IBNU THUFAIL


   1. Biografi
Nama lengkapnya, Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Muhammad bin Muhammad bin Thufail Al-Qisy. Dalam bahasa Latin  lebih dikenal dengan nama Abubacer.[1] Dia lahir di lembah Asy di Cadix-sebuah lembah yang subur- terletak 16 Km. dari Granada, Spanyol pada  tahun 506 H/1110M.[2] Karena dia berdarah keturunan suku Qisy-nama suku arab yang terkenal dan terkemuka, maka wajar dia sangat mudah mendapatkan fasilitas belajar. Sisi lain dia memiliki semangat yang luar biasa untuk bermujahadah dalam menuntut ilmu mengantarkan dia menjadi ilmuan-sebagaimana lazimnya filosof pada masa itu-yang meliputi kedokteran, matematika, astronomi dan filsafat, bahkan menjadi penyair yang sangat terkenal dari Dinasti Muwahhidin Spanyol.[3] Menurut Ibnu al-Khatib, Ibn Thufail mempelajari kedokteran dan filsafat di Granada, Seville dan Cordova. Pendapat lain mengatakan bahwa Ibn Thufail adalah murid Ibn Bajjah. Tapi dia sendiri mengaku tidak pernah bertemu dengan filosof itu.[4]

Profesi kedokteran dan keuletannya bekerja menyebabkan dia dipercaya dan diangkat menjadi sekretaris pribadi Gubernur Ceuta dan Tangier oleh Putra Al Mukmin dan akhirnya dia menjadi dokter pribadi Abu Yusuf Ya’kub al-Mansur, khalifah Daulah Muwahhidin (1163-1184 M), sekaligus menjadi qadhi dan wazir khalifah tersebut.[5]

Ibnu Thufail meletakkan jabatannya sebagai dokter pada tahun 587 H/1182 M., karena usianya yang uzur. Maka Ibnu Thufail memohon pada khalifah supaya Ibnu Rusyd-muridnya-menggantikan posisinya. Atas kebijaksanaan Khalifah maka Ibnu Rusyd menjadi dokter istana.

Setelah Khalifah tersebut meninggal pada tahun 580 H/1184 M, maka Abu Yusuf ya’kub[6] menggantikannya sebagai Khalifah. Setahun setelah peristiwa itu, Ibnu Thufail meninggal dunia pada tahun 581 H/1185 M di Maroko, Marages.[7] Pada waktu itulah Khalifah ikut menghadiri upacara pemakaman Ibnu Thufail sebagai penghormatan Khalifah terhadap Ibnu Thufail.[8]

   2. Karyanya

Sebenarnya Ibnu Thufail lebih menggemari merenung dari pada menulis. Karena itu tidak heran kalau hasil karyanya sedikit. Namun berdasarkan buku-buku biografi beliau menyebutkan bahwa banyak karangan dari Ibnu Thufail  yang menyangkut masalah filsafat, matematia, fisika, kejiwaan-disamping risalah-risalah yang ditulis beliau kepada Ibnu Rusyd. Tapi yang sampai kepada kita hanya Hayy Ibnu Yaqyam (Roman Fhilosophy), yang merupakan intisari dari pemikiran Ibnu Thufail. Judul lengkapnya adalah Risalah Hayy Ibnu Yaqzam Fi Asrar Al-Hikmah Al-Masyriqiyyat.[9] Satu manuskrip di perpustakaan Escurial yang berjudul Asrar AL-Hikmah Al-Masyriqiyyah (Rahasia-rahasia Ketimuran) hanyalah ringkasan dari buku Hayy Ibnu Yaqzham.[10]

Menurut Montgomeri Watt, buku inilah yang  mungkin merupakan karya filsafat dalam bahasa arab yang paling menarik.[11] Selain diakui sebagai roman filsafat religius-ilmiyah,[12] dia juga menggambarkan kisah bahwa manusia sanggup mengenal Allah, berhubungan dengan-Nya dan berkhidmad kepada-Nya tanpa mendapatkan wahyu dan guru. Maka wajar para peneliti barat banyak menerjemahkan buku itu  ke dalam bahasa lain karena menarik untuk dikaji.[13]

Edward Bacon menerjemahkan kedalam bahasa Latin yang disertai dengan teks arabnya di Oxford pada tahun 1671 M dan kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Eroppa lainnya.

Paul Bronnle berkata :“…dalam waktu jang singkat kisah ini telah menarik perasaan masa dan dia merupakan taufan badai jang dahsjat jang dirasakan  olweh seluruh manusia. Dan senantiasa kisah ini dalam jangka waktu jang tidak pendek, memainkan peranan didalam suatu kedudukan jang terpandang.”[14]

              Tidak sekedar itu, pada tahun 1674 M, George Kieth ikut menerjemahkan buku tersebut dalam bahasa Inggris. Tahun 1686 M, buku itu diterjemahkan dalam bahasa Inggris kembali oleh George Ashwell. Selanjutnya oleh Simon Ockey pada tahun 1708 M. Dan setelah 11 tahun dari penerjenahan yang terakhir itu, Daniel Defoe mengeluarkan kisah karangannya yang bernama Robinson Crusoe yang diambil dari kisah Hayy Ibn Yaqzham.[15] Adapun buku yang lainnya diperkirakan hilang pada saat terjadinya peperangan di Maghribi, yaitu penyerangan dan kemenangan Dinasti Muriniyah-sebuah kualisi Berber atas Daulah Muwahhidun antara tahun 1249 dan 1274. kemungkinan besar juga pada waktu perebutan kota Ceuta tahun 1415 dan Pesisir Maroko tahun 1471 oleh Portugis.[16] Akan tetapi menurut Ibnu Khatib, ada dua buku tentang kedokteran yang dapat dikatakan merupakan karya Ibnu Thufail, setidaknya ditulis oleh dua orang muridnya  yang dipersembahkan kepada Ibnu Thufail, yaitu Al-Bithruji berjudul Kitab Al-Hai’ah dan karya Ibnu Rusyd berjudul Fi Al-Buqa’ al-Maskunah sa al-Ghair al-Maskunah.

3.      Ringkasan Cerita Hayy Ibn Yaqzhan[17]

Di kepualauan India, ada sebuah pulau  terpencil yang tidak berpenghuni manusia., beriklim sedang dan terletak di garis khatulistiwa. Harun Nasution mengatakan itu adalah kepulauan Indonesia.[18] Yaitu pulau Waq-waq.[19]

Ada dua versi tentang kelahiran Hayy Ibn Yaqzham. Versi pertama : dia dilahirkan oleh seorang saudari raja yang dikawini Yaqzham secara rahasia. Karena ibu Hayy takut perkawinannya diketahui oleh raja, maka setelah Hayy lahir lalu dimasukkan ke dalam peti dan dihanyutkan ke laut (kepulauan India). Versi kedua : Hayy adalah anak alam, dalam arti tanpa ayah dan ibu.[20] Kisah lain menceritakan bahwa Hayy berasal dari tanah yang memerah dari perut bumi, kemudian diproses  menjadi seorang bayi. Dalam keadaan bayi, Hayy dipelihara oleh seekor Rusa yang kematian anaknya. [21] Sebagaimana lazimnya Rusa itu menyusui bayi itu dan sebaliknya bayi itu memandang Rusa yang menyusui itu sebagai ibunya. Hayy tumbuh dan berkembang. Dia mengenal alam lingkungan sekitarnya. Dia dikaruniai Allah kecerdasan yang luar biasa. Dia menemukan api, membuat berbagai alat, perkakas dan senjata. Bahkan sanggup mengenal hakikat tertinggi di alam wujud dan di alam metafisik. Dia dapat mengenal alam ini melalui jalan filsafat. Hal inilah yang mendorongnya berusaha melalui cahaya filosofis untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan (ittihat). Karena bersatu, berhubungan dengan Tuhan adalah pengetahuan sempuna dan kebahagian tertinggi yang berkesinambungan dan abadi. Untuk mencapai itu, Dia masuk ke dalam sebuah gua, berpuasa terus menerus selam 40 hari dan berusaha sekuat kuatnya untuk memisahkan akal pikirannya dari dunia luar dan dari badannya sendiri dengan jalan merenung dan memikirkan Zat Tuhan agar dapat berhubungan dengan-Nya. Akhirnya dia mendapatkan apa yang diinginkannya.

Hasimsyah Nasution secara rinci membagi  kehidupan Hayy menjadi 7 fase :

Fase Pertama : Hayy dipelihara oleh seekor Rusa, hingga dia dapat belajar tindak tanduk dan bahasa hewan. Dia menutupi tubuhnya, membuat tempat berteduh, dan mempersenjatai dirinya serta memulai menyimpan bahan mekanan.

Fase Kedua : Rusa yang memeliharanya mati. Hayy berusaha mengetahui penyebab kematian rusa itu. Dia berkesimpulan ada roh yang menjadi sentral dan bersifat immateri. Pada tahap ini pula dia mengetahui fungsi setiap anggota badan dan daya yang menggerakkannya.

Fase Ketiga : Dia mengetahui api, kesimpulannya adanya tertib alam dan akal budi.

Fase Keempat : Dia mengetahui kesatuan dan keberagaman pada jasad dan jiwa yang diamatinya. Pada tahap ini, akhirnya  sampai kepada generalisasi dan klasifikasi  berdasarkan kesatuan dan keberagaman itu.

Fase Kelima : Dia memperhatikan  benda-benda langit serta ketertiban dan keteraturan benda itu, sehingga dia mengetahui astronomi dan menyimpulkan adanya penggerak tertentu yang sama untuk semuanya.

Fase Keenam : Selain menemukan kepastian adanya penggerak yang disebut wajib wujud. Menurutnya asal alam yang meteri itu haruslah immateri dan wajib al-wujud.

Fase Ketujuh : pada usia 50 tahun, Hayy berkesimpulan bahwa Tuhan itu pasti baik dan bijaksana, sempurna dan penuh rahmat dan menjadi tujuan manusia. Karena itu puncak kebahagiaan hanya dicapai dengan selalu berhubungan dengan-Nya tampa henti dan melepas diri dari dunia meteri. Sehingga manusia sampai pada objek pengetahuan tertinggi, yaitu wajib al-wujud. Disinilah Hayy sampai kepuncak tafrid[22].

Di pulau lain terdapat masyarakat yang telah menerima seruan nabi. Pemukanya adalah Asal (Absal atau Isal) dan Salman-seorang penguasa yang karismatik. Absal lebih tertarik pada aspek batin syariat-memilih uzlah- dan cendrung menakwilkan secara filosofis. Sementara Salman-penguasa yang ramah-memahami secara zahir.

Suatu saat Hayy bertemu dengan  Absal. Absal menceritakan kebenaran yang diperoleh dengan wahyu. Sementara Hayy juga menceritakan pengalaman filsafatnya. Antara pengalaman keduanya tidak bertentangan. Lalu keduanya sepakat pergi ke tempat yang dikuasai oleh Salman. Pada mulanya masyarakat menyambut baik. Namun ketika mendakwahkan keyakinan suci mereka, pendudukpun menolaknya. Hal demikian karena penduduk Salman sebelumnya telah memahami agama secara zahir saja.  Akhirnya keduanya minta maaf dan kembali ke pulau asal Absal untuk melanjutkan kontemplasi sampai akhir hayatnya. Namun keduanya paham bahwa tidak semua orang paham akan filsafat.[23] Paling tidak ada dua kesimpulan sederhana tentang cerita diatas. Pertama : penjelasan mengenai penyesuaian filsafat dan agama. Hayy dilambangkan akal manusia dan Yaqzham dilambangkan Tuhan. Kedua : mengenai  jalan yang ditempuh oleh filosof islam yang menganut Neo-Platonisme.[24] Yang didalamnya terdapat unsur Platonism,Phithagoras, Aristoteles, Stoa (ar-Riwaqiyyah), suatu nama dari Fase Hellenisme Romawi dan tasawwuf timur. Disinilah Neo-Platonisme mengandung unsur kemanusiaan (hasil pemikiran manusia), keragaman dan keberhalaan.[25]

4.      Filsafatnya

Setelah mempelajari pemikiran para filosof islam yang telah mendahuluinya-terutama masalah makrifah, ternyata para filosof itu tidak terlepas dari kritikan pedasnya, baik itu terhadap Ibnu Bajjah, Al-Farabi, Ibn Sina maupun Al-Ghazali.

            “...dia mengkritik Ibnu Bajjah sebagai orang yang berpikiran singkat, tidak berpandangan jauh, membangun pikiran filsafatnya hanya atas kaidah-kaidah akal dan ligika, seraya  meremehkan dasar pengalaman lain  yang bersifat kasyf ruhani. Juga dia mengkritik al-Farabi sebagai filosof yang ragu-ragu, tidak memberi kepastian dalam masalah-masalah falsafi. Demikian pula dia mengkritik Ibn Sina sebagai seorang yang menulis kitab as-Sifa’, dimana dia mengatakan kitab itu ditulis berdasakan mazhab Aristoteles, sedangkan orang yang membaca kitab itu tidak menemukan  dalam kitab Aristoteles. Ibnu Thufail mengkritiknya karena gaya bahsa Ibnu Sina sangat kabur dan mendalam sehingga seringkali tidak dipahami maksudnya.[26]



   Adapun Al-Ghazali dipandangnya sebagai orang  yang banyak menulis untuk orang awam, sehingga menggambarkan sikap munafik-muka dua-dan tidak konsisten. Dalam buku Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mengkafirkan para filosof Islam yang tidak percaya akan dibangkaitkannya ruh dan jasad sekaligus pada hari akhirat. Namun dalam kitab al-Mizan dan al-Munqis min al-Dhalal, Al-Ghazali membenarkan dan menerima pendapat para filosof yang dikafirkannya itu. Dengan demikian, seakan-akan Al-Ghazali mengkafirkan dirinya sendiri.[27] Makanya Ibnu Thufail dalam penyajian filsafatnya menggunakan model tersendiri yaitu yang termuat dalam Hayy Yaqzham  yang penuh tamsil dan kadang sulit untuk dipahami. Namun untuk memahaminya bisa melihat kerangka dasarnya.[28]

Dalam muqaddimahnya, Ibnu Thuafail menjelaskan tujuan penulisan buku itu untuk menyaksikan kebenaran menurut cara yang ditempuh para ahl Zauq dan musyahadah yang telah mencapai tingkat kewalian. Ini tidak mungkin dijelaskan hakikatnya dengan kata-akata. Akan tetapi hanya bisa dengan lambang. Makanya penyajian  Hayy Ibn Yaqzham ditujukan agar orang mau menuruti jalan itu.

Selain itu, para ahli seperti Muhammad Ghalab mengatakan, ”tujuan risalah Hayy Ibn Yaqzham adalah menunjukkan bahwa akal mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran yang tidak bertentangan dengan agama”.[29] Sementara Harun Nasution  mengatakan, “… lewat kisah Hayy Ibn Yaqzhan ini dijelaskan keharmonisan antara akal dan wahyu. Akal dapat mengetahui  adanya Tuhan   dan kewajiban berterima kasih kepada-Nya, tetapi tidak tahu cara yang tepat untuk menyatakan terima kasih tersebut.”[30]



5.      Metafisika

Melalui  pengalaman hidup Hayy bin Yaqzham yang telah memperhatikan alam sekitar, sehingga dengan akalnya dia mengetahui adanya Tuhan, Ibnu Thufail mengemukakan tiga argumen, yaitu :

a.      Argumen gerak (al-Harakat)

Gerak alam ini menjadi bukti adanya Allah, baik bagi mereka yang meyakini  alam bharu maupun bagi mereka yang meyakini alam itu kadim. Adanya gerak ini menunjukkan secara pasti bahwa penggerak. Sesuatu yang bergerak tidak mungkin bergerak sendiri tanpa penggerak  yang berada diluar alam dan juga berbeda dengannya. Penggerak itu adalah Allah swt.[31]  Dalil adanya penggerak alam ini  sebagai bukti adanya Tuhan sebenarnya telah dikenal oleh para fillosof Islam yang diambil dari pemikiran Aristoteles.[32]

Salah satu kelebihan argumen gerak dalam membuktikan adanya Allah yaitu, bagi mereka yang meyakini alam itu qadim, penggerak itu berfungsi mengubah materi itu di alam dari potensial ke actual. Semetara bagi mereka yang yakin alam itu  baharu, penggerak itu berfungsi mengubah alam dari tidak ada menjadi ada. Argumrn gerak ini-sebagai bukti alam qadim dan baharunya- belum pernah dikemukakan oleh filosof Muslim manapun sebelumnya. Dengan argumen inilah Ibnu Thufail memperkuat argumentasi bahwa tanpa wahyu, akalpun dapat mengetahui adanya Allah.[33]

b.      Argumen materi (al-Madat) dan Bentuk (al-Shurat)

Hal ini didasarkan pada ilmu fisika yaitu :

·         Segala yang ada tersusun dari materi dan bentuk

·         Setiap materi membutuhkan bentuk

·         Bentuk tidak mungkin bereksistensi penggerak

·         Segala yang ada membutuhkan pencipta.

Dengan argumen ini, dapat dibuktikan adanya Allah sebagai Pencipta, tidak ber-awal dan tidak ber-akhir.

c.       Argumen al-Ghayah dan al-Inayah al-Ilahiyyah

Argumen ini pernah dikemukakan oleh Al-Kindi dan Ibn Sina sebelumnya, bahwa alam ini mempunyai tujuan tertentu. Ini merupakan Inayah dari Allah.[34]

Sementara tentang zat dan sifat Allah, Ibnu Thufail lebih cendrung mengambil paham mu’tazilah. Tuhan bersifat Bijaksana dan Adil, Dia tidak mungkin berbuat jahat dan bersifat zalim. Tidak mungkin Tuhan menghendaki manusia berbuat sesuatu yang bertentangan dengan  perintah-Nya. Namun manusialah yang mewujudkan perbuataan baik dan buruk, taat dan maksiat, iman dan kufur. Karenanya manusialah yang akan menanggung pembalasan atas perbuatannya kelak.[35] Allah Maha Kuasa, mengetahui akan Pebuatan-Nya dan Maha Bebas dalam segala kehendak-Nya. Namun dia tidak mungkin dapat dikhayalkan dan dirasai. Alasan Ibnu  Thufail adalah khayalan hanyalah berkenaan dengan hal-hal yang  indrawi saja. [36]

Lebih lanjut Ibnu Thufail membagi sifat Allah pada dua macam, yaitu :

1.      Sifat yang menetapkan wujud Allah,seperti Ilmu, kudrah, dan hikmah. Menurutnya, “sifat-sifat ini adalah Zat-Nya sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah banyak yang qadim pada Allah sebagaimana keyakinan Asy-Ariyah yang dipahami oleh Mu’tazilah.

2.      Sifat yang menafikan hal kebendaandari Zat Allah, sehingga Allah Maha Suci dari kebendaan.[37]

Dalam memahami Allah, Ibnu Thufail memadukan pemikiran Plato, Aristoteles, Neo-Platonius dan tasawwuf.  “… karena Allah itu wujud semata, wajib wujud dengan zat-Nya. Maka yang ada hanyalah Dia. Dia yang Maha Sempurna, Maha Indah lagi Baik ilmu dan kudrah, dan semua kesempurnaan dan keindahan berasal dan melimpah dari-Nya.”[38]

6.      Epistomologi

Ibnu Thufail mengatakan bahwa ma’rifat itu dimulai dengan panca indra, yakni dengan pengamatan dan perbandingan terhadap hal-hal indrawi. Adapun tentang hal yang bersifat metafisis maka orang dapat mengetahuinya dengan akal dan intuisi.[39] Karena itu Ibn Thufail menunjukkan dua jalan untuk sampai kepada objek pengetahuan tentang Tuhan. Jalan pertama adalah wahyu, seperti ditempuh oleh Asal, dan jalan kedua adalah filsafat semisal yang dilakukan Hayy.[40]

Dua jenis ma’rifat yang dilukiskan oleh Ibnu Thufail pada diri Hayy yang telah mampu mengetahui Tuhannya dengan akal dan kasyaf. Dengan demikian dia berpendapat bahwa orang tidak saja memperoleh hakikat dengan agama saja, tapi dengan akal orang dapat memperoleh hal yang serupa.[41] Menurut Ibn Thufail, “… kasyaf ar-Ruh bisa diperoleh dengan banyak latihan rohani secara sungguh-sungguh, karena dia bisa berkembang, bertingkat dan beragam”.[42]

Dari roman filsafat Hayy Ibn Yaqzhan yang dikisahkan oleh Ibnu Thufail tersebut, menggambarkan bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat (akal) dan agama (wahyu), sehingga terjadi rekonsiliasi antara keduanya.[43] Dari sinilah Harun Nasution berkomentar: “… Ibnu Thufaillah satu-satunya filosof Islam yang menulis buku khusus tentang keharmonisan antara akal dan wahyu, sungguhpun dalam bentuk kisah yang berjudul Hayy Ibn Yaqzham.”[44] Pendapat lain mengatakan : “… melalui epistomologi yang dikembangkan melalui tokoh Hayy dapat mengantarkan Ibnu Thufail kepada seorang filosof muslim yang naturalis mendahului Francus Bacon”.[45]

7.      Jiwa

Kosep Ibnu Thufail tentang jiwa sejalan dengan yang dikemukakan  oleh al-Farabi, yakni ada tiga katagori jiwa, yaitu : Pertama: jiwa fadhilah, yang kekal dalam kebahagiaan karena mengenal Tuhan dan terus mengarahkan perhatian dan renungan kepada-Nya. Kelak jiwa ini akan dimasukkan ke surga. Kedua : jiwa fasiqah, yaitu jiwa yang kekal dalam kesengsaraan dan tempatnya di neraka. Jiwa ini pada mulanya telah mengenal Allah, tetapi melupakannya dengan melakukan banyak maksiat. Ketiga : jiwa jahiliyah, yaitu jiwa yang musnah karena tidak pernah mengenal Allah sama sekali. Jiwa jenis ini sama halnya dengan hewan melata.[46]

Ibn Thufail menawarkan tiga jenis amaliyah yang harus diterapkan dalam hidup. Kadar penerapan amaliyah tersebut menjadi cermin keberhasilan seseorang untuk menyaksikan Wajib al-Wujud. Pertama : amaliyah yang menyerupai hewan. Menurut Ibnu Thufail amaliyah ini (memelihara tubuh dan memenuhi kebutuhan pokok) dibutuhkan tapi juga menjadi penghalang untuk meningkat kepada amaliyah berikutnya yang lebih tinggi. Kedua : amaliyah yang menyerupai benda angkasa, yaitu melakukan hubungan baik dengan  yang dibawahnya, dengan dirinya, dan dengan Tuhannya. Ketiga : amaliyah yang menyerupai Wajib al-Wujud. Yaitu dengan mencontoh amaliyah-amaliyah Wajib al-Wujud. Jenis amaliyah inilah yang akan mengantarkan pada kebahagiaan abadi.[47]





Daftar Pustaka :

1.      Daudy, Ahmad. 1986,  Kuliyah Filsafat Islam, Bulan Bintang. Jakarta.

2.      Hanafi, Ahmad. 1999, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang. Jakarta.

3.      Lapidus, Ira M. 2000. Sejarah Sosial Umat Islam. PT. Grafindo Persada. Jakarta.

4.      Nasution, Harun. 1985. Islam Dipandang Dari Segala Aspek. UI-Press. Jakarta.

5.      --------------------. 1999, Filasafat Islam, Gaya Media Pratama. Jakarta.

6.      --------------------  1986, Akal dan Wahyu Dalam Islam, UI-Press. Jakarta.

7.      --------------------  1986, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press. Jakarta.

8.      Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya. PT.Grafindo Persada. Jakarta.

9.      Nata, Abuddin. 1998, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawwuf, Dirosah Islamiyah IV. PT. Grafindo Persada. Jakarta.

10.  Syarif, MM. 1970, Dialektika Islam dalam Pemikiran Islam, CV Diponegoro. Bandung.

11.  Al-Ahwani, Ahmad Fuad. 1999,  Filsafat Islam, Pustaka Firdaus. Jakarta.

[1] Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI-Press, 1985, Jilid. II, hal. 55

[2] Syirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan filsafatnya,  Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 cet.I, hal. 205.

[3] Ibid.

[4] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawwuf: Dirosah Islamiyah IV, Jakarta: PT. Grafindo Persada Oktober 1998, cet. 4, hal. 102.

[5] Hasyimsyah Nasution, Filasafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, April 1999, cet. 1

[6] Abu Yusuf Ya’kub adalah putra Abu Yusuf Ya’kub al-Mansyur yang memimpin daulah Muwahhidin

[7] Ahmad Daudi, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, cet. III, hal. 144. Masalah waktu meninggalnya Ibnu Thufail, para sejarawan memiliki perbedaan. Ahmad Hanafi sependapat dengan Ahmad Daudi. Tapi Sirajddin Zar menyebutkan Ibnu Thufail meninggal pada 580 H/1184. lih. Sirajudin Zar, Op. Cit, hal. 206.

[8] Sirajudin Zar,  Op. Cit, hal. 206.

[9] Ibid.

[10] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam,  Jakarta: Bulan Bintang, 1999, cet. VI, hal. 161.

[11] Hasyimsyah Nasution, Op. Cit,  hal. 103

[12] Ibid, hal. 109.

[13] M.M. Syarif, Dialektika Islam dalam Pemikiran Islam, Bandung: CV. Diponegoro, Januari 1970, hal. 114.

[14] Ibid.

[15] Ibid

[16] Ira. M dan Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: PT. Raja  Grafindo Persada, Juni 2000, cet.II, hal. 616-618.

[17] Banyak para ahli sejarah menulis tentang Hayy Ibn Yaqzham secara khusus, seperti Faruq Sa’ad, Bakhtiar Husein shiddiqy, Yahya Qumairi, Abdul Hamid Mahmud, dan lain-lain. Namun teks aslinya semua bahasa Arab sehingga sudah diinterprestasi oleh para penterjemah..

[18] Harun Nasution, Akal Dan wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI-Press, 1986, cet. III, hal. 85.

[19] Dalam hal ini ada lagenda yang mengisahkan bahwa Adam diciptakan di pulau tersebut dan kemungkinan pulau tersebut disebut Cylon. Lih. Put not 20. oleh Hasyimsyah Nasution , Op. Cit, hal. 108.

[20] Kalaupun pendapat kedua itu benar, berarti lewat tulisannya Ibnu Thufail mendukung teori evolusi Darvin. Lih. Sirajuddin Zar, Op. Cit, hal. 209.

[21] Dalam hal ini ada yang juga mengatakan kijang betina (al-Dhabyu). Lih. Hasyimsyah nasution, Op. Cit, hal. 104.

[22] Tafrid adalah kondisi jiwa yang tenang dan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Istilah ini kita kenal dengan fana billah.

[23] Lih.Ibid, hal. 104-106

[24] Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, Juni 1999, cet. VIII, hal. 107.

[25] Lih. Ahmad Hanafi, Op. Cit,  hal. 31-38.

[26] Ahmad Daudy, Op. cit, hal. 145

[27] Sirajuddin Zar,Loc. Cit

[28] Hasyimsyah Nasutio, Op. cit, hal. 103.

[29] Ibid, hal. 108.

[30] Ibid, lih. Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta : UI-Press, 1986, hal. 96.

[31] Ahmad Daudy, Op. cit, hal. 148.

[32] Hasyimsyah Nasution, Op. cit, hal 110.

[33] Sirajuddin Zar, Op. Cit, hal.  213

[34] Ibid, hal. 212-215

[35] Harun Nasution,  Teologi islam,: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press, Jakarta, cet. 5, 1986, hal. 43.

[36] Hasyimsyah Nasution, Loc. Cit

[37] Ibid

[38] Ibid.

[39] Ahmad Daudy, Op. cit, hal 151-152

[40] Hasyimsyah Nasution,  Op. cit, hal. 111.

[41] Ahmad Daudy,  Op. Cit,  hal. 152.

[42] Hasyimsyah Nasution. Loc. Cit

[43] Sirojuddin, Op. Cit, hal. 219.

[44] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI-Press, 1986, cet. 2, hal. 84.

[45] Abuddin Nata, Op. Cit,  hal 104.

[46] Hasyimsyah Nasution, Op. Cit, hal. 122. Untuk lebih jelasnya lihat kembali pembahasan Al-Farabi

[47] Ibid.

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama