POSITIVISME


http://ontodynamics.com/Index_Positivism_Image.JPG
P O S I T I V I S M E
Oleh Mahmud
Dalam bahasa Inggris positivism dan dari bahasa Latin positivus, ponere yang berarti meletakkan. [1]

Pengertian
Positivisme merupakan suatu istilah umum untuk posisi filosofis yang menekankan aspek factual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Umumnya positivisme berupaya menjabarkan pernyataan- pernyataan factual pada suatu landasan penserapan (sensasi). Atau dengan kata lain, positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari study filosofis atau metafisik.
Positivisme dan aliran lain[2]
Positivisme tampil sebagai jawaban terhadap ketidakmampuan filsafat spekulatif (misalanya, idealisme Jerman klasik) untuk memecahkan masalah filosofis yang muncul sebagai suatu akibat dari perkembangan ilmu. Kaum positivis menolak spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan. Positivisme menyatakan salah dan tak bermakna semua masalah, konsep dan proposisi dari filsafat tradisional tentang ada, substansi, sebab, dan sebagainya, yang tidak dapat dipecahkan atau diverifikasi oleh pengalaman yang berkaiatan dengan suatu tingkat yang tinggi dari alam abstrak. Ia menyatakan dirinya sebagai suatu filsafat non-metafisik, yang sama sekali baru, yang dibentuk berdasarkan ilmu-ilmu empiris dan menyediakan metodologi bagi Ilmu-ilmu tersebut. [3]

Pandangan Beberapa Filsuf
Aliran filsafat ini ditandai dengan pendewaan ilmu dan metode ilmiah.
Pada versi-versi awalnya, metode-metode ilmiah dianggap berpotensi tidak saja memperbarui filsafat, tetapi juga masyarakat. Versi-versi yang kemudian berpusat pada pembaruan filsafat. [4]
1.     Istilah ini diperkenankan oleh Saint-Simon. Menurutnya, implikasi-implikasi filsafat positive mencakup, pembaruan-pembaruan politik, pendidikan dan agama.
2.     Comte yang mempopulerkan dan mensistematisir penggunaan istilah “positivisme” dan istilah “ filsafat positif ” dia adalah mahasiswa dan rekan kerjanya Saint-Simon selama tujuh tahun. Comte mengutarakan bahwa masyarakat berkembang dari tahap teologis, lewat tahap metafisis ke tahap ilmiah, dimana filsafat positif dominant.
3.     Istilah “ fisafat positif ” dipakai pula oleh Schelling. Ia menggunakannya untuk membedakan tahap akhir filsafatnya dari tahap sebelumnya, yang menurutnya sebagian besar negative dan kritis. Karena tahap akhir ini mengakui kesahihan filosofis dalam pengalaman keagamaan dan mitologi, penggunaan Schecling terhadap istilah ini berbeda sekali dengan Saint-Simon dan Comte, yang hampir merupakan lawan kutubnya.
4.     Taine bersama dengan Littre, merupakan corong positivisme Comtian dalam paruh kedua abad ke-19
5.     Vaihinger yang bekerja berdasarkan doktrin Kant tentang ide-ide regulative, menamakan pandangannya sendiri positivisme Idealistik. Namun begitu, pandangannya biasanya disebut Fiksionalisme.
6.     Korn menerapakan ide positivisme di Argentina. Dalam pengalaman di Argentina setelah kemerdekaan ia menemukan bentuk asli positivisme.
7.     Petzold yang dipengaruhi oleh ajaran Avenarius tentang pengalaman, seraya menekankan ketergantungan fungsional, menamakan posisinya Positivisme Relativistik.
  1. Positivisme berkembang luar biasa ditangan kaum Positivis Logis Lingkungan Wina. Pengaruh kelompok ini yang salah satu wakilnya adalah Schlick 

Apa Sebenarnya Positivisme, Apakah Ada Kaitannya Dengan Empirisme Dan Rasionalisme
Tokoh aliran ini ialah August Comte (1798-1857). Ia adalah penganut empirisisme. Ia berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat dengan kiloan (timbangan atau neraca), dan sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas, matahari panas, kopi panas, ketiak panas. Kita juga tidak cukup mengatakan panas sekali, panas, tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal, didukung oleh bukti empiris yang terukur. “Terukur” itulah sumbangan positivisme.[5]
            Jadi, pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan  kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama dengan empirisisme plus rasionalisme.[6]
Positivisme merupakan evolusi lanjut dari empirisme Inggris. Inspirasi filosofis empirisme terhadap positivism terutama prinsip objektivitas ilmu pengetahuan. Kaum empiris, seperti sudah dijelaskan, menyakini semesta adalah segala sesuatu yang hadir melalui data inderawi, dengan kata lain pengetahuan kita harus berawal dari pengamatan empiris. Positivisme mengembangkan klaim empiris tentang pengetahuan secara ekstrim dengan mengatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu berdasarkan fakta-fakta keras (terukur dan teramati), ilmu-ilmu positif.



Sejarah Timbulnya Positivisme
            Kemunculan positivisme tidak bisa dilepaskan dari iklim cultural yang memungkinkan berkembangnya gerakan untuk menerapkan cara kerja ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Iklim cultural tersebut ditimbulkan oleh revolusi industry di Inggris abad ke-18 yang menimbulkan gelombang optimisme akan kemajuan umat manusia berdasarkan keberhasilan tekhnologi industry. Positivisme mengistirahatkan filsafat dari kerja spekulatifnya mencari-cari kodrat ontologis maupun metafisis yang telah dijalaninya selama ribuan tahun. Menurut positivisme, filsafat tidak punya kerja lain selain cara kerja ilmu pengetahuan, ia bertugas menemukan prinsip-prinsip umum yang sama untuk semua ilmu dan menggunakan prinsip tersebut sebagai pemandu untuk prilaku manusia serta dasar untuk pengaturan social masyarakat. Positivisme yakin bawa masyarakat akan mengalami kemajuan apabila mengadopsi total pendekatan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Dengan kata lain, aliran ini amat menjunjung tinggi kedudukan ilmu pengetahuan dan sangat optimis dengan peran sosialnya yang dapat dimainkan bagi kesejahteraan manusia. Slogan positivisme yang amat terkenal berbunyi, ‘savoir pour prevour, prevoir pour pouvoir’, yang artinya,’ dari ilmu muncul prediksi dan dari prediksi muncul aksi,’.[7]
            Positivisme dibidani oleh dua pemikir Prancis, Henry Saint Simon (1760-1825) dan muridnya  Auguste Comte (1798-1857). Walau Henry yang pertama kali menggunakan istilah positivisme, namun Comte yang mempepulerkan positivisme yang pada akhirnya berkembang menjadi aliran filsafat ilmu begitu pervasif mendominasi wacana filsafat ilmu abad ke-20. August Comte juga orang pertama yang  memperkenalkan istilah sosiologi. Sosiologi dipahami Comte sebagai study ilmiah terhadap masyarakat. Hal itu berarti masyarakat harus dipandang layaknya alam yang terpisah dari subjek penelliti dan bekerja dengan hukum diterminisme. Sosioogi, oleh karenanya, sering disebut-sebut sebagai “fisika social”. [8]
            Pemikiran Comte tidak bisa dilepaskan dari reaksinya terhadap semangat pencerahan yang pada gilirannya melahirkan revolusi Prancis. Ia amat terganggu oleh  anarkisme yang mewanarnai masyarakat pada masa itu. Oleh karenanya ia kritis terhadap para filosof pencerahan Prancis. Positivisme dikembangkan Comte guna melawan apa yang ia yakini sebagai filasafat negative dan destruktif dari para filosof pencerahan. Para filosof yang dikatakannya masih bergelut dengan khayalan metafisika. August Comte bersama-sama para filosof Prancis lainnya membuat barisan kontra-revolusioner yang bersikap kritis pada proyek pencerahan. [9]

Tiga Tahap August Comte
            Comte menyakini bahwa pengetahuan positif-ilmiah adalah pengetahuan yang pasti, nyata dan berguna. Ia mendepak metafisika dengan keyakinannya bahwa segala sesuatu yang dapat manusia ketahui adalah apa yang tertangkap pancaindera. Para metafisikus yang sibuk dikursi goyangnya mencoba mereka-reka kemutlakan semesta dipandang sebelah mata oleh Comte. Menurutnya, para filosof spekulatif tersebut belum mencapai tahap kedewasannya yaitu pada filsafat positif. Positivisme sangat menekankan ilmu pengetahuan atau ilmu positif sebagai puncak perkembangan manusia. Keyakinan positivistic tersebut didasarkan pada teori Comte tentang tiga tahap perkembangan sejarah. Tiga tahap perkembangan sejarah menurut August Comte : [10]
1.      Tahap Teologis. Manusia memahami gejala-gejala lam sebagai hasil campur tangan langsung kekuatan ilahi. Tahap ini masih dapat dirinci menjadi tiga subtahap: Animisme, Politeisme, dan Monoteisme. Pada tahap Animisme benda-benda dianggap berjiwa dan diperlakukan sebagai suci atau keramat. Pada tahap Politeisme manusia mempercayai dewa-dewa dibalik berbagai gejala yang ada. Pada tahap Monoteisme manusia mulai menyakini adanya kekuatan tunggal absolute dibalik semua gejala tersebut.
2.      Tahap Metafisis. Pada tahap ini  pelaku ilahi yang personal digantikan oleh prinsip-prinsip metafisika seperti kodrat.
3.      Tahap Positivis-Ilmiah. Pada tahap ini manusia berhenti mencari penyebab absolute baik yang ilahi maupun kodrati dan mulai berkonsentrasi pada observasi, pengukuran dan kalkulasi guna memahami hukum yang mengatur jagat raya.
Tahap positivis-ilmiah diwarnai oleh keyakinan yang cukup besar pada ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Dengan berakhirnya metafisika dan lahirnya semangat positivis-ilmiah, Comte merasa bahwa manusia telah mencapai tingkat kedewasaan intelektualnya. Comte menganalogikan ketiga tahap tersebut seperti tiga tahap proses pendewasaan manusia. Tahap teologi dianalogikan dengan masa kanak-kanak, tahap metafisika dengan masa remaja sedang positivis-ilmiah dengan kedewasaan.[11] 
            Teori tiga tahap perkembangan sejarah oleh Comte juga dikaitkan dengan tiga bentuk pengaturan masyarakat yang berbeda. Tahap teologis dikaitkan dengan bentuk pengaturan masyarakat yang masih percaya akan adanya otoritas mutlak, adanya hak istimewa ilahi pada raja. Tatanan yang  ada bersifat feudal-militeristik. Legitemasi penguasa dipaksakan dengan kekuatan militer yang tangguh.[12]
            Dalam tahap metafisis, konsep kekuasaan seperti itu dikritik secara radikal. Kekuasaan rajawi dan imami digantikan dengan kekuasaan demokratis berdasarkan hukum dengan asumsi bahwa setiap orang harus  diperlakukan sejajar karena dianggap memiliki hak-hak kodrati. Akhirnya, pada tahap pemikiran positivis-ilmiah, pengaturan masyarakat dikaitakan dengan pembangunan masyarakat industrial. Kehidpan ekonimi menjadi pusat perhatian dan masyarakat dipimpin dan diatur oleh sekelompok elit ilmuwan yang bertugas menata masyarakat secara rasional.[13]

Ciri-Ciri Positivisme
Positivisme merupakan suatu paham dalam filsafat ilmu pengetahuan yang berkembang sangat pervasif dan menurut Ian hacking telah menjadi tidak hanya filsafat ilmu pengetahuan melainkan agama humanis modern. Positivisme menjadi agama karena telah melembagakan pandangan dunianya menjadi doktrin bagi berbagai bentuk pengetahuan manusia. Pandangan dunia yang dianut positivism adalah pandangan dunia objektivistik. Pandangan dunia objektivistik adalah pandangan dunia yang menyatakan bahwa objek-objek fisik hadir independen dari subjek dan hadir secara langsung melalui data inderawi adalah satu. Apa yang dipersepsi adalah semesta sesungguhnya.[14]
            Positivisme melembagakan pandangan dunia objektivistiknya dalam suatu doktrin kesatuan pengetahuan. Doktrin kesatuan pengetahuan mengatakan bahwa seluruh pengetahuan baik alam maupun manusia harus berada dibawah payung pradigma positivistic. Doktrin kesatuan ilmu mengajukan criteria-kriteria bagi pengetahuan antara lain: bebas nilai, metode verifikasi-empiris, bahasa logis-empiris, dan eksplanatoris. Positivisme menjadi dogma karena menuntut semua bentuk pengetahuan manusia mengikuti doktrin kesatuan pengetahuan apabila ingin dibilang absah.[15]
Berikut beberapa ciri positivisme.[16]
1.      Bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dengan semesta dengan bersikap imparsial-netral.
2.      Fenomenalisme. Semesta fenomena yang kita persepsi. Pengetahuan yang absah hanya berfokus pada fenomena semesta. Metafisika yang mengandaikan sesuatu di belakang fenomena ditolak mentah-mentah.
3.      Nominalisme. Positivisme berfokus pada yang individual-partikular karena itu kenyataan satu-satunya. Semua bentuk universalisme adalah semata penamaan dan bukan kenyataan itu sendiri
4.      Reduksioanisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi.
5.      Naturalisme. Paham tentang keteraturan pristiwa –pristiwa di alam semesta yang menisbikan penjelasan adikodrati.
6.      Mekanisme. Paham yang mengatakan bahwa semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-deteminis seperti layaknya mesin.

Positivisme yang dikembambangkan oleh August Comte biasa digolongkan dalam kategori posivisme social. Paham yang menyakini kemajuan social hanya dapat dicapai melalui penerapan ilmu-ilmu positif. Positivisme social juga dikembangakan di Inggris oleh para filosof seperti Jeremy Bentham, James Mill, dan Jhon Stuart Mill. Sedang di Italia aliran ini dikembangkan oleh Carlo Cattaneo dan Giussepe Ferrari. Meraka berdua menganggap diri sebagai penerus Giambista Vico, sosok yang menurut mereka telah menempatkan “ilmu pengetahuan tentang manusia pada pusat kemanusiaan sendiri”. Para penganut positivisme social di Jerman seperti Ernst Laas, Friederich Jodl, dan Eugen Duhring lebih mengacu pada pemikiran Ludwig Feurbach dari pada pemikiran Saint Simon dan August Comte. Meski terjadi perbedaan pendapat dikalangan para penganut positivism social, namun semuanya menaruh kepercayaan besar pada ilmu pengetahuan, pada kemajuan atas dasar ilmu pengetahuan, pada bentuk pengaturan social yang lebih baik sebagai akibat dari kemajuan tersebut.
            Selain positivisme social juga muncul apa yang disebut positivisme evolusioner. Paham yang dipelopori oleh orang-orang seperti Charles Lyell, Charles Darwin, Herbert Spencer, Ernst Haeckel dan Wilhelm Wundt. Seperti penganut positivisme social, para penganut evolusioner juga percaya akan adanya kemajuan. Perbedaan diantara mereka terletak pada alasan yang mendasari kemajuan tersebut. Positivisme social mendasarkan kemajuan pada ilmu pengetahuan murni, sedang positivisme evolusioner pada interaksi manusia-semesta. Positivisme evolusioner telah meninggalkan suatu warisan bagi dunia pemikiran dewasa ini berupa ide tentang evolusi yang bersifat universal, linier, berkesinambungan, niscaya, dan progresif.[17]
            Di samping kedua jenis positivisme di atas juga berkembang apa yang disebut positivisme kritis. Aliran pemikiran ini, yang kadang juga disebut kantianisme empiris, dipelopori oleh pemikir-prmikir seperti Ernst Mach dan Richard Avenarius. Aliran pemikiran ini secara historis merupakan pendahuhlu dari kelompok intelektual lingkaran wina yang melahirkan positivisme logis.[18]

Positivisme Logis
Positivisme logis adalah aliran filsafat ilmu pengetahuan yang timbul pada awal abad ke-20 persisinya sekitar tahun  1920-an di Wina, Austria. Positivisme logis dikembangkan oleh sekelompok intelektual yang sering disebut dengan sebutan Der Weiner Kreis (Lingkaran Wina). Anggota awal kelompok wina terdiri dari beberapa kelompok wina terdiri dai beberapa intelektual seperti : M. Schlick (Guru Besar Filsafat Universitas Wina), Rudolph Carnap (Ahli Logika), FH Frank (ahli ilmu pasti), V. Kraft (ahli sejarah), H.Feigl, dan F.Waimann (ahli filsafat).[19]
            Pada tahun 1929 Cranap bersama H. Hahn dan Otto Neurath menerbitkan manifesto berjudul Wissenschaftie Weltaufassung Der Wiener Kreis. Artinya, pandangan dunia kelompok Wina. Manifesto tersebut memicu Perkembangan aliran Positivisme logis secara sangat Pervasive di Inggris lewat tokoh-tokohnya seperti: AJ Ayer, CL Stevenson, Gilbert Ryle, Susan Stebbing, dan Jhon Wisdom. Perkembangan Positivisme logis Juga tak bisa dilepaskan dari Karya monumental Ludwig Witgenstein (1889-1951) berjudul Tractacus Logicus Philosophiscus. Wittgenstien, meski bukan anggota resmi lingkaran Wina, Sering banyak mengikuti diskusi-diskusi yang diadakan kelompok tersebut. [20]
            Timbulnya aliran positivisme-logis mesti didudukkan dalam konteks perkembangan masyarakat Eropa pada awal abad ke-20. Perang dunia 1 yang memakan banyak korban dan menimbulkan kerugian material yang demikian besar menimbulkan permasalahan social, ekonomi dan politik yang cukup berat. Hal ini memancing para intelektual untuk memikirkan kembali bagaimana menata masyarakat dari puing-puing kehancurannya. Gerakan restorasi pertama memikirkan bagaimana menata masyarakat berdasarkan asas-asas teologi dan filsafat tertentu. Para penganut positivisme-logis berseberangan dengan gerakan restorasi. Mereka sebaliknya bersikukuh bahwa masyakat adalah masalah Ilmu-ilmu positif. Orientasi positivisme logis adalah ilmu-ilmu alam yang telah mencapai tingkat perkembangan paling tinggi dan mengagumkan. Positivisme logis beranggapan bahwa misi administrasi masyarakat secara rasional harus dilandasi pada pengetahuan yang berkesatuan. Kesatuan pengetahuan hanya bisa dicapai apabila dikembangkan suatu bahasa ilmiah yang berlaku pada semua bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, positivisme logis melanjutakan program kesatuan pengetahuan positivisme kelasik secara linguistic. [21]
            Positivisme logis dan positivisme klasik memiliki persamaan dan juga perbedaan. Persamaan antara keduanya adalah mereka sama-sama menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuan objektif. Perbedaannya adalah apabila positivisme klasik lebih menaruh perhatian pada bidang pengaturan social masyarakat secara ilmiah dan adanya gerak kemajuan evolutif dalam alam, maka positivisme logis lebih memfokuskan diri pada logika dan pada bahasa ilmiah. Filsafat, menurut positivisme logis, harus bertindak sebagai hamba ilmu pengetahuan. Fungsi pokok ilmu filsafat adalah melakukan kajian tentang metodologi ilmu pengetahuan dan melakukan penjernihan konsep-konsep ilmiah.[22]
            Positivism logis dalam terang inspirasi Humean menolak metafisika. Idealisme Jerman yang didesaki dengan pernyataan-pernyataan metafisis dikritik habis-habisan oleh positivisme logis. Pernyataan seperti, “semesta adalah materialisasi dari roh absolute” dikritik positivisme logis sebagai tak bermakna dan tak pernah bisa ditegaskan benar salahnya. Itu karena pernyataan tersebut secara prinsipil tak pernah bisa diuji kebenarannya secara empiris.[23]
            Prinsip yang dipegang oleh positivisme logis adalah prinsip isomorfi yaitu adanya hubungan mutlak antara bahasa dan dunia kefaktaan. Prinsip ini dikemukakan pertama-tama oleh Bertrand Russel (1872-1970) dan kemudian dikembangkan Ludwig Wittgenstein (1889-1951) dengan teori gambarnya. Mereka sependapat bahwa bahasa sehari-sehari tidak cukup jelas dan cendrung ambigu, maka perlu diciptakan suatu bahasa logis yang dengan tingkat kecermatan matematis.[24]
            Teori gambar Wittgenstein pada dasarnya melihat hubungan antara bahasa dan semesta seperti hubungan antara lukisan dengan kenyataan luar. Gambar adalah model semesta dimana elemen-elemen dalam gambar atau lukisan adalah representasi objek-objek. Keterkaitan structural antarelemen dalam gambar mempersentasikan secara akurat keterkaitan structural objek-objek luar. Gambar yang dimaksud Wittgenstein bukan sekedar spasial seperti pada peta atau foto melainkan logis. Artinya kesesuaian antara sebuah gambar dan apa yang digambarkan lebih dari sekedar visual melainkan juga structural. Bahasa, menurut Wittgenstein, layaknya gambar adalah sebuah repsentasi objek-objek dimana repsentasi tersebut tidak hanya berupa korespondensi satu-satu antara unit bahasa dengan objek, melainkan juga repsentasi relasi logis antara objek-objek tersebut. [25]
            Bahasa oleh Wittgenstein diklaim sebagai gambaran kenyataan luar dimana relasi formal antara unit-unit bahasa menggambarkan relasi formal antara objek-objek. Oleh karenanya, bahasa menurut Wittgenstien adalah batas dunia seseorang. Pernyataan yang termasyhur berbunyi, “what we cannot speak about we must consign to silence” (apa yang bisa kamu katakan katakanlah, namun apabila tidak, lebih baik diam). [26]
Demi memilah milah mana yang pernyataan bermakna dan mana yang tidak, positivisme logis mengajukan dua criteria[27] : 
1.      Pernyataan harus bisa dibenarkan secara difinisi atau tautologies (pernyataan analitik). Misalnya, “bujangan adalah pria yang belum menikah”. Secara definisi predikat “pria yang belum menikah” terkandung dalam subjek “bujangan”.
2.      Pernyataan harus dapat dibenarkan secara empiris (pernyataan sentetik). Misalnya, “zakky adalah anak mudayang cerdas”. Secara empiris, predikasi “anak muda yang cerdas” bisa diperiksa dengan mellihat hasil tes IQ-nya.
Kriterium yang diajukan positivisms logis membuat pernyataan-pernyataan Metafisis berguguran. Pernyataan seperti, “yang absolute berada di luar waktu”, dan “segala sesuatu adalah ide”, kosong tak bermakna dihadapan dua criterium demarkasi positivisme logis. Argumentasinya adalah sebagai berikut. Pernyataan-pernyataan tersebut bukan analitik oleh karena pasti sentetik. Namun, pernyataan-pernyataan metafisik tersebut mengklaim keniscayaan, sifat hanya dimiliki  pernyataan analitik. Positivisme logis menolak adanya kebenaran yang bersifat sentetik sekaligus analitik atau bersifat sementara sekaligus niscaya.[28]
Kriterium demarkasi tersebut juga membuat pernyataan etis dan estetis menjadi tidak bermakna. Pernyataan moral, “menyiksa anak itu salah” tidak bisa dibenarkan secara definisi maupun empiris. Akibatnya, pernyataan tersebut tidak bisa dibenarkan atau disalahkan. Itu hanya mengekspresikan emosi bukan kognisi. [29]



[1] Loren Bagus, Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Ed. 1. November 1996, Cet. 2 Februari 2000
[2] Ibid
[3] ibid
[4] ibid
[5] Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Pengantar Kepada Filsafat Untuk Mahasiswa Perguruan Tinggi, Prof. DR. Ahmad Tarsir, PT Remaja Rosdakarya,  cet ketigabelas- Juli 2004 hal: 26 
[6] Ibid
[7] Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, dari david home sampai Thomas Khun, Donny Gahral Adian, PT Teraju Khazanah Pustaka Keilmuan cet 1, Mei 2002 hal: 64
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, dari david home sampai Thomas Khun, Donny Gahral Adian, PT Teraju Khazanah Pustaka Keilmuan cet 1, Mei 2002 hal. 65
[11] Ibid. hal: 65-66
[12] Ibid  hal.66
[13] Ibid hal: 67
[14] Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, Dari David Home Sampai Thomas Khun, Donny Gahral Adian, PT Teraju Khazanah Pustaka Keilmuan cet 1, Mei 2002 hal. 67
[15] Ibid
[16] Ibid hal. 68
[17] Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, Dari David Home Sampai Thomas Khun, Donny Gahral Adian, PT Teraju Khazanah Pustaka Keilmuan cet 1, Mei 2002 hal. 69
[18] Ibid
[19] Ibid hal. 70
[20] Ibid
[21] Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, dari david home sampai Thomas Khun, Donny Gahral Adian, PT Teraju Khazanah Pustaka Keilmuan cet 1, Mei 2002 hal. 71
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid  hal.  72
[25] ibid
[26] Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, dari david home sampai Thomas Khun, Donny Gahral Adian, PT Teraju Khazanah Pustaka Keilmuan cet 1, Mei 2002 hal. 73
[27] Ibid hal.  74
[28] Ibid
[29] Ibid hal. 75

1/Post a Comment/Comments

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama