Perang Shiffin[1]
(Tahun 37 H)
a. Latar
Belakang
Mu’awiyah radhiyallahu anhu enggan
membaiat Ali radhiyallahu anhu, sampai dilakukannya qishash terhadap pembunuh Utsman
radhiyallahu anhu. Pasca Perang Jamal, Ali berkata: ‘Mu’awiyah harus
membai’atku sekarang.’ Ali kemudian mempersiapkan pasukan untuk menyerang
Mu’awiyah. Jika dia tidak mau diserang, maka dia harus segera membai’atnya. Ali
keluar dengan pasukan berjumlah 100000 personil menuju Shiffin di Syam. Saat
Mu’awiyah mendengar kabar keluarnya Ali untuk menyerangnya, ia naik ke atas
mimbar dan berkata: “Ali telah bangkit bersaa dengan penduduk Irak menuju ke
tempat kalian, apa pendapat kalian?”
Orang-orang yang hadir saat itu hanya
bisa menundukan kepala mereka.[2]
Dzul Kila’ al-Himyari berdiri dan kemudian berkata: “tentukanlah pendapatmu,
wahai Mu’awiyah, dan kami akan mematuhinya.” Sementara lainnya hanya terdiam.
Sementara itu, Ali Radhiyallahu Anhu
juga naik mimbar, kemudian berpidato. Setelah memuji dan menyanjung Allah ‘Azza
Wa Jalla, beliau mengatakan : “Mu’awiyah telah bangkit menantang kalian bersama
dengan penduduk Syam, apa pendapat kalian? “maka, ramailah suara orang-orang
yang berada di Masjid[3]
ketika itu. Mereka berkata: “pendapat kami begini”, pendapat kami begini,” Ali
sama sekali tidak mengerti apa yang mereka katakan karena banyaknya orang yang
angkat bicara. Suasana pun berubah menjadi gaduh. Akhirnya, ia turun dari
mimbar seraya mengucapkan kalimat istirja’;
inna lillahi wa inna ilahi raji’un.[4]
Begitulah keadaan orang-orang Syam,
dan beginilah keadaan orang-orang Irak. Penduduk Syam adalah orang-orang yang
taat dan kuat, sementara penduduk Irak adalah
kekacauan, sebagaimana yang akan dibahas ditempat terpisah nantinya.
Merekalah yang akan menyerang Ali radhiyallahu anhu dan membunuh beliau.
Ali radhiyallahu ‘Anhu tia di Shiffin
pada tahun 37 H. tepatnya, pada bula Safar. Perang yang akan dilakukan Ali
Radhiyallahu Anhu di Shiffin dan perang Jamal semata-mata berasal dari pendapat
dan ijtihad yang ia bangun sendiri.
Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari Qais bin ‘Abbad, dia
berkata: “aku berkata kepada Ali : ‘katakanlah pada kami tentang perjalananmu
ini, apakah ini pesan yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepadamu ataukah sekedar pendapatmu?
Ali menjawab : ‘Rasulullah shallallahu
‘alaihi Wa Sallam tidak berpesan apa-apa kepadaku, ini adalah pendapatku
sendiri.[5]
b. Apakah
Mu’awiyah Radhiyallahu Anhu merebut ke-Khalifahan? [6]
Dari Abu Muslim
al-Khaulani, ia menuturkan bahwasanya dia masuk menemui Mu’awiyah radhiyallahu Anhu,
lantas ia berkata: “Engkau telah merebut kekhalifahan dari Ali, apakah engkau
sebanding dengannya?” maka Mu’awiyah radhiyallahu anhu menjawab: “Tidak, demi
Allah, aku tahu betul bahwa Ali lebih utama dan lebih berhak atas kekhalifahan
ini, tapi bukankah kalian mengetahui bahwa Utsman terbunuh secara zhalim?
Sementara aku adalah sepupunya. Maka, aku berhak menuntut balas. Pergilah
kalian menemui Ali dan katakan padanya agar menyerahkan para pembunuh Utsman
padaku selanjutnya masalah ini aku serahkan kepadanya.” Orang-orang pun menemui
Ali radhiyallahu anhu dan berbicara kepadanya, namun ia enggan dan tidak mau
menyerahkan para pembunuh Utsman radhiyallahu anhu kepada Mu’awiyah.[7]
Mu’awiyah radhiyallahu
anhu tidak mengatakan dirinya adalah khalifah, ia juga sama sekali tidak
merebut kekhalifahan dari Ali Radhiyallahu Anhu. Oleh karena itu, ketika
perselisihan ini terjadi sebagaimana yang akan kami ketengahkan nanti, hingga
berujung pada peristiwa Tahkim (arbitrase);
ditulis di dalamnya perjanjian :
Inilah perjanjian dari Ali
Amirul Mukminin kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Mu’awiyah berkata: “jangan
engkau tulis kata Amirul Mukminin, karena, kalau aku membai’atmu sebagai amirul
mukminin, niscaya aku tidak memerangimu. Tulislah namamu dan namaku saja.” Kemudian,
Mu’awiyah menoleh kepada notulen, lalu berkata : “TUlislah namanya lebih dahulu
sebelum namaku, karena ia lebih utama daripada aku dan dia lebih dahulu masuk
Islam dibandingkan Aku. [8]
Perang yang terjadi antara
Ali dan Mu’awiyah Radhiyallahu anhuma, bukanlah perang antara khalifah melawan
khalifah, tetapi perang ini disebabkan karena Ali ingin memecat Mu’awiyah,
sedangkan Mu’awiyah menolak pemecatan tersebut sampai para pembunuh sepupunya
(Utsman Radhiyallahu anhu) diqishash atau diserahkan kepadanya. Jadi, perang
ini bukan karena perebutan kekhalifahan sebagaimana yang digembar-gemborkan.
Pada perang ini, pasukan
Ali Radhiyallahu Anhum berjumlah 100000 personil, sementara pasukan Mu’awiyah
radhiyallahu anhu berjumlah 70000 personil. ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu anhu
terbunuh pada perang ini. Ketika itu, dia berada dipihak pasukan Ali. Mengenai
terbunuhnya ‘Ammar bin Yasir dalam perang ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bersabda:
ياَ
عَمَّارُ سَتَقْتُلُكَ الفِئَةُ البَاغِيَةُ
“wahai Ammar! Engkau akan dibunuh oleh
golongan pembangkang (zhalim).”[9]
Imam Ahmad Bin Hambal
rahimahullah ditanya tentang Hadits ini: “Engkau akan dibunuh oleh golongan
pembangkang”. Lantas ia menjawab: “Aku tidak ingin berkomentar terhadap Hadits
ini. Tidak berkomentar atas peristiwa itu lebih selamat. Cukup kita mengetahu
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Dia dibunuh oleh
golongan pembangkang.” Kemudian, Imam Ahmad Rahimahullah Diam tanpa mau
membahasnya.[10]
c. Pihak
mana yang benar?
Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
“Jumhur ulama berpendapat bahwa yang
benar adalah pihak yang ikut berperang bersama Ali. Beberapa riwayat shahih
menyebutkan bahwa orang-orang yang memerangi Ali adalah pemberontak. Walaupun
demikian, jumhur ulama sepakat bahwa tidak ada satupun dari mereka yang dicela.
Jumhur ulama mengatakan bahwa mereka yang tergabung dalam kelompok itu
berijtihad namun ijtihad mereka keliru.”[11]
Imam Ibnu Hajar rahimahullah kembali
melanjutkan : “Ahlus Sunnah sepakat dilarang mencela para shahabat berkaitan
dengan apa yang terjadi di antara mereka. Walaupun sudah diketahui pihak mana
yang benar. Karena, mereka tidak melakukakan peperangan melainkan karena
ijtihad mereka.[12]
Imam Ath-Thabari berkomentar ketika
menguatkan madzhab yang membela Ali Radhiyallahu Anhu, : “Seandainya yang wajib
bagi seorang ketika terjadi perselisihan adalah menghindar dan tetap tinggal
dirumah-rumahnya, niscaya had tidak akan pernah ditegakan dan kebatilan tidak
akan pernah dibantah, sementara orang-orang fasik akan menemukan kesempatan
untuk melakukan hal-hal yang diharamkan.” [13]
Menurut saya, pernyataan Imam
Ath-Thabari ini benar jika masalahnya telah jelas. Namun, jika masalahnya masih
samar, maka seseorang harus pandai-pandai menahan diri untuk tidak terlibat.
Oleh karena itu, banyak yang tidak ikut serta dalam perang ini.
Maka, yang wajib kita yakini adalah
Thalhah, Az-Zubair dan Aisyah Radhiyallahu anhum serta orang-orang yang bersama
mereka, juga Ali Radhiyallahu anhu dan orang-orang yang ikut bersama mereka,
mereka semua berperang semata-mata atas dasar ijtihad. Ini tiak direncanakan
sebelumnya. Mereka sendiri tidak berniat untuk berperang. Imam Ibnu Hazm dan
Imam Ibnu Taimiyah mengutip dari jumhur ulama tentang larangan membicarakan
masalah tersebut.
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
berkata: “jika ada yang mengatakan bahwa Ali-lah yang memulai peperangan,
kemudian itu dibantah dengan mengatakan bahwa merekalah yang pertama kali
enggan untuk taat dan membai’atnya, serta menganggapnya zhalim dengan terlibat
dalam pembunuhan Utsman dan menerima kesaksian palsu atasnya,[14]
aku dapat jelaskan masalah ini sebagai berikut: “tersebarnya isu dikalangan
penduduk Syam bahwa Ali radhiyallahu anhu rela dengan terbunuhnya Utsman
Radhiyallahu anhu. Isu ini sebenarnya tersebar dikalangan penduduk Syam
disebabkan empat alasan:
1. Tidak
diqishashnya para pembunuh Utsman radhiyallahu anhu
2. Perang
Jamal
3. Ali
Radhiyallahu anhu meninggalkan Madinah dan menetap di Kufah sedangkan Kufah
adalah markas para pembunuh Utsman
4. Di
Pihak pasukan Ali radhiyallahu anhu terdapat orang yang tertuduh sebagai pembunuh Utsman radhiyallahu anhu.
Empat
alasan inilah yang membuat penduduk Syam (yaitu orang yang awam di antara
mereka) mencurigai keberpihakan Ali radhiyallahu anhu dalam pembunuhan Utsman
radhiyallahu anhu. Padahal Ali sama sekali tidak punya andil apapun. Karena
faktanya, ia malah melaknat para pembunuh Utsman Radhiyallahu anhu.
Jika
ada yang mengatakan bahwa Ali tidak boleh menyerang Syam hanya karena penduduk
Syam memiliki dugaan seperti itu, maka bisa aku katakana bahwa Syam tidak boleh
menyerang Ali dengan alasan Ali lambat dalam mengqishash para pembunuh Utsman.
Bahkan lebih dari pada itu, seandainya Ali mampu mengqishash mereka, tetapi
kemudian ia tidak melakukannya karena suatu alasan atau karena sengaja
melakukan kesalahan, maka hal ini tidak harus mengorbankan persatuan umat Islam
dan membuat enggan untuk membai’at. Bagaimanapun juga, melakukan bai’at itu
lebih baik bagi agama dan lebih bermanfaat bagi umat Islam.”[15]
d. Para
Shahabat yang tidak ikut berperang[16]
Para Shahabat yang ikut dalam perang
Shiffin, juga perang Jamal, adalah Ali bin Abi Thalib, Az-Zubair bin Al-Awwam,
Thalhah bin ‘Ubaidullah, ‘Aisyah bin Abu Bakar, ‘Abdullah bin Az-Zubair,
Al-Hasan bin Ali, Al-Husain bin Ali, ‘Ammar bin Yasir, ‘Abdullah bin ‘Abbas,
Mu’awiyah bin Abu Sufyan, ‘Amr bin ‘Ash, Qais bin Sa’ad, Al-Qa’qa bin ‘Amr,
Jarir bin ‘Abdullah, Khuzaimah bin Tsabit, Abu Qatadah, Abul Haitsam
at-Tayyihan, Sahal bin Sa’ad, Jabir bin ‘Abdullah, ‘Abdullah bin Ja’far, ‘Adi
bin Hatim, al-Asy’ats bin Qais, Jariyah bin Qudamah, Fadhalah bin ‘Ubaid, dan
an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhum.
Adapun shahabat yang enggan dan tidak
ikut perang tersebut adalah Sa’ad bin Abu Waqqash, Sa’id bin Zaid, ‘Abdullah
bin Umar, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, Abu Hurairah, Zaid bin
Tsabit, ‘Imran bin al-Hushain, Anas bin Malik, Abu Bakrah ats-Tsaqafi, Al-Ahnaf
bin Qais, Abu Ayyub al-Anshari, Abu Musa al-Asyi’ari, Abu Mas’ud al-Anshari,
Al-Walid bin ‘Uqbah, Sa’id bin Al-‘Ash, ‘Abdullah bin ‘Amir, ‘Abdullah bin ‘Amr
bin al-‘Ash, Abu Barzah al-Aslami, Ahban bin Shaifi, dan Salamah bin al-Akwa’
radhiyallahu anhum. Bahkan mayoritas Shahabat tidak melibatkan diri dalam
fitnah ini.
e. Kisah
Tahkim (arbitrase)
Perang Shiffin berakhir dengan tahkim
(arbitrase). Yaitu mereka menghentikan peperangan dengan diangkatnya
mushaf-mushaf di atas tombak sebagai pertanda agar kedua belah pihak mau
berunding. Ali radhiyallahu anhu rela melakukan tahkim, lalu kembali ke
Kufah. Sementara Mu’awiyah radhiyallahu anhu kembali ke Syam. Tahkim itu
sendiri akan dilakukan pada bulan Ramadhan. Untuk hal tersebut, Ali
mendelegasikan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu anhu, sedangkan Mu’awiyah
mendelegasikan ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu anhu.
Mengenai kisah tahkim yang
masyhur tetapi Palsu adalah sebagai berikut: ‘Amr bin al-‘Ash dan Abu Musa
al-Asyi’ari radhiyallahu anhuma sepakat mencopot jabatan Ali dan Mu’awiyah
radhiyallahu anhuma. Abu Musa al-Asyi’ari naik ke atas mimbar, lantas berkata:
‘Aku mencopot kekhalifahan yang disandang Ali sebagaimana aku menanggalkan
cincinku ini.” Ia pun menanggalkan cincinnya.
Kemudian ‘Amr bin al-‘Ash berdiri dan
berkata: “Aku pun mencopot baju ke khalifahan yang disandang Ali sebagaimana
Abu Musa mencopot jabatannya dan seperti aku menanggalkan cincinku ini, Dan aku
menetapkan Mu’awiyah sebagai khalifah sebagaimana aku memasang cincinku ini.”
Maka suasanapun menjadi gaduh. Abu Musa radhiyallahu anhu kemudian keluar dari
meja perundingan dengan keadaan marah, lalu kembali ke Makkah dan tidak pergi
ke Ali Radhiyallahu anhu di Kufah. Sementara ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu anhu
kembali ke Syam.[17]
Ini adalah kisah palsu dan bohong.
Dalangnya tiada lain adalah Abu Mikhnaf.[18]
Kisah yang sebenarnya, seperti yang
dinukil para perawi tsiqah, adalah sebagai beriut. ‘Amr bin al-‘Ash
radhiyallahu anhu bertemu dengan Abu Musa al-‘Asyi’ari Radhiyallahu anhu,
lantas bertanya padanya: “apa pendapatmu tentang masalah ini?”
Abu Musa menjawab: “Menurutku, mereka
(yaitu Ali Radhiyallahu anhu) termasuk orang-orang yang saat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau meridhai mereka.”[19]
‘Amr bin al-‘Ash berkata: “lalu, di
mana engkau memosisikan aku dan Mu’awiyah?” Abu Musa menjawab: “jika Ali
meminta bantuan kepada kalian berdua, maka kalian harus membantunya. Namun,
jika dia tidak butuh kalian berdua, maka telah sekian lama urusan Allah ‘Azza
wa jalla tidak butuh pada bantuan kalian berdua.”[20]
Masalahpun selesai seperti itu. Setelah itu, ‘Amr bin al-‘Ash kembali kepada
Mu’awiyah radhiyallahu Anhu dengan membawa berita ini, sementara Abu Musa
kepada Ali Radhiyallahu Anhu dengan membawa berita ini.
Riwayat awal tak ayal lagi adalah
bathil berdasarkan tiga alasan.
Pertama, Sanadnya Dha’if karena terdapat
perwai bernama Abu Mikhnaf, sang pembohong.
Kedua, Khalifah kaum muslimin tidak bisa
diberhentikan begitu saja oleh Abu Musa Al-‘Asyi’ari ataupun orang lainnya,
bahkan tidak mungkin jabatan ini dicopot semudah itu. Demikianlah pendapat
Ahlus Sunnnah. Maka, bagaimana mungkin dua orang bersepakat mencopot gelar
Amirul Mukminin?
Tindakan tersebut jelas tidak
dibenarkan. Yang sebenarnya terjadi dalam Tahkim adalah keduanya
ebrsepakat bahwa Ali Radhiyalllahu Anhu tetap di Kufah sebagai khalifah kaum
muslimin dan Mu’awiyah radhiyallahu anhu tetap di Syam sebagai gubernurnya. Kesepakatan
lain yang diriwayatkan adalah peperangan antar kedua belah pihak dihentikan.
Ketiga, adanya riwayat shahih seperti
yang telah disebutkan di atas.
[1] Shiffin adalah nama daerah yang berada di dekat Ruqqah di samping
sungai Eufrat saat ini, wilayah tersebut termasuk bagian dari suriah.
[2] Artinya, mereka menundukan kepala ; tidak ada seorang pun yang
mengangkatnya.
[3] Maksudnya nada suara mereka meninggi
[4] Tarikhhul Islam (Hal. 540).
Pembahasan Masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin
[5] Sunan Abi Dawud, Kitab “As-Sunnah”, Bab. ‘Ma
Yadullu ‘Ala Tarkil Kalam Fil Fitnah’ No. 4666
[6] Tarikhul Islam (hal. 540), dalam bahasan masa Khulafaur Rasyidin
[7] Tarikhul Islam (Hal. 540) dalam bahasan masa Khulafaur Rasyidin
[8] Al-Bidayah wan Nihayah (VII/288)
[9] Mutafaqun ‘Alaihi, Shahih Bukhari, Kitab “Ash-Shalah”, Bab
“At-Ta’awun fi Bina-il Masjid” No. 447; Shahih Muslim, Kitab Al-Fitnah,
Bab “La Taqumus Sa’ah Hatta Yamurrar Rajul Bi Qabrir Rajul” No. 2915.
[10] As-Sunnah karya Al-Khalal Hal. 463, No.722
[11] Fathul Bari (XIII/72)
[12] Ibid (XIII/37)
[13] Ibid (XIII/37)
[14] Minhajus Sunnah
(IV/410)
[15] Ibid (IV/411)
[16] Minhajus Sunnah (IV/411)
[17] Tarikh ath-Thabari (IV/51) dan al-Kamil fit Tarikh (III/168).
‘Amr bin Al-‘Ash radiyallahu anhu merupakan shahabat yang mulia. Dengan penuh
ketaatan dan tanpa paksaan. Dia berhijrah ke madinah. sunguh dalam diri kaum
Muhajirin tidak tersimpan sama sekali kemunafikan, karna mereka memang tidak
butuh itu, namun kemunafikan ada pada sebagian penduduk madinah (kaum Anshar).
Sebab, orang-orang mulia dari Makkah dan para pembesarnya dahulu adalah
orang-orang kafir dan terbiasa disakiti setelah menjadi Muslim. Maka, bagaimana
mungkin shahabat ini berbuat kemunafikan?
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah bersabda: “Dua putra al-‘Ash adalah orang
yang beriman, yaitu ‘Amr dan Hisyam. “ (Hr. Ahmad II/304)
[18] Mengenai sosok Abu Mikhnaf, Imam Ibnu Ma’in rahimahullah
berkomentar: “Dia bukan apa-apa (yakni riwayat darinya tidak boleh diambil)”.
Imam Abu Hatim berkomentar: “Dia perawi Hadits Matruk (Salah satu jenis hadits
Dha’if),” dan tatkala ditanya lagi tentangannya, dia menepuk tangannyadan
berkata: “adakah yang sudi mempertanyakan orang ini?”. Imam ad-Daraquthni
berkomentar: “Dia adalah perawi yang lemah”. Imam Ibnu Hibban berkomentar: “Dia
meriwayatkan Hadits-hadits Maudhu’ dari orang-orang Tsiqah.” Sementara Imam
Adz-Dzahabi berkomentar: “Dia seorang pewarta yang nukialnnya tidak boleh
dipakai; dia tidak bisa dipercaya.” Al-Jarh
wat Ta’dil (VII/182), Mizanul
I’tidal (III/419). Dan Lisanul Mizan (IV/492)
[19] Yang dimaksud adalah Ali bin Abi Thalib.
[20] Lihat detail kisah tahkim dalam Kitab Marwiyyat Abi
Mikhnaf Fi Tarikh Ath-Thabari penulisnya mengutip dari Tarikhul Kabir (V/398).
Lihat juga Tarikh Dimasyq (XLVI/175), dalam bahasan biografi ‘Amr bin
Al-‘Ash radhiyalahu anhu.
Sejarah perang shiffin, riwayat kisah shahih perang shiffin, riwayat palsu peristiwa tahkim, sumber kebohongan peristiwa tahkim, siapa pembunuh Ammar bin Yasir dalam perang shiffin, penjelasan para ulama salaf tentang peristiwa shiffin, penyebab terjadinya perang shiffin, kapan peristiwa tahkim terjadi.
Posting Komentar