Mengapa Imam Syi'ah Harus Menyembunyikan Kebenaran?[2]


Apakah kita bisa mempercayai ucapan imam Syi'ah? Jangan-jangan dia bertaqiyah? Bagaimana cara membedakan ucapan imam yang diucapkan saat bertaqiyah dan tidak?

Taqiyah dan Ilmu Ghaib



Banyak riwayat syi’ah menyatakan bahwa para imam memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal ghaib?



Imam menjawab pertanyaan dengan taqiyah karena takut fatwanya didengar oleh mata-mata, akhirnya imam berbohong dalam fatwanya untuk menipu si penanya seolah-olah dia bukanlah imam atau ulama, tapi orang jahil atau pengikut ahlussunah.



Kitab syi’ah memuat ratusan riwayat yang menegaskan bahwa para imam syiah mengetahui apa yang ghaib, mengetahui apa yang sudah terjadi dan apa yang terjadi di masa depan, jika dia ingin mengetahui sesuatu maka dapat segera mengetahui, apakah imam tidak tahu apakah orang yang datang bertanya apakah dia merupakan pengikutnya atau bukan?



Al Kulaini dalam Al kafi menjelaskan : Bab Jika para imam ingin mengetahui hal ghaib maka mereka pasti mengetahui [Al Kafi jilid 1 hal 258]



Bab para imam alaihimussalam mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang akan terjadi, tidak ada sesuatu yang tidak mereka ketahui [Al Kafi jilid 1 hal 260]



Bab para imam jika mereka dihalangi mereka akan memberitahu tentang pribadi setiap orang, positif dan negatifnya [AL Kafi jilid 1 hal 264]



Lalu kemana ilmu yang mereka miliki, karena para imam memberi fatwa bohong pada penanya karena takut jangan-jangan si penanya adalah mata-mata.



Imam sengaja menyembunyikan kebenaran



Si penanya yang ditipu oleh imam dengan jawabannya tadi, dia beribadah pada Allah dengan kebohongan yang diyakininya sebagai kebenaran, karena jawaban itu keluar dari imam yang ditunjuk langsung oleh Allah. Lalu apa dosa si penanya, dia telah datang kepada imam dengan niat untuk bertanya tentang ajaran agamanya, dia ingin meribadah pada Allah dengan mengikuti kebenaran yang diturunkan oleh Allah, yang hanya ditanyakan kepada imam maksum yang terjaga dari kebohongan, kesalahan, baik sengaja maupun tidak –seperti diyakini syi’ah- tapi ternyata sang imam menipu si penanya dengan sengaja dan memberitahukan jawaban yang batil –karena taqiyah-.



Jika imam tidak bisa mengucapkan kebenaran lebih baik diam saja

Lalu jika memang imam tidak dapat mengucapkan kebenaran lebih baik diam saja, dan tidak mengucapkan hal yang batil. Allah berfirman:



Katakanlah:"Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung". (QS. 10:69)

(Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran mereka. (QS. 10:70)





Katakanlah:"Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung". (QS. 10:69)

(Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran mereka. (QS. 10:70)



Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta. (QS. 16:105)



Mereka yang berdusta atas nama Allah dan mengatakan bahwa ini adalah ajaran agama Allah, hanya untuk menyelamatkan jiwanya, padahal mereka diperintahkan untuk menyampaikan ajaran agama, mereka adalah orang yang berbohong atas nama Allah, hendaknya mereka bersenang-senang sebentar saja lalu mereka akan kembali kepada Allah menghadapi ancaman siksa yan gpedih. – sudah pasti ahlulbait tidaklah demikian-



Nabi Muhammad saw mensabdakan : barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir, hendaknya mengatakan yang baik atau lebih baik diam saja. Riwayat Bukhari hadits no : 55559, Riwayat Muslim, hadits no 67.



Kontradiksi dari imam maksum



Mari kita simak bersama kisah yang diriwayatkan oleh An Naubakhti –seorang ulama syi’ah- dari salah seorang imam syiah, :

Seseorang dari syi’ah bernama Umar bin Riyah pergi menghadap imamnya untuk bertanya, setelah diberi fatwa Umar kembali pada sang imam keesokan harinya dan menanyakan padanya pertanyaan yang sama dengan yang ditanyakan kemarin, teapi sang imam menjawabnya dengan jawaban yang berbeda, lalu Umar mengatakan pada sang imam: jawaban ini berbeda dengan jawaban engkau tahun lalu

Lalu Imam berkata: jawabanku adalah karena taqiyah, lalu Umar mulai meragukan kedudukannya sebagai imam,

Lalu dia pergi dan menemui salah seorang penganut syi’ah yang bernama Muhammad bin Qais, dan menceritakan apa yang dialaminya: Allah mengetahui bahwa saya hanya bertanya karena berniat untuk beribadah kepada Allah dengan jawaban itu, maka tidak ada alasan baginya untuk bertaqiyah kepadaku,

Muhammad bin Qais bertanya: barangkali ada orang lain yang ada bersamamu, barangkali dia bertaqiyah karena ada orang itu.

Umar menjawab: tidak ada orang lain saat aku bertanya pada imam, tetapi imam menjawab pertanyaanku dengan ngawur, dia tidak ingat jawabannya saat kutanya tahun lalu, lalu Umar tidak lagi percaya bahwa imam itu benar-benar imam, lalu mengatakan: tidak mungkin imam memfatwakan hal yang keliru.

[Firaqus Syi’ah hal 59-61]



Demi Allah, sungguh benar, tidak mungkin seorang imam mengeluarkan fatwa yang batil,apakah syi’ah menyadari hal ini dan mengingkari riwayat yang menjelek-jelekkan keluarga Nabi?



Kulaini telah meriwayatkan dari Zurarah bin A’yun; saya bertanya pada Abu Ja’far tentang sebuah masalah, lalu dia menawab pertanyaanku, lalu datang seseorang menanyakan padanya pertanyaan yang sama dengan pertanyaanku, tapi Abu Ja’far memberikan jawaban berbeda dari jawabanku, lalu datang lagi seseorang dan menanyakan pertanyaan yang sama, lalu Abu Ja’far menjawabnya dengan jawaban yang berbeda dengan jawaban bagiku dan orang yang pertama, setelah dua orang itu keluar, saya bertanya: Wahai Putra Rasulullah, dua orang penduduk Irak, keduanya adalah syi’ahmu, mereka bertanya mengapa engkau jawab dengan jawaban yang berbeda?

Imam menjawab: wahai Zurarah, ini lebih baik bagi kami dan kalian, jika kalian sepakat atas sebuah perkara, maka manusia akan mengenal hakekat kami, akhirnya kami dan kalian akan cepat punah [Ushul Al Kafi, jilid 1 hal 65]



Ini adalah satu contoh dari puluhan kontradiksi dalam fatwa. Apakah benar para imam berbohong?



Tidak mungkin para imam berbohong, itu bukanlah akhlak para imam keluarga Nabi



Lalu jika orang tahu bahwa taqiyah adalah ajaran agama, maka bagaimana mereka bisa percaya pada ucapan imam mereka, bagaimana mereka bisa mengetahui apakah imam sedang bertaqiyah atau tidak saat berfatwa.

Syi’ah yang tidak mengetahui kebenaran mengamalkan yang berbeda dari ajaran ahlussunnah.



Lau mereka yang memalsu riwayat ingin memisahkan syi’ah dari umat Islam lainnya, mereka membuat riwayat palsu yang memberi jalan keluar bagi mereka yang tidak dapat bertanya pada imam, atau tidak mengetahui mana yang benar dari dua jawaban , mereka harus melihat amalan ahlussunnah, lalu mengerjakan amalan yang menyelisihi mereka.



Mereka meriwayatkan dari Ja’far As Shadiq, ada orang yang bertanya padanya: jika kami mendapati salah satu dari dua hadits yang sesuai dengan ajaran kaum awam (ahlussunnah) dan satu riwayat lagi berlawanan dengan amalan mereka, riwayat mana yang kami amalkan? Ja’far As Shadiq menjawab: yang menyelisihi kaum awam (ahlussunnah) adalah kebenaran [Ushul Al kafi jilid 1 hal 67-68, Man La Yahhuruhul Faqih jilid 3 hal 5, At Tahzhib jilid 6 hal 103, Al Ihtijaj hal 194, Wasa’ilu As Syi’ah jilid 18 hal 75-76]



Ini adalah kaedah yang aneh dari mazhab syi’ah, Allah dan keluarga Nabi terlepas dari hal ini.

Kata saya: lalu apa perlunya penanya pergi bertanya pada imam? Dia hanya perlu melihat amalan ahlussunnah, lalu mengamalkan amalan yang berbeda dari ahlussunnah.



Taqiyah membuat imam tidak diperlukan lagi



Lalu jika imam memang ditunjuk oleh Allah langsung untuk mengawal agama dan menyampaikannya pada manusia, mengapa imam perlu bertaqiyyah? Jika syi’ah menganggap imam perlu bertaqiyah agar tidak dibunuh, tidak dipenjara dan disiksa, bukankah ini adalah misi imam yang harus disampaikan kepada manusia seperti dilakukan oleh para Nabi walaupun memiliki konsekuensi berat seperti dibunuh dan disiksa karena Nabi dilarang meninggalkan perintah hanya karena takut pada manusia







(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan. (QS. 33:39)



Apakah disebutkan dalam Al Qur’an ada seorang Nabi yang melakukan taqiyah dan tidak menjelaskan risalah Allah pada kaumnya?



Padahal syi’ah menganggap jabatan imamah sama seperti jabatan kenabian –mestinya imam sama seperti Nabi dalam hal keberanian dan kesabaran- maka imam harus menyampakan kebenaran walaupun berakibat dia dibunuh karena agama dan ekeridhoan Allah lebih berharga dari dirinya, apa gunanya Nabi –atau imam- hidup sedangkan agama Allah tidak tersampaikan?



Jika memang imam sama seperti pengikutnya, tidak bertanggung jawab atas penyampaian agama lalu apa gunanya jadi imam?



Juga mengapa imam perlu bertaqiyah padahal imam memiliki kekuatan yang luar biasa yang tidak terbayangkan, bahkan seluruh alam adalah di bawah kekuasaannya? Seperti anggapan syi’ah.



Terakhir, silahkan telaah kitab Madinatul Ma’ajiz, karangan Sayid Hasyim Al Bahrani, anda akan terheran-heran karena dalam kitab itu disebutkan bahwa Ali memiliki lebih dari lima ratus mu’jizat. Mengapa mu’jizat itu tidak digunakan untuk memenangkan agama?



Orang-orang yang dianggap oleh syi’ah sebagai imam adalah manusia biasa, mereka hidup sebagaimana orang beriman lainnya, merka adalah orang shaleh dan ahli ibadah, merka tidak ada hubungannya dengan imamah dan tidak pernah mengaku-aku menjadi imam, hanya ada orang-orang yang menjual mereka dan padahal mereka tidak pernah mengatakan hal itu, juga mereka tidak memiliki mu’jizat, jika memang mereka memiliki mu’jizat maka keadaannya akan berbeda, sudah pasti mereka akan melawan mereka yang mengganggu dan menjual omongan mereka, kelak nanti di hari kiamat apa yang ada dalam dada akan dibongkar,mereka yang mati akan dibangkitkan, ornag yang pembohong dan pendosa akan dihukum.

Akhirnya, bagaimana sikap ulama syi’ah yang memberikan fatwa pada umat syi’ah?



Apakah mereka akan bertaqiyah seperti imam mereka? Jika mereka bertaqiyah bagaimana kita bisa percaya pada ucapan mereka? Jika mereka tidak bertqiyah mengapa mereka tidak melakukannya? Apakah mereka lebih berani daripada para imam, ataukah mereka tidak meyakini kewajiban taqiyah?



Jika mereka tidak meyakini kewajiban taqiyah, para imam melakukannya, mengapa ulama syi’ah mengaku sebagai pengikut imam ahlulbait lalu tidak bertaqiyah seperti mereka?



Kita ketahui dalam sejarah bahwa syi’ah selalu hidup dalam ketakutan, kecuali pada masa kerajaan Bani Buwaih dan dinasti Shafawi serta masa sekarang ini, selama kurang lebih tiga puluh tahun terakhir?



Padahal taqiyyah adalah ajaran agama, seperti tercantum dalam riwayat dari para imam dan pernyataan ulama syi’ah. Taqiyah akan menjatuhkan kehormatan para ulama dan membuat manusia ragu atas fatwa mereka. Jika ulam asyi’ah tidak bertaqiyah maka hal adalah pelecehan terhadap apra imam, karena ternyata pengikut para imam lebih pemberani dibanding para imam itu sendiri yang melakukan taqiyah untuk menyelamatkan jiwa mereka.



Kita memohon pada Allah agar membuat kita melihat kebenaran sebagai kebenaran serta memberi karunia pada kami agar dapat mengikutinya, dan agar membuat kita melihat kebatilan sebagai kebatilan, dan memberi karunia pada kami agar menghindarinya.

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama