KUFRUN DUNA KUFRIN



ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
(Dan barang siapa yang tidak menghukumi dengan apa yang Allah turunkan maka mereka adalah orang-orang kafir)
Beberapa pengertian yang dapat diambil dari ayat ini adalah:
1. Kekafiran yang dimaksud dalam ayat ini adalah kekafiran yang besar, mengeluarkan pelakunya dari Islam. Sebab, (1) lafadz الكفر dalam ayat ini dita’rif (dibuat ma’rifah, definit) dengan alif dan lam( ال). Semua lafadz كفر yang dita’rif dengan alif dan lam( ال) berarti kekafiran yang besar, sebab alif dan lam (ال ) menunjukkan bahwa kata yang ia lekati mencakup seluruh makna kata itu [1]. (2) Semua lafadh dalam Al-Qur’an maknanya maksimal (غائية), artinya, bila misalnya Al-Qur’an menyebutkan orang beriman, maka yang dimaksud adalah orang yang sempurna imannya, bila menyebut kata dhalim, maka yang dimaksud adalah kedhaliman yang paling besar, yaitu syirik ولم يلبسوا إيمانهم بظلم… .
2. Semua riwayat tentang Asbabun Nuzul ayat ini –meskipun berbeda-beda- menunjukkan bahwa ayat ini berbicara dalam konteks (المناط)orang yang tidak merujuk kepada syari’at Allah dalam menghukumi. Orang yang merujuk kepada syari’at Allah, namum melakukan penyelewengan, kemaksiatan atau semisalnya (dalam istilah ulama’ disebut الجور في الحكم , atau الطغيان في القضاء atau مطلق المخالفات الشرعية ) tidak termasuk dalam pembicaraan ayat ini, meskipun secara bahasa mereka termasuk dalam cakupan kata من لم يحكم بما أنزل الله (orang yang tidak menghukumi dengan apa yang Allah turunkan). Sehingga vonis kafir dalam ayat ini hanya diperuntukkan kepada semua orang tidak merujuk kepada syari’at Islam, bukan orang muslim yang ‘sekedar’ melakukan الجور في الحكم , atau الطغيان في القضاء atau مطلق المخالفات الشرعية
Ketika orang-orang Khawarij mengkafirkan setiap orang muslim yang melakukan الجور في الحكم , atau الطغيان في القضاء atau مطلق المخالفات الشرعية dengan alasan mereka termasuk dalam cakupan من لم يحكم بما أنزل الله, Ibnu Abbas menjelaskan bahwa من لم يحكم بما أنزل الله dalam bentuk ini (yaitu الجور في الحكم , atau الطغيان في القضاء atau مطلق المخالفات الشرعية) vonisnya hanyalah كفر دون كفر , bukan كفر مخرج عن الملة (kekafiran yang mengeluarkan dari millah (Islam).
Sehingga, perkataan Ibnu ‘Abbas كفر دون كفر berkenaan dengan ayat ini, sebagaimana dalam beberapa kitab tafsir hanyalah dalam konteks الجور في الحكم, atau الطغيان في القضاء, atau مطلق المخالفات الشرعية, bukan dalam konteks pembicaraan ayat di atas [2]. Artinya, orang muslim yang merujuk kepada syari’at, tatkala dia melakukan apa yang disebut dengan الجور في الحكم, atau الطغيان في القضاء, atau مطلق المخالفات الشرعية vonis yang diberikan kepadanya adalah كفر دون كفر , bukan كفر مخرج عن الملة (kekafiran yang mengeluarkan dari millah (Islam) sebagaimana vonis yang diberikan kaum khawarij.
Dengan demikian, perkataan Ibnu ‘Abbas كفر دون كفر jangan dianggap sebagai tafsir terhadap ayat ini. Sebagai perbandingan, ayat أذهبتم طيباتكم ” الآية berbicara dalam konteks orang-orang kafir, tapi Khalifah Umar ketika sedang memakai pakaian yang compang-camping pada masa kekhalifannya, sebagian shahabat menawarinya untuk ‘hidup yang lebih baik’, lantas Umar menolak dengan alasan ayat ini. Apakah hal tersebut berarti ‘menolak hidup yang lebih baik’ merupakan penafsiran terhadap ayat ini? Apakah orang muslim yang hidup mewah dikategorikan sebagai orang kafir! Tentu saja tidak.
Ringkasnya, kadangkala orang salaf meletakkan ayat-ayat yang berbicara dalam konteks orang-orang kafir pada kasus-kasus yang terjadi pada kaum muslimin, sebagai bentuk takhwif (menakut-nakuti). Tentu saja dengan hukum yang berbeda. (lihat Al-Muwafaqat…)
3. Vonis kafir dalam ayat ini umum untuk semua yang tidak merujuk kepada hukum Allah (syari’at Islam), baik untuk orang yang pada asalnya menghukumi dan berhukum dengan syari’at Islam, maupun orang yang sejak awal memang menggunakan hukum jahiliyyah, baik pula karena hal itu disebabkan benci kepada hukum Allah ataupun karena hawa nafsu, suap atau yang lainnya. Sebab, kataمن (barang siapa) dalam ayat ini termasuk bentuk-bentuk yang menunjukkan keumuman.
Di samping itu puluhan dalil qath’ie dalam Al-Qur’an menunjukkan secara jelas dan gamblang bahwa orang yang tidak menjadikan syari’at Islam sebagai rujukan dalam semua perkara adalah orang kafir, keluar dari millah Islam [3] .
Sebagai tambahan, orang-orang Murji’ah menganggap semua bentuk لم يحكم بما أنزل الله -termasuk tidak merujuk kepada syari’at Allah-, bukanlah kekafiran yang besar, tetapi كفر دون كفر . Pendapat sesat ini ternyata sangat laku di kalangan sebagian para pengaku salafi. Akbatnya, pemerintah-pemerintah kafir murtad -yang salah satu sebabnya adalah tidak menjadikan syari’at Islam sebagai sumber dan rujukan hukum- sekarang ini mereka anggap sebagai ulul ‘amri yang wajib ditaati. Para mujahid yang ingin menghilangkan para thaghut itu mereka anggap sebagai teroris, khawatij, anjing-anjing neraka. Selanjutnya, mereka bekerja sama dengan para pemerintah kafir itu dalam memerangi para mujahid. Apa hukum orang yang tolong-menolong dengan orang-orang kafir dalam rangka memerangi kaum muslimin? Tidak diragukan lagi, ia murtad kafir.

[1] Aljami fi thalbi ‘ilmis syarif bab 7, hlm 23
[2] yaitu orang yang tidak merujuk kepada syari’at Allah.
[3] Imta’un Nadzr fi Kasyfi Syubuhati Murji’atil ‘Ashr, hlm.

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama