Oleh Abd Saleh dan Magdy Al-Shafy
Poligami bukan praktik yang terbatas pada agama Islam, tetapi telah dikenal dalam sejarah Ahli Kitab, orang-orang Yahudi dan Kristen. Hanya saja di akhir zaman, para agamawan mereka melarang begitu. Namun, ketika kita melihat ke sejarah awal agama, kita akan menemukan bahwa politigami merupakan praktek yang dapat diterima, jika tidak didorong.
Poligami dalam Yudaisme
Poligami ada di antara bangsa Israel sebelum zaman Musa. Mereka tidak membatasi jumlah perkawinan yang bisa dilakukan seorang suami.
Mari kita lihat beberapa ayat dari Perjanjian Lama yang membolehkan poligami. Dalam kitab Keluaran 21:10, seorang pria dapat menikah dengan wanita tanpa batas. Dalam kitab Samuel 5:13; 1 Tawarikh 3:1-9, 14:3, Raja Daud memiliki enam istri dan sejumlah selir. Dalam Raja-raja I ayat 11:3, Raja Salomo mempunyai 700 istri dan 300 selir. Dalam Tawarikh II 11:21, Salomo putra Raja Rehabeam mempunyai 18 istri dan 60 selir. Dalam kitab Ulangan 21:15 “Apabila seorang mempunyai dua orang isteri , yang seorang dicintai dan yang lain tidak dicintainya, dan mereka melahirkan anak-anak lelaki baginya, baik isteri yang dicintai maupun isteri yang tidak dicintai, dan anak sulung adalah dari isteri yang tidak dicintai.”
Ada lebih banyak ayat dari Perjanjian Lama yang membolehkan poligami.
Encyclopedia Yahudi menyatakan: “Sementara tidak ada bukti tentang poliandri primitif di tengah masyarakat Yahudi, poligami tampaknya telah menjadi lembaga mapan, berasal dari masa yang paling kuno dan modern yang relatif bertahan hingga hari ini.”
Praktek umum lainnya adalah mengambil selir. Di kemudian hari, Talmud Yerusalem membatasi sesuai kemampuan suami untuk menjaga istri dengan baik. Namun beberapa rabi menasihati bahwa seorang laki-laki tidak boleh lebih dari empat istri. Poligami dilarang dalam Yudaisme oleh para rabbi, bukan Tuhan.
Rabbi Gershom ben Yehuda terbilang orang yang melarang poligami pada abad ke-11. Namun poligami masih dipraktikkan di antara 180.000 Israel nomad. Ia juga sering terjadi di antara orang-orang Yahudi yang tinggal di Yaman, dimana rabi mengizinkan orang Yahudi untuk menikah hingga empat istri. Dalam Israel modern, di mana seorang istri tidak dapat melahirkan anak atau secara mental sakit, para rabi memberikan suami hak untuk menikahi wanita kedua tanpa menceraikan istri pertamanya.
Poligami dalam Agama Kristen:
Sejarah mengatakan bahwa poligami dipraktekkan di kalangan orang Kristen, tampaknya ada beberapa resolusi yang menghentikannya. Pada abad kedelapan Charlemagne memegang kekuasaan atas gereja dan negara, dan ia sendiri mempraktekkan poligami. St Agustinus tampaknya telah mengamati bahwa di dalam poligami tidak ada unsur percabulan atau dosa, dan menyatakan bahwa poligami itu bukan suatu kejahatan.
Dalam buku The Good of Marriage (pasal 15, ayat 17), ia menyatakan bahwa poligami itu sah dilakukan para uskup di masa lalu.” Dia menolak untuk menghakimi para leluhur, tapi tidak menyimpulkan dari praktek mereka untuk menerima poligami. Selama Reformasi Protestan, Martin Luther berkata, "Aku akui bahwa jika seorang pria ingin menikah dua istri atau lebih, saya tidak bisa melarang karena hal itu tidak bertentangan dengan Kitab Suci.”
Gereja-gereja Afrika telah lama mengakui poligami. Di awal sejarahnya, The Church of Jesus Christ of Latter-day Saints mempraktikkan poligami di Amerika Serikat. Ada beberapa kelompok murtad yang meninggalkan gereja setelah gereja melarangnya. Poligami di antara kelompok-kelompok ini tetap berlangsung hingga hari ini di Utah, juga di negara-negara tetangga, maupun di antara individu yang terisolasi dari afiliasi gereja dan tidak terorganisir.
Menurut Pastur Eugene Hillman, “Dalam Perjanjian Baru tidak ada perintah eksplisit bahwa perkawinan harus monogami, ataupun perintah eksplisit yang melarang poligami.” Gereja di Roma melarang poligami dalam rangka untuk menyesuaikan diri dengan budaya Yunani-Romawi yang mengajarkan monogamis di satu sisi, namun mengesahkan pergundikan dan pelacuran di sisi lain.
Dalam Alkitab, Yesus tidak pernah menolak ajaran lama, bahkan ia mengatakan, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” (Matius 5:17-18).
Poligami bukan praktik yang terbatas pada agama Islam, tetapi telah dikenal dalam sejarah Ahli Kitab, orang-orang Yahudi dan Kristen. Hanya saja di akhir zaman, para agamawan mereka melarang begitu. Namun, ketika kita melihat ke sejarah awal agama, kita akan menemukan bahwa politigami merupakan praktek yang dapat diterima, jika tidak didorong.
Poligami dalam Yudaisme
Poligami ada di antara bangsa Israel sebelum zaman Musa. Mereka tidak membatasi jumlah perkawinan yang bisa dilakukan seorang suami.
Mari kita lihat beberapa ayat dari Perjanjian Lama yang membolehkan poligami. Dalam kitab Keluaran 21:10, seorang pria dapat menikah dengan wanita tanpa batas. Dalam kitab Samuel 5:13; 1 Tawarikh 3:1-9, 14:3, Raja Daud memiliki enam istri dan sejumlah selir. Dalam Raja-raja I ayat 11:3, Raja Salomo mempunyai 700 istri dan 300 selir. Dalam Tawarikh II 11:21, Salomo putra Raja Rehabeam mempunyai 18 istri dan 60 selir. Dalam kitab Ulangan 21:15 “Apabila seorang mempunyai dua orang isteri , yang seorang dicintai dan yang lain tidak dicintainya, dan mereka melahirkan anak-anak lelaki baginya, baik isteri yang dicintai maupun isteri yang tidak dicintai, dan anak sulung adalah dari isteri yang tidak dicintai.”
Ada lebih banyak ayat dari Perjanjian Lama yang membolehkan poligami.
Encyclopedia Yahudi menyatakan: “Sementara tidak ada bukti tentang poliandri primitif di tengah masyarakat Yahudi, poligami tampaknya telah menjadi lembaga mapan, berasal dari masa yang paling kuno dan modern yang relatif bertahan hingga hari ini.”
Praktek umum lainnya adalah mengambil selir. Di kemudian hari, Talmud Yerusalem membatasi sesuai kemampuan suami untuk menjaga istri dengan baik. Namun beberapa rabi menasihati bahwa seorang laki-laki tidak boleh lebih dari empat istri. Poligami dilarang dalam Yudaisme oleh para rabbi, bukan Tuhan.
Rabbi Gershom ben Yehuda terbilang orang yang melarang poligami pada abad ke-11. Namun poligami masih dipraktikkan di antara 180.000 Israel nomad. Ia juga sering terjadi di antara orang-orang Yahudi yang tinggal di Yaman, dimana rabi mengizinkan orang Yahudi untuk menikah hingga empat istri. Dalam Israel modern, di mana seorang istri tidak dapat melahirkan anak atau secara mental sakit, para rabi memberikan suami hak untuk menikahi wanita kedua tanpa menceraikan istri pertamanya.
Poligami dalam Agama Kristen:
Sejarah mengatakan bahwa poligami dipraktekkan di kalangan orang Kristen, tampaknya ada beberapa resolusi yang menghentikannya. Pada abad kedelapan Charlemagne memegang kekuasaan atas gereja dan negara, dan ia sendiri mempraktekkan poligami. St Agustinus tampaknya telah mengamati bahwa di dalam poligami tidak ada unsur percabulan atau dosa, dan menyatakan bahwa poligami itu bukan suatu kejahatan.
Dalam buku The Good of Marriage (pasal 15, ayat 17), ia menyatakan bahwa poligami itu sah dilakukan para uskup di masa lalu.” Dia menolak untuk menghakimi para leluhur, tapi tidak menyimpulkan dari praktek mereka untuk menerima poligami. Selama Reformasi Protestan, Martin Luther berkata, "Aku akui bahwa jika seorang pria ingin menikah dua istri atau lebih, saya tidak bisa melarang karena hal itu tidak bertentangan dengan Kitab Suci.”
Gereja-gereja Afrika telah lama mengakui poligami. Di awal sejarahnya, The Church of Jesus Christ of Latter-day Saints mempraktikkan poligami di Amerika Serikat. Ada beberapa kelompok murtad yang meninggalkan gereja setelah gereja melarangnya. Poligami di antara kelompok-kelompok ini tetap berlangsung hingga hari ini di Utah, juga di negara-negara tetangga, maupun di antara individu yang terisolasi dari afiliasi gereja dan tidak terorganisir.
Menurut Pastur Eugene Hillman, “Dalam Perjanjian Baru tidak ada perintah eksplisit bahwa perkawinan harus monogami, ataupun perintah eksplisit yang melarang poligami.” Gereja di Roma melarang poligami dalam rangka untuk menyesuaikan diri dengan budaya Yunani-Romawi yang mengajarkan monogamis di satu sisi, namun mengesahkan pergundikan dan pelacuran di sisi lain.
Dalam Alkitab, Yesus tidak pernah menolak ajaran lama, bahkan ia mengatakan, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” (Matius 5:17-18).
Posting Komentar