ZAID BIN TSABIT Penghimpun Kitab Suci al-Quran

ZAID BIN TSABIT
Penghimpun Kitab Suci al-Quran
Oleh;
Nizar A. Saputra*
Biografi, Sikap Keislaman dan Peranan Dakwahnya
            Ia adalah seorang Anshar dari Madinah, berasal dari klan suku Khazraj. Nama lengkapnya Abu Kharizah Zaid bin Tsabit bin al-Dahak bin Zaid bin Laudan bin Amr bin Abu Manaf  bin Ganam bin al-Najjam al-Anshari al-Khazraji. Ayahnya wafat ketika dia berumur 11 tahun. Ibunya bernama Nawar binti Malik bin Muawiyah bin Adi bin Amr bin Ghanam bin Adi. Ibunya ini berasal dari Bani Najjar.[1]
            Tidak ada sumber yang menjelaskan secara jelas tentang masa kecil Zaid. Kehidupan sebelum Islamnya tidak bisa dilacak sebagaimana Umar bin Khattab atau sahabat lainnya yang pernah mengalami kekafiran. Hal ini dikerankan Zaid masuk Islam ketika masih kanak-kanak. Berbeda dengan Umar bin Khattab. Dia masuk Islam ketika sudah dewasa. Sehingga kehidupan pra Islamnya bisa ditelusuri.
            Menurut Khalid Muhammad Khalid, Sewaktu Rasulullah datang (berhijrah) ke Madinah, Zaid berumur 11 tahun.[2] Ini berarti, jika dibandingkan dengan data Ensiklopedi Islam, saat Rasul tiba di Madinah, Zaid mungkin sudah Yatim. Namun di lain pihak, Khalid Muhammad bin Khalid menyatakan, bahwa Zaid masuk Islam dibawa oleh orang tuanya. Bahkan ayahnya sempat mengajak Zaid untuk mengikuti perang Badar.[3] Penulis sendiri belum menemukan sumber yang pasti tentang hal ini. Yang jelas, pertentangan di antara kedua sumber tadi bisa ditengahi. Bisa jadi, Zaid masuk Islam memang dibawa oleh orang tuanya, bahkan orang tuanya sempat mengajak Zaid –yang ketika itu berumur 11 tahun– ikut perang Badar. Dan dalam perang Badar itu ayahnya sahid.
            Zaid termasuk seorang sahabat yang memiliki jiwa semangat tinggi dalam mempertahankan dan membela agama Islam. Ini bisa dilihat dari keinginannya yang selalu memohon kepada Rasul untuk berperang melawan musuh-musuh Islam. Ketika berumur 11 tahun, dia sebenarnya ingin sekali ikut perang Badar. Namun dikarenakan umur dan tubuhnya yang masih kecil, Rasulullah menolaknya.[4] Begitu juga ketika terjadi perang Uhud. Ia menghadap Rasulullah bersama teman sebayanya dengan berhiba-hiba dan memohon agar dapat diterima Rasul dalam barisan mujahidin. Zaid kadang-kadang memohon dengan menangis agar dapat ikut berperang.[5] Suatu sikap yang sangat langka untuk kita temukan di jiwa-jiwa muda Islam sekarang ini.
            Kepribadiannya selaku seorang muslim yang beriman terus tumbuh dan berkembang dengan cepat dan menakjubkan. Selain seorang pejuang, Zaid juga dikenal sebagai seorang ilmuwan dengan bermacam-macam bakat. Dia memiliki kecerdasan dan kekuatan hafalan yang tinggi. Beliau juga sangat mahir memahami bahasa asing. Prof. M.M. 'Azami mengutip suatu riwayat yang menyebutkan, Zaid pernah diperintahkan (ditugaskan) Rasul untuk mempelajari bahasa Yahudi (Ibrani). Tugasnya ini dia selesaikan dalam waktu dua minggu. Perintah tersebut didasari oleh kekhawatiran Nabi terhadap orang-orang Yahudi yang ditakutkan akan menodai surat-surat Nabi.[6] Sumber lain menyatakan, dia belajar bahasa Suryani.[7] Kepintaraannya dalam memahami bahasa asing memang sangat diperlukan Rasul, karena dia (Zaid) adalah sekretaris Rasul untuk menulis surat-surat kepada Raja-raja, baik itu raja Romawi, Persia dan lainnya. Tidak hanya pandai berbahasa asing, Zaid juga memiliki keterampilan menulis. Ini juga yang menjadi kelebihan Zaid dibanding dengan sahabat-sahabat lainnya. Jika para sahabat lainnya memiliki keistimewaan daya ingatnya yang kuat dalam menghafal dan menjaga al-Quran, namun mereka kebanyakan tidak pandai menulis. Zaid memiliki dua-duanya. Daya ingatnya kuat dan kemampuan menulisnya juga bagus. Hatta tidaklah heran kalau rasul menjadikannya sebagai sekretaris resminya.
Intelektualitas Zaid bin Tsabit tidak hanya di situ. Dia tidak hanya pandai berbahasa asing, pandai menulis sehingga menjadi sekretaris Nabi. Zaid juga dikenal sebagai ulama ahli Qiraat dan ahli Faraidh. Dalam sebuah riwayat dijelaskan, Umar bin Khattab pernah meminta pendapat Zaid tentang faraidh, yaitu masalah bagian Kakek. Ketika itu Zaid menolaknya, namun Umar tetap menyuruhnya untuk menjelaskannya. Zaid ketika itu, akhirnya menuliskan tentang masalah faraidh. Tulisan Zaid itu termasuk buku yang pertama kali ditulis dalam masalah Faraidh. Sampai –seperti dinyatakan Prof. M.M. 'Azami –Ja'far bin Burqon mengatakan bahwa dia pernah mendengar al-Zuhri berkata: "Seandainya Zaid tidak menulis Faraidh, saya kira ilmu itu sudah punah".[8] Zaid juga dikenal sebagai perawi hadits. Dalam shahihain (shahih Bukhari dan shahih Muslim) terdapat 92 hadits yang diriwayatkan melalui Zaid bin Tsabit.[9]
Setelah Nabi wafat, Zaid memegang peranan penting dalam urusan pemerintahan di Madinah. Ia pernah dipercaya untuk mengurus pemerintahan ketika Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan melaksanakan haji. Dia juga pernah mendampingi Umar bin Khattab ketika menerima penyerahan pintu Yerusalem dan pernah diutus untuk mengurus masalah ghanimah setelah perang Yarmuk (20 Agustus, 636). Ia juga pernah membuat daftar nama-nama orang yang akan duduk di dewan yang dibentuk oleh Umar ra. Ia juga pernah menjadi Qadi di Madinah dan menteri urusan keuangan pada masa Utsman bin Affan.[10]
Itulah sikap keislaman Zaid. Berbagai upaya telah dia lakukan untuk kepentingan Islam. Berapa banyak umat Islam yang menikmati khazanah ilmu keislaman berkat jasa Zaid bin Tsabit seperti dalam bidang Faraidh, Qiraat, hadits dan yang lainnya. Upaya-upaya Zaid itu pun bisa dikatakan sebagai peranan dakwahnya dalam Islam, karena dakwah dalam pengertian etimologis dan terminologis bisa diterapkan terhadap berbagai upaya yang telah dilakukan Zaid. Namun, dibalik itu semua, ada peranan dakwah yang penulis kira merupakan peninggalan jasa Zaid yang paling besar bagi Islam dan Umat Islam, yakni upaya dan kerja kerasnya dalam menghimpun al-Quran.

Peran Zaid bin Tsabit Dalam Penghimpunan al-Quran
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, peranan dakwah yang paling besar dari Zaid bin Tsabit adalah menulis dan menghimpun al-Quran. Bisa kita katakan bahwa Zaid adalah orang yang sangat beruntung. Ketika berumur 11 tahun, dia sudah menghafal al-Quran sebanyak 16 surat. Saat itu, mungkin karena kecerdasaannya yang luar biasa, Rasulullah dikenalkan dengannya.[11] Lebih beruntungnya lagi, Sejak usianya di awal dua puluh-tahunan, di masa itu, Zaid diberi ke­istimewaan tinggal berjiran dengan Nabi Muhammad dan bertindak sebagai salah seorang penulis wahyu yang amat cemerlang.[12] Ini untuk memudahkan penulisan wahyu yang terkadang turun secara langsung kepada Nabi Muhammad saw.
Saat wahyu turun, Nabi Muhammad secara rutin memanggil para penulis yang ditugaskan agar mencatat ayat itu.[13] Zaid bin Thabit sebagai ganti atau mewakili peranan dalam Nabi Muhammad, sering kali dipanggil diberi tugas penulisan saat wahyu turun.[14] Sewaktu ayat al-jihad turun misalnya, Nabi Muhammad memanggil Zaid bin Thabit membawa tinta dan alat tulis dan kemudian mendiktekannya; Saat tugas penulisan selesai, Zaid membaca ulang di depan Nabi Muhammad agar yakin tak ada sisipan kata lain yang masuk ke dalam teks.[15]
Sebagai sekretaris resmi Nabi, Zaid selalu ada di samping Nabi. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Zaid pernah menyusun al-Quran dari lempengan-lempengan di hadapan Rasul.[16] Zaid juga adalah salah seorang sahabat yang bernasib mujur, karena mendengar bacaan al-Quran Malaikat Jibril bersama Nabi Muhammad di bulan Ramadhan.[17]
Ketika Rasul wafat, al-Quran belum dikumpulkan dalam bentuk Mushaf seperti yang kita lihat sekarang ini. Ini juga dikatakan oleh Zaid, menurutnya:
قبض النبي صلعم ولم يكن القران جمع فى شيئ.
"Saat Nabi Muhammad wafat, Al-Qur'an masih belum dirangkum dalam satuan bentuk buku."[18]
Namun, bukan berarti al-Quran tidak ditulis. Al-Quran dihafal dan ditulis oleh beberapa sahabat.
Pada masa khalifah Abu Bakar Shidiq, terjadi peperangan di Yamamah yang mengakibatkan banyaknya para Qurra (Penghafal al-Quran) yang syahid. Kejadian ini, membuat Umar bin Khattab khawatir akan otentitas al-Quran. Al-Quran dikhawatirkan akan hilang bersama hilangnya para Qurra. Karenanya Umar mempunyai inisiatif untuk mengumpulkan al-Quran dalam satu mushaf. Kekhawatiran Umar disampaikan pada Abu Bakar yang ketika itu menjadi khalifah. Pada awalnya Abu Bakar menolak inisiatif Umar, karena merasa perbuatan itu merupakan bid'ah. Sedangkan bid'ah seperti yang telah dijelaskan oleh Rasul, akan membawa pada kesesatan dan menjerumuskan pelakunya ke Neraka. Akan tetapi, Abu Bakar, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits shahih, mendapat ilham dari Allah swt sehingga beliau pun akan merealisasikan usulan Umar tersebut. Untuk merealisasikan usulan Umar, Abu Bakar tentunya memerlukan orang yang ahli dan terpercaya (tsiqah). Abu Bakar dan Umar memilih Zaid bin Tsabit untuk melakukan itu.
            Kita mungkin bertanya-tanya, mengapa Zaid bin Tsabit yang dipilih oleh Abu Bakar dan Umar? Padahal banyak sahabat yang hafal al-Quran dan bisa menulis. Abdullah bin Mas'ud, bahkan Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab hafal al-Quran dan bisa menulis. Dalam pandangan Abu Bakar, Zaid merupakan sahabat yang dapat dipercaya. Abu Bakr as-Siddiq mencatat kualifikasi diri Zaid sebagai berikut:
  1. Masa muda Zaid menunjukkan vitalitas dan kekuatan energinya.
  2. Akhlak yang tak pernah tercemar menyebabkan Abu Bakr memberi pengakuan secara khusus dengan kata-kata, ‘Kami tak pernah memiliki prasangka negatif pada anda.'
  3. Kecerdasannya menunjukkan pentingnya kompetensi dan kesadaran.
  4. Pengalamannya di masa lampau sebagai penulis wahyu.[19]
Prof. M. Mustafa A'zami menambahkan tentang kredibilitasnya. Menurutnya, Zaid salah seorang yang bernasib mujur di antara beberapa orang sahabat yang sempat mendengar bacaan Al-Qur'an Malaikat Jibril bersama Nabi Muhammad di bulan Ramadan.[20] Karena alasan inilah Abu Bakar memilih Zaid bin Tsabit. Selain itu, Abu Bakar juga yakin, Zaid adalah orang yang keimanannya sangat kuat, sehingga tidak akan melakukan interpetasi atau semacamnya terhadap pengumpulan al-Quran. Dan memang apa yang disangka Abu Bakar benar adanya. Ini dapat dilihat dari perkataan Zaid ketika disuruh oleh Abu Bakar untuk melakukan tugas itu. "Demi Allah, Jika sekiranya mereka minta kami me­mindahkan sebuah gunung raksasa, hal itu akan terasa lebih ringan dari apa yang mereka perintahkan pada saya sekarang". Dalam pandangan Zaid mengumpulkan al-Quran adalah usaha yang sangat berat. Dia lebih baik memindahkan sebuah gunung daripada harus mengumpulkan al-Quran. Perkataannya tersebut mencerminkan keimanan yang begitu kuat. Dia sadar bahwa al-Quran adalah kitab suci. Dia merasa takut kalau nantinya akan ada sumber-sumber yang dimasukan dalam mushaf, padahal bukan merupakan al-Quran. Namun dengan kesungguhan dan tawakkal pada awal, Zaid mengumpulkan al-Quran dengan sangat teliti. Sehingga terkumpulah al-Quran dalam bentuk Mushaf.
Ketika khalifah Utsman bin Affan, masalah otentitas al-Quran lagi-lagi terjadi. Adalah Khudaifah al-Yamani yang melaporkan kepada Utsman tentang banyaknya ragam bacaan al-Quran yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi. Bahkan keragaman ini bisa jadi malapetaka bagi kaum muslimin. Khudaifah berkeyakinan perang saudara bisa terjadi akibat masalah ini. Usulan Khudaifah diterima oleh Khalifah Utsman bin Affan. Khudaifah menyarankan khalifah agar membuat Mushaf standar al-Quran agar tidak terjadi pemalsuan terhadap al-Quran dan tidak terjadi perang saudara. Lagi-lagi, Zaid bin Tsabit menjadi orang kepercayaan untuk melakukan tugas ini.
Jika pada masa Abu Bakar tugas pengumpulan al-Quran tidak terlalu rumit, ketika masa Utsman lain keadaannya. Sehingga diperlukan ketelitian yang sangat tinggi agar al-Quran benar-benar otentik seperti yang diturunkan Allah kepada Muhammad. Pada masa Utsman mushaf-mushaf pribadi sangat banyak bertebaran. Hal ini dikarenakan kebijakan khalifah terdahulu ,Abu Bakar, yang tidak membatasi mushaf al-Quran. Karena memang factor utama pengumpulan al-Quran ketika masa kholifah Abu Bakar bukan banyaknya ragam bacaan, melainkan karena banyaknya para Qurra yang meninggal.[21]
Bagaimanakah cara Zaid bin Tsabit mengumpulkan al-Quran? Apakah menjamin otentitas al-Quran? Ilmiahkan cara yang dia tempuh? Cara yang biasa dipakai dalam menyatukan naskah agar seorang perumus kalimat (editor) mengadakan perbandingan dengan naskah lain dari hasil kerja yang sama kendati, biasanya tidak semua naskah memiliki nilai yang setaraf. Dalam memberi penjelasan terhadap tingkatan naskah yang paling dapat dipertanggungjawabkan dengan yang tak memiliki harga nilai, Bergstraser mem­buat beberapa ketentuan penting sebagai berikut,
  1. Naskah yang lebih awal biasanya lebih dapat terjamin dan tepercaya dari naskah yang muncul kemudian.
  2. Naskah yang sudah diubah dan dibetulkan oleh penulis melalui proses perbandingan dengan naskah induk, lebih tinggi tingkatannya dari ma­nuskrip-manuskrip yang tidak ada perubahan.
  3. Jika naskah asli masih ada, naskah lain yang ditulis dari naskah itu akan hilang nilainya.
Ternyata empat belas abad yang silam, Zaid telah melakukan kegiatan persis seperti teori yang mereka buat. Sejak Nabi Muhammad menapakkan kaki di bumi Madinah, adalah merupakan titik permulaan kegiatan intensif penulisan. Banyak di antara para sahabat memiliki ayat-ayat Al-Qur'an yang mereka salin dari kertas kulit milik kawan-kawan serta para jiran. Dengan membatasi terhadap ayat-ayat yang disalin di bawah pengawasan. Setelah menghafal Al-Qur'an dan menulis banyak semasa duduk ber­sama Nabi Muhammad, ingatan atau hafalan Zaid hanya dapat dikomparasikan dengan materi yang sama, bukan dengan naskah kedua atau ketigawasan Nabi Muhammad, Zaid meyakinkan bahwa semua materi yang beliau teliti memiliki tingkatan yang sama dan hal yang demikian memberi jaminan mutlak atas ketelitian yang dicapai.[22] Orientalis ternama dari Inggris, Wiliam Muir, sebagaimana dikutip oleh M. Husain Haekal mengakui ketelitian Zaid bin Tsabit. Sehingga tidak heran kalau dia mengatakan:
"Pengumpulan Quran dengan segala isi dan susunannya mencerminkan ketelitian yang luar biasa. Bagian-bagian yang beraneka ragam digabung dengan sangat bersahaja tanpa dibuat-dibuat atau dipaksa-paksakan. Dalam pengumpulan itu tak ada tanda-tanda adanya campur tangan dengan berusaha mau berlagak pintar atau merekayasa. Apa yang dikumpulkannya itu membuktikan betapa dalamnya keimanan dan keikhlasan penghimpunnya (Zaid bin Tsabit, penl). Ia tidak berani bertindak lebih dari hanya mengambil ayat-ayat suci lalu menempatkannya yang satu di sisi yang lain".[23]
Bisa kita bayangkan, jika al-Quran tidak disusun dalam sebuah mushaf seperti sekarang ini. Perubahan campur tangan manusia yang jail mungkin akan mewarnai al-Quran sehingga tidak lagi bisa disebut sebagai kitab suci Tuhan. Apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar yakni mengumpulkan al-Quran merupakan jasa yang paling besar dalam kekholifahannya. Begitu juga dengan kholifah Utsman. Jasa dan peninggalan terbesar itu, tidak bisa dipisahkan dari peranan seorang Zaid bin Tsabit.

Akhir Perjalanan Hidupnya.
            Dalam hal ini, penulis sangat sulit mencari sumber kapan dan tahun berapa Zaid bin Tsabit meninggal dunia (wafat). Namun, dari buku Prof. M. M. 'Azami, yang mengutip dari buku Tadzkirah al-Huffaz : 31, disebutkan, Zaid bin Tsabit meninggal atau wafat pada tahun 45 H.

Pelajaran Yang Dapat dipetik
            Ada beberapa hal yang menyebabkan saya memilih dan mengidolakan Zaid bin Tsabit. Beberapa hal inilah yang nantinya mempengaruhi ideology dan cita-cita penulis dalam menjalani dan menjaga agama Islam. Beberapa hal tersebut adalah;
  1. Semangat, kerja keras dan intelektualitas Zaid bin Tsabit yang menurut penulis sengaja Allah berikan untuk menjaga otentitas agama Islam, dalam hal ini al-Quran. Karena tanpa al-Quran, Islam apalah artinya. Jangankan tanpa al-Quran, Islam tanpa sunnah Nabi sudah tidak sempurna, apalagi kalau tidak ada al-Quran. Kehujjahan al-Quran sebagai pedoman umat Islam dan sumber utama agama Islam tidaklah akan bernilai dan akan sama dengan kitab-kitab agama lainnya, kalau tidak terjaga keotentikannya. Dan dalam hal ini, Zaid merupakan salah seorang sahabat Nabi di antara sahabat-sahabat lainnya yang telah menjaga dan memelihara al-Quarn dari campur tangan manusia.
  2. Apa yang telah dilakukan Zaid dalam rangka memelihara otentitas al-Quran, dengan segenap tenaga, jiwa dan raganya, menjadi inspirasi penulis untuk melakukan hal yang sama seperti yang telah dilakukan Zaid. Apalagi di era moden ini, terutama di Indonesia, dekonstruksi dan desakralisasi al-Quran sangat populer dan digandrungi oleh para akademisi Muslim. Jika dulu Zaid menjaga al-Quran dengan cara menulis, menghimpun dan menghafalnya, maka penulis bertekad akan membela al-Quran dari siapa saja, baik dari kalangan muslim sendiri atau pun dari non Muslim, yang menghujat dan menggugat keotentikan al-Quran. Mudah-mudahan cita-cita penulis dapat terealisasikan dan dimudahkan serta mendapat ridha dari Allah swt. Amin..Allahu Akbar…Allahu Akbar. Wallohu 'Alam bi al-Shawab.



[1] Ensiklopedi Islam. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Cet. VII. Jakarta. 2000. hlm. 224.
[2] Khalid Muhammad Khalid. Karakteristik Perihidup 60 sahabat Rasulullah. Hlm. 451.
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Prof. M. M. 'Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Pustaka Firdaus. 2000. hlm. 152. Terj. Prof. M. Ali Yaqub.
[7] Prof. M. M. A'zami, The History of Quranic Teks. terj. Sohirin Solihin, et.all. Gema Insani Pers, Jakarta, 2005. hlm.
[8] Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. hlm. 154.
[9] Ensiklopedi Islam. hlm. 224.
[10] Ibid.
[11] Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. hlm. 154. lihat juga The History of Quranic Teks. hlm. 65
[12] The History of Quranic Teks. hlm. 73.
[13] Lihat juga Ibn Hajar, Fathul Bari, ix: 22
[14] al-Bukhari, Sahih, Fada'il Al-Qur'an: 4.
[15] The History of Quranic Teks. opcit.
[16] Manna al-Qhattan. Mabahis fi Ulum al-Quran. hlm. 123.
[17] The History of Quranic Teks. hlm. 85 .
[18] Lihat al-Bukhari, Sahih, Jami' Al-Qur'an, hadith.4986.
[19]Lihat al-Bukhari, Sahih, Jam'i AI-Qur' an, hadith no. 4986; Ibn Abi Dawud, al-Masahif, hlm. 8
[20]The History of Quranic Teks. hlm. 85.
[21] Adnin Armas MA, Metodologi Bibel dalam Study al-Quran. hlm.95
[22] Prof. M.M. A'zami. The History of Quranic Teks..
[23] M. Husain Haekal. Abu Bakar as-Shiddiq; Sebuah Biografi dan Studi Analisis Tentang Permulaan  Sejarah Islam Sepeninggal Nabi.cet. II. Lentera Antar Nusa. Jakarta, 2001. hlm. 321.


* Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohamamd Natsir Jakarta Jurusan Komunikasi Dan Penyiaran Islam.

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama