

Dari fakta (diantara fakta lain yang tak terhitung banyaknya), saya mengambil anggapan, bahwa saya dan mahluk lainnya, dimiliki, diciptakan dan tergantung pada sebuah kekuatan supranatural yang juga menggatur alam semesta. Dengan kepercayaan seperti itu, bukan berarti saya selaku seorang muslim tidak mau melakukan research untuk mengetahui, mengapa detak jantung secara otomatis berdebar sepersekian detik sekali. Keyakinan seperti ini, tidak mengindikasikan bahwa saya tidak mau mengetahui mengapa darah memiliki jalur yang rumit dan terencana dalam mendistribusikan alirannya. Juga, tidak pula bermakna, saya tidak bekeinginan untuk memuaskan penasaran demi menyingkap faktor-faktor apa yang menyebabkan alis saya seperti ini. Demi Tuhan, atas suruhan Al-Quran, manusia diajak untuk membaca alam semesta, meneliti gejalanya, menjadikannya sebagai pembelajaran demi menyibak tabir yang menghalangi kemajuan peradaban.

Secara tidak langsung,Islam menyuruh manusia, memadukam metode rasional dan ilmiah untuk dijadikan landasan demi mencari kebenaran pengetahuan. Apa yang saya utarakan ini sempat dibantah oleh Azhar, dengan anggapan bahwa satu-satunya kebenaran pengetahuan hanya bisa didapat dengan menggunakan metode ilmiah. Seandainya saudara saya itu konsisten menjadikan metode ilmiah sebagai landasan untuk mencari kebenaran, maka orang atheis yang ada di Alaska, yang ada di Cuba, atau yang sedang menyandang senjata ikut dalam perjuangan Zapatista, harus menafikan keberadaan saya. Karena, saya tidak terindera oleh mereka. Padahal saya ada kan? Saya yang buat esai ini untuk teman-teman kan?.

Seandainya Azhar konsisten dengan pernyataannya, maka sudah sepantasnya ia menafikan sejarah. Seorang atheis yang tinggal dibandung –yang pada tahun 2004 menjadi seorang pedagang yang giat itu–, harus menafikan adanya Marx, sebab ia belum pernah bertemu dengan Marx.

Sebelumnya, Azhar mengatakan

“Lho!, bukankah Marx diyakini karena meninggalkan Das Kapital, German Ideologi, Manivesto Komunisnya? Bukankah foto-foto Marx ada?”.

Celoteh saya :

“Bagaimana kalo semua itu rekayasa?. Bagaimana kalau Marx tokoh fiktif?. Gambar, lukisan atau foto, gampang dibuat seperti rekayasa yang dilakukan oleh laki-laki brengsek, yang melukis wajah setan di acara Pemburu Hantu.

Seharusnya Azhar tidak mempercayai Marx sebab –bisa jadi– ia merupakan mitos yang tidak memenuhi syarat ilmiah –yang tentunya, mengharuskan sebuah objek itu dapat diindera dan dapat di masukan ke dalam laboratorium. Mengapa? karena Marx sudah berada jauh dibelakang kita. Manusia Trier itu, tidak mungkin diindera serta dimasukan kedalam laboratorium. Satu-satunya cara agar eksistensi Marx dapat dicerna keberadaannya, ialah dengan melalui penyandaran kepercayaan terhadap adanya peninggalan berupa buku dan benda-benda, serta informasi yang menyatakan keberadaan Marx. Mungkin, hal tersebut dikatakan ilmiah, tetapi saya fikir, bagaimanapun juga, sejarah tidak mungkin memenuhi syarat ilmiah seperti halnya syarat metode ilmiah yang saya kemukakan diatas.

Eksistensi Marx hanya dapat di yakini menggunakan perangkat metode rasional berupa penyandaran terhadap bukti-bukti dan informasi yang ada. Dan hal itupun (metode rasional) dipergunakan untuk mencari eksistensi Tuhan –yang eksistensinya dibuktikan dari keberadaan alam semesta dan diri kita yang tertelingkup didalamnya.

Saya menemukan beberapa kasus orang atheis, sebenarnya menggunakan hal-hal yang tidak ilmiah dalam penelitiannya (dan ini kontradiktif dengan definisi metode ilmiah yang diagungkannya). Beberapa orang atheis, melakukan spekulasi atas penelitian-penelitan yang diklaimnya sebagai hal ihwal adanya manusia. Contoh konkretnya, –dalam sudut pandang, kacamata Rayban saya–, apa yang dilakukan Darwin sebenarnya tidak ilmiah. Ia menyimpulkan bahwa manusia berasal dari perkembangan, perjalanan evolusi mahluk renik hingga mamalia.
Hal itu diklaim, karena ia menemukan karakteristik atau struktur yang hampir sama dalam susunan tubuh manusia dan binatang (terutama pithechantropus erectus, monyet, simpanse orang utan, juga lain sebagainya). Yang harus dijadikan bahan kontemplasi (renungan) adalah, apakah Darwin hidup pada masa peralihan kera menjadi manusia purba?. Apakah Darwin memiliki lorong waktu, kemudian dia mengintip dua ekor manusia purba bersenggama di balik pohon kaktus, kemudian setelah beberapa lama, yang betinanya melahirkan hingga Darwin meyaksikan perubahan itu berlangsung (perubahan dari kera ke manusia purba/dari manusia purba menuju manusia modern seperti kita). Tidak kan?. Berarti Darwin berspekulasi. Dan spekulasi seperti itu sangat rentan, karena tidak memiliki pembuktian yang jelas, hanya mengawang-awang. Artinya, tidak ilmiah dong!.

Orang atheis yang sering saya temui, banyak yang menjadi atheis tanpa memahami seharusnya pola fikir apa yang mendasari seorang atheis menyikapi fenomena alam raya (yaitu metode ilmiah bukan rasional). Banyak yang saya jumpai menyatakan bahwa dirinya, dan segala benda berasal dari atom yang kekal (mengutip pendapat-pendapat yang mahsyur). Tetapi, saya fikir teman-teman itu, belum pernah memegang dan meneropong sebuah atom melalui mikroskop super yang kebanyakan hanya terdapat di laboratorium negara maju. Jelasnya, teman saya menjadi atheis bukan karena dia menjadikan metode ilmiah sebagai asas berfikirnya. Ia menyandarkan keatheisannya pada pendapat ilmuwan atheis yang melakukan eksperimen. Ia menyandarkan keatheisannya pada orang-orang atheis, yang pernah langsung melihat atom dan strukturnya. Ia mengambil metode rasional yang seharusnya dinafikannya.

Saya selaku seorang muslim mempercayai (disertai dengan seperangkat alat pembuktian) bahwa cara mencari kebenaran sebuah pengetahuan tidak bisa disandarkan pada metode ilmiah melulu. Metode ilmiah hanyalah bagian dari alat untuk mencari kebenaran. Alat yang lainnya untuk mencari kebenaran sebuah pengetahuan adalah juga, metode rasional. Seandainya saya menjadi seorang ilmuwan –atas dasar pemikiran diatas—saya akan menjawab dari mana datang hujan, dengan menerangkan kaidah kausalitas yang mengatakan bahwa hujan terjadi, karena uap air dinaikan oleh hangat matahari. Lalu, uap air berkumpul berkumpul di awan. Manakala awan tak kuat lagi ditunggangi bilyunan uap air, tumpahlah tetesan hujan. Dan dengan metode rasional –yang merupakan alat untuk mencari kebenaran eksistensi pencipta—maka, saya akan melanjutkan penjelasan perihal keterperangahan saya (mengenai keajaiban alam) dengan mengatakan : maha suci Allah atas segala kekuasaan-Nya yang meliputi semesta raya!.
Saya terpaksa menjelaskan ini, untuk membantah anggapan yang sudah mengakar pada diri atheis batu! (yang proporsional nggak lho ?) bahwa : orang yang mengakui keniscayaan kekuatan supranatural dibalik kedahsyatan alam raya, pasti tidak mau melakukan penelitian ilmiah. Katanya, “orang-orang beragama selalu menjelaskan fenomena alam semesta berdasarkan dogma!. Bahkan, dengan optimisnya, sang atheis batu mengatakan bahwa orang yang terpintar di dunia ini adalah atheis. Orang atheis pastilah selalu pintar. Ah!, kata siapa?. Apakah Einstein penemu relatifitas itu tak bertuhan? (contohnya standar banget sih?), apakah Habibie yang mampu membuat pesawat terbang, orang yang tak bertuhan? (meski pesawatnya nyusruk mulu). Apakah kamu selaku sang atheis batu, lebih pintar dari saya yang menyerahkan sepenuhnya hidup ini untuk Allah? tentu, dengan pongahnya akan saya katakan : tidak!, ditambah sedikit he..he…he.

Dalam perputaran sejarah, pemegang tampuk peradaban selalu datang silih berganti. Ada kalanya suatu masyarakat melambung, hingga menjadi bahan acuan sebuah abad. Tetapi, kejayaan sebuah masyarakat tidaklah akan kekal sebab kejayaan sebuah masyarakat atas peradaban manusia akan selalu dipergantikan, selalu dipergilirkan, dan dijatah, selama masyarakatnya mau berusaha mewujudkannya.

Zaman dahulu, di Andalusia, orang atheis itu bodoh-bodoh (saya coba mengikuti alur fikirnya). Nama mereka kalah mahsyur karena penemuan yang dilakukannya tidak sespektakuler orang Islam ketika mengeksplorasi alam semesta dan isinya7). Mungkin, –saat ini– orang atheis adalah orang yang paling pintar (mungkin lho) tapi, tidak menutup kemungkinan bahwa orang-orang yang mempercayai Tuhan, akan menggantikan masa dimana, orang atheis menjadi ilmuwan terhebat.

Saya harap, jika seseorang yang memang meyakini kepercayaan terhadap kekekalan dialektika materialisme, ia tidak menjadi atheis yang batu!. Sebab, kembali saya ulangi : adalah keliru, jika seorang atheis mengeneralisasi bahwa orang yang mempercayai Tuhan pasti gaptek ilmu pengetahuan dan tidak mampu menciptakan inovasi material. Bolehlah saudara sedikit tahu bahwa, jika merujuk pada Al Quran, maka seorang muslim bukan saja dituntut untuk meyakini Allah, tetapi juga diharuskan untuk meneliti alam semesta, melakukan discovery, membuat rancangan inovasi yang darinya dipergunakan untuk kebaikan dan peningkatan standar hidup material serta kesejukan spiritual manusia.

Oleh karenanya, saya berharap jika ada seorang atheis batu ikut menelusuri tulisan ini, setidaknya ia akan serta merta menjadikan atheis yang proporsional. Atheis yang menerima bahwa : orang yang mengakui Tuhan pun, memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi intelektualnya. Sukur-sukur jadi percaya pada kemaha kuasaan-Nya ?. Suit suit pituwiw!

Catatan kaki korengan
—————
0) Tulisan ini tersimpan di rak masa purba.
Saya tidak berusaha mengkoreksi, meski ketahui ada beberapa kesalahan di dalamnya.


1) Pemahaman yang menyatakan bahwa di dalam unsure semesta terdapat cahaya keilahian.Oleh karenanya Tuhan dapat menyatu dengan manusia dan manusia dapat menyatu dengan Tuhan.

2) Dikatakan filsuf palu karena Nietche sering mengeluarkan kata-kata kasar untuk mejelekan agama (terutama protestan dan katolik). Ia dikenal juga dengan julukan “nabi kematian Allah”. Nietche pernah mengatakan “Tuhan telah mati!” dan seorang lelaki dari perpustakaan batu api mengatakan “Nietche telah mati, Tuhan!”

3) Bapak Anarkisme

4) Heraclitos dan Demokritos penganut faham filsafat naturalis. Kedua filosof Yunani ini mempercayai bahwa dibalik fenomena alam tidak terdapat kekuatan gaib. Alam berjalan dengan semestinya, disebabkan oleh materi yang merupakan unsure semesta yang tak terbagi dan kekal.

5) Ajaran Marx itu multi tafsir. Banyak pihak yang menafsirkan ajaran Marx yang sebenarnya memusingkan diantaranya Friederich Engel yang merupakan sahabat karib Marx serta Kautsky dari tangan mereka lahir Marxisme. Sedangkan dari tangan Lenin lahir gerakan komunis yang menyatukan pemikiran Marx dengan pemikirannya sendiri (marxis-leninis).

6) Agnostic Paham yang tidak membenarkan dan menyangkal keberadaan Tuhan karena keduanya berada diluar jangkauan kapasitas manusia. Lain kata, agnostic pemahaman yang menyatakan tidak ada yang pasti. Tuhan merupakan spekulasi, sebab tidak ada satu orangpun pernah bertemu dengan Tuhan. Klaim tidak ada Tuhan pun merupakan spekulasi sebab tidak ada orang atheis satupun yang mencari keseluruh penjuru dunia dan angkasa hingga menemukan ketidakadaannya wujud tuhan. Jadi, orang agnostis akan mengatakan dari pada berspekulasi lebih baik tidak usah berfikir Tuhan itu ada atau tidak, toh keberadaan dan ketidakberadaannya tidak memliki relefansi dengan kehidupan.

dikutip tulen dari divansemesta.blogspot.com

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama