ORANG YANG MENGINGINKAN ANAKNYA UNTUK BERJUANG


.


وَقَالَ اللَّيْثُ حَدَّثَنِى جَعْفَرُ بْنُ رَبِيعَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هُرْمُزَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - عَنْ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ «قَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ - عَلَيْهِمَا السَّلاَمُ - لأَطُوفَنَّ اللَّيْلَةَ عَلَى مِائَةِ امْرَأَةٍ - أَوْ تِسْعٍ وَتِسْعِينَ - كُلُّهُنَّ يَأْتِى بِفَارِسٍ يُجَاهِدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ، فَقَالَ لَهُ صَاحِبُهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ . فَلَمْ يَقُلْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ .فَلَمْ يَحْمِلْ مِنْهُنَّ إِلاَّ امْرَأَةٌ وَاحِدَةٌ جَاءَتْ بِشِقِّ رَجُلٍ ، وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ ، لَوْ قَالَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ ، لَجَاهَدُوا فِى سَبِيلِ اللَّهِ فُرْسَانًا أَجْمَعُونَ »

Telah diceritakan kepada kami Ja’far bain Robi’ah dari Abdurrahman Ibnu Hurairah ia berkata: Saya mendengar dari Abi Hurairah radiyallah huanhu dari Rasulullah saw Beliau bersabda: “Nabi Sulaiman bin Dawud berkata: “Saya pasti akan menggilir istri-istriku dalam satu malam saratus atau sembilan puluh sembilan, dan dari rahim-rahim mereka pasti akan melahirkan anak yang senantiasa berjuang dijalan Allah Swt, maka sahabiyah[1] berkata: Katakanlah “Insya Allah” maka ia tidak mengatakan “Insya Allah” maka dari mereka tidak melahirkan satupun yang akan berjuang di jalan Allah tersebut kecuali ada satu yang melahirkan, itupun setengah manusia kemudain ia meninggal dunia, maka Nabi Muhammad bersabda: “Seandainya Sulaiman mengatakan” Insya Allah” maka Allah akan melahirkanya anak-anak yang senantiasa berjuang dengan pasukan berkuda”.

A. Mukaqdimah

Dengan rasa kerendahan diri kita di hadapan Allah maka sepantasnyalah kita ucapkan, segala puji bagi Allah Swt yang telah menciptakan langit dan isinya yang banyak terkandung didalamnya terdapat banyak nikmat sehingga manusia tak mampu untuk menghitungnya walaupun hanya sedikit nikmat yang diberikan Allah kepada seluruh hambanya yang ada di dunia ini. Shalawat teriring salam semuga tercurah limpahkan
kepada Nabi kita yaitu Nabi Muhammad saw yang senantiasa berjuang demi tegaknya kalimat “laila haillallah” di muka bimi ini, dan alham dulilah Beliau berhasil dengan izin Allah

B. Tahkrij Hadits

Hadits ini terdapat dikitab shahih Bukhari, kitabunnikah, bab, qaulirrajul, no hadits, 5242, hal. 1136. Kitabul Iman, bab, Kaifa kanat yaminul anbiya’, no hadits, 6639, hal. 1396 Kitab kaffarat, bab, istisna’ fil iman, no hadits, 672, hal.1412. Kitab Tauhid, bab, fimasyiati wal iradhah, no hadits, 7419, hal. 1567

C. Biografi Rawi

Abu Hurairah, belaiu masuk Islam pada tahun ke 7 H. Yaitu pada saat terjadinya perang khaibar dan ikut serta dalam perang itu. Setelah itu ia selalu menyertai Rasulullah saw.[2] ia masuk Islam karena dorongan kecintaan dan kerinduan terhadap Islam, semenjak bertemu dengan Nabi saw, hampir ia tidak pernah berpisah lagi dengan Rasulullah kecuali pada saat-saat waktu tidur, ia berjalan bersamanya (Rasulullah) kurang lebih dari empat tahun[3].

Kebanyakan kaum muslimin tidak mengetahui nama asli Abu Hurairah, ada beberapa pendapat dalam hal itu akan tetapi dari sekian banyak pendapat, pendapat inilah yang mendekati kebenaranya, sebagaimana di jelasakan oleh Imam An-Nawawi, nama asli Abu Hurairah yaitu: Abdurrahman bin syakr, kemudian di beri gelar Abu Hurairah karena ia dahulu sering berteman dengan kucing yang jinak dan kemudian beliau diberi kunyah demikian. Abu Hurairah sangat mudah menghafal hadits karena ia di doakan langsung oleh Nabi Muhammad supaya bagus hafalanya, dan Nabi memberi kesaksian atas semangatnya dalam mencari ilmu hadits. Dan ia wafat di Madinah pada tahun 57 H. Riwayat haditsnya kurang lebih mencapai 5374 hadits.[4]

D. Setiap Nabi Senantiasa Mengajak Untuk Berjihad

Sesungguhnya para Nabi senantiasa mengajak kepada manusia selalu untuk berjihad di jalan Allah. Oleh karena itu Nabi Sulaiman berkata: “Saya pasti akan menggilir istri-istriku dalam satu malam saratus atau sembilan puluh sembilan, dan dari rahim-rahim mereka pasti akan melahirkan anak yang senantiasa berjuang dijalan Allah Swt“. Dan ini merupakan penegasan atas pengajakan yang agung untuk jihad fisabililah. Karena hanya bermaksud untuk mendatangkan kemenangan dan penyampaian kepada para mujahidin. Dan dalam hal ini Allah tidak menginginkan untuk tidak mengatakan “Insya Allah” seyokyanya bagi seorang da’i senantiasa mengajak untuk berjihad di jalan Allah dan mengikhlaskan niatnya hanya siap untuk berjihad di jalan Allah swt.

E. Pentingnya Perkataan Kaum Muslimin Untuk Mangatakan “Insya Allah” atas Perbuatan yang Akan di Kerjakan Dimasa yang Akan Datang

Hadits tersebut menunjukkan atas pentingya perkataan kaum muslimin untuk mengatakan “Isnsya Allah” atas suatu perbuatan yang akan di kerjakan di masa yang akan datang dan hanyalah Allah semata yang mengetahuinya, dan hadits tersebut juga menjelaskan tentang lupanya Nabi Sulaiman untuk mengatakan “Insya Allah” tersebut sehingga keinginannya tidak tercapai. Oleh karena itu Nabi Muhammad bersabda: “Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, seandainya ia (Nabi Sulaiman) mengatakan Insya Allah maka Allah akan menghendaki untuk melahirkan dari istri beliu anak yang yang senantiasa berjuang di jalan Allah”. Dalam riwayat lain di jelaskan : “Seandainya ai Nabi Sulaiman mengatakan “Insya Allah” maka ia tidak akan merusak sumpahnya. Maka sesungguhnya Allah memerintahkan hal tersebut dalam al-Qur’an

Ÿwur £`s9qà)s? >äô“($t±Ï9 ’ÎoTÎ) ×@Ïã$sù šÏ9ºsŒ #´‰xî ÇËÌÈ HwÎ) br& uä!$t±o„ ª!$# 4 ä.øŒ$#ur š­/§‘ #sŒÎ) |MŠÅ¡nS ö@è%ur #Ó|¤tã br& Ç`tƒÏ‰ôgtƒ ’În1u‘ z>tø%L{ ô`ÏB #x‹»yd #Y‰x©u‘ ÇËÍÈ

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya Aku akan mengerjakan Ini besok pagi. Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah", dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini".

Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan tetang ayat tersebut di atas ia merupakan binbingan Allah kepada Rasulullah mengenai ketika jika hendak melakukan sesuatu pada masa yang akan datang maka hendaklah segala sesuatunya dikembalikan hanya kepada yang maha mengetahui yang ghiab (Allah).

Asbabun nuzul ayat tersebut ialah: Menurut riwayat, ada beberapa kaum quraisy bertanya kepada Nabi Muhammad tentang roh, kisah ashhsbul kahfih (penghuni gua) dan kisah dzulkarnain lalu Beliau menjawab, datanglah besok pagi kepadaku agar aku ceritakan permintaanmu. Dan Beliau tidak mengucapkan “Insya Allah” (jika Allah menghendaki). Tapi kiranya sampai besok harinya wahyu terlambat datang untuk menceritakan hal-hal tersebut dan Nabi tidak bisa menjawabnya. Maka turunlah ayat tersebut (al-kahfih:23-24) di atas sebagai pelajaran bagi Nabi saw dan Allah mengingatkan pula bila mana Nabi tersebut lupa untuk mangatakan “Insya Allah” maka haruslah mengatakan lafazd tersebut.

Allah berfirman: “Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila kamu lupa” ya’ni apabila kamu lupa untuk mengatakan “Insya Allah” terhadap sesuatu yang akan dikerjakanya di masa yang akan datang maka diusahakanlah hal tersebut tidak terulang dan segara bertaubat. Oleh karena itu untuk menghindari hal tersebut jika akan melakukan sesuatu yang akan datang maka katakanlah “Insya Allah” jika kamu ingat. Ibnu Abbas berkata; ayat ini berkenaan dengan ayat sumpah, jika ia hendak mengatakan “Insya Allah“ walaupun bersumpah yang dimaksudkan tersebut hukumnya sunnah.[5]

F. Melakukan Perantara Tidak Meniadakan Tawakal

Tidak ada keraguan dalam melakukan amalan dengan sebab yang seharusnya melakukan perantara dan tidak meniadakan tawakkal kepada Allah, dan wajib bagi kita untuk melakukan perantara tersebut dengan perantara sebab-sabab ketekunan hati kepada Allah Swt dalam memelihara tersebut. Ibnu Hajar Allah yarham beliau menjelaskan bahwa ini menjelaskan keutamaan orang yang berbuat baik sebagaimana telah di contohkan oleh Nabi Sulaiman, Beliau mengerjakan dengan bersumpah sebagai taukit atau penguat atas keyakinanya untuk menggilir istri-istrinya, dan ini merupakan suatu yang agung sebab atau sampainya suatu perkara atas pencapainya.

Maka dari itu sepantasnyalah bagi seorang da’i menggukan metode-metode dalam berda’wah di jalan Allah azza wajalla dengan melakukan perantara tersebut, akan tetapi sama sekali tidak boleh meniadakan Allah Swt.

G. Metode Da’wah Dengan Qishah (cerita)

Qishah cerita dalam al-Qur’an nulkarim dan hadits shahih merupakan saran pentingnya dalam metode da’wah sebagai pedoman dalam jiwa, dan hadits tersebut juga menunjukkan metode-metode da’wah seperti ini, sebagaimana di jelaskan kepada kita tentang kisah Nabi Sulaiman tersebut, merupakan seuatu ketentuan dari Allah (Qadarullah) sebagai perbaikan atau keindahan untuk memperhatikan dalam metode da’wah bagi siapa yang mementingkan untuk menyampaikannya.

H. Kejelian Para Salafasshalih Dalam Menukil Hadits

Hadits tersebut juga menunjukkan pentingya perhatiannya para salafusshalih dalam menukil sebuah hadits ketika mau disampaikanya, diantara hadits tersebut di atas, maka hadits tersebut pula telah di tetapkan dengan perkataan Nabi Sulaiman as, dengan perkataanya: “Saya pasti akan menggilir istri-istriku dalam satu malam seratus atau Sembilan puluh Sembilan”. Maka Ibnu Jamrah berkata: Ada seorang rawi yang ragu dalam hadits tersebut apakah ia benar-benar menggilir istri-istrinya dalam satu malam seratus atau Sembilan puluh Sembilan, akan tetapi walaupun demikian hadits tersebut menjelaskan tentang pentingnya pengunkapan atas kejelian untuk disampaikan dan di pindahkan sebagaimana yang dilakukan para salafushalih.

I. Sifat Da’i Adalah Niat Sifat yang Baik

Diantara beberapa sifat da’I yang harus dimiliki yaitu menanamkan niat yang baik dalam prilaku keseharianya, dan senantiasa mengamalkanya. Sedangkan pengertian niat itu sendiri secara bahasa ialah: al-qasdu menyengaja, sedangkan menurut istilah ialah: Kuatnya untuk melakukan sesuatu ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.[6]

Niat yang baik merupakan sifat yang agung dan terpuji, sebagaimana hadits tersebut menunjukkan dalam hal tersebut (niat merupakan sifat yang baik dan terpuji), sebagaimana perkataan Nabi Sulaiman as: “Dan dari setiap rahim-rahim mereka pasti akan melahirkan anak yang senantiasa berjuang di jalan Allah”. Dan Ibnu Jamrah dalam bukunya al-fawaid atau faidah-faidah, hadits tersebut menunjukkan sesungggunya Sulaiman berkata: “Kekuatan pengharapan dalam penyampaian sesuatu maka ia lebih berarti jika berdasarkan niat yang baik, maka sesungguhnya penjelasan bagi orang mukmin itu merupakan lebih kepada amalannya, sehingga ia mampu tetap mengikat niatnya dengan kebaikan maka ia akan merasakan nikmatnya kebaikan tersebut, begitu juga sebaliknya dan barang siapa yang tidak bisa mempertahankan kebaikanya atau lalai dalam memelihara kebaikan tersebut maka niat kebaikanya ia sampai hanya kepada niat saja, dan apabila orang muslim melakukan sesutu dengan niat yang baik khususnya bagi orang yang menyeru kepada Allah maka akan menjadi banyak amalan-amalan yang bernilai ibadah walaupun perbuatan bentuknya mubah, akan tetapi walaupun bernilai mubah apabila bisa dikerjakan dengan niat yang baik hanya karena Allah maka Allah akan menolongnya”.

J. Metode Da’wah Penekanan Dengan Sumpah

Metode da’wah penekanan dengan sumpah merupakan salah satu yang sangat penting dalam berda’wah dan dalam pendekatan dengan menggunakan makna-makna dan penekanan yang senantisa di tetapkan dalam hati dan selalu di pelihara dalam kejujuran. Dalam hal ini sudah di jelaskan dalam hadits Nabi: “Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya seandainya ia (Sulaiman) mengatakan “jika Allah menghendaki” maka Allah akan melahirkan melaluli rahim-rahim mereka anak yang senantiasa berjuang di jalan Allah” dan ini merupakan salah satu perkataan dari Nabi Sulaiman: “Aku pasti akan menggilir istri-istriku dalam satu malam seratus”.

Maka seyogyalah bagi para setiap da’i menggunakan diantara metode-metode tersebut dalam berda’wah di jalan Allah azza wajalla, seperti halnya yang di lakukan Nabi kita yaitu Nabi Muhammad saw.

K. Pentingnya Saling Mengingati Diantara kita Walaupun Lebih Agung

Hadits tersebut sudah jelas dalam menerangkan pentingnya saling mengingati di antara kita (sesama manusia) satu sama lain walaupun kedudukanya tidak sama atau jauh beda dalam hal ini telah dibuktikan oleh para Malaikat ketika mengingatkan Nabi Sulaiman as, ketika ia tidak mengatakan lafazd “Insya Allah” (jika Allah menghendaki), dan hadits tersebut juga menjelaskan pentingnya mengingati orang lain yang baginya lebih tinggi kedudukanya yang lebih darinya yang mengikatnya, baik itu merupakan kedudukan yang bentuknya tahta, martabat, atau keturunan ningrat, maka tidak ada rasa rendah diri dalam hal ini sebagaimana telah di contohkan oleh Nabi Muhammad saw Belaiu bersabda: “Sesungguhnya aku adalah manusia biasa seperti kamu, saya juga pelupa sebagaimana kamu pelupa, dan apabila aku lupa maka ingatilah aku, dan pengetahuan merupakan keutamaan dari sang pencipta, dan Beliau orang maksum sebagaimana yang telah di khabarkan oleh Allah Swt”.

Oleh sebab itu selayaknyalah bagi du’at menggunakan di antara metode-metode tersebut dalam berda’wah dijalan Allah Swt seperti halnya yang telah di ajarkan oleh Nabi Muhammad saw.

KESIMPULAN

Hadits tersebut di atas menunjukkan pemahaman secara global ia menjelaskan tentang pentingnya mengatakan lafazd “Insya Allah” apabila ingin mengerjakan sesuatu pekerjaan yang belum pasti akan di kerjakannya atau tidak, dan semua itu dikembalikan hanya kepada Allah (Qadarullah) ketentuan Allah di situlah pentingnya mengatakan lafazd “Insya Allah” Jika Allah menghendaki.

Dan hadits tersebut juga menjelaskan tentang beberapa pelajaran yang dapat di petik seperti : Setiap Nabi selalu mengajak untuk berjihad di jalan Allah. Pentinggnya perkataan kaum Muslimin untuk mengatakan “Insya Allah” atas suatu perbuatan yang akan di kerjakan di masa yang akan datang, Melakukan perantara dan tidak meniadakan tawakkal. Metode da’wa qishah (cerita), perhatian ulama’ salaf atas kejelian dalam menukil hadits sebagai materi da’wah dan pentinganya saling mengingati manusia (di antara kaum muslimin)

REFENSI

Ø Lebih kepada terjemah teks hadits yang ada di dalam bukunya

Ø Al-Qahthani sa’id Ibnu Ali bin Wahaf, fighu da’wah fi shahih Bukhari, juz,1

Ø al-Baghawi Muhyidin Mitsu, Mustaf Diep, al-wafi, ’ terj, Muhil Dhafir, Jakarta: al-Ittisham, 1998

Ø Khalid Muhammad khalid, kratistik peri hidupa enam puluh sahabat Rasulullah, terj, syaf, Bandung: CV dipenigoro, 1983

Ø Shalih al-ustaimin bin Syek Muhammad, Syarah hadits arbain, terj, Abu Hasan Shirajuddin Hasan Basri, Jakarta: Pustaka Ibnu katsir, 2008, cet.1

Ø Ibnu Katsir, jilid, III,

[1] Sahbiyah yaitu malak (malaikat)

[2] Mustafa Diep al-Baghawi Muhyidin Mitsu, al-wafi, ’ terj, Muhil Dhafir, Jakarta: al-Ittsham, 1998, cet.X, hal.423

[3] Khalid Muhammad khalid, kratistik peri hidupa enam puluh sahabat Rasulullah, terj, syaf, Bandung: CV dipenigoro, 1983, hal.489

[4] Syek Muhammad bin Shalih al-ustaimin, syarah hadits arbain, terj, Abu Hasan Shirajuddin Hasan Basri, Jakarta: Pustaka Ibnu katsir, 2008, cet.1, hal. 209

[5] Ibnu Katsir, jilid, III, hal. 129

[6] Syek Muhammad bin Shalih al-Ustaimimn. Op, Cit, hal. 13


1/Post a Comment/Comments

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama