untuk membuktikan bahwa sesungguhnya dalam pandangan Kristen, Shalat itu benar-benar ada, dan benar-benar merupakan ajaran para Nabi terdahulu termasuk ajaran Nabi Isa As / Yesus.
dan juga sebagai perbandingan dan kajian untuk kita sebagai umat Islam dalam mengkaji perbandingan agama.
berikut saya cantumkan pandangan mereka langsung tanpa saya komentari:
|
Shalat yang dimaksud tentu saja berbeda dengan shalat dalam Islam. Sekalipun, waktu-waktu shalatnya memang sama. Jauh sebelum Islam, shalat fardhu dimaknai sebagai “waktu-waktu doa yang dikanonisasikan” (the canonical prayers), sesuai dengan jam-jam sengsara Kristus/Almasih. Dalam Islam, shalat adalah ibadah sakramental, maka bersifat wajib.Sedang shalat Kristiani adalah ibadah non-sakamental, maka Shalat ini dihayati lebih sebagai disiplin rohani bukan sebagai hal yang wajib.
Dalam Gereja Orthodox sesuai dengan data-data Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, menyebutkan bahwa sholat itu dilakukan 7 kali dalam sehari (Mzm.119:164) berdasarkan urutan waktu dan masing-masing sholat itu mempunyai makna theologis di sekitar Inkarnasi Sang Sabda dan karyaNya, sedangkan nama-nama sholat tersebut adalah sebagai berikut :
1. “Sholat Jam Pertama” (“Sembahyang Singsing Fajar”, “Orthros”, “Matinus”, “Laudes”) atau “Sholatus Sa’atul Awwal” (“Sholatus Shakhar”), yaitu ibadah pagi sebanding dengan “Sholat Subuh” dalam agama Islam (jam 5-6 pagi). Data ini diambil dari Kitab Keluaran 29:38-41 berkenaan dengan ibadah korban pagi dan petang, yang dalam Gereja dihayati sebagai peringatan lahirnya Sang Sabda Menjelma sebagai Sang Terang Dunia (Yoh.8:12).
1. “Sholat Jam Pertama” (“Sembahyang Singsing Fajar”, “Orthros”, “Matinus”, “Laudes”) atau “Sholatus Sa’atul Awwal” (“Sholatus Shakhar”), yaitu ibadah pagi sebanding dengan “Sholat Subuh” dalam agama Islam (jam 5-6 pagi). Data ini diambil dari Kitab Keluaran 29:38-41 berkenaan dengan ibadah korban pagi dan petang, yang dalam Gereja dihayati sebagai peringatan lahirnya Sang Sabda Menjelma sebagai Sang Terang Dunia (Yoh.8:12).
2. “Sholat Jam Ketiga” (“Sembahyang Jam Ketiga”, “Tercia”) atau “Sholatus Sa’atus Tsalitsu”, sholat ini sebanding dengan “Sholat Dhuha” dalam agama Islam meskipun bukan sholat wajib (jam 9-11 pagi). Ini terungkap dalam Kitab Kisah Para Rasul 2:1,15 yang mempunyai pengertian penyaliban Yesus dan juga turunnya Sang Roh Kudus (Mrk.15:25; Kis.2:1-12,15). Itu sebabnya dengan sholat ini, kita teringatkan agar mempunyai tekad dan kerinduan untuk menyalibkan dan memerangi hawa nafsu sendiri, agar rahmat Allah dalam Roh Kudus melimpah dalam hidup.
3. “Sholat Jam Keenam” (“Sembahyang Jam Keenam”, “Sexta”) atau “Sholatus Sa’atus Sadis”. Ini nyata terlihat dalam Kisah Para Rasul 10:9 dan sholat ini sebanding dengan “Sholat Dzuhur” dalam agama Islam (jam 12-1 tengah hari), yang mempunyai makna sebagai peringatan akan penderitaan Kristus di atas salib (Luk.23:44-45), dan pencuri yang disalib bersama-sama Kristus bertobat. Berpijak dari makna ini, kitapun diharapkan seperti pencuri selalu ingat akan hidup pertobatan dan selalu memohon rahmat Ilahi agar mampu mencapai tujuan hidup yaitu masuk dalam kerajaan Allah.
4. “Sholat Jam Kesembilan” (“Sembahyang Jam Kesembilan”, “Nona”) atau “Sholatus Sa’atus Tis’ah” (Kis.3:1) sebanding dengan “Sholat Asyar” dalam agama Islam (jam 3-4 sore). Sholat ini dilakukan untuk mengingatkan saat Kristus menghembuskan nafas terakhirNya di atas salib (Mrk.15:34-37), sekaligus untuk mengingatkan bahwa kematian Kristus di atas salib adalah untuk menebus dosa-dosa, agar manusia dapat melihat dan merasakan rahmat Ilahi.
.5. “Sholat Senja” (“Sembahyang Senja”, “Esperinos”, “Vesperus”) atau “Sholatul Ghurub”. Sholat ini sebanding dengan “Sholat Maghrib” dalam agama Islam (kira-kira jam 6 sore), sama seperti sholat jam pertama, sholat ini dilatar belakangi oleh ibadah korban pagi dan petang yang terdapat dalam Kitab Keluaran 29:38-41. Makna dan tujuan sholat ini adalah untuk memperingati ketika Kristus berada dalam kubur dan bangkit pada esok harinya, seperti halnya matahari tenggelam dalam kegelapan untuk terbit pada esok harinya.
6. “Sholat Purna Bujana” (“Sholat Tidur”, “Completorium”) atau “Sholatul Naum” (Mzm.4:9). Sholat ini sebanding dengan “Sholat Isya” dalam agama Islam (jam 8-12 malam), yang mempunyai makna untuk mengingatkan bahwa pada saat malam seperti inilah Kristus tergeletak dalam kuburan dan tidur yang akan dilakukan itu adalah gambaran dari kematian itu.
7. “Sholat Tengah Malam” (“Sembahyang Ratri Madya”, “Prima”) atau “Sholatul Lail” atau “Sholat Satar” (Kis.16:25). Sholat ini sebanding dengan “Sholat Tahajjud” dalam agama Islam. Sholat tengah malam ini mengandung pengertian bahwa Kristus akan datang seperti pencuri di tengah malam (Mat.24:42; Luk.21:26; Why.16:15), hingga demikian hal itu mengingatkan orang percaya untuk tetap selalu berjaga-jaga dalam menghidupi imannya.
Sebelum melakukan ibadah sholat tersebut di atas, menurut Tradisi Gereja dan Alkitab, sebagaimana saudara kita kaum Muslim jika mau sholat harus “bersuci” lebih dulu, umat Kristen Orthodoxpun juga “bersuci” sebelum menunaikan sholat yaitu dengan jalan membasuh telapak tangan, membasuh wajah dan kepala, membasuh tungkai kaki, serta seluruh kaki. Ini semua tertulis dalam Kitab Mazmur 26:1-12. Sedangkan “kiblat” sewaktu sholat adalah menghadap ke Timur. Karena Ka’bah Baitullah di Yerusalem itu digenapi oleh Kristus sendiri (Yoh.2:9-21), artinya Yesus Kristuslah sekarang Ka’bah atau Baitullah yang hidup itu. Dengan demikian orang Kristen harus berkiblat kepadaNyalah jika bersholat. Padahal dalam realita Yesus itu sesuai dengan surat Filipi 3:20 berada di sorga, jadi kiblatnya bukan arah mata-angin maupun dunia ini, namun untuk menimbulkan lambang kiblat itu di sorga. Kitab Suci menyebut Eden sebagai lambang sorga itu berada di sebelah Timur (Kej.2:, maka ke arah Timur itulah kiblat sholat dilakukan. Di sisi lain karena Kristus nanti datang dari arah Timur ke Barat (Mat.24:27), dengan menghadap ke Timur saat sholat menunjukkan arti bahwa orang percaya selalu mengharapkan kedatangan Kristus yang kedua kali.
SEKILAS SHOLAT (IBADAT HARIAN) DALAM GEREJA BARAT (ROMA KATOLIK DAN PROTESTAN)
Oleh : Rm. Kyrillos JSL
Penetapan waktu-waktu sholat itu selain data-data yang dituliskan dalam Alkitab juga terdapat dalam tulisan-tulisan Bapa Rasuli. Kitab Didache [ ditulis pada tahun 95 M*) ] menyebut “orismenois kairois kai horeis” (“waktu-waktu dan jam-jam tertentu untuk sembahyang”).
Rujukan paling lengkap tentang hal ini, termuat dalam Dokumen Konstitusi Rasuli (380) dan Bapa Gereja Js.Basilius Agung (330 – 379) dalam “Regulae Fusius Tractate”. Bahkan dia menyebut bahwa penetapan waktu-waktu sembahyang itu telah dilakukan di Yerusalem oleh para Rasul sendiri.
Hampir semua Bapa Gereja menulis tentang tradisi sholat ini, baik di Timur seperti Bapa Gereja Js.Yohanes Krisostomos (354 – 407), maupun di Barat seperti St.Hieronomus (340 – 420). Bapa Gereja Latin, St.Agustinus dari Hippo dalam Regula-nya (aturan hidup membiara) yang pertama di dunia Barat (ditulis sekitar tahun 397), menganjurkan pada para rahib dan rabihah/ rubiah : “Untuk bertekun dengan setia dalam doa pada jam-jam dan waktu-waktu yang telah ditentukan”. Lebih dari seratus tahun kemudian, St.Benediktus dari Nursia, Itali (480 – 547), seorang Bapa Kerahiban Gereja Barat, dalam Regula-nya menganjurkan untuk mendaraskan terus-menerus doa-doa dan mazmur pujian sebanyak tujuh kali dalam sehari.
Sholat dalam Gereja Roma Katolik disebut “Ofisi Ilahi” atau “Ibadat Harian”, sedang dalam dokumen-dokumen Konsili Vatikan II tidak dipakai lagi istilah “brevir”, melainkan “doa ofisi” dan terutama “Liturgia Horarum” (harfiah : ibadat saat-saat, ibadat menurut irama waktu; terjemahan yang dipilih oleh PWI-Liturgi: ibadat harian).
Maksudnya ialah agar pada saat-saat tertentu – pagi, siang, sore, sebelum tidur – si pendoa mempersatukan diri dengan Kristus, Sang Pendoa, dalam ibadat pujian dan permohonan. Dalam perjalanan sejarahnya, sholat di Gereja Barat Roma Katolik mengalami beberapa perubahan hingga mencapai bentuknya yang sekarang. Jadi dalam Gereja Roma Katolik sebenarnya tradisi sholat/ ibadat harian masih bertahan, tetapi sudah tidak utuh lagi.
Sedang dalam gereja-gereja Reformasi/ Protestan karena pengalaman traumatis dalam sejarah dengan Gereja Roma Katolik, segala yang berbau Katolik ditolak termasuk sholat dalam perjalanannya dihilangkan sampai tidak dikenal lagi pada saat ini.
I. Sholat dalam Gereja Roma Katolik
Dalam Gereja Roma Katolik, waktu-waktu sembahyangpun masih dipelihara menurut perhitungan Yahudi tetapi dalam terjemahan Latin : Prima, Laudes, Tertia, Sexta, Nona, Vesper dan Completorium.
Prima adalah sembahyang dini hari (Sholat Tengah Malam, Sholatul Lail atau Sholatul Satar),
Hora Tertia (Sholat Sa’atus Tsalits, Jam Ketiga),
Hora Sexta (Sholat Sa’atus Sadis, Jam Keenam),
Hora Nona (Sholat Sa’atus Tis’ah, Jam Kesembilan),
Subuh (Sholatus Sa’atul Awwal, Jam Pertama) dan
Maghrib (Sholatul Ghurub, Sholat Senja) disebut dengan istilah Latin Laudes (Ibadat Pagi) dan
Vesper (Ibadat Sore),
Completorium (Sholatul Naum, Sholat Tidur).
Sekarang ini, cukup sering biara-biara menggabungkan kedua waktu, Laudes dan Prima, dan merayakannya sebagai satu doa pagi.
Pada masa periode pertama Gereja, sejak masa para Rasul, doa bersama/ ibadat harian diantara para uskup, imam dan umat adalah hal yang biasa dilakukan.
Dalam perjalanan sejarahnya, sembahyang bersama ini di dalam Gereja Roma Katolik menjadi semakin eksklusif ibadat uskup dan klerus, bukan lagi doa bersama dengan umat. Partisipasi umat dalam menghadiri ibadat harian ini menjadi merosot.
Pada abad ke-13, mengikuti corak kebebasan Ordo Fransiskan dan Ordo Dominikan, seiring dengan munculnya “rahib gaya baru”, yang adalah orang-orang yang mudah bergerak, yang tidak terlalu terikat oleh waktu-waktu berkumpul di biara. Mereka membaktikan sebagian besar waktunya untuk pewartaan dan katekese, sehingga mereka tidak dapat lagi secara teratur berkumpul di kapel biara untuk menyanyikan ofisi sehingga jam-jam sholat maupun doa-doanyapun disederhanakan demi kepentingan para imam dan rahib yang keliling.
Penyesuaian demi penyesuaian dilakukan oleh Gereja Roma Katolik, khususnya dengan alasan tuntutan hidup modern yang terus berubah. Perubahan-perubahan itu terjadi pada masa Paus Pius V, Sixtus V, Klement VIII, Urbanus VIII, dan Klement XI dan akhirnya pada masa Konsili Vatikan II tinggal Laudes (Ibadat Pagi) dan Vesper (Ibadat Sore) yang ditekankan.
Laudes dan Vesper diperingkas dalam buku singkat yang disebut Breviarium (Ikhtisar Singkat, “Brevir”), dan lebih menjadi doa klerus (rohaniwan). Melalui brevir itu para imam dan rahib yang keliling dapat tetap mempersatukan diri secara rohani dengan ofisi yang dinyanyikan di gereja katedral atau di biara. Dalam praktek, selama abad-abad terakhir ini, ofisi sebagai doa bersama dilakukan hanya di biara-biara ordo kontemplatif dan di biara-biara besar ordo lainnya.
Sedangkan bagi bruder, suster dan awam yang berminat melakukan sembahyang harian ini, disediakan “brevir kecil” atau “brevir Maria”, malahan pula doa Rosario diperkenalkan sebagai “brevir umat”, sebagai pengganti sholat-sholat harian Gereja Purba tersebut.
Tetapi akhirnya Vatikan II kembali menginstruksikan doa-doa harian itu sebagai doa umat, bukan untuk imam saja. Konsili berharap agar doa ofisi atau ibadat harian sekali lagi menjadi doa bersama, bahkan doa bersama umat, dan bukan hanya doa (pribadi) wajib bagi para rohaniwan dan rahib saja. Partisipasi umat – khususnya untuk ibadat pagi dan sore – sangat dianjurkan, teristimewa pada hari Minggu dan pesta. “Menurut asal-usul dan hakikatnya, ibadat harian bukanlah milik khusus para rohaniwan dan rahib saja, melainkan milik umum seluruh umat Kristen” dan atas dasar konstitusi dan peraturan diangkat menjadi “doa resmi Gereja” (Pedoman Ibadat Harian, No.270).
II. Sholat dalam Gereja-gereja Protestan
Dalam Gereja-gereja Reformasi/ Protestan, sholat-sholat atau ibadat harian tersebut justru telah hilang sama sekali. Bukan hanya memelihara waktu-waktu sholat yang ditiadakan, bahkan ada kecenderungan kuat pada kekristenan kontemporer untuk menolak doa-doa yang dirumuskan, meskipun terbukti bahwa kata-kata doa itu telah dikuduskan oleh pola ibadah segala abad. EH van Olts, seorang Calvinis dan guru besar pada Free University di Amsterdam, mengakui bahwa “pelecehan terhadap doa yang dirumuskan, sebagaimana kadang-kadang terjadi dalam lingkungan Kristen, tidak memiliki dasar dalam Alkitab dan tradisi**), tetapi lebih merupakan suatu produk dari subyektivisme dan individualisme modern”. Menurut van Olts, hal itu disebabkan para reformator sendiri tidak menguasai tradisi Gereja Purba dan sejarah liturgi dengan baik.
Khususnya Zwingli, ia melangkah lebih jauh lagi, seluruh simbol-simbol sebagai ekspresi ibadah otentik dibuangnya, akhirnya postur-postur badaniah dalam ibadah (bersujud, berlutut) yang terbukti memiliki kesinambungan tradisi tanpa putus sejak zaman Rasuli dihilangkan dan simbol-simbol lain ditekan sampai taraf yang amat minim. Akibatnya, sholat-sholat harian tidak dikenal lagi, bahkan menjadi sangat asing dimata banyak orang Kristen. Tampaknya, banyak umat Protestan sulit terlepas dari trauma sejarah yang sangat panjang dari kekatolikan. Segala unsur yang dianggapnya berbau Katolik ditolak, seperti tanda salib dalam ibadah, meskipun Luther sendiri menganjurkan pengikutnya membuat tanda salib itu didahi dan dada setiap berdoa.
Oleh : Rm. Kyrillos JSL
Penetapan waktu-waktu sholat itu selain data-data yang dituliskan dalam Alkitab juga terdapat dalam tulisan-tulisan Bapa Rasuli. Kitab Didache [ ditulis pada tahun 95 M*) ] menyebut “orismenois kairois kai horeis” (“waktu-waktu dan jam-jam tertentu untuk sembahyang”).
Rujukan paling lengkap tentang hal ini, termuat dalam Dokumen Konstitusi Rasuli (380) dan Bapa Gereja Js.Basilius Agung (330 – 379) dalam “Regulae Fusius Tractate”. Bahkan dia menyebut bahwa penetapan waktu-waktu sembahyang itu telah dilakukan di Yerusalem oleh para Rasul sendiri.
Hampir semua Bapa Gereja menulis tentang tradisi sholat ini, baik di Timur seperti Bapa Gereja Js.Yohanes Krisostomos (354 – 407), maupun di Barat seperti St.Hieronomus (340 – 420). Bapa Gereja Latin, St.Agustinus dari Hippo dalam Regula-nya (aturan hidup membiara) yang pertama di dunia Barat (ditulis sekitar tahun 397), menganjurkan pada para rahib dan rabihah/ rubiah : “Untuk bertekun dengan setia dalam doa pada jam-jam dan waktu-waktu yang telah ditentukan”. Lebih dari seratus tahun kemudian, St.Benediktus dari Nursia, Itali (480 – 547), seorang Bapa Kerahiban Gereja Barat, dalam Regula-nya menganjurkan untuk mendaraskan terus-menerus doa-doa dan mazmur pujian sebanyak tujuh kali dalam sehari.
Sholat dalam Gereja Roma Katolik disebut “Ofisi Ilahi” atau “Ibadat Harian”, sedang dalam dokumen-dokumen Konsili Vatikan II tidak dipakai lagi istilah “brevir”, melainkan “doa ofisi” dan terutama “Liturgia Horarum” (harfiah : ibadat saat-saat, ibadat menurut irama waktu; terjemahan yang dipilih oleh PWI-Liturgi: ibadat harian).
Maksudnya ialah agar pada saat-saat tertentu – pagi, siang, sore, sebelum tidur – si pendoa mempersatukan diri dengan Kristus, Sang Pendoa, dalam ibadat pujian dan permohonan. Dalam perjalanan sejarahnya, sholat di Gereja Barat Roma Katolik mengalami beberapa perubahan hingga mencapai bentuknya yang sekarang. Jadi dalam Gereja Roma Katolik sebenarnya tradisi sholat/ ibadat harian masih bertahan, tetapi sudah tidak utuh lagi.
Sedang dalam gereja-gereja Reformasi/ Protestan karena pengalaman traumatis dalam sejarah dengan Gereja Roma Katolik, segala yang berbau Katolik ditolak termasuk sholat dalam perjalanannya dihilangkan sampai tidak dikenal lagi pada saat ini.
I. Sholat dalam Gereja Roma Katolik
Dalam Gereja Roma Katolik, waktu-waktu sembahyangpun masih dipelihara menurut perhitungan Yahudi tetapi dalam terjemahan Latin : Prima, Laudes, Tertia, Sexta, Nona, Vesper dan Completorium.
Prima adalah sembahyang dini hari (Sholat Tengah Malam, Sholatul Lail atau Sholatul Satar),
Hora Tertia (Sholat Sa’atus Tsalits, Jam Ketiga),
Hora Sexta (Sholat Sa’atus Sadis, Jam Keenam),
Hora Nona (Sholat Sa’atus Tis’ah, Jam Kesembilan),
Subuh (Sholatus Sa’atul Awwal, Jam Pertama) dan
Maghrib (Sholatul Ghurub, Sholat Senja) disebut dengan istilah Latin Laudes (Ibadat Pagi) dan
Vesper (Ibadat Sore),
Completorium (Sholatul Naum, Sholat Tidur).
Sekarang ini, cukup sering biara-biara menggabungkan kedua waktu, Laudes dan Prima, dan merayakannya sebagai satu doa pagi.
Pada masa periode pertama Gereja, sejak masa para Rasul, doa bersama/ ibadat harian diantara para uskup, imam dan umat adalah hal yang biasa dilakukan.
Dalam perjalanan sejarahnya, sembahyang bersama ini di dalam Gereja Roma Katolik menjadi semakin eksklusif ibadat uskup dan klerus, bukan lagi doa bersama dengan umat. Partisipasi umat dalam menghadiri ibadat harian ini menjadi merosot.
Pada abad ke-13, mengikuti corak kebebasan Ordo Fransiskan dan Ordo Dominikan, seiring dengan munculnya “rahib gaya baru”, yang adalah orang-orang yang mudah bergerak, yang tidak terlalu terikat oleh waktu-waktu berkumpul di biara. Mereka membaktikan sebagian besar waktunya untuk pewartaan dan katekese, sehingga mereka tidak dapat lagi secara teratur berkumpul di kapel biara untuk menyanyikan ofisi sehingga jam-jam sholat maupun doa-doanyapun disederhanakan demi kepentingan para imam dan rahib yang keliling.
Penyesuaian demi penyesuaian dilakukan oleh Gereja Roma Katolik, khususnya dengan alasan tuntutan hidup modern yang terus berubah. Perubahan-perubahan itu terjadi pada masa Paus Pius V, Sixtus V, Klement VIII, Urbanus VIII, dan Klement XI dan akhirnya pada masa Konsili Vatikan II tinggal Laudes (Ibadat Pagi) dan Vesper (Ibadat Sore) yang ditekankan.
Laudes dan Vesper diperingkas dalam buku singkat yang disebut Breviarium (Ikhtisar Singkat, “Brevir”), dan lebih menjadi doa klerus (rohaniwan). Melalui brevir itu para imam dan rahib yang keliling dapat tetap mempersatukan diri secara rohani dengan ofisi yang dinyanyikan di gereja katedral atau di biara. Dalam praktek, selama abad-abad terakhir ini, ofisi sebagai doa bersama dilakukan hanya di biara-biara ordo kontemplatif dan di biara-biara besar ordo lainnya.
Sedangkan bagi bruder, suster dan awam yang berminat melakukan sembahyang harian ini, disediakan “brevir kecil” atau “brevir Maria”, malahan pula doa Rosario diperkenalkan sebagai “brevir umat”, sebagai pengganti sholat-sholat harian Gereja Purba tersebut.
Tetapi akhirnya Vatikan II kembali menginstruksikan doa-doa harian itu sebagai doa umat, bukan untuk imam saja. Konsili berharap agar doa ofisi atau ibadat harian sekali lagi menjadi doa bersama, bahkan doa bersama umat, dan bukan hanya doa (pribadi) wajib bagi para rohaniwan dan rahib saja. Partisipasi umat – khususnya untuk ibadat pagi dan sore – sangat dianjurkan, teristimewa pada hari Minggu dan pesta. “Menurut asal-usul dan hakikatnya, ibadat harian bukanlah milik khusus para rohaniwan dan rahib saja, melainkan milik umum seluruh umat Kristen” dan atas dasar konstitusi dan peraturan diangkat menjadi “doa resmi Gereja” (Pedoman Ibadat Harian, No.270).
II. Sholat dalam Gereja-gereja Protestan
Dalam Gereja-gereja Reformasi/ Protestan, sholat-sholat atau ibadat harian tersebut justru telah hilang sama sekali. Bukan hanya memelihara waktu-waktu sholat yang ditiadakan, bahkan ada kecenderungan kuat pada kekristenan kontemporer untuk menolak doa-doa yang dirumuskan, meskipun terbukti bahwa kata-kata doa itu telah dikuduskan oleh pola ibadah segala abad. EH van Olts, seorang Calvinis dan guru besar pada Free University di Amsterdam, mengakui bahwa “pelecehan terhadap doa yang dirumuskan, sebagaimana kadang-kadang terjadi dalam lingkungan Kristen, tidak memiliki dasar dalam Alkitab dan tradisi**), tetapi lebih merupakan suatu produk dari subyektivisme dan individualisme modern”. Menurut van Olts, hal itu disebabkan para reformator sendiri tidak menguasai tradisi Gereja Purba dan sejarah liturgi dengan baik.
Khususnya Zwingli, ia melangkah lebih jauh lagi, seluruh simbol-simbol sebagai ekspresi ibadah otentik dibuangnya, akhirnya postur-postur badaniah dalam ibadah (bersujud, berlutut) yang terbukti memiliki kesinambungan tradisi tanpa putus sejak zaman Rasuli dihilangkan dan simbol-simbol lain ditekan sampai taraf yang amat minim. Akibatnya, sholat-sholat harian tidak dikenal lagi, bahkan menjadi sangat asing dimata banyak orang Kristen. Tampaknya, banyak umat Protestan sulit terlepas dari trauma sejarah yang sangat panjang dari kekatolikan. Segala unsur yang dianggapnya berbau Katolik ditolak, seperti tanda salib dalam ibadah, meskipun Luther sendiri menganjurkan pengikutnya membuat tanda salib itu didahi dan dada setiap berdoa.
Demikianlah akhirnya sholat/ ibadat harian ini secara utuh, tanpa mengalami perubahan secara hakiki, meskipun mengalami perkembangan yang bersifat memperluas makna yang sudah terkandung secara hakiki dalam bentuk awalnya, hanya dikenal dalam Gereja Timur atau Gereja Orthodox yang adalah Gereja Purba yaitu Gereja Perjanjian Baru itu sendiri yang masih hadir di dunia ini tanpa berubah baik dalam ajaran, ibadah, maupun ethos dan cara pemerintahan Gerejanya sejak zaman para Rasul itu sendiri.
Tradisi : adat-kebiasaan turun-temurun yang diserahkan (=tradere; Latin) dari angkatan ke angkatan. Tradisi yang dimaksud adalah tradisi Gereja yaitu penyampaian berita atau “kerygma” dari para rasul kepada Gereja inilah yang disebut sebagai “paradosis” atau “traditio” yaitu “penerus-sampaian” atau “pengoper-alihan” dari satu orang ke orang berikutnya secara mata-rantai dan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi/ adat istiadat para Rasul ini bukan tradisi manusia, seperti yg dikritik oleh Yesus thd orang2 Farisi “Percuma mereka beribadah kepadaKu, sedangkan ajaran yg mereka ajarankan ialah perintah manusia” (Mrk.7:7-13).
Dengan berlalunya waktu “paradosis” dari ajaran para rasul ini sebagian mulai dituliskan juga dalam wujud surat-surat kiriman, sebagaimana yang dikatakan : “…oleh pemberitaan atausurat yang dikatakan dari kami, …” (II Tes.2:2), dan juga: “Sebab itu berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran2 (paradotheisi; paradosis, tradisi) yang kamu terima dari kami, baik secara lisan (lognou), maupun secara tertulis (epistolis)” – “Ara oun, adelfi, stikate kekrateite tas paradosis as edidakhthite eite dia loghou eite di’epistolis imon” (II Tes 2:15). Kata “paradotheisi” juga digunakan untuk kata “disampaikan” dalam Surat Yudas 1:3, “…,supaya kamu tetap berjuang untuk mempertahankan iman yang telah disampaikan kepada orang2 kudus” (Yud 1:3).Dalam terjemahan Alkitab King James Version maupun bahasa aslinya dikatakan : “…faith which was once more delivered to the saints” , yaitu “menyampaikan iman yg dulu telah pernah disampaikan (oleh Yesus dan kemudian dilanjut-teruskan oleh para Rasul, kemudian dilanjut-teruskan oleh para pengganti para Rasul yaitu para Episkopos/ Penilik dan Presbiteros/ Penatua) sekali dan untuk selama2nya (tidak boleh diubah2 lagi sepanjang segala abad) yang telah disampaikan oleh orang2 kudus (para Rasul & pengganti2nya).
Sistem penyampaian adat-istiadat/ tradisi rasuliah ini dikenal dengan Suksesi Rasuliah - Mata Rantai Rasuliyah. (Apostolic Succession, Succesio Apostolica) yaitu system pengganti lanjut para Rasul dengan jalan penumpangan tangan. Sistem ini dalam Gereja Orthodox ada dalam sistem hirarkhi Gereja yaitu dari para Patriarkh, Episkopos (para Uskup), para Presbiter (Romo) dan Romo Diakennya (Diakonos) yang ditahbis dengan penumpangan tangan dari para Episkop pendahulunya, sehingga jika dilacak terus sampai kebelakang, maka pentahbisan ini akan sampai ke para Rasul sendiri. Dan daftar pentahbisan ini ada dalam catatan sejarah tertulis (system Diptych), yang ada sampai sekarang diseluruh Gereja2 Orthodox. Sistem ini tertulis dalamsurat Rasul Paulus kepada Uskup termuda, Timotius (I Tim.4:11 - 14) : “pilihlah orang2 yg cakap mengajar dan menyampaikan ajaran2(beritakanlah dan ajarkanlah semua itu… ; memberikan dan menyampaikan tradisi2 yg tidak tertulis & tertulis) tsb, dg menumpangkan tangan sidang jemaat”. Sistem ini digunakan untuk menjamin kemurnian penyampaian ajaran dari Tuhan Yesus dan para RasulNya.
Surat-surat Rasuliah ini akhirnya terkumpul dalam kanon Perjanjian Baru, sedangkan yang ajaran lisan tetap dihidupi Gereja dalam wujud Paradosis (Tradisi) Kudus Gereja.
Tradisi : adat-kebiasaan turun-temurun yang diserahkan (=tradere; Latin) dari angkatan ke angkatan. Tradisi yang dimaksud adalah tradisi Gereja yaitu penyampaian berita atau “kerygma” dari para rasul kepada Gereja inilah yang disebut sebagai “paradosis” atau “traditio” yaitu “penerus-sampaian” atau “pengoper-alihan” dari satu orang ke orang berikutnya secara mata-rantai dan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi/ adat istiadat para Rasul ini bukan tradisi manusia, seperti yg dikritik oleh Yesus thd orang2 Farisi “Percuma mereka beribadah kepadaKu, sedangkan ajaran yg mereka ajarankan ialah perintah manusia” (Mrk.7:7-13).
Dengan berlalunya waktu “paradosis” dari ajaran para rasul ini sebagian mulai dituliskan juga dalam wujud surat-surat kiriman, sebagaimana yang dikatakan : “…oleh pemberitaan atau
Sistem penyampaian adat-istiadat/ tradisi rasuliah ini dikenal dengan Suksesi Rasuliah - Mata Rantai Rasuliyah. (Apostolic Succession, Succesio Apostolica) yaitu system pengganti lanjut para Rasul dengan jalan penumpangan tangan. Sistem ini dalam Gereja Orthodox ada dalam sistem hirarkhi Gereja yaitu dari para Patriarkh, Episkopos (para Uskup), para Presbiter (Romo) dan Romo Diakennya (Diakonos) yang ditahbis dengan penumpangan tangan dari para Episkop pendahulunya, sehingga jika dilacak terus sampai kebelakang, maka pentahbisan ini akan sampai ke para Rasul sendiri. Dan daftar pentahbisan ini ada dalam catatan sejarah tertulis (system Diptych), yang ada sampai sekarang diseluruh Gereja2 Orthodox. Sistem ini tertulis dalam
Surat-surat Rasuliah ini akhirnya terkumpul dalam kanon Perjanjian Baru, sedangkan yang ajaran lisan tetap dihidupi Gereja dalam wujud Paradosis (Tradisi) Kudus Gereja.
Share
syukron atas sharenya, ternyata Shalat itu memang ajaran para nabi terdahulu. dalam konsep kristen sendiri malah sangat mirip seperti islam, punya waktu-waktu dalam pelaksanannya. seperti diatas,ada istilah shalat malam, shalat jam keenam, shalat senja, shalat jam ketiga dan sebagainya.
BalasHapusadanya konsep seperti ini semakin menguatkan ajaran kristen zaman sekarang sangat jauh penyimpangannya dari ajaran Isa atau Yesus yang sebenarnya...
Al-Fatihah: Tunjukilah kami jalan yang lurus.
yaitu orang-orang yang Engkau beri Nikmat kepada mereka, bukan jalan yang Engkau Murkai (YAHUDI) dan Bukan pula jalan mereka yang Sesat (KRISTEN)..
artikel yang menarik, cukup menambah pengatahuan saya dan menambah keyakinan saya pada Islam. karena ajaran Nabi Muhammad dan para nabi adalah sama, yaitu Tauhid. kemiripan ibadah diatas menjelaskan bahwa sesungguhnya benarlah firman Allah bahwa Nabi Muhamamd adalah penutup nabi-nabi dan menyempurnakan ajaran para Nabi sebelumnya.
BalasHapuskristen dewasa ini, Protestan dan katolik khususnya semakin terlihat penyimpangannya.
dari konsep Trinitas, Yesus Tuhan, kemudian konsep ibadah dengan nyanyi di gereja, serta natal seperti yang hari ini mereka rayakan 25 desember yang bukan hari kelahiran Yesus melainkan hari kelahiran dewa matahari.
semakin tegaslah kedudukan agama yang benar, yaitu Islam, dan artikel diatas juga semakin mendudukan seperti apa Nabi Isa yang sesungguhnya menurut alkitab. syukron Jazkallah..
sebuah penjelasan yang gamblang, ternyata konsep Shalat telah diajarkan para Nabi Terdahulu.
BalasHapusgimana nih pendapat Kristen dalam masasalah ini?
mana yang benar, Yesus mengajarkan Shalat atau mengajarkan Nyanyi-nyanyi?
Menjadi aneh dan sangat jauh dari sebuah manfaat kebaikan bila masing2 cara tsb dipertentangkan.... Allah telah memberi cahaya matahari utk menyinari semua ciptaanNya (kalo setan pasti terbakar). Allah sifatnya sangt2 universal. Jadi... sungguh2 sangat2 terlalu sempit cara berpikirnya bila perbedaan itu ditarik ke hal2 (pertentangan) yg tidak berguna, Sebaiknya hindari motivasi utk memuaskan "nafsu pengakuan" bahwa diri kita adalah orang yg paling benar di jagad ini..... Dg cara apapun kita beribadah...lakukan saja dg sebaik-baiknya. Tanpa harus sirik dg cara orang lain beribadah menurutku Allah sangat paham bahwa anda sangat mencintai-Nya. so...selamat menjalankan ibadah dg cara kita masing2...salam kasih dan damai dalam nama Allah.
BalasHapusjangan mengira kami akan masuk islam, karena muhammad tidak ada pengakuan dari nabi nabi Allah, justru kami semakin teguh untuk memurnikan kembali ajaran Isa AlMasih , kalian mau ikutin ajaran Muhammad ya silahkan, tidak ada yg melarang , tetapi sekali lagi Bagi kami tetap Isa Almasih lah nabi penutup sesuai pengakuan para nabi. Sebab Isa lah yg terkemuka di dunia dan di akhirat, hakim di hari kiamat ,seorang suci dan rahmat bagi dunia.
BalasHapussoal menyanyi di gereja, bukankah di islam juga ada nyanyian dngan gendang? Sulaiman dan Daud telah mengajarkan demikian.
Hanya YHWH dalam rupa manusia Yahshua HaMashiach lah juru selamat
apapun keyakinanmu,lakukan sepenuh hati,tak memandang dirimu muslim atau kristen,jujurlah pada diri sendiri,jangan sirik dengan ibadah org lain,biar Allah yang menilai,Dia maha melihat ^^..salam damai
BalasHapusapapun keyakinanmu,lakukan sepenuh hati,tak memandang dirimu muslim atau kristen,jujurlah pada diri sendiri,jangan sirik dengan ibadah org lain,biar Allah yang menilai,Dia maha melihat ^^..salam damai
BalasHapusPosting Komentar