Oleh Akh Muhammad Ramdhoni
Pada awal kemunculan Islam terutama pada masa Rasulallah saw dan Shahabat, tidak dibedakan antara Ulama dan Penguasa (umara), karena pada waktu itu orang yang paling paham terhadap Islam dialah yang menjadi pemimpin. Jika kita lihat pribadi Rasulallah, maka akan kita dapati bahwa beliau selain seorang Rasul juga seorang pemimpin (negarawan) yang handal, begitupun Khulafaur Rasyidin setelahnya, selain orang yang paham terhadap agama mereka juga negarawan yang mumpuni.
Tapi kondisi ini berubah ketika sistem kepemimpinan dalam sejarah Islam beralih dari kekhalifahan yang dipilih berdasarkan kapabelitas dan musyawarah berubah menjadi dinasti atau kerajaan. Pada masa ini kepemimpinan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain, sehingga tidak melihat keilmuan dan kemampuan tetapi melihat keturunan. Keadaan ini berlangsung hingga jatuhnya Turki Utsmani, bahkan di beberapa Negara Islam sistem semacam ini masih dipergunakan. Maka setelah jaman khulafaur rasyidin hingga sekarang, terjadi dikotomi antara Ulama (da’i) dengan penguasa.
Kedekatan para da’i terhadap para penguasa dan bergaul bersama mereka adalah seumpama senjata yang yang mempunyai dua mata, yaitu : Pertama, Keberhasilan untuk bisa menasihati para penguasa dan menggunakan fasilitas kekuasaan untuk berdakwah. Ini adalah hal yang diharapkan dan patut disyukuri. Kedua, mengakibatkan hancurnya umat Islam , karena para da’i atau ulama disetir oleh penguasa sehingga ulama (da’i) digunakan untuk melanggengkan kekuasaan.
Sesungguhnya bergaul dengan para penguasa akan menjauhkan seseorang dari kebaikan, kecuali penguasa yang dirahmati Allah. Dan orang seperti ini sangat sedikit sekali pada masa kita sekarang. Kebanyakan penguasa adalah orang yang merajut proyek-proyek yang membuat umat Islam menjadi ragu dan terkuasai, baik dengan kebodohan atau pengetahuan.
Imam Abu al-Faraj Abdurrahman az-Zauzi dalam kitabnya Shaidul Khatir bercerita tentang pengalamannya dalam masalah kedekatan terhadap para penguasa seraya berkata : “ Ketika aku masih remaja, aku menempuh jalan orang-orang zuhud dengan membiasakan puasa, shalat dan berkhalwat, maka aku mendapatkan hati yang baik dan tenang, dan ternyata pandanganku menjadi kuat dan tajam. Kondisi itu berakhir dengan munculnya tindakan sebagian para penguasa dimana mereka memuji kata-kataku, kemudian berusaha untuk membuatku cenderung kepadanya. Maka kepribadianku pun terkalahkan dan mengikuti apa yang mereka inginkan yang pada akhirnya hilanglah semua kenikmatan yang pernah kudapatkan.
Kemudian yang lainnya juga berusaha untuk membuat aku cenderung kepada mereka tetapi aku berusaha untuk tidak bergaul dengan mereka juga tidak makan dan minum bersama mereka karena takut dengan syubhat. Kondisi ketika itu sangat meragukan. Kemudian datanglah sebuah takwil yang memberikan keleluasaan terhadap sesuatu yang dibolehkan, maka hilanglah apa yang aku pernah dapatkan dari cahaya kebenaran, dan ternyata bergaul dengan mereka menimbulkan kegelapan dalam hati sehingga hilanglah semua cahaya.
Maka aku tertarik dengan kelembutan Tuhanku dan mengembalikan hatiku yang tadinya menjauh, serta memperlihatkan kepadaku aib-aib yang kulakukan, sehingga aku sadar dan terbangun dari kelalaian.
Kondisi seperti ini menimpa mayoritas orang-orang yang terlalu bebas atau terlalu longgar dalam melakukan pergaulan dengan para penguasa baik dikarenakan takut atau ada kepentingan, atau adanya ketertarikan di balik semua keuntungan yang akan mengantarkan kepada kedudukan sebagai penguasa atau sebagai orang yang terhormat, selain daripada tercapinya kemaslahatan-kemaslahatan pribadi dan kepentingan duniawi.
Berapa banyak orang Islam yang termakan oleh mulut kekuasaan dan ditelan oleh istana-istana para penguasa, juga berapa banyak aktivis dakwah yang bergabung dengan para penguasa kemudian meninggalkan dakwahnya dan berkhianat terhadap amanat serta membatalkan pejanjian serta mencela saudaranya dalam kesucian.
Walaupun demikian bukan berarti kita memberontak atau melakukan perlawanan fisik kepada para penguasa tetapi kita berkewajiban mengingatkan penguasa yang melakukan kekeliruan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dan hadits Rasulallah.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisaa : 59)
Rasulallah saw. bersabda:“Seorang muslim wajib mendengar dan taat kepada penguasa terhadap segala sesuatu yang dia sukai maupun tidak dia sukai selama tidak diperintah untuk bermaksiat. Jika diperintah untuk bermaksiat, maka tiada lagi mendengar dan taat.”(HR. Bukhori dan Muslim)
Sabdanya pula :
“Akan ada penguasa-penguasa yang kalian ketahui dan kalian ingkari; siapa yang mengingkari maka ia berlepas tangan, siapa yang mengingkari maka dia akan selamat, namun orang yang ridho dan yang mengikut,”Mereka berkata, ”Bolehkah kami memerangi mereka?”Beliau SAW bersabda, Tidak, selama mereka masih shalat.”(HR. Muslim [3/1480]).
Dalam riwayat lain Rasulallah bersabda :
“Kecuali kalian telah melihat kekufuran yang nyata, dan kalian memiliki bukti dari Allah.”(Mutafaqun ‘Alaih).
Dalam Tuhfat al Ahuthi, Al-Tirmidzi mengatatakan bahwa, “Seseorang yang mengunjungi penguasa dan memujanya, akan jatuh dalam fitnah, tapi seseorang yang mengunjungi penguasa namun tidak punya kepentingan apa-apa (tidak memujanya) tapi malah memberikannya nasihat dan bergabung dengannya dalam kebaikan, melarangnya berbuat kemunkaran, maka kunjungannya kepada penguasa menjadi jihad terbesarnya.”
Maka sudah sepatutnya bagi para da’i untuk senantiasa melaksanakan dakwah, baik itu kepada rakyat biasa terlebih lagi kepada para penguasa yang melakukan kekeliruan.
Posting Komentar