Sebenarnya imam syiah itu manusia atau bukan? Jika bukan manusia lalu apa? Allah telah menjelaskan pada kita sifat manusia dalam beberapa ayat Al Qur'an; dari sana kita dapat mengetahui sifat asal manusia, sebuah jenis makhluk yang diciptakan Allah dari tanah liat, yang diberi misi dan tugas dalam hidupnya, yaitu untuk mengabdi pada Allah.
Manusia berani mengemban amanat Allah, yang ditolak oleh gunung dan bumi. Mengapa demikian? Apakah karena manusia begitu bodoh dan zhalim sehingga mau menerima amanat Ilahi itu? Tidak jelas mengapa, tetapi kita –yang juga manusia- terlahir di muka bumi bukan atas keinginan kita, tetapi atas kehendak Allah –dengan hikmah dan kebijakanNya- kita lahir ke dunia ini, sebagai manusia yang tentunya juga bersifat zhalim dan bodoh.
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh. (QS. 33:72)
Manusia selalu berbuat zhalim dengan bermaksiat pada Allah, dan selalu bersifat kafir terhadap nikmatNya, tidak mau mengakui dan mensyukuri apa yang diberikan Allah padanya secara gratis, tanpa usaha dan upaya dari manusia. Misalnya nikmat udara, kapan kita berusaha mencari udara untuk bernafas?
Ini adalah penjabaran dari Sang Khalik, yang Maha Tahu tentang tabiat makhluk yang bernama "manusia". Sehingga sungguh aneh bagi mereka yang punya pikiran bahwa ada manusia yang tidak pernah bersalah dan tak pernah lupa. Kita bertanya-tanya apakah ada manusia yang punya pikiran seperti itu? Mengira bahwa ada manusia yang tak pernah salah dan lupa? Jawabnya ada; seperti yang dikisahkan oleh Quraish Shihab, seorang doktor tafsir lulusan Al Azhar Cairo yang sudah tidak diragukan lagi otoritasnya. Dalam bukunya "Sunnah Syiah mungkinkah bergandengan tangan" Quraish menerangkan pandangan dari mazhab syiah yang dinukil dari buku yang dianggapnya otentik dan mewakili pandangan mazhab syiah. Quraish menyebutkan pada halaman 100 tentang sifat imam, yang dinukilnya dari kitab Aqaid Al Imamiyah karya Muhammad Ridha Al Mudzaffar:
Kami percaya bahwa imam, seperti Nabi, haruslah terpelihara dari semua keburukan dan kekejian, yang lahir dan yang batin, sejak usia kanak-kanak sampai dengan kematian, dengan sengaja atau lupa. Dia juga harus terepelihara dari lupa, dan kesalahan karena para imam adalah pemelihara syariat dan pelaksana ajaran agama, keadaan mereka dalam hal tersebut seperti kedaan Nabi. Dalil yagn mengantar kami percaya tentang keterpeliharaan Nabi (dari dosa) dan kesalahan itu jugalah yagn mengantar kami percaya tentang keterpeliharaan pada imam, tanpa perbedaan. (Aqaid Al Imamiyah hal 51)
Sebenarnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, tapi di sini kita fokuskan pada bahasan kita, yaitu pada apa yang disebutnya sebagai keterpeliharaan para imam dari dosa, kesalahan dan sifat lupa.
