By: Ria Fariana
Artika Sari Devi, mantan Putri Indonesia mengaku bahwa dirinya kelebihan stok ASI. Karena berlebih inilah, Artika memilih untuk memeras susunya dan mengirimkannya ke bank ASI di rumah sakit untuk disimpan sebagai stok bagi siapa pun yang membutuhkan. Bahkan di saat malam hari pun, si suami rela untuk berkendara ke rumah sakit demi menyetor stok ASI tersebut.
Aktris Alysia Reiner, mendonasikan ASInya untuk temannya yang sedang berjuang memproduksi ASI yang cukup untuk bayinya. Ada juga Salma Hayek yang memilih menyusui secara langsung bayi laki-laki Afrika yang sedang sakit karena gempa Haiti. Masih banyak lagi artis lokal maupun manca negara yang peduli ASI dan menjadi pendonornya. Sebuah kepedulian yang positif mengingat ASI adalah makanan penting bagi bayi untuk tumbuh sehat. Namun di balik semua kepedulian positif ini, masalah donor ASI masih menjadi kontroversi terutama di kalangan umat Islam.
Hal ini wajar mengingat Islam adalah agama yang sempurna sehingga sampai masalah pemberian ASI pun ada aturan mainnya. Begitu pula dengan masalah donor ASI yang tidak bisa tidak akan muncul beberapa masalah di dalamnya semisal tentang kedudukan pendonor terhadap yang didonori. Tidak berhenti disitu saja, Islam juga mengenal saudara sepersusuan. Dengan adanya donor ASI yang disimpan dalam bank ASI, bagaimana pula mendudukkan masalah ini agar tidak menyalahi syariat.
Banyak hal yang harus dipertimbangkan ketika Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim ini memutuskan untuk mendirikan bank ASI. Tidak bisa asal seenaknya saja ketika ASI seorang ibu tidak keluar, maka bisa langsung membeli stok ASI di bank ASI.
Lalu bagaimana dengan maraknya donor ASI yang disimpan di bank ASI dan difasilitasi oleh rumah sakit? Bukankah dengan adanya donor ASI, itu berarti masyarakat ikut berpartisipasi akan sehatnya generasi? Hal inilah yang akan berusaha kita bahas satu demi satu, insya Allah. Tulisan ini berusaha untuk memandang persoalan dengan timbangan syariat agar hidup lebih bermakna dan barakah.
ASI, sumber kehidupan bayi
ASI (Air Susu Ibu) adalah nutrisi utama bagi bayi sejak keluar dari rahim hingga berusia dua tahun. Karena keutamaannya inilah, kandungan ASI tidak bisa digantikan oleh susu formula apa pun juga. Jauh hari sebelum teknologi kedokteran ditemukan, Islam telah sangat menganjurkan agar bayi hanya diberi asupan ASI saja. Bukan itu saja, Islam juga memberikan jalan keluar apabila ada ibu yang karena satu dan lain hal tidak bisa menyusui bayinya.
Keadaan inilah yang terjadi pada diri Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam. Beliau tidak hanya menyusu pada ibu kandungnya sendiri melainkan disusukan pada ibu susu yaitu Tsuwaibah hamba sahaya Abu Lahab dan Halimah al-Sa’diyah. Dari hubungan ini, antara ibu yang menyusui dan anak menjadi mahram yaitu orang yang tidak boleh atau haram dinikahi selamanya. Kondisi ini berlaku juga pada saudara sepersusuan yang pernah menyusu pada ibu yang sama baik anak kandung ibu tersebut maupun bukan.
Disinilah keistimewaan Islam yang mempersaudarakan seseorang dengan orang lainnya karena bermula dari sepersusuan. Ada kejelian di sini untuk menelusuri siapa saja yang pernah menjadi anak susu dari seorang perempuan agar tidak salah menikahi seseorang yang menjadi mahram karena sepersusuan. Ada kedekatan satu sama lain meskipun mungkin tidak pernah bersua, tapi terpapar jelas nasab satu sama lain. Tidak ada kerancuan dalam hal ini karena sungguh, Islam sangat menjaga hubungan nasab dan persaudaraan karena sepersusuan.
Pendapat Imam Madzab tentang menyusui
Dalam buku Fiqih Anak (Yanggo, 2004: 88-91) menyusui atau dalam bahasa Arab adalah ar-Radha’ juga dibahas oleh keempat Imam Madzab yang definisinya menurut mereka adalah:
- Madzab Hanafi, ar-Radha’ adalah isapan anak yang disusui terhadap susu (payudara) wanita anak Adam pada waktu tertentu.
- Madzab Maliki, ar-Radha’ adalah sampainya air susu perempuan pada perut meskipun perempuan itu mati atau masih kecil, dengan menggunakan alat (untuk memasukkan sesuatu ke dalam perut) atau melalui suntikan yang menjadi makanan.
- Madzab Syafi’i mendefinisikan ar-Radha’ sebagai “Sampainya air susu wanita atau apa yang dihasilkan dari air susu tersebut pada perut bayi atau otak/sum-sumnya.”
- Madzab Hambali mengatakan ar-Radha’ sebagai “Mengisap atau meminum air susu yang terkumpul karena kehamilan dari payudara seorang wanita dan yang seperti itu.”
Dari pendapat-pendapat di atas, pendapat Maliki lebih mencakup dan menyeluruh dibandingkan dengan definisi-definisi lainnya. Definisi madzab Maliki telah memenuhi syarat yang jami’ (mencakup) dan mani’ (terbatas).
Kata ‘susu wanita’ mencakup setiap susu sehingga yang bukan susu tidak termasuk ke dalam definisi ini misalnya saja air kuning dan darah. Kedua macam cairan tersebut tidak menyebabkan haramnya menikah pada seseorang. Kata susu disandarkan pada kata wanita sehingga dikecualikan air susu pria dan jin wanita.
Sedangkan yang dimaksud dengan ‘masuk ke dalam perut’ sudah jelas di sini yaitu masuk ke dalam perut anak yang disusukan. Sampainya air susu ke dalam perut baik jumlahnya air susunya banyak atau sedikit atau bahkan sekadar mengisap (sedikit sekali) maka termasuk ke dalam definisi ini. Jika syarat ini terpenuhi maka haram menikahi anak tersebut dengan ibu yang menyusukan atau saudara sepersusuan. Sehingga air susu yang hanya sampai pada tenggorokan saja tidak menyebabkan keharaman menikah tersebut.
Sedangkan yang dimaksud 'meskipun perempuan itu mati atau masih kecil' adalah jika seorang perempuan mati namun padanya masih ada air susu, lalu ada bayi atau anak kecil yang menyusu padanya atau ada orang lain yang memerah susunya untuk diminumkan pada bayi atau anak kecil maka hal itu menimbulkan tahrim (menyebabkan haram menikah dengan yang sepersusuan).
Demikian pula bila ada anak perempuan (baik ia belum baligh atau sudah baligh) yang mempunyai air susu lalu dari air susu itu dipakai untuk menyusui bayi maka berlakulah at-tahrim pada anak tersebut. Hal ini berlaku pula pada wanita menopause yang masih memiliki air susu dan memakai air susu itu untuk menyusui bayi, maka tetap berlaku at-tahrim padanya.
Adapun kata-kata 'meskipun air susu itu masuknya ke perut lewat cara lain selain menyusu' maksudnya adalah masuknya air susu menggunakan alat-alat khusus untuk memasukkan sesuatu ke dalam tenggorokan atau hidung, maka tetap saja keharaman karena saudara sepersusuan tetap berlaku padanya.
Kata-kata “Atau suntikan yang menjadi makanan” maksudnya adalah air susu yang dimasukkan lewat suntikan pun menyebabkan keharaman menikah selama fungsinya adalah sebagai makanan bagi bayi. Namun jika suntikan tersebut dimaksudkan untuk tujuan lain selain memberi makanan, maka suntikan itu tidak menimbulkan keharaman menikah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka memasukkan air susu ke perut bayi lewat mata, telinga atau pori-pori kulit kepala, atau pun lewat suntikan yang tidak dimaksudkan untuk pemberian makanan, hal ini tidak menyebabkan pengharaman nikah. Hal ini disebabkan karena air susu tersebut tidak melewati jalan yang biasa sehingga tidak akan membuahkan daging dan tulang. Demikian juga air susu yang disuntikkan ke dalam tubuh namun tidak dimaksudkan sebagai makanan maka hal ini tidak menyebabkan keharaman nikah.
Donor ASI = Rancunya hubungan saudara sepersusuan
Bank ASI hadir membuat rancu hubungan karena sepersusuan ini. Meskipun ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa ASI yang tidak dihisap bayi langsung dari payudara ibu susu tidak menjadikannya mahram baik pada ibu susu tersebut maupun bayi-bayi lain yang pernah mengkonsumi ASI yang sama, namun sesungguhnya pendapat ini lemah.
Makna menyusui di sini tidak sekadar aktifitas menyusu langsung seorang bayi pada puting payudara seorang ibu. Menyusui di sini adalah masuknya air susu seorang ibu ke dalam perut bayi meskipun caranya bermacam-macam misalnya saja dengan memakai alat tertentu. Seorang muslim akan jauh lebih bijak bila berhati-hati dalam masalah syariat terutama dalam hal ini adalah peniadaan saudara sepersusuan hanya karena bayi tidak menyusu langsung pada ibu susu.
Donor ASI melalui bank ASI, jelas-jelas akan merancukan hubungan mahram atau persaudaraan karena sepersusuan. Pendonor hanya sekadar memasukkan informasi dirinya sebatas nama dan hal-hal umum sebagaimana seseorang akan mendonorkan darahnya. Tidak akan terlacak siapa saja bayi-bayi yang pernah mengkonsumsi air susunya, sehingga tidak jelas bagi seseorang siapa bermahram dengan siapa. Jangan sampai terjadi kelak di kemudian hari, seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang ternyata pernah mengkonsumsi ASI dari wanita pendonor ASI yang sama. Bila ini terjadi maka kedua anak manusia ini telah melakukan keharaman karena menikahi mahram yang terjadi karena ikatan saudara sepersusuan. Inilah bahaya yang nyata dari keberadaan donor ASI yang ditaruh di bank ASI. (PurWD/voa-islam.com)
Bersambung . . . .
Posting Komentar