Pemikir kontroversial Mesir dan profesor Studi Arab Nasr Hamid Abu Zaid Senin pagi kemarin (5/7) meninggal di sebuah rumah sakit Kairo akibat serangan virus yang dijelaskan oleh para dokter sebagai penyakit yang "jarang dan langka."
Pada tahun 1993, ia divonis murtad oleh para ulama Islam khususnya Al-Azhar dan menikah dengan Yunis yang secara resmi pernikahannya itu dibatalkan oleh pengadilan keluarga Mesir dengan alasan bahwa seorang wanita Muslim tidak bisa menikah dengan orang yang sesat dan murtad.
Di antara karya Abu Zaid yang dianggap terbaik oleh kalangan pemujanya berjudul "The Founding of Medieval Ideology and A Critique of Religious Discourse" (Pendirian Ideologi Abad Pertengahan dan Kritik Wacana Keagamaan.)
Nasr Abu Zaid sangat dikagumi oleh kelompok JIL Indonesia, pemikiran-pemikiran sesatnya dianggap progresif bagi kalangan sealiran dengan Ulil Abshar Abdallah cs.
Bagaimana Syariat memberi tuntunan kepada kita dalam menyikapi kematian orang seperti Nasr Abu zaid?
Seorang muslim yang baik akan bersedih dengan wafatnya para ulama dan dai Islam, sebaliknya dia akan bergembira dengan kebinasaan ahli bid’ah dan kesesatan, terutama jika mereka merupakan para tokoh, simbol kebesaran bagi para penyerunya. Dia bergembira karena matinya akan mematahkan pena-pena mereka, dan lenyap pemikiran mereka yang menimbulkan syubhat bagi manusia terutama orang awam.
Para salafus shalih tidak hanya memperingatkan kita akan bahaya mereka ketika masih hidup saja, lalu ketika mereka mati maka mereka dikasihani dan ditangisi kepergiannya. Bahkan dahulu para salafus shalih juga menjelaskan keadaan para ahli bid’ah tersebut sesudah matinya, dan menampakkan kegembiraan dengan matinya mereka, juga sebagian mereka memberi ucapan selamat kepada yang lain.
Dalam sebuah hadits shahih yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari, dari hadits Abu Qatadah bin Rib'i Al-Anshari, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
الْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَبِ الدُّنْيَا وَأَذَاهَا إِلَى رَحْمَةِ اللَّهِ ، وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلاَدُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ
"Seorang hamba yang mukmin beristirahat dari keletihan dunia dan kesusahannya, kembali kepada rahmat Allah. Sedangkan hamba yang jahat, para hamba, negeri, pohon dan binatang beristirahat (merasa aman dan tenang) darinya." (HR. Bukhari np. 6031, Muslim no. 950, Ahmad no. 21531)
Maka bagaimana seorang muslim yang baik tidak gembira dengan kematian orang yang mengganggu dan merusak para manusia dan negeri? Oleh karena itu ketika sampai berita Al-Marisi yang sesat ketika itu Busyr bin Harits sedang di pasar dia berkata: "Kalau bukan tempat kemasyhuran tentunya itu tempat untuk bersyukur dan sujud, Alhamdulillah yang telah mematikannya." (Tarikh Baghdad: 7/66) dan ( Lisanul Mizan: 2/308).
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya: "Seseorang bergembira dengan apa yang menimpa para sahabat Ibnu Abi Du’ad, apakah dia berdosa?" Beliau menjawab: "Siapa yang tidak senang dengan berita ini?" (Asunnah karangan Khalal: 5/121)
Salamah bin Syabib berkata: "Ketika itu saya bersama Abdur Razzaq – yakni Ashan’ani -, lalu datanglah berita kematian Abdul Majid, maka beliau berkata: (Alhamdulillah yang telah mengistirahatkan umat Muhammad dari Abdul Majid) (Siyar A’lamun Nubala: 9/435).
Dan Abdul Majid ini adalah anaknya Abdul Aziz bin Abi Ruwad, dia adalah tokoh Murji’ah.
Dan ketika sampai berita kematian Wahab Al-Qurasyi – dia adalah tokoh sesat dan menyesatkan – kepada Abdur Rahman bin Mahdi beliau berkata: Alhamdulillah yang telah mengistirahatkan kaum muslimin darinya. ( Lisanul Mizan Ibnu Hajar: 8/402).
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam (Al-Bidayah Wan Nihayah 12/338) tentang salah seorang tokoh ahli bid’ah: ( Allah telah mengistirahatkan kaum muslimin darinya di tahun ini dibulan Dzul Hijjah, dan dikubur dirumahnya, kemudian dipindahkan ke pemakaman Quraisy hanya milik Allah pujian dan karunia, dan ketika orang tersebut mati maka pengikut ahli sunah wal jama’ah sangat bergembira dengan kematiannya, dan mereka menampakkan kesyukuran kepada Allah, tidak dijumpai satupun dari mereka melainkan memuji Allah Ta’ala).
Demikianlah sikap para salafus shalih rahimahumullah ketika mendengar berita kematian salah satu tokoh ahli bid’ah dan kesesatan, kadang-kadang sebagian berhujah dengan yang dinukilkan oleh Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya (Madarijus Salikin: 2/345) tentang sikap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari musuhnya ketika beliau berkata: (suatu hari aku datangi beliau memberi kabar gembira kematian musuhnya yang terbesar, dan yang paling keras permusuhannya dan gangguannya kepada beliau, beliau menghardiku dan mengingkariku dan mengucapkan Innalillahi wainna ilaihi raji’un, kemudian beliau berdiri dan langsung menuju rumahnya dan memberi ta’ziyah kepada keluarganya dengan berkata: sesungguhnya aku bagi kalian sebagai gantinya....) dan barang siapa yang merenungkannya akan menemukan tidak adanya pertentangan antara dua perkara tersebut , karena termasuk kebaikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beliau tidak membalas dendam untuk dirinya pribadi, oleh karena itu ketika muridnya mendatanginya menyampaikan kabar gembira kematian salah satu musuhnya bahkan yang paling memusuhi dan mengganggunya beliau menghardiknya dan mengingkarinya, karena murid beliau hanyalah menampakkan kepada Syaikhnya kegembiraannya dengan kematian salah satu musuhnya bukan gembira atas kematiannya karena dia salah satu tokoh kebid’ahan dan kesesatan. (ar/voa-islam.com)
Posting Komentar