Permulaan surah al-Isra’ menjelaskan janji Allah SWT yang telah dan akan berlaku bagi Bani Israil atas penyimpangan mereka dari ajaran Taurat. Kekuasaan berubah menjadi kehinaan, kehormatan menjadi kenistaan dan kemakmuran menjadi kemelaratan. Itu semua, karena mereka membuat kerusakan merata di seluruh pelosok negeri (al-fasad fil ardh) dan melampaui batas sunnatullah karena sombong (al-`uluw al-kabir).
Oleh Asep Sobari
Apa arti penjelasan ini bagi kaum musyrik Makkah yang hingga saat itu masih menolak bahkan memusuhi ajaran Rasulullah saw? Persoalan lintas generasi ini ternyata tidak sederhana. Makkah dan Palestina sama-sama istimewa di mata Allah. Makkah adalah tanah yang disucikan dan Palestina adalah tanah yang diberkahi (al-ardh al-mubarakah), seperti yang ditegaskan pada ayat pertama surah al-Isra’. Bukti keistimewannya sangat jelas. Palestina adalah kota para nabi, bukti kebesaran Musa, Dawud dan Sulaiman. Makkah juga tidak kalah istimewa. Pendirinya adalah Ibrahim dan Ismail. Syiarnya adalah haji dan simbol kebesarannya adalah Ka’bah, rumah Allah.
Bagi generasi Rasulullah saw di Makkah, ada bukti keistimewaan yang masih segar dalam ingatan; Allah SWT menyelamatkan secara langsung kota itu dari gempuran 60.000 tentara Abrahah. Penyelamatan ‘ajaib’ ini pada gilirannya menjadi mitologi yang mengkristal dalam benak masyarakat Makkah dan Arab, bahwa kepercayaan penduduk Makkah adalah yang direstui Allah SWT.
Status istimewa ini sebenarnya diiringi konsekuensi yang sangat berat. Allah menghendaki mereka menjadi pengusung risalah peradaban wahyu dan model masyarakat dunia dalam mengimplementasikannya, “Hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah (Ka`bah) ini.” (QS Quraisy: 3). Untuk itu, Allah SWT membekali mereka dengan fasilitas hidup yang sangat esensial untuk menunjang tugas berat tersebut; tercukupinya kebutuhan fisiologis (al-ith`am min al-ju`), keamanan dan terhindar dari ketakutan (al-amn min al-khauf).
Tapi pada kenyataannya, baik Bani Israil di Palestina maupun masyarakat Makkah generasi Rasulullah saw telah menyalah-artikan keistimewaan tersebut. Apalagi kelompok elite kedua kota tersebut yang menganggap kekuasaan, kemakmuran dan kemudahan hidup sebagai kemurahan Tuhan yang membuktikan bahwa status mereka sangat ‘istimewa’ di mata-Nya. Inilah pangkal persoalan, mengapa elite-elite Quraisy menolak tegas ajaran Rasulullah saw.
Untuk itulah, Allah SWT mengoreksi kekeliruan cara pandang Quraisy dan mengingatkan mereka dengan kehancuran yang telah menimpa Bani Israil karena kekeliruan yang sama, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada kalangan al-mutrafun [yang berkuasa] di negeri itu [supaya mentaati Allah], tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka berlakulah terhadapnya ketentuan [janji Kami], kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS al-Isra’: 16).
Al-Mutrafun dalam setiap masyarakat, menurut Sayyid Quthb dalam azh-Zhilal, adalah kelompok elite yang menguasai kekayaan dan sumber-sumbernya, dan menikmati fasilitas hidup yang melimpah. Dasar pengertian yang sama diberikan ath-Thabari, al-Qurthubi dan Ibn Katsir dalam tafsir mereka.
Masalah yang menarik di sini adalah, ketika kalangan al-mutrafun tersebut berbuat fasik dan menyalahi aturan Allah dalam menjalankan tanggung jawab kekuasaan dan kekayaan yang dimilikinya, maka akibatnya adalah bencana besar yang tidak hanya menghancurkan mereka, melainkan melanda seisi negeri tersebut. Logikanya sederhana, al-mutrafun adalah para pemegang kebijakan publik dan orang-orang kaya. Jika mereka menyimpang dari kewajiban-kewajibannya, maka dampak negatif yang ditimbulkannya bersifat massif dan akan menyentuh semua lapisan masyarakat.
Sekali lagi, penyimpangan kelompok elite dan kaya ditempatkan sebagai biang dari kerusakan dan kehancuran masyarakat. Dan, tidak mudah menghadang laju kehancuran ini karena dua sebab; Pertama, kesalahan cara pandang. Kalangan al-mutrafun menganggap kenikmatan yang disandangnya sebagai ‘kehormatan’ yang membuktikan restu Allah atas dirinya dan bukan ujian (al-ibtila’). Sementara taubat dari kesalahan cara pandang, menurut DR Majid al-Kilani, jauh lebih sulit ketimbang taubat dari kesalahan perbuatan. Kedua, masyarakat tidak memberi perimbangan yang memadai dengan melakukan ishlah (keshalihan aktif). Karena jika yang berkembang adalah keshalihan pasif maka kehancuran itu tetap menjadi keniscayaan.
Zainab ra bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan binasa, padahal masih banyak orang shalih di sekitar kita?” Rasulullah saw menjawab, “Ya, jika kerusakan menjadi dominan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Posting Komentar