Hukum Mengagungkan Jumat dengan Menetapkan Hari Libur Jumat




Oleh: Badrul Tamam

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya.

Sesungguhnya hari Jum’at adalah hari yang mulia dan terbaik dalam sepekan. Di dalamnya terdapat amal-amal ibadah yang bernilai tinggi dan berpahala besar sehingga umat ini bisa memetik pahala yang banyak pada hari tersebut. Di antaranya, memperbanyak shalawat dan salam untuk Nabi kita shallallahu 'alaihi wasallam, membaca surat al-Kahfi, mencari waktu mustajab untuk berdoa, mandi besar, memakai pakaian terindah, menggunakan minyak wangi, lalu bersegera pergi ke masjid pagi-pagi, shalat sunnah sebanyak yang dia mampu, kemudian melaksanakan shalat Jum’at dan amal-amal lainnya.

Maka hari Jum’at merupakan anugerah terbesar bagi umat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Kedudukannya menjadi hari besar dalam sepekan. Sehingga selayaknya umat Islam menjadikannya sebagai hari libur supaya mereka bisa menyiapkan diri untuk mengerjakan amal utama hari ini, yaitu shalat Jum’at. Sesudah itu ia bisa duduk sesudah Ashar di masjid dengan memperbanyak doa dengan harapan bertepatan dengan saat istijabah doa.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallah 'anhu, dia bercerita: "Abu Qasim (Rasululah) shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ

"Sesungguhnya pada hari Jum'at itu terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim berdiri berdoa memohon kebaikan kepada Allah bertepatan pada saat itu, melainkan Dia akan mengabulkannya." Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya, yang kami pahami, untuk menunjukkan masanya yang tidak lama (sangat singkat)." (Muttafaq 'Alaih)

Dari hadits Jabir bin Abdillah radliyallah 'anhu, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:

يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لَا يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلَّا آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

"Hari Jum'at terdiri dari 12 waktu, di dalamnya terdapat satu waktu yang tidaklah seorang muslim pada saat itu memohon sesuatu kepada Allah, melainkan Dia akan mengabulkan permintaannya. Oleh karena itu, carilah saat tersebut pada akhir waktu setelah 'Ashar." (HR. an Nasai dan Abu Dawud. Disahihkan oleh Ibnul Hajar dalam al Fath dan dishahihkan juga oleh al Albani rahimahullah dalam Shahih an Nasai dan Shahih Abu Dawud)

Hari Jum’at merupakan anugerah terbesar bagi umat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. . . . . Sehingga selayaknya umat Islam menjadikannya sebagai hari libur supaya mereka bisa menyiapkan diri untuk mengerjakan amal utama hari ini, yaitu shalat Jum’at.

Sedangkan tradisi dan budaya yang berasal dari Barat, hari libur jatuh pada hari Sabtu dan Ahad. Padahal kedua hari tersebut, tidaklah memiliki keutamaan sebagaimana hari Jum’at. Terlebih kedua hari tersebut diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani sebagai hari besar bagi agama mereka. Maka beralihnya hari libur umat Islam dari hari Jum’at kepada kedua hari sesudahnya termasuk bentuk menyerupai mereka, padahal kita diperintahkan untuk menyelisihi.

Maka selayaknya umat Islam secara umum, menjadikan hari libur mereka adalah hari Jum’at. Tujuannya, agar kesempatan yang telah Allah sediakan bagi mereka untuk meraih pahala besar tidak disia-siakan. Sedangkan bagi individu atau orang yang harus bekerja tetap dibolehkan (tidak dilarang). Bahkan melarangnya untuk mengagungkan hari Jum’at termasuk bentuk tasyabuh dengan orang kafir.

Maka selayaknya umat Islam secara umum, menjadikan hari libur mereka adalah hari Jum’at. Tujuannya, agar kesempatan yang telah Allah sediakan bagi mereka untuk meraih pahala besar tidak disia-siakan.

Abu al-Mundzir al-Sa’idi dalam kitabnya al-Jum’ah: Aadab wa Ahkam, mengatakan bahwa cara mengagungkan hari Jum’at semacam ini (tidak bekerja) termasuk bentuk mengikuti sunnah (tradisi) orang kafir. Karena mereka menjadikan hari besar kelahiran para nabi dan orang shalih mereka sebagai hari libur yang mereka tidak bekerja pada hari tersebut. Dikhawatirkan kaum muslimin meyakini bahwa di antara cara mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah adalah dengan menjadikan libur mingguan pada hari Jum’at sehingga tidak boleh bekerja pada hari tersebut. Padahal kita, kaum muslimin, telah diperintahkan oleh Allah 'Azza wa Jalla untuk bekerja pada hari Jum’at dan dianjurkan untuk mencari karunia Allah pada hari tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)

Namun, beliau (Abu al-Mundzir al-Sa’idi) mengakui, jika meninggalkan bekerja karena bisa melaksakan amalan-amalan sunnah Jum’at seperti menutup tokonya pagi-pagi supaya bisa mandi, bersiap-siap shalat Jum’at lebih awal, dan yang semisalnya, maka ini baik dan dianjurkan. Dengan ini, Nampak jelas perbedaan dienul Islam -yang Allah ridhai untuk kita dan yang menjadikan pekerjaan halal yang berpadu dengan dzikrullah sebagai ibadah yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya- dengan agama-agama selainnya yang menyimpang dan batil serta tidak sesuai fitrah insani. Oleh karena itu, para ulama kita menganggap bahwa meninggalkan bekerja pada hari Jum’at termasuk perkara makruh apabila bertujuan untuk mengagungkan hari Jum’at.

Telah diriwayatkan dari Malik dalam Utbiyah, bahwa para sahabat memakruhkan untuk meninggalkan bekerja pada hari Jum’at seperti pengagungan Yahudi terhadap hari Sabtu dan pengagungan Nasrani terhadap hari ahad. (Tanwir al-Hawalik: 122)

Syaikh al-Adawi al-Dardiri mengatakan, “Dan dimakruhkan meninggalkan amal (bekerja) pada siang harinya (Jum’at) apabila bertujuan mengagungkan hari tersebut. dan dibolehkan beristirahat dan disunnahkan untuk sibuk bersiap-siap supaya mendapatkan apa-apa yang disunnahkan di dalamnya.” (al-Syarh al-Shaghir: 1/613)

Kesimpulan:

Bahwa mengagungkan hari Jum’at dengan menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja dan tidak melakukan aktifitas di dalamnya adalah seperti orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan hari sabtu dan Ahad sebagai hari besar dan hari libur dari bekerja. Kaum muslimin tetap dibolehkan dan dianjurkan berma’isyah (mencari nafkah) pada hari itu, dengan tetap memperhatikan amal-amal yang disunnahkan pada hari tersebut.

Namun bagi siapa yang ingin memperoleh keutamaan lebih pada hari tersebut dengan menyibukkan diri dalam amal-amal sunnah sejak sebelum berangkat shalat Jum’at sampai dipenghujung harinya, lalu dia meliburkan diri dari bekerja maka itu baik-baik saja dan dianjurkan.

Dan kalau kita perhatikan, banyak amal sunnah pada hari tersebut. Sebelum shalat Jum’at, ada beberapa amal yang berpahala besar seperti melaksanakan sunnah fitrah (mencukur rambut dan kumis, mencabut bulu ketiak, membersihkan bulu kemaluan, bercelak), mandi, membersihkan dari kotoran dan bau tak sedap, memakai minyak wangi, lalu berangkat ke masjid lebih pagi dengan berjalan kaki dan selainnya. Selanjutnya sesudah ‘Ashar dianjurkan bersungguh-sungguh dalam doa hingga terbenamnya matahari untuk mendapatkan waktu istijabah. Maka kalau direnungkan, semua itu tidak bisa dijalankan kecuali dengan meliburkan diri dari bekerja.

Jadi, meliburkan diri pada hari Jum’at untuk mencari keutamaan di dalamnya dari amal-amal sunnah yang berpahala besar adalah baik dan dianjurkan. Yang tidak dibolehkan adalah menjadikan hari Jum’at sebagai hari libur sebagai bentuk pengagungan terhadapnya. Karena hal ini seperti sunnah Yahudi dan Nasrani yang menjadikan hari besar keagamaan perpekan mereka sebagai hari libur dari bekerja. Wallahu Ta’ala A’lam. [PurWD/voa-islam.com]

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama