Potensi kerugian Negara dari kasus
Tindak Pindana Korupsi (TPK) dari data tahun 2000 sampai semester 2010
mencapai Rp. 46.6 triliun. Modus korupsi yang dilakukan diantaranya,
money politic rekrutmen elit parpol, praktek suap dan percukongan dalam
Pilkada, Pemilu Legislasi sampai Pilpres, penjarahan asset APBD sampai
APBN (Kementrian, BUMN, BUMD) oleh aparat Parpol dan state capture
corruption-corruption beureucracy. Sedangkan data penanganan perkara
TPK oleh Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK) mulai dari tahun 2004 sampai
2011 sebanyak 265 perkara.
Adapun faktor yang secara signifikan
mendorong seseorang untuk melakukan tindakan korupsi dan menistakan
harga diri dengan menerima suap dan uang pelicin dalam menjalankan
tugas dan amanah pekerjaannya, diantaranya:
a. Lemahnya semangat keagamaan dan menurunnya indikasi keimanan.
b. Mengikuti keinginan syahwat dan menuruti kelezatan dunia yang semua yang tak pernah kenal batas.
c. Pembelaan dan nepotisme terhadap
keluarga secara berlebihan sehingga mematikan sikap objektif , rasa
keadilan, prilaku amanah dan profisionalisme.
d. Pembisik-pembisik jahat, patner-patner culas dan kroni-kroni yang korup sehingga peluang korupsi terbuka lebar.
e. Menempatkan para pejabat atau
petugas yang kurang ikhlas dalam pengabdian dan kurang bertanggung
jawab dalam mengemban tugas sehingga mereka banyak melakukan aji
mumpung jadi pejabat.
f. Gaya hidup yang glamor dan serba hedonis.
g. Diktator dalam mengendalikan kepemimpinan membuat pemimpin dan penjabat gampang korupsi.
h. Tekanan pihak asing yang
senantiasa mengatur kebijakan politik dan ekonomi negara membuat
pengelola Negara terjebur korupsi.
Melalui beberapa faktor di atas maka
budaya suap menyuap, korupsi, kolusi yang mendarah daging di Indonesia
semakin menyulitkan bahkan menggagalkan upaya kita untuk menempuh
jalur bisnis dan birokrasi yang lurus dan bersih.
Misalnya pelaksanaan tender proyek di
beberapa instansi , seperti pengadaan barang dan jasa, pembangunan dan
lain sebagainya. Sungguh tak lagi berjalan secara profesional . Nilai
kontrak dalam pengadaan barang dan jasa sering kali di mark up atau
digelembungkan. Sudah menjadi rahasia umum siapapun yang bisa lolos
me-mark up anggaran akan mendapat imbalan, padahal mereka sendiri sudah
digaji. Bagaimana uang semacam itu dapat mengalir kepada mereka
padahal tidak ada perinciannya dalam anggaran.
Pastinya saat mark up dilakukan, upeti
di jalankan, sehingga pekerjaan dan hasilnya pun tidak profesional
seperti yang diharapkan. Karena sering kali ada istilah saling
pengertian dengan mengorbankan kualitas komponen dan spesifikasi
pekerjaan akan lolos saat pemeriksaan. Karena si pemeriksa sudah di
butakan dengan tebalnya amplop. Maka jangan heran jika jembatan baru di
bangun langsung jebol, jalan umum baru dibuat langsung rusak, gedung
baru di bikin langsung hancur.
Jelas, suap dan semacamnya hanya akan
merugikan Negara dan masyarakat. Rakyat kecil yang tidak tahu menahu
akan terus hidup sengsara. Kekayaan Negara yang seharusnya dapat
dipergunakan untuk kemaslahatan mereka menjadi salah alokasi, bahkan
hanya untuk memeperkaya pribadi. Akibatnya kepercayaan masyarakat kepada
pengelola pemerintah memudar. Ditambah lagi hukum yang dapat diperjual
belikan , ini semakin membuat pesimis para pencari keadilan .
Maka timbul rasa kecemburuan sosial
antara orang miskin dengan orang kaya serta para pengelola Negara,
kebencian rakyat kepada mereka memuncak sehingga rakyat mudah
terprovokasi dan terbawa arus anarkis.
Praktik korupsi di atas jelas merupakan
bentuk kezhaliman yang sangat licik, koruptor adalah musuh dalam
selimut. Ia senantiasa membokong orang atau pihak yang memberi amanah.
Saat ia disuruh mengamankan asset, justru menggelapkannya. Saat ia
diberi amanah ia mengambilnya dengan sekehendak hawa nafsunya, tak
peduli apakah amanah ini milik negara , perusahaan ataupun majikan.
Melihat prilaku dan praktik para
koruptor tersebut, maka koruptor ini layak kita masukkan dalam
katagori musuh. Melawannya berarti jihad melawan orang-orang munafik
dan zhalim. Koruptor, baik yang beroperasi di perusahaan atau instansi
pemerintah, di depan atasan, bawahan, atau masyarakat selalu
menunjukkan kesetiaan dan loyalitasnya.
Bahkan, saat sang koruptor memiliki
jabatan di pemerintah, baik di legislative maupun eksekutif, ia tak
segan-segan mengobral janji , bahwa apa yang dilakukannya adalah demi
kemakmuran rakyat, membela kaum miskin dan rakyat jelata. Sang
koruptor selalu berusaha menampilkan dirinya sebagai pendekar pembela
kebenaran dan pejuang keadilan. Apa yang dilakukannya berbeda jauh
dengan kata-kata manis yang keluar dari bibirnya. Maka sang koruptor
sesungguhnya adalah orang-orang berkarakter munafik yang senang berkata
dusta, yang saat janji ia ingkar, yang saat dipercaya ia khianat.
Sementara Negara kita juga belum
menemukan formula hukum yang bisa memberikan efek jera kepada para
koruptor sekaligus menciptakan sistem yang bisa meminimalisir tindak
korupsi. Hukuman mati adalah layak bagi sang koruptor, sebab hukuman
mati masih diberlakukan dan belum akan dihapus di Negara kita.
Hukuman mati itu layak bagi koruptor karena pada kenyataannya, sebagian
rakyat miskin ada yang mati karena kelaparan, dan itu kemungkinan
menjadi sangat miskinnya itu akibat merajalelanya korupsi. Contoh nyata
adalah peristiwa ini:
Pada hari Senin tanggal 4 Januari 2010,
ditemukan jasad seorang nenek yang diperkirakan berusia 72 tahun,
akibat kelaparan. Jasad nenek tua itu ditemukan di bukit sebelah barat
dusun Banyakan I, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Bantul, Yogyakarta. Diperkirakan, sang nenek tua tewas satu hari sebelum ditemukan Rohadi (29 tahun), warga setempat.
Sebelum ditemukan tewas, selama lima
hari sebelumnya, sang nenek tua terlihat mondar-mandir di dusun
tersebut. Warga sempat beranya-tanya ketika sang nenek tua yang bisanya
mondar-mandir tiba-tiba hilang begitu saja. Kekhawatiran tersebut
disampaikan warga kepada Rohadi, yang kemudian melakukan pencarian.
Akhirnya, Rohadi berhasil menemukan sang nenek tua dalam keadaan sudah
tewas di bibir jurang di atas perbukitan, sebelah barat Dusun Banyakan
I.
Orang setua itu seharusnya menjadi tanggungan negara. Apalagi bila
ia sebatang kara. Di negeri yang makmur ini, orang setua itu ternyata
masih harus memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri. Mengarungi hidup
sendiri, hingga tersesat ke sebuah bukit, dan tewas karena kebingungan
dan kelaparan. (Sampai Rakyat Pada Mati Kelaparan pun Dana Masih Tetap Dihamburkan, http://nahimunkar.com/sampai-rakyat-pada-mati-kelaparan-pun-dana-masih-tetap-dihamburkan/
Kita sebagai rakyat tentu hanya bisa
mengharapkan adanya sanksi yang setimpal beratnya dengan bobot
kejahatan mereka, sembari memulai membangun usaha yang sungguh-sungguh.
Choirul Hisyam – Sidoarjo
YM: hchoirulhisyam
P: 031 834 740 72
Ilustrasi: indonesian-group-on-mdgs, ep.ilmci.com
Posting Komentar