Jika kita bandingkan keterangan ini dengan ayat-ayat di atas, sekilas akan terlintas di benak kita sebuah kesimpulan, yaitu bahwa imam bukanlah manusia, karena manusia secara umum bersifat zhalim dan mengkufuri nikmat Allah. Sementara para imam di sini dinyatakan sebagai tidak pernah berbuat salah dan lupa sejak kecil sampai datangnya ajal yang menjemput. Muzaffar menjelaskan lagi bahwa para imam terpelihara dari seluruh keburukan dan kekejian, yang lahir maupun yang batin. Artinya di sini para Nabi tidak memiliki potensi untuk melakukan kesalahan dan dosa. Begitu pula para imam, karena dinyatakan lagi bahwa dalil yang menunjukkan keterpeliharaan Nabi dari dosa adalah sama dengan dalil yang digunakan untuk menetapkan keterpeliharaan para imam syiah dari dosa. Mengapa Nabi dan imam harus terpelihara dari kesalahan? Muzaffar menjelaskan hal itu dengan menyatakan: karena para imam adalah pemelihara syariat dan pelaksana ajaran agama. Artinya agama tidak akan bisa tersampaikan dan terjelaskan tanpa adanya Nabi dan imam yagn terpelihara dari dosa. Begitulah yang kita pahami dari pernyataan Muzaffar. Lebih lanjut Muzaffar menyatakan:
Dalil yang mengantar kami percaya tentang keterpeliharaan Nabi (dari dosa) dan kesalahan itu jugalah yagn mengantar kami percaya tentang keterpeliharaan pada imam, tanpa perbedaan. Apa dalil yang mendasari pernyataan Muzaffar? Tidak kita temukan dalam tulisan Ust Quraish, maka kita akan menelusurinya ke kitab Muzaffar, yaitu Aqaid Al Imamiyah, Alhamdulillah, Allah telah memudahkan kita semua untuk memperoleh akses ke buku Aqaid Al Imamiyah. Ternyata tidak kita temukan di sana dalil dari Al Qur'an dan Sunnah Nabi, tetapi dalil yang dikemukakan adalah dalil akal, yang juga dituliskan dalam nukilan Ust Quraish, yaitu: karena para imam adalah pemelihara syariat dan pelaksana ajaran agama, tetapi kita heran, karena setelah menelaah lagi kitab suci Al Qur'an kita temukan ayat-ayat yang meyatakan bahwa Nabi pernah melakukan hal yang tidak semestinya dilakukan; di antaranya adalah ayat berikut:
Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 66:1)
Semoga Allah mema'afkanmu. Mangapa kamu memberi ijin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta. (QS. 9:43)
Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 8:67)
Ini jelas bertentangan dengan pernyataan Muzaffar di atas. Bahkan dari pernyataan Muzaffar di atas dapat kita simpulkan bahwa Nabi yang berbuat kesalahan tidak layak mengemban syareat, apakah Nabi tidak layak mengemban syareat? Lalu apakah Allah salah memilih Nabi?
Malah bisa kita simpulkan lagi dari pernyataan Muzaffar di atas bahwa syiah meyakini para imam memiliki kelebihan dibanding para Nabi, karena para imam tidak pernah melakukan kesalahan maupun melupakan sesuatu, berbeda dengan para Nabi yang bisa saja lupa, seperti Nabi Musa yang lupa akan ikannya:
Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. (QS. 18:61)
Sementara itu dalam riwayat dari para imam, disebutkan lebih jelas lagi bahwa imam memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh manusia. Dalam kitab Al Kafi jilid 1 hal 258 disebutkan: Bab Para Imam mengetahui Kapan mereka mati, mereka tidak mati kecuali ketika mereka menginginkannya.
Sementara Allah menjelaskan dalam Al Qur'an:
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. (Ali Imran 145)
Bab Para Imam mengetahui seluruh ilmu yang diketahui seluruh Malaikat dan Nabi.
Bab Para imam mengetahui segala yang telah terjadi dan apa yang belum terjadi, mengetahui segala sesuatu.
Padahal Allah menceritakan dalam Al Qur'an tentang NabiNya:
Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku ini malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang telah diwahyukan kepadaku." Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat." Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya). (QS. 6:50)
Nabi hanya mengikuti wahyu, tapi imam mengetahui segala sesuatu. Nabi yang manusia mengikuti apa yang diwahyukan padanya, artinya Nabi tidak tahu apa yang tidak diwahyukan, tetapi imam mengetahui peristiwa yang telah terjadi dan apa yang terjadi di kemudian hari. Ketika Nabi Muhammad SAW menjanjikan untuk menjawab pertanyaan orang yahudi mengenai kisah ashabul kahfi, Allah pun menegurnya:
Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, (QS. 18:23)
kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah." Dan ingatlah kepada Rabbmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Rabbku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini." (QS. 18:24)
Ini karena Nabi tidak mengetahui apa yang tak terjadi. Lebih jelas lagi Allah berfirman:
Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfa'atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman." (QS. 7:188)
Lalu mana yang lebih super, Nabi yang tidak tahu hal ghaib atau imam yang mengetahui segala sesuatu?
Para Nabi adalah manusia terbaik, namun imam lebih baik daripada para Nabi ?, karena Nabi masih bisa melakukan kesalahan namun para imam tidak? Atau jangan-jangan para imam bukanlah manusia??!
Posting Komentar