Imam Ali sendiri mengharamkan mut’ah. Ini tercantum dalam shahih Muslim, yang mudah ditemukan di perpustakaan sekolah maupun pesantren. Tetapi Khomeini memiliki pendapat lain. Katanya, yang mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar bin Khattab. Dalam kitab Kasyful Asrar, Khomeini memulai pembahasan mengenai mut’ah dengan judul : penyimpangan Umar dari Al Qur’an. Lalu Mengatakan: sesuai dengan khabar yang mutawatir dari Ahlulbait dan hadits yang shahih, Jabir bin Abdillah Al Anshari menukil dalam Sahih Muslim dari pengikut sunni bahwa mereka mengatakan : kami dahulu –pada zaman Rasulullah dan Abubakar- melakukan mut’ah, sampai Umar melarangnya.
Artinya, Umar melarang sesuatu yang diperbolehkan oleh Allah dan RasulNya. Nikah mut’ah yang dibolehkah oleh Allah dan RasulNya, dilarang oleh Umar. Dengan itu Umar telah menyeleweng dari Al Qur’an. Begitulah kesimpulan yang ingin dibangun oleh Khomeini.
Pendapat ini diikuti oleh seluruh syiah, baik yang ulama, ustad maupun orang awam, yang ikutan sok kritis. Semangat ilmiah yang dinampakkan dan dihasung oleh ustad-ustad syiah, ternyata tidak mereka anut sendiri. Semua itu hanya sekedar retorika untuk memukau orang awam. Para ustad syiah dan ulama syiah tidak mau memeriksa ke shahih Muslim. Kepercayaan dan kharisma Khomeini telah meruntuhkan semangat ilmiyah dan objektifitas mereka sendiri.
Tapi kami tidak begitu saja percaya pada Khomeini, meski syiah menganggapnya sebagai wakil imam Mahdi. Ternyata wakil imam Mahdi sengaja berbohong. Ini nampak jelas pada makalah Akhlak Imam Khomeini.
Dalam Shahih Muslim, dalam bab mut’ah, tercantum riwayat bahwa Ali marah pada orang yang menghalalkan mut’ah. Orang itu memberi fatwa bahwa nikah mut’ah adalah halal, berita itu sampai ke Ali dan Ali pun marah. Katanya:
Engkau adalah orang bingung. Rasulullah telah melarang nikah mut’ah –seperti pada hadits Yahya bin Yahya dari Malik-.
Sedangkan hadits riwayat Yahya bin Yahya dari Malik adalah sebagai berikut:
Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Abdullah dan Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah melarang nikah mut’ah pada hari khaibar, dan melarang makan daging keledai jinak.
Ali bin Abi Thalib, yang orang sering menyebutnya dengan julukan pintu ilmu, tidak rela jika ajaran Rasulullah SAAW diselewengkan. Ketika ada yang menyimpang, segera dia meluruskan dan menyampaikan apa yang didengarnya dari Rasulullah SAAW. Ali yang pintu ilmu, tentunya lebih mengetahui ajaran Rasul dibanding orang yang menghalalkan mut’ah tadi.
Rupanya Khomeini tidak melihat langsung dari shahih Muslim, hanya mendengar dari orang lain, lalu tidak dicek langsung ke shahih Muslim. Karenanya Khomeini tidak melihat bahwa Ali juga mengharamkan nikah mut’ah. Jika Umar divonis menyimpang dari Al Qur’an karena menghalalkan mut’ah, apakah Ali juga akan divonis menyimpang?
Rupanya Umar mendengar langsung pengharaman mut’ah dari Nabi, jika dinyatakan bahwa Umar adalah orang pertama yang mengharamkan, berarti di sini Ali telah mengikuti Umar bin Khattab, mengikuti pendapat sesatnya.
Ali pun menikahkan putrinya, Ummu Kultsum, dengan Umar bin Khattab. Ini tidak lain dan tidak bukan karena Ali menganggap Umar adalah orang baik-baik yang layak diambil menantu. Pernikahan itu melahirkan anak yang bernama Zaid bin Umar bin Khattab. Memang sebagian syiah susah untuk menerima kenyataan ini, karena peristiwa ini akan meruntuhkan seluruh mazhab syiah. Ada pertanyaan untuk mereka, jika memang Ummi Kultsum tidak menikah dengan Umar, siapa ayah dari Zaid bin Umar bin Khattab?
Selengkapnya bisa dirujuk ke makalah Benarkah cucu Nabi diperkosa?
Khomeini mengambil riwayat dari Jabir bin Abdullah pada shahih Muslim, tapi mengabaikan pendapat Ali bin Abi Thalib karena tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Saya yakin Khomeini memiliki akses ke shahih Muslim.
Ini semakin membuat kita ragu dan bertanya, apakah mazhab yang dianut oleh Khomeini adalah mazhab Ali bin Abi Thalib?
Posting Komentar