Pembagian Jihad Melawan Orang-orang Kafir
Para ulama membagi jihad melawan orang-orang kafir menjadi dua bagian. Yaitu jihad difa’ (jihad defensif) dan jihad thalab (Jihad ofensif). Jihad model pertama diperuntukan untuk melawan musuh yang menyerang. Jihad ini diwajibkan bagi penduduk negeri yang diinvasi musuh, walaupun tanpa ada imam yang memimpin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa apabila musuh hendak menyerang kaum muslimin maka membela diri menjadi kewajiban bagi semua penduduk yang diserang. Dan bagi kaum muslimin yang tidak diserang wajib membantu saudara mereka. Beliau rahimahullaah menganalogikan dengan kondisi kaum muslimin yang diserang musuh pada waktu perang khandak, maka Allah tidak mengizinkan seorang pun untuk meninggalkannya. Sebagaimana Allah mengizinkan untuk meninggalkan jihad untuk menyerang musuh yang kemudian membagi mereka menjadi dua bagian, qaidun wa kharijun (orang yang duduk-duduk dan yang keluar berjihad). Bahkan Allah mencela orang-orang yang meminta izin kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dalam firman-Nya,
يَقُولُونَ إِنَّ بُيُوتَنَا عَوْرَةٌ وَمَا هِيَ بِعَوْرَةٍ إِنْ يُرِيدُونَ إِلاَّ فِرَاراً
“Dan sebahagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata: "Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga)".” (QS. Al-Ahzab: 13)
Jihad difa’ ini untuk membela dien, kehormatan, dan jiwa. Bahkan peperangan ini sifatnya terpaksa, mau atau tidak harus dilakukan. Sementara peperangan model kedua merupakan perang pilihan untuk menambah pemeluk dien, meninggikannya, dan untuk menakut-nakuti musuh seperti dalam perang Tabuk dan semisalnya.
Imam al-Mardawi dalam al-Inshaf menjelaskan, yang dipahami dari ucapannya, atau musuh datang menyerang negerinya, bahwa perang ini tidak wajib bagi orang yang jauh, inilah pendapat yang benar kecuali ada hajat yang menyerunya untuk datang membantu, seperti tidak mampunya penduduk tersebut melawan musuh, maka bagi penduduk yang jauh juga menjadi wajib ain.
Sedangan jihad thalab (Jihad ofensif) adalah melaksanakan firman Allah Ta’ala:
قَاتِلُواْ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُواْ الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. Al-taubah: 29)
Dan ayat-ayat lain serta hadits-hadits yang menunjukkan wajibnya berjihad dan berjalannya bersama setiap pemimpin yang baik maupun jahat sampai hari kiamat.
Hukum Dasar Jihad
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jihad. Jumhur ulama berpendapat fardhu kifayah. Sedangkan sebagain ulama lainnya berpendapat fardhu ‘ain, di antaranya Sa’id bin Musayyib. Dan pendapat yang lebih benar adalah fardhu kifayah bagi umat ini, berdasarkan dalil-dalil yang ada.
Walaupun hukumnya fardhu kifayah, bukan berarti kita boleh kurang memperhatikannya. Karena jihad termasuk amal ibadah yang paling mulia. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam pernah ditanya, “Siapakah manusia yang peling utama?” Beliau menjawab, “Seseorang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya.” (Muttafaq ‘alaih dari hadits Abu sa’id al-Khudri radhiyallaahu 'anhu).
Pernah Aisyah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, “Kami mengetahui bahwa jihad adalah amalan yang paling utama, kenapa kita tidak juga berjihad?” Beliau shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab, “Jangan, tapi jihad paling utama adalah haji mabrur.” (HR. Al-Bukhari, dan daam riwayat yang lain, “Jihad kalian (kaum wanita) adalah haji.”
Dari sini, banyak ulama yang berpendapat bahwa haji bagi wanita lebih afdhal daripada jihad. Jihad tidak diwajibkan atas kaum wanita tanpa perbedaan. (Lihat dalam al-Inshaf dan Majmu’ al-Fatawa).
Imam Ahmad rahimahullaah berkata, “Aku tidak mengetahui ada satu amal setelah shalat fardhu yang lebih utama daripada jihad.” Dan ketika disebutkan kepada beliau tentang jihad, maka beliau menangis dan berkata, “Tidak ada satu amal kebaikan yang lebih utama daripadanya.”
Bukan berarti pendapat tentang hukum jihad sebagai fardhu kifayah, jihad tidak wajib atas umat. Tapi fardhu kifayah apabila tidak ada yang menegakkannya maka seluruh umat berdosa. Hal ini sesuai dengan kesepakatan ahli ilmu.
Imam al-Mardawi berkata dalam al-Inshaf berkata, “Fardhu kifayah wajib atas semuanya. Dan dinashkan ini dalam urusan jihad. Apabila ada orang yang sudah melaksanakannya maka gugurlah kewajiban tersebut atas yang lain, tapi menjadi sunnah atas mereka.”
Dan apabila dikatakan jihad ini wajib ‘ain maka kewajiban-kewajiban lain pasti akan tertinggal, tidak ada yang mampu melaksanakannya. Dan kalaulha jihad ini hukumnya fardhu ain bagi setiap indvidu dari umat ini, maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam tidak akan pernah bisa berjalan-jalan di pasar dan para sahabat tidak akan sempat meletakkan pedang mereka dari pundaknya. Dan tidak mungkin umar akan berkata, “Kesibukan di pasar telah melalaikanku.” Ibnu ‘Auf radhiyallaahu 'anhushallallaahu 'alaihi wasallam mengizinkannya untuk tidak berangkat berjihad karena merawat istrinya, dan tidak mungkin tersisa seorang laki-lakipun di Madinah untuk menjaga kaum wanita dan anak-anak. juga tidak akan berkata, “Tunjukkan pasar kepadaku.” Begitu juga Utsman, tidak mungkin Nabi
Para ulama juga telah menetapkan syarat adanya bekal dan nafkah untuk keluarga yang ditinggalkan selama dia pergi berjihad (sebagaimana yang disebutkan dalam al-Muqni’, Syarh al-Kabir, dan Al-Inshaf). Kalau jihad ini wajib atas setiap individu, niscaya tak seorangpun diberi udzur untuk meninggalkannya, seperti orang-orang yang keadaannya tidak mampu.
Jihad juga tidak wajib atas kaum wanita, budak, orang-orang memiliki halangan, dan orang-orang yang mengutarakan alasan untuk tidak ikut keluar. Dan jika jihad ini hukumnya wajib ‘ain pastinya tidak seorangpun dari mereka yang diberi udzur (alasan) untuk tidak berjihad.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضَى وَلَا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ () وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (QS. Al-Taubah: 91-92)
Mereka-mereka yang lemah, sakit, fakir yang tidak memiliki apa yang bisa mereka nafkahkan, dan juga Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam tidak mendapatkan kendaraan untuk mengangkut mereka, Allah telah memberikan izin bagi mereka untuk tidak berjihad dalam kitab-Nya dengan keterangan yang sangat jelas.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. Al-Nisa’: 95)
Kalaulah jihad adalah fardhu ‘ain untuk selama-lamanya maka tidak akan ada kesempatan untuk membandingkan antara mujahidin dengan qaidin (yang tidak keluar berjihad) dan pastinya Allah tidak akan menjanjikan kebaikan untuk semuanya.
Sedangkan keberadaan orang buta dan pincang yang ikut rembug dan memberikan usul sebagaimana ikut sertanya Amru bin Al-Jamuh al-Anshari radhiyallaahu 'anhu dalam sebuah peperangan, maka semua itu karena semangat yang muncul dari diri mereka bukan karena hal itu diwajibkan atas mereka.
Kapan Jihad Menjadi Fardhu ‘Ain
Para ulama telah menetapkan bahwa jihad tidak menjadi fardhu ‘ain kecuali dalam tiga kondisi:
Pertama, apabila dua pasukan sudah bertemu dan berhadapan berdasarkan firman Alla Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).” (QS. al-Anfal: 15)
Kedua, apabila orang-orang kafir sudah memasuki negeri muslim, bagi penduduk negeri wajib berperang melawan dan mengusir mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu.” (QS. Al-Taubah: 123)
Ketiga, Apabila imam sudah menunjukkan suatu kaum untuk keluar berjihad maka mereka wajib keluar berdasarkan sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, “Maka apabila kalian diperintah untuk keluar berjihad, maka keluarlah!.” (Muttafaq ‘alaih)
Wallahu a’lam. (PurWD/voa-islam.com)
Ditarjamahkan oleh Purnomo WD dari tulisan Syaikh Abdurrahman bin Abdillah al-Sahim dari www.saaid.net.
Posting Komentar