Membangun Peradaban dengan pendidikan Islam

key word: kemajuan, Islam, peradaban Islam, pendidikan islam
Kemajuan suatu bangsa tidak diukur dari struktur fisik yang berhasil didirikan. Sebab struktur fisik hanyalah produk dari sebuah peradaban. Ia bukanlah hakekat dari peradaban itu sendiri. Kita bisa melihat negara-negara Arab yang saat ini memiliki bangunan-bangunan fisik yang sangat megah dan menakjubkan, tetapi mereka tidak dikenal sebagai negara yang memiliki peradaban yang maju. Sebab bangunan-bangunan fisik itu tidak dibangun dari tradisi ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang mereka miliki. Mereka hanya membelinya dengan sumber daya alam minyak yang sangat berlimpah di bumi mereka. Kita pun bisa melihat peradaban Romawi yang sekarang tinggal puing-puing sejarah saja. Meski bangunan fisiknya yang megah itu masih bisa kita lihat, namun ia hanyalah puing-puing tak bernyawa. Ia tak memiliki pancaran kehidupan lagi. Ibarat raga yang sudah kehilangan ruhnya, peradaban mereka telah mati.
Maka, bangunan sebuah peradaban sesungguhnya terletak pada manusia-manusianya. Manusialah yang membangun sebuah peradaban. Manusia pula yang mempertahankan dan menjadikannya tetap hidup, bukan bangunan atau struktur fisiknya. Kehancuran dan kemundurannya pun demikian. Ia disebabkan oleh ketidakmampuan manusia-manusianya untuk menjaga peradabannya.
Makna Peradaban
Peradaban berasal dari kata bahasa Arab, yaitu ‘adab’, yang artinya kebaikan yang sempurna dan menyeluruh, baik itu spiritual maupun material. Syed Naquib al-Attas, penggagas Islamisasi ilmu dari Malaysia, memaknai orang beradab sebagai berikut,
Orang yang beradab adalah, orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.
Walaupun berasal dari bahasa Arab, namun orang-orang Arab (Islam) menerjemahkan istilah peradaban sebagai Tamaddun. Istilah ini berasal dari kata da-ya-na yang bermakna hutang. Dr. Hamid Fahmy, pendiri INSIST (Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization), menjelaskan bahwa konsep tamaddun, tak bisa dilepaskan dari din (agama), sebab ia berasal dari akar kata yang sama. Maka dalam Islam, peradaban lahir dari agama dan merupakan konsekuensi dari keberhutangan manusia kepada Allah swt yang telah menganugerahkan segala nikmat kepadanya.
Dari dua makna di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa peradaban adalah segala sesuatu yang lahir dan hidup dari cara pandang serta budaya orang-orang yang beradab, sebagai konsekuensi dari keberhutangan mereka kepada Tuhannya. Artinya, peradaban tidak bisa dilepaskan dari keberagamaan orang-orangnya. Ia lahir dan tumbuh dalam cakupan maknanya. Peradaban Islam tidak bisa dilepaskan dari konsep din dan ibadah kepada Allah swt. Begitu pula peradaban lain, ia tidak bisa dilepaskan dari konsep agama dan peribadatannya. Peradaban Romawi tidak bisa lepas dari kristennya. Peradaban Mesir kuno tak bisa dilepaskan dari paganisme (penyembahan terhadap tuhan-tuhan buatan). Peradaban India tak bisa dilepaskan dari agama Hindu, dan lain-lain.
Peradaban Islam Masa Kini
Sebagaimana dibahas sebelumnya, peradaban Islam tidak bisa dilepaskan dari konsep ibadah kepada Allah swt. Maka, ia lahir dari ajaran-ajaran yang tertuang dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Kemajuan dan kemundurannya tak lepas dari hubungan atau interaksi kaum muslimin dengan keduanya. Jika ingin maju, berpeganglah kepada keduanya. Jika mundur, itu artinya kaum muslimin telah meninggalkan keduanya. Hal ini sesuai dengan wasiat Rasulullah saw dalam khutbah wada di Arafah,
“Hai manusia, sesungguhnya aku telah tinggalkan untuk kalian dua hal yang jika kamu berpegang kepada keduanya, kamu tidak akan tersesat selamanya: Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya”. (HR. al-Hakim)
Syakib Arselan dalam buku ‘limadza taakharal muslimun wa taqaddama ghairuhum’ (mengapa umat Islam mundur dan yang lainnya maju), menyimpulkan bahwa orang-orang Barat maju karena mereka meninggalkan agama, sedangkan umat Islam maju apabila mereka berpegang kepada agamanya. Jelaslah kiranya, apabila umat Islam ingin maju, ia harus kembali kepada ajaran Islam.
Namun, kondisi umat Islam yang saat ini tertinggal dari negara Barat, sungguh jauh berbeda dengan keadaan ideal yang seharusnya dicapai. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan capaian-capaian teknologi, umat Islam cukup jauh tertinggal. Begitu pula dalam bidang-bidang yang lainnya. Umat Islam saat ini gagal membangun sebuah peradaban yang maju. Padahal dahulu umat Islam pernah berhasil mendirikan bangunan peradaban yang teramat kokoh dan megah, bahkan tidak mampu diikuti oleh umat mana pun saat itu. Kondisi ini tentu harus dicari jalan keluarnya.
Hakekatnya, kemajuan peradaban selalu berkaitan dengan maju mundurnya budaya keilmuan. Kemajuan yang dicapai Barat saat ini tak lepas dari budaya ilmu yang berkembang lebih dahulu. Penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantarkan Barat kepada dominasi di segala bidang. Bahkan, penjajahan kepada berbagai negara di asia dan afrika merupakan kelanjutan dari penemuan-penemuan itu. Kemajuan ilmu pengetahuan membutuhkan sokongan dana yang sangat kuat melalui sumber daya alam yang kaya. Dan sumber daya alam itu tidak dimiliki Barat. Maka selain tujuan politik dan ekonomi, pengembangan ilmu pengetahuan menjadi salah satu alasan Barat menjajah negara-negara lain.
Sesungguhnya Islam telah memberikan pondasi yang teramat kokoh untuk meraih kemajuan tersebut. Ayat yang pertama kali Allah swt turunkan, secara langsung memerintahkan kepada umat manusia untuk membaca. Belum lagi jika kita lihat ayat-ayat lain yang secara tegas mengingatkan manusia untuk menghindari kebodohan dan mendorong untuk mencari ilmu. Kalimat-kalimat seperti ‘mengapa kamu tidak berpikir, mengapa kamu tidak mempergunakan akal, dan lain-lain’ sering kita dapati dalam al-Quran. Di dalam hadits pun seperti itu. Rasulullah saw menyebutkan bahwa menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim (HR. Ibnu Majah).
Dengan pondasi ini, seharusnya umat Islam mampu membangun peradaban yang sangat maju. Namun kenyataan tak seindah harapan.
Solusi Pendidikan Islam
Di awal telah sedikit dibahas bahwa membangun peradaban adalah membangun manusia-manusianya. Menciptakan manusia-manusia yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.
Manusia-manusia beradab ini hanya bisa lahir dari sistem pendidikan yang Islami. Sistem pendidikan yang berdiri di atas pondasi Tauhid yang kokoh dan tak lekang oleh waktu. Sistem pendidikan yang tidak memisahkan dirinya dari agama. Sistem pendidikan yang tidak hanya mendidik akal dan keterampilan, tetapi juga mendidik jiwa. Sistem pendidikan mencetak generasi ulama cendekiawan yang takut kepada Allah, bukan menentang hukum-hukum Allah.
Untuk membangun sistem pendidikan yang Islami ini diperlukan perhatian dari seluruh umat Islam. Sebab sistem pendidikan ini tidak akan meraih keberhasilan yang diinginkan jika tidak didukung oleh unsur-unsur sekelilingnya. Sebaik apa pun sistem pendidikan, jika kondisi masyarakat tidak mendukung akan membuat beberapa bagiannya rapuh. Dan bagian yang rapuh ini akan menyebabkan rusaknya bagian yang lain. Oleh karena itu, dukungan lingkungan dan seluruh komponen masyarakat sangat dibutuhkan, demi tercapainya bangunan peradaban yang maju.
Dalam tafsir al-Kabir, saat menjelaskan ayat ke 31 dari surat al-Baqarah, Imam Fakhrurazi menyebutkan sebuah hadits Rasulullah saw berikut,
“Jadilah kamu orang mengajarkan ilmu, atau orang yang mencari ilmu, atau orang yang mendengarkan ilmu, atau orang yang mencintai ilmu. Dan janganlah kamu menjadi golongan yang ke lima, sebab kamu akan celaka.”
Hadits ini menegaskan keharusan setiap orang berperan dalam pembangunan peradaban ilmu itu. Dan pilihannya hanya ada empat. Pertama, menjadi pengajar yang membagikan ilmu. Kedua, menjadi penuntut ilmu yang tekun dan serius. Ketiga, menjadi pendengar ilmu di waktu-waktu senggang bagi orang yang sibuk. Dan terakhir, menjadi pecinta ilmu dengan membantu orang lain dalam mencari ilmu, baik dengan memberi bantuan harta atau hal yang lainnya.
Lalu, menjadi golongan yang manakah kita?

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama