T A F S I R M U N I R


Oleh: Muhammad Iwan
I. MUQADIMAH
Segala puji bagi Allah tabâ roka wata’ala, Dzat Yang Maha Agung. Segala limpahan nikmat dan karunia-Nya. sehingga makalah yang singkat ini dapat terselesaikan dengan baik, meskipun masih banyak kekurangan. Tentunya dengan harapan kiranya rekan–rekan mahasiswa dapat memberi masukan, sehingga terjagalah dari kekurangan dan bermanfaat. Shalawat dan salam kami haturkan kehadirat Nabi besar akhir zaman Muhammad saw, beserta keluarga dan para sahabat, yang senantiasa setia memegang amanah dalam menebarkan cahaya islam keseluruh penjuru alam, sehinggga hadirnya islam ditengah-tengah kita sebagai penyelamat dengan keagungan risalah yang beliau emban.
Kepada Allah penyusun mohon ampun, berlindung dari adzab kubur, dan neraka Jahanam. Yaa Rab semoga apa yang kami persembahkan dapat kiranya bermanfaat buat diri kami peribadi, dan orang lain pada umumnya. Kiranya dalam pembahasan yang ringkas ini terdapat banyak kekurangan, penyusun membuka pintu kritik, diskusi sebagai pemecah masalah. Maka melalui muqadimah ini penyusun mengawali penulisan makalah ini dengan ikrar; Bismillahi ar-rahman ar-rahim.
a) Latar Belakang
Al-Qur’an dengan isinya yang simpel dan kandungan makna yang sangat luas memerlukan penafsiran untuk memahami kandungannya, oleh karenanya pasca Rasul wafat muncul beberapa penafsiran dari para sahabat dan generasi sesudahnya.
Model penafsiran seorang mufassir lazimnya dilatarbelakangi keilmuan yang dikuasainya, walaupun ada sebagian mufassir yang menulis tafsir dari latar belakang yang berbeda dari basic keilmuan yang dimilikinya. Wahbah al-Zuhayli merupakan seorang tokoh ulama fiqh abad ke-20 yang terkenal dari Syria. Namanya sebaris dengan tokoh-tokoh Tafsir dan Fuqaha yang telah berjasa dalam dunia keilmuan Islam abad ke-20 seperti Tahir Ashur yang mengarang tafsir ‘al-Tahrir wa al-Tanwir’, Said Hawwa, ‘Asas fi al-Tafsir’, Sayyid Qutb, ‘Fi Zilal al-Quran’. Sementara dari segi fuqaha, namanya sebaris dengan Muhammad Abu Zahrah, Mahmud Shaltut, Ali Muhammad al-Khafif, Abdul Ghani, Abdul Khaliq dan Muhammad Salam Madkur.
Sebagian besar tafsir kontemporer di warnai dengan berbagai latar belakang keilmuan mufassir. Wahbah az-Zuhaili seorang ahli Fiqh yang berusaha menguraikan ayat-ayat al-Qur’an, dengan sumber, metode, corak, dan karakteristik yang khas (terlampir).
b) Rumusan Masalah
-Contoh ayat al-ahkam dalam surah al-Baqarah ayat 222 s/d 223
-Kandungan surah al-Insyirah ayat 1 s/d 8
-Kandungan surah ad-Dhua ayat 5 s/d 8
II.BIOGRAFI PENGARANG
Prof. Dr. Wahbah Mustaffa al-Zuhaily adalah seorang ulama, akademisi dan tokoh ilmuan Islam ternama. Berasal dari Damsyik, Syria. Beliau telah menulis banyak kitab yang menjadi rujukan. Selain dari kitab Tafsir al-Munir ini, karangan beliau yang paling utama ialah kitab ‘al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu’ dan lain-lain.
Wahbah dibesarkan di kalangan ulama-ulama madzhab Hanafi, yang membentuk pemikirannya dalam madzhab fiqh, walaupun bermadzhab Hanafi, namun beliau tidak fanatik dan menghargai pendapat-pendapat madzhab lain, hal ini dapat dilihat dari bentuk penafsirannya ketika mengupas ayat-ayat yang berhubungan dengan Fiqh.
Terlihat dalam membangun argumennya selain menggunakan analisis yang lazim dipakai dalam fiqh juga terkadang menggunakan alasan medis, dan juga dengan memberikan informasi yang seimbang dari masing-masing madzhab. Kenetralannya juga terlihat dalam penggunaan referensi, seperti mengutip dari Ahkam al-Qur’an karya al-Jashshas untuk pendapat mazhab Hanafi, dan Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi untuk pendapat mazhab Maliki.
Dalam masalah teologis, beliau cenderung mengikuti faham ahl al-Sunnah, tetapi tidak terjebak pada sikap fanatis dan menghujat madzhab lain. Ini terlihat dalam pembahasannya tentang masalah “Melihat Tuhan” di dunia dan akhirat, yang terdapat pada surat al-An’am ayat 103.
Untuk lebih dekat tentang siapa sebenarnya az-Zuhaili, berikut akan dijelaskan secara ringkas siapa beliau, kelahiran, pendidikan, karya-karya emasnya, dan pendapat beberapa tokoh mengenai karya-kaya beliau. Semuanya penyusun uraikan pada profil pengarang.
III.PROFIL PENGARANG
a) Kelahiran
Wahbah az-Zuhayli dilahirkan di desa Dir Athiyah, daerah Qalmun, Damsyiq, Syria pada 6 Maret 1932 M/1351 H. Bapaknya bernama Musthafa az-Zuhyli yang merupakan seorang yang terkenal dengan keshalihan dan ketakwaannya serta hafidz al-Qur’an, beliau bekerja sebagai petani dan senantiasa mendorong putranya (az-Zuhayli)untuk menuntut ilmu.
b)Pendidikan
Wahbah az-Zuhayli mendapat pendidikan dasar di desanya, Pada tahun 1946, pada tingkat menengah beliau masuk pada jurusan Syariah di Damsyiq selama 6 tahun hingga pada tahun 1952 mendapat ijazah menengahnya, yang dijadikan modal awal dia masuk pada Fakultas Syariah dan Bahasa Arab di Azhar dan Fakultas Syari’ah di Universitas ‘Ain Syam dalam waktu yang bersamaan[2]. Ketika itu Wahbah memperoleh tiga Ijazah antara lain :
Ijazah B.A dari fakultas Syariah Universitas al-Azhar pada tahun 1956
Ijazah Takhasus Pendidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar pada tahun 1957
Ijazah B.A dari Fakultas Syari’ah Universitas ‘Ain Syam pada tahun 1957
Dalam masa lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama dua tahun dan memperoleh gelar M.A dengan tesis berjudul “al-Zira’i fi as-Siyasah as-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami”, dan merasa belum puas dengan pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang diselesaikannya pada tahun 1963 dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Isalmi” di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.
Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di fakultas Syari’ah Universitas Damaskus dan secara berturut - turut menjadi Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan Fiqh Islami wa Madzahabih di fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Dirasah Islamiyyah[3].
Adapun guru-gurunya adalah:
Muhammad Hashim al-Khatib al-Syafie, (w. 1958M) seorang khatib di Masjid Umawi. Beliau belajar darinya fiqh al-Syafie; mempelajari ilmu Fiqh dari Abdul Razaq al-Hamasi (w. 1969M); ilmu Hadits dari Mahmud Yassin (w.1948M); ilmu faraid dan wakaf dari Judat al-Mardini (w. 1957M), Hassan al-Shati (w. 1962M), ilmu Tafsir dari Hassan Habnakah al-Midani (w. 1978M); ilmu bahasa Arab dari Muhammad Shaleh Farfur (w. 1986M); ilmu usul fiqh dan Mustalah Hadits dari Muhammad Lutfi al-Fayumi (w. 1990M); ilmu akidah dan kalam dari Mahmud al-Rankusi.
Selama di Mesir, beliau berguru pada Muhammad Abu Zuhrah, (w. 1395H), Mahmud Shaltut (w. 1963M) Abdul Rahman Taj, Isa Manun (1376H), Ali Muhammad Khafif (w. 1978M), Jad al-Rabb Ramadhan (w.1994M), Abdul Ghani Abdul Khaliq (w.1983M) dan Muhammad Hafiz Ghanim. Beliau juga amat terkesan dengan buku-buku tulisan Abdul Rahman Azam seperti ‘al-Risalah al-Khalidah dan buku karangan Abu Hassan al-Nadwi berjudul Ma dza Khasira al-‘alam bi Inkhitat al-Muslimin.
c)Pemikiran-Pemikiran Yang Istimewa
Az-Zuhaili didalam menafsirkan ayat-ayat Ahkam (ayat yang berkaitan dengan hukum-hukum) beliau mengambil langkah-langkah, diantaranya:
- Menentukan dilalah nash yang terdapat dalam ayat tersebut.
-Menentukan jenis ayat tersebut, apa mutasyabihat atau muhkamat. Memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku dalam isthinbat ayat ahkam.
- Memperhatikan kaidah umum yang berhubungan dengan al-Qur’an.
Ada dua aspek ayat ahkam yang ditafsirkan oleh Wahbah, yakni;
Pertama, aspek ibadah, diantara yang dikaji dalam masalah ini adalah tentang haid, menghadap kiblat, dan shalat qashr. Wahbah hanya mengemukakan beberapa pendapat yang berhubungan dengan shalat qashr, seperti pendapat ulama Hanafi ulama Syafi`i mengenai hukum shalat qashr. Jika kalangan Hanafi berpendapat bahwa shalat qashr bagi musafir adalah suatu keharusan `azimah berdasarkan hadits Umar, maka kalangan Syafi`i menganggapnya rukhsah atau takhyir berdasarkan Hadits ‘Aisyah, dalam masalah ini Wahbah tidak menentukan pendapat pribadinya dan tidak melakukan tarjih terhadap perbedaan tersebut.
Kedua, aspek muamalat, diantara aspek yang dikaji dalam masalah muamalat adalah kawin lintas agama, adil dalam menetapkan hukum, etika memasuki rumah, dan ayat-ayat tentang gender.
d)Pendapat Tokoh Lain
Khalid Abd ar-Rahman, mengungkapkan beberapa keistimewaan yang terdapat pada tafsir al-Munir karya az-Zuhaili ini. Ia berpendapat bahwa az-Zuhaili memenuhi keriteria sebagai seorang mufassir. Karena kalau dilihat dari beberapa data dan fakta, beliau memang pas disebut sebagai seorang mufassir. Diantara kriteria yang dimaksud Khalid Abd ar-Rahman yakni:
a.Muthabaqat tafsir dan mufassir, dengan tidak mengurangi penjelasan makna yang diperlukan, tidak ada tambahan yang tidak sesuai dengan tujuan dan kedudukan serta menjaga dari penyimpangan makna dan yang dikehendaki al-Qur’an
b. Menjaga makna haqiqi dan makna majazi, yang dimaksud makna haqiqi tapi di bawa kedalam makna majazi atau sebaliknya
c. Muraat ta’lif antara makna dan tujuan yang sesuai dengan pembicaraan dan kedekatan antar kata
d. Menjaga tanasub antar ayat
e.Memperhatikan asbab an-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat)
f. Memulai dengan bahasa, sharf dan isytiqaq (derivasi) yang berhubungan dengan lafadz disertai dengan pembahasan dengan tarakib
g. Menghindari idd’a pengulangan al-Qur’an.
IV. MENGENAL TAFSIR MUNIR
Penulisan tafsir Munir dilatarbelakangi oleh pengabdian Wahbah az-Zuhaili pada ilmu pengetahuan, khususnya ilmu keislaman, dengan tujuan menghubungkan orang muslim dengan al-Qur’an berdasarkan hubungan logis dan erat.
Tafsir ini ditulis setelah beliau selama rentang waktu 16 tahun setelah selesai menulis dua buku lainnya, yaitu Ushul Fiqh al-Islamy (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (8 Jilid). Sebelum memulai penafsiran terhadap surat pertama (al-Fatihah), Wahbah az-Zuhaili terlebih dahulu menjelaskan wawasan yang berhubungan dengan ilmu al-Qur’an. Dan disajikan dengan bahasa yang simple dan mudah dicerna.
Tafsir al_Munir diterbitkan pertama kali oleh Dar al_Fikri Beirut-Libanon dan Dar al-Fikri Damsyiq Suriya dalam 16 jilid pada tahun 1991 M/1411 H.
Tujuan dari penulisan tafsir ini sebagaimana tertuang dimukadimah adalah menganjurkan kepada umat Islam agar berpegang teguh kepada al-Qu’ran secara ilmiah. Dalam hal ini, Ali Iyazi menambahkan bahwa tujuan penulisan Tafsir al-Munir ini adalah memadukan keorisinilan tafsir klasik dan keindahan tafsir kontemporer, karena menurut Wahbah az-Zuhaili banyak orang yang menyudutkan bahwa tafsir klasik tidak mampu memberikan solusi terhadap problematika kontemporer, sedangkan para mufassir kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhadap ayat al-Quran dengan dalih pembaharuan. Seperti penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh beberapa mufassir yang basic keilmuannya sains, oleh karena itu, menurutnya, tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan interpretasi.
V. KAJIAN TENTANG TAFSIR MUNIR
- Sumber-Sumber (mashadir) Tafsir Munir
Muhammad Ali Iyazi dalam bukunya, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manahijuhum, mengatakan bahwa pembahasan kitab tafsir ini menggunakan gabungan antara tafsîr bi al-Ma’tsûr dengan tafsîr bi ar-ra’yi, serta menggunakan gaya bahasa dan ungkapan yang jelas, yakni gaya bahasa kontemporer yang mudah dipahami bagi generasi sekarang ini. Oleh sebab itu, beliau membagi ayat-ayat berdasarkan topik untuk memelihara bahasan dan penjelasan di dalamnya.
Sedangkan referensi-referensi yang digunakan Wahbah az-Zuhaili dalam tafsir al-Munir adalah sebagai berikut :
1.)Bidang Tafsir
Ahkam al-Qur’an karya Ibn al-‘Arabi. Ahkam al-Qur’an karya al-Jashshas. Al-Kasyaf karya Imam Zamakhsyari. Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho. Al-Jami’ fi Ahkam al-Qur’an karya Al-Qurtubi. Tafsir Ath-thabary karya Muhammad bin Jarir Abu Ja’far ath-Thabari. At-Tafsir al-Kabir karya Imam Fakhruddin ar- Razi. Majma’ al-Fatawa karya Ibn Taymiyah. Fath al-Qadir karya Imam Asy-Sy aukani. Mahasin at-Ta’wil karya al-Qasimi. Mashahif karya Sajistani. Ta’wil Musykil al-Qur’an karya Ibn Qutaibah. Tafsir al-Alusi karya Syihab ad-Din Mahmud bin Abdillah. Tafsir Al-Bahr al-Muhith karya Imam Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf. Tafsir al-Maraghi karya Mushthafa al-Maraghi. Tafsir Ayat al-Ahkam karya Syaikh Muhammad ‘Ali as-Sayis. Tafsir Ibn Kastir Ismail bin Umar bin Katsir. Talkhis al-Fawaid karya Ibn al-Qash. Tafsir al-Kkhazin karya Abu Hasan Ali bin Muhammad. Tafsir Baidhawi karya Al-Baidhawi.
2.) Bidang Ulum al-qur’an
Asbab an-Nuzul karya al-Wahidi an-Naisaburi. Al-Itqan karya Imam suyut. Dalail al-I’jaz fi ‘ilm al-Ma’ani karya Imam Abd Qadir al-Jurjani. Mabahist fi ‘Ulum al-qur’an karya Shubhi Shalih. Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul karya Imam Suyuthi. Asbab an-Nuzul karya al-Wahidi. I’jaz al-Qur’an karya Imam al-Baqilani. I’jaz al-qur’an karya Imam Rafi’i. Gharaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqon karya Hasan al-Qammi an-Naisburi. Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Imam Zarkasyi. Tanasuq ad-durar fi Tanasub as-Suwar karya Imam Suyuthi.
3.) Bidang Hadist
Al-Mustadrak karya Imam Hakim. Ad-dalail an-Nubuwwah karya Imam Baihaqi. Al-kabir karya ath-Thabrani. Shahih al-Bukhari karya Muahammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhari. Sunan Tirmidzi karyaMuhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa at-Tirmidzi. Musnad Ahmad bin Hambal. Nail al-Authar. Subul as-Salam. ‘Umdat al_Qari Sarh Al-Bukhari karya al-‘Aini. Musnad Al-Fidaus karya Ad-Dailami. Sunan Ibn Majah karya Abu Abdillah bin Muhammad bin Yazid al-Qazwaini. Shahih Muslim karya Muslim bin Hajjaj Abu al-Husain. Sunan Abi Dawud karya Sulaiman bin Asy’ast bin Syadad. Sunan Nasai karya Ahmad bin Syu’aib Abu Abd ar-Rahman an-Nasai.
4.)Bidang Ushul Fiqh dan Fiqh
Bidayat al-Mujtahid karya Ibn Rusyd al-Hafidz. Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh karya Wahbah az-Zuhaili. Usul al-Fiqh al-Islami karya Wahbah az-Zuhaili. Ar-Risalah karya Imam Syafi’i. Al-Mushtafa karya Imam al-Ghazali. dll
5.) Bidang Teologi
Al-Kafi karya Muhammad bin Ya’qub. Asy-Syafi Syarh Ushul al-Kafi karya ‘Abdullah Mudhhaffar. Ihya ‘Ulum ad-Din karya Imam al-Ghazali.
6.) Bidang Tarikh/ Sejarah
Sirah Ibn Hisyam Abu Muhammad bin Malik bin Hisyam. Muqaddimah karya Ibn Khaldun. Al-Anbiya karya Abd al-Wahhab an-Najjar. Al-Fiqh al-Islami .karya Sayis
7.) Bidang Bahasa
Mufradat ar-Raghib karya al-Ashfihani. Al-Furuq karya al-Qirafi. Lisan al-‘Arab karya Ibn al-Mandhur.
- Metode
Dengan mengamati beberapa metode yang terdapat dalam beberapa kitab ‘Ulum al-Qur’an Secara metodis sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah az-Zuhaili pada setiap awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan surat tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar. Setiap tema yang diangkat dan dibahas mencakup aspek bahasa, dengan menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam sebuah ayat, dengan menerangkan segi-segi balaghah dan gramatika bahasanya.
Maka metode penafsiran yang dipakai adalah metode tahlili dan semi tematik, karena beliau menafsirkan al-Qur’an dari surat al-Fatihah sampai dengan surat an-Nas dan memberi tema pada setiap kajian ayat yang sesuai dengan kandungannya, seperti dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat satu sampai lima, beliau memberi tema sifat-sifat orang mukmin dan balasan bagi orang-orang yang bertaqwa. Dan seterusnya sampai surat an-Nas selalu memberi tema bahasan di setiap kelompok ayat yang saling berhubungan.
- Jenis
Ada tujuh jenis penafsiran seperti pendapat yang dikemukakan oleh Abd al-Hayy al-Farmawi dalam bukunya muqaddimah fi al-tafsir al-maudhu’i di antaranya adalah: al-tafsir bi al-ma’tsur, al-tafsir bi al-ra’yi, altafsir al-shufi, al-tafsir fiqh, al-tafsir falsafi, tafsir al-‘ilm, dan tafsir adabi ‘ijtima’i, maka tafsir al-Munir, dengan melihat kriteria-kriteria yang ada penyusun dapat menyimpulkan bahwa tafsir tersebut termasuk ‘addabi ‘ijtima’i dan fiqhi, karena memang Wahbah az-Zuhaili mempunyai basic keilmuan Fiqh namun dalam tafsirnya beliau menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti, penafsirannya juga disesuaikan dengan situasi yang berkembang dan dibutuhkan dalam di tengah-tengah masyarakat. Sedikit sekali dia menggunakan tafsir bi al-‘ilmi, karena memang sudah disebutkan dalam tujuan penulisan tafsirnya bahwa dia akan meng-counter beberapa penyimpangan tafsir kontemporer.
- Karakteristik
Karakteristik Wahbah az-Zuhaily dalam penulisan tafsirnya adalah sebagai berikut:
• Pengelompokan tema.
• Menyajikan al-I’rab, al-balaghah, al-mufradat al-lughawiyah, asbab an-nuzul, at-tafsir wa al-bayan, dan fiqh al-hayat aw al-ahkam pada tiap-tiap tema atau ayat-ayat yang dikelompokan.
• Mencantumkan materi-materi yang dimuat dalam ushul al-Fiqh
• Mengakomodir perdebatan yang terjadi antara ulama madzhab pada tafsir ayat-ayat ahkam
• Mencantumkan catatan kaki (footnote) dalam pengutipan karya orang lain.
- Sistematika
Sebelum memasuki pembahasan ayat, Wahbah az-Zuhaili pada setiap awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan surat tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar. Setiap tema yang diangkat dan dibahas mencakup tiga aspek, yaitu:
Pertama, aspek bahasa, yaitu menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam sebuah ayat, dengan menerangkan segi-segi balaghah dan gramatika bahasanya.
Kedua, tafsir dan bayan, yaitu deskripsi yang komprehensif terhadap ayat-ayat, sehingga mendapatkan kejelasan tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya dan keshahihan hadist-hadist yang terkait dengannya. Dalam kolom ini, beliau mempersingkat penjelasannya jika dalam ayat tersebut tidak terdapat masalah, seperti terlihat dalam penafsirannya terhadap surat al-Baqarah ayat 97-98. Namun, jika ada permasalahan diulasnya secara rinci, seperti permasalahan nasakh dalam ayat 106 dari surat al-Baqarah.
Ketiga, fiqh al-hayat wa al-ahkam, yaitu perincian tentang beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari beberapa ayat yang berhubungan dengan realitas kehidupan manusia. Dan ketika terdapat masalah-masalah baru dia berusaha untuk menguraikannya sesuai dengan hasil ijtihadnya.
Az-Zuhaili sendiri menilai bahwa tafsirnya adalah model tafsir al-Qur’an yang didasarkan pada al-Qur’an sendiri dan hadist-hadist shahih, mengungkapkan asbab an-nuzul dan takhrij al-hadist, menghindari cerita-cerita Isra’iliyat, riwayat yang buruk, dan polemik, serta bersikap moderat.

VI.WAHBAH AZ-ZUHAILI DAN KARYA-KARYANYA
a) Sekapur Sirih Tentang Karyanya
Penulisan tafsir Munir dilatarbelakangi oleh pengabdian Wahbah az-Zuhaili pada ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pendidikan islam, dengan tujuan menghubungkan seong muslim dengan al-Qur’an berdasarkan hubungan logis dan erat.
Tafsir ini ditulis beliau selama rentang waktu 16 tahun setelah selesai menulis dua buku lainnya, yaitu ‘Ushul Fiqh al-Islamy’ (2 jilid) dan ‘al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu’ (8 Jilid). Sebelum memulai penafsiran terhadap surat pertama (al-Fatihah), Wahbah az-Zuhaili terlebih dahulu menjelaskan wawasan yang berhubungan dengan ilmu al-Qur’an. Dan disajikan dengan bahasa yang simple dan mudah dicerna.
Tafsir al_Munir diterbitkan pertama kali oleh Dar al_Fikri Beirut-Libanon dan Dar al-Fikri Damsyiq Suriya dalam 16 jilid pada tahun 1991 M/1411 H.
b) Karya-karya az-Zuhaili
Wahbah al-Zuhayli menulis buku, panduan kerja dan artikel dalam berbagai ilmu Islam. Karya-karyanya dalam bentuk buku melebihi 133 buah buku dan jika dicampur dengan risalah-risalah kecil melebihi lebih 500 makalah. Suatu usaha yang jarang dapat dilakukan oleh ulama kini seolah-olah ia merupakan as-Suyuti kedua (as-Sayuti al-Thani) pada zaman ini, mengambil sampel seorang Imam Shafi’iyyah yaitu Imam al-Sayuti. Buku-buku karya beliau antara lain : ‘Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami - Dirasat Muqaranah’, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1963. ‘Al-Wasit fi Usul al-Fiqh’, Universiti Damsyiq, 1966. ‘Al-Fiqh al-Islami fi Uslub al-Jadid’, Maktabah al-Hadithah, Damsyiq, 1967. ’ Nazariat al-Darurat al-Syar’iyyah’, Maktabah al-Farabi, Damsiq, 1969. ‘Nazariat al-Daman’, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1970. ‘Al-Usul al-Ammah li Wahdah al-Din al-Haq’, Maktabah al-Abassiyah, Damsyiq, 1972. ‘ Al-Alaqat al-Dawliah fi al-Islam’, Muassasah al-Riisalah, Beirut, 1981. ‘Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh’, (8 jilid), Dar al-Fikr, Damsyiq, 1984. ‘ Usul al-Fiqh al-Islami ‘, (dua Jilid), Dar al-Fikr al-Fikr, Damsyiq, 1986. ‘Juhud Taqnin al-Fiqh al-Islami’, (Muassasah al-Risalah, Beirut, 1987. ‘ Fiqh al-Mawaris fi al-Shari’at al-Islamiah’, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1987. ‘Al-Wasaya wa al-Waqf fi al-Fiqh al-Islami’, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1987. ‘ Al-Islam Din al-Jihad La al-Udwan’, Persatuan Dakwah Islam Antarabangsa, Tripoli, Libya, 1990. ‘Al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’at wa al-Manhaj, (16 jilid), Dar al-Fikr, Damsyiq, 1991. ‘Al-Qisah al-Qur’aniyyah Hidayah wa Bayan’, Dar Khair, Damsyiq, 1992. ‘Al-Qur’an al-Karim al-bunyatuh al-Tasyri’iyyah aw Khasa’isuh al-Hadariah’, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1993. ‘Al-Rukhsah al-Syari’at – Ahkamuha wa Dawabituha’, Dar al-Khair, Damsyiq, 1994. ‘Khasa’is al-Kubra li Huquq al-Insan fi al-Islam’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1995. ‘Al-Ulum al-Syari’at Bayn al-Wahdah wa al-Istiqlal’, Dar al-Maktab, Damsyiq, 1996. ‘Al-Asas wa al-Masadir al-Ijtihad al-Musytarikat bayn al-Sunnah wa al-Syiah’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1996. ‘Al-Islam wa Tahadiyyat al-‘Asr’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1996. ‘Muwajahat al-Ghazu al-Thaqafi al-Sahyuni wa al-Ajnabi’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1996. ‘Al-Taqlid fi al-Madhahib al-Islamiah inda al-Sunnah wa al-Syiah’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1996. ‘Al-Ijtihad al-Fiqhi al-Hadith’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1997. ‘Al-Uruf wa al-Adat’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1997. ‘Bay al-Asham’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1997. ‘Al-Sunnah al-Nabawiyyah', Dar al-Maktabi Damsyiq, 1997. ‘Idarat al-Waqaf al-Khairi’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1998. ‘Al-Mujadid Jamaluddin al-Afghani’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1998. ‘Taghyir al-Ijtihad’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000. ‘Tatbiq al-Syari’at al-Islamiah’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000. ‘Al-Zira’i fi al-Siyasah al-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1999. ‘Tajdid al-Fiqh al-Islami’, Dar al-Fikr, Damsyiq, 2000. ’Al-Thaqafah wa al-Fikr’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000. ‘Manhaj al-Da’wah fi al-Sirah al-Nabawiyah’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000. ‘Al-Qayyim al-Insaniah fi al-Qur’an al-Karim’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000. ‘Haq al-Hurriah fi al-‘Alam’, Dar al-Fikr, Damsyiq, 2000. ‘Al-Insan fi al-Qur’an’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2001. ‘Al-Islam wa Usul al-Hadarah al-Insaniah’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2001. ‘Usul al-Fiqh al-Hanafi’, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2001.
VII. PENGARANG DAN METODOLOGI TAFSIRNYA
Tafsir al-Munir membahas seluruh ayat al-Qur'an dari awal surat al-Fâtihah sampai akhir surat an-Nâs. Muhammad Ali Iyazi dalam bukunya, ‘Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum’, mengatakan bahwa pembahasan kitab tafsir ini menggunakan gabungan antara corak tafsîr bi al-Ma'tsûr [1] dengan tafsîr bi ar-ra'yi [2], serta menggunakan gaya bahasa dan ungkapan yang jelas, yakni gaya bahasa kontemporer yang mudah dipahami bagi generasi sekarang ini. Oleh sebab itu, beliau membagi ayat-ayat berdasarkan topik untuk memelihara bahasan dan penjelasan di dalamnya.
Tentang tafsirnya ini, Wahbah az-Zuhaili menyatakan: "Tafsir al-Munir ini bukan hanya sekedar kutipan dan kesimpulan dari beberapa tafsir, melainkan sebuah tafsir yang ditulis dengan dasar selektifitas yang lebih shahih, bermanfaat, dan mendekati ruh (inti sari) kandungan ayat al-Qur'an, baik dari tafsir klasik maupun modern dan tafsir bi al-ma?tsur ataupun tafsir rasional. Di dalamnya juga diupayakan untuk menghindari perbedaan teori atau pandangan teologi yang tidak dibutuhkan dan tidak berfaedah.
Tafsir ini ditulis setelah beliau selesai menulis dua buku lainnya, yaitu Ushul Fiqh al-Islamy (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (8 Jilid). Sebelum memulai penafsiran terhadap surat pertama (al-Fatihah), Wahbah az-Zuhaili terlebih dahulu menjelaskan wawasan yang berhubungan dengan ilmu al-Qur'an.
Dalam Muqaddimah, beliau mengatakan bahwa tujuan dari penulisan tafsir ini adalah menyarankan kepada umat Islam agar berpegang teguh kepada al-Qu'ran secara ilmiah. Dalam hal ini, Ali Iyazi menambahkan bahwa tujuan penulisan Tafsir al-Munir ini adalah memadukan keorisinilan tafsir klasik dan keindahan tafsir kontemporer, karena menurut Wahbah az-Zuhaili banyak orang yang menyudutkan bahwa tafsir klasik tidak mampu memberikan solusi terhadap problematika kontemporer, sedangkan para mufassir kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhadap ayat al-Quran dengan dalih pembaharuan. Oleh karena itu, menurutnya, tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan interpretasi.
Secara metodis sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah az-Zuhaili pada setiap awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan surat tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar. Setiap tema yang diangkat dan dibahas mencakup tiga aspek, yaitu:
Pertama, aspek bahasa, yaitu menjelaskan beberapa istilah yang termaktub dalam sebuah ayat, dengan menerangkan segi-segi balaghah dan gramatika bahasanya.
Kedua, tafsir dan bayan, yaitu deskripsi yang komprehensif terhadap ayat-ayat, sehingga mendapatkan kejelasan tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya dan keshahihan hadis-hadis yang terkait dengannya. Dalam kolom ini, beliau mempersingkat penjelasannya jika dalam ayat tersebut tidak terdapat masalah, seperti terlihat dalam penafsirannya terhadap surat al-Baqarah ayat 97-98. Namun, jika ada permasalahan diulasnya secara rinci, seperti permasalahan nasakh dalam ayat 106 dari surat al-Baqarah.
Ketiga, fiqh al-hayat wa al-ahkam, yaitu perincian tentang beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari beberapa ayat yang berhubungan dengan realitas kehidupan manusia.
Az-Zuhaili sendiri menilai bahwa tafsirnya adalah model tafsir yang didasarkan pada al-Qur’an sendiri dan hadist-hadist shahih atau dengan kata lain tafsir bil al-Ma’tsur, mengungkapkan asbab an-nuzul dan takhrij al-hadist, menghindari cerita-cerita Israiliyat, riwayat yang buruk, dan polemik, serta bersikap moderat.
Sedangkan dalam masalah teologis, az-Zuhaili cenderung mengikuti faham ahli al-Sunnah, tetapi tidak terjebak pada sikap fanatik dan menghujat madzhab lain. Ini terlihat dalam pembahasannya tentang masalah "Melihat Tuhan" di dunia dan akhirat, yang terdapat pada surat al-An'am ayat 103.
Salah satu keistimewaan tafsir ini bukan saja pas untuk digunakan pada pengajian-pengajian sebagian jamaah dimasjid-masjid, akan tetapi sesuai dijadikan bahan rujukan (maroji’) di tingkat sekolah menengah maupun perguruan tertinggi.
VIII. KEISTIMEWAAN METODOLOGI

Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa keistimewaan tafsir Munir ialah terdapat pada metode pembahasannya yang secara merata,urut dan tuntas mulai dari surah al-Fatihah sampai dengan surah an-Nas, berdasarkan urutan surah dalam al-Mushaf al-Usmani. Hal ini sangat mempermudah dalam memahami maksud dan penjelasan setiap surah yang ada didalam tafsir Munir.
Adapun keistimewaan yang utama bahwa tafsir Munir menggunakan metodologi bil Ma’tsur dan Ar-ra’yi. bil Ma’tsur yakni menafsirkan al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan dengan hadits Nabi, riwayat dari para Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’uttabi’in. Metodologi ini adalah metodologi terbaik dalam manafsirkan al-Qur’an sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsur, dan Imam al-Zarkasi.
Metodologi bil Ma’tsur ini dapat kita jumpai pada tafsir surah Al-Baqarah, AL-Insyirah ,dan Ad-Dhuha.
Contoh
Ada tiga contoh tafsir surah dalam Tafsir Munir yang kami ambil sebagai gambaran dalam penjelasan makalah ini. Adapun surah yang dimaksud yakni; al-Baqarah ayat 222-223 yang kami ambil ( juz 1), al-Insyirah (juz 30), dan al-Dhuha (juz 30).
A. Tafsir Surah Al-Baqrah Ayat 222 S/D 223
222. “ Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Hendaklah menjauhkan diri maksudnya ialah menyetubuhi wanita di waktu haidh.
Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci maksudnya ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar.

223. “ Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”
B. Tafsir Surah Al-Insyirah
Surah ini menjelaskan tentang keperibadian Rasulullah saw, dan berbagai macam anugrah nikmt Alllah swt. kepada Beliau yang kemudian menjadikan Beliau Mulia disisi Allah dan berhak untuk disyukuri.
Surah ini memeiliki empat pon pembahasan antara lain:
1.) Menjelaskan tiga nikmat yang dianugerahkan Allah swt. Kepada Rasulullah saw. Yaitu melapangkan dadanya dengan hikmah dan iman. Membersihkannya daripada dosa dan noda. Mengangkat keududukan serta statusnya didunia dan akhirat. Sebagaimana yang Allah jelaskan pada ayt 1-4. Ayat tersebut bertujuan untuk menghibur hati Rasulullah dan menenangkannya dari ancaman yang sangat dahsyat dari kaumnya di Makkah, Ta’if dan sebagainya.
Penjelasan surah al-Insyirah. 1-4;
1: “Bukankah kami Telah melapangkan untukmu dadamu (wahai Muhammd)”,sesungguhnya Allah telah melapangkan dada Nabi Muhammad untuk menerima tugas kenabian , menanggung beban dan menghafal wahyu. Al-Razi berkata:”Ayat yang menyatakan kelapangan dada dalam ayat ini ialah tanda tanya (istifham) bertujuan untuk membuktikan tentang berlakunya perkara tersebut. Seolah-olah kalimat tersebut menyatakan:”kami telah melapangkan dada kamu”, namun diungkapkan dalam bentuk (istifham taqriri) yang membawa maksud kelapangn dada tersebut benar-benar berlaku. Maksud kelapangan dada ialah sebagaimana terungkap dalam firman Allah”Barang siapa yang Allah berikan petunjuk niscaya Dia lapangkan dadanya untuk (menerima) agama islam.”(al-An’am 125). شر Ø­ الصدر sebagaimana kata Abu Hayyan, yakni menerangkan Hati Nabi dengan ilmu hikmah dan melapangkannya supaya ia dapat menerima wahyu yang diturunkan kepadanya. Abu Hayyan menyatakan bahwa ini adalah pendapat jumhur ulama.
Adapula yang berpendapat bahwa al-syarh disini bermaksud membelah dada Nabi pada malam Isra’ Mi’raj, seperti hadist yang diriwayatkan oleh At-Tarmizi daripada Malik bin Sa’sa’ah. Ibnu katsir berkata :” Tidak berlaku diantara setiap perbedaan diantara pendapat-pendapat tersebut, karena maksud melapangkan dada mencakup tindakan membelah dadanya pada malam Isra’ dan Mi’raj dan melapangkan dada Beliau secara spiritual.[3]
Abdullah bin Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Ubay Bin Ka’ab ra: bahwa Abu Hurairah berkata:” Wahai Rasulullah! Apakah benda yang paling awal engkau lihat berkaitan dengan kenabian?” Rasulullah duduk dan kemudian berkata :“ Sesungguhnya kamu meminta wahai Abu Hurairah (sesuatu yang besar). Ketika aku berada dipadang pasir waktu itu aku baru berusia 10 tahun beberapa bulan, tiba-tiba aku terdengar suara dari atas kepalaku dan aku melihat seseorang laki-laki berkata kapada seorang laki-laki yang lain dan dia menghadapku kemukanya yang tidak pernah aku lihat, dan juga badannya yang tidak pernah nampak pada makhluk yang lain, dan pakaiannya juga tidak pernah aku lihat. Keduanya berjalan kearahku, mereka memegang lenganku, namun aku tidak merasakan sentuhannya. Salah seorang berkata kepada temannya:”Belah dadanya,” maka salah seorang darinya terus kedadaku dan membelahnya tanpa mengeluarkan darah dan rasa sakit. Seterusnya dia berkata kapada (lalaki tersebut):”keluarkan sifat khianat dan hasad dengki ,” lalau dikeluarkan sesuatu darinya seperti darah beku (‘alaqah) dan dibuangnya. Dia berkata kepadanya (lelaki tersebut):” Masukkan sifat belas kasihan dan sifat kasih sayang,” tiba-tiba dia menggerakkan ibu kaki kananku dan berkata :”pulanglah dengan selamat.”seterusnya aku pulang dengan membawa sifat simpati kepada anak-anak dan orang tua.”
Hadits ini menunjukkan bahwa Jibril as, telah datang kepada Nabi saw, dan memberikan mu’jizat kepad Nabi saw. adapun para ilmuan dan pakar sejarah yang mengkritik riwayat tersebut kemudian oleh Imam Fakhruddin al-Razi menjawabnya dengan mengatakan bahwa peristiwa pembelahan tersebut adalah merupan ‘irhas’ atau tanda-tanda akan derajat kenabiannya.[4]
2: “Dan kami Telah menghilangkan daripadamu bebanmu”. Maksudnya ialah bahwa Allah lepaskan segala kesalahan dan dosa yang ada pada diri Nabi saw, yang membebani diri Beliau. Baik sebelum diangkat menjadi Nabi maupun sesudah Beliau diangkat menjadi Nabi.
Para ahli mufassir ada yang berpendapat, bahwa Allah meringankan beban Nabi Muhammad dalam melaksanakan tugas kenabian dan kerasulan sehingga beliau mudah meraih keberhasilan da’wah.[5]
4: ” Dan kami muliakan sebutan (nama)mu”. Maksudnya bahwa Allah menjadikan nama Beliau disanjung dunia dan akhirat sebagai nabi dan pembawa risalah terakhir. Allah mewajibkan kepada setiap mukmin untuk bersyahadat atas Allah dan Rasul-Nya, baik ketika azan, tasyahud, khutbah,dll. Barang siapa mematuhi Rasulullah berarti ia mematuhi Allah.
2.) Allah menjanjikan akan mempermudah segala perkara yang sulit yang dihadapi Rasul serta memberikan kabar gembira dengan hampir tibanya kemenangan atas musuh. Sebagaimana firman Allah dalam ayat 5-6.
Penjelasan surah al-Insyirah ayat 5-6.
5 ”Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
6 “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Maksudnya ialah, meskipun pada saat ini Nabi sedang ditimpa kesulitan dan kesusahan. Selepas itu Beliau akan mendapatkan saat kelapangan dan kemudahan.
Asbabunnuzul ayat6 ;
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Surah ini diturunkn pada saat orang-orang musyrikin mengibaratkan, mengejek orang –orang beriman dengan kemiskinan. Ketika kabar tentang tingkah laku orang-orang musyrikin tersebut Rasulullah saw bersabda:
ابشر وا اتا كم ا ليسر, لن يغلب عسر يسرين

“Begembiralah, telah datang kepada kamu kesenangan, satu kesusahan tidak dapat mengalahkan dua kesenangan”(HR. Ibnu Jarir dari Al-Hasan Al-Basri).
3. Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk senantiasa beribadah dan menyampaikan da’wah setelah selesai menunaikan kewajiban yang lain sebagai tanda syukur atas nikmat yang dikaruniakan. Sebagimana firman-Nya pada ayat 7.
7“Maka apabila kamu Telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. Maksudnya jika kita selesai berda’wah , berjihad atau urusan dunia dan yang berkaitan dengannya maka berusahalah untuk beribadah secara khusyu’, berdo’a dan memohon hajat kepada Allah. Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang dituntut untuk terus ber-amar ma’ruf nahi munkar, mengerjakan amal sholeh, kebajikan dan ketaatan.
4. Setelah menyelesaikan semua tugas tersebut Allah swt. menyuruh Nabi Muhammad saw, bertawakkal hannya kepada Allah dan memohon sesuatu dari-Nya. Sebagaimana dijelaskan pada ayat 8.
8 “Dan Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”
Maksudnya, hadapkanllah wajahmu kepada Allah. serahkan jiwa ragamu kepada-Nya. Bermunajatlah kepada-Nya dengan rasa khusyu’ dan takut kepada neraka-Nya; disamping mengharapkan syurga-Nya. Jangan menuntut ganjaran dan pahala kecuali hanya kepada Allah. Allah-lah yang paling layak untuk disembah, dan bertawakkal.
C. Tafsir Surah Ad-Dhuha
Surah ini mirip dengan nama pembukaannya apabila Allah bersumpah dengan al-Dhuha. Al-dhuha ialah waktu permulaan siang hari ketika matahari mulai meninggi. Allah bersumpah dengan Ad-Dhuha untuk mengingtkan pentingnya waktu ini dimana segala-galanya diterangkan oleh cahaya.
Surah ad-Dhuha mengandung kisah tentang pribadi Nabi Muhammad saw, antara lain:
5.Ia dimulai dengan sumpah Allah bahwa, Dia tiadak lupa dan memarahi Nabi saw serat tidak pula menjauh darinya. Bahkan Nabi saw,adalah memiliki derajat yang tinggi disisi-Nya.

6. Nabi Muhammad saw diberi kabar gembira dengan pemberian yang bnayk diakhirat. Diantarnay ialah dalam memberi syafaat. Hal ini sebagaiman dalam ayat yang kelima;
“ Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas.”
7. Surah ini menjelaskan tentang nikamat Allah terhadap Nabi saw semenjak kecil.

8. Dalam surah ini diakhiri dengan tiga pesan utama kepada Nabi saw, yakni berkasih sayang kepada anak yatim, menjalin hubungan dengan orang miskin dan mensyukuri nikamat-nikamat besar yang karuniakan kepadanya, yakni nikamat diangkatnya menjadi Nabi. Sebagaimana firman-Nyadalam ayat 9-11
“ Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.”
Setelah membaca surah ad-Dhuha disunahkan membaca takbirالله اكبر,لااله الاالله, والله اكبر, الله اكبر .demikian pendapat imam as-Syafi’I, dan penghujungsurah-surah setelah surah ad-Dhuha. Karena ketika wahyu terhenti cukup lama kepada Rasulullah saw, kemudian Jibril as, datang dengan membanwa surah ad-Dhuha dengan lengkap kepada Rasulullah saw. maka Rasullullah bertakbir karena gembira.[6]
IX. ANALISA DAN KRITIK
Dilihat dari masa kelahirannya melalui sudut pandang ilmu tafsir, karya az-Zuhaili ini termasuk dalam kategori tafsir kontemporer. Dalam metode pembahasannya, tafsir ini menggunakan metode bil ma’tsur dan bil al-Ro’yi, yakni dua metode manafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang sudah masyhur dikalangan para ahli tafsir (lihat catatan kaki hal. 8).
Dalam tafsir beliau ini, beliau tidak mencantumkan daftar pustaka, tapi untuk lebih akuratnya lihat catatan kaki Wahbah Az-Zuhaili,”Tafsîr Al-Munîr Fi Al-‘Aqîdah wa Asy-Syarî’ah wa al-Manhaj.” Cetakan Dar al-Fikr, Cet.I yang terdiri dari 16 jilid.
X. PENUTUP DAN KESIMPULAN
Tafsir Al-Munir merupakan Tafsir kontemporer, yang disusun oleh seorang ahli Fiqh, dengan gaya bahasa yang mudah dicerna dan difahami, serta analisis-analisis yang relevan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada masa sekarang yang bersifat kekinian dan menjawab kegelisahan pengarang tentang keadaan jaman di mana kecenderungan pada gaya hidup hedonisme masyarakat, semakin menjauhkannya dari al-Qur’an.
Tafsir al-Munir hadir di tengah-tengah kegelisahan dan kehausan umat dalam memahami al-Qur’an dan kandungan-kandungan yang ada di dalamnya. Wahbah az-Zuhaily cukup mengakomodir perbedaan pendapat di kalangan fuqaha, beliau nyaris tidak melihat pendapat pribadi terhadap perbedaan pendapat ini tapi dengan menyajikan pendapat imam mazhab dan kemungkinan mengambil semuanya dengan argumentasi masing-masing.
Kemampuan penyusun dalam mengkaji dan menganalisa, sebagaimana tuntutan dalam makalah ini adalah sarat dengan kekurangan dan keterbatasan. Masukan dan perbaikan sangat kami harapkan, dengan satu harapan kiranya makalah ini dapat bermanfaat sebagaia muqadimah dalam pembahasan makalah selanjutnya khusus tafsir al-Munir. Wallohu a’lam .
XI. DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir Munir Fi Al-Aqidah Wa Asy-Syari’ah Wa Al-Manhaj , Damascus: Dar al-Fikri, 1998
............. ,Al-Qur’an Al-Karim Bunyatul At-tasri’iyyah wa Khasha’ishuh al Hadlariyyah, Damascus: Dar al-Fikr, 1993
............. ,Tafsir Al-Munir Juzu ‘Amma, Malaysia: Intel Multimedia And Publication, 2001
............. ,Tafsir Al-Munir Juz 27; al-Dzariyat – al-Hadid, Malaysia: Intel Multimedia AndPublication, 2001
Katsir, Ibnu, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004
Al-Utsaimin, Shalih, Muhammad, Bin, Tafsir Juzu ‘Amma, Solo: At-Tibyan
Ash-Shabuni, ‘Ali, Muhammad, At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Damascus: Maktbah al-Ghazali, 1401 H/1981M
Adz-Dzahabi, Husain, Muhammad, At-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000M
Izzan, M, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakkur, 2007
============================

[1] Tafsir bi al-ma’tsur adalah tafsir yang terdapat dalam al-Qur’an atau as-Sunnah atau pendapat para sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang dikehendaki Allah Swt tentang penafsiran al-Qur’an berdasarkan as-Sunnah an-Nabawiyah, dengan demikian tafsir ini adakalanya menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah an-Nabawiyah atau menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat yang ambil dari penafsiran para sahabat yang dikenal kebersihan hati dan sedikit takallufnya(sikap mengada-ada/bohong). lihat juga Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Dimasyq : Maktbah al-Ghazali, 1401 H/1981M), hlm. 63.
[2] Tafsir bi ar-ra’y adalah penafsiran al-Qur’an yang dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali terlebih dahulu Bahasa Arab sebagai syarat mutlak serta mengenali lafal-lafal Bahasa Arab dan bagian-bagian argumentasinya yang dibantu menggunakan sya’ir-sya’ir jahili serta mempertimbangkan asbab an-nuzul dan sarana-sarana lain yang dibutuhkan oleh mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an. Lihat juga Muhammad Husain adz-Dzahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000M) cet, 7, j. I, h. 183.
[3] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Juzu ‘Amma, Malaysia: Intel Multimedia And Publication, 2001, hal. 288
[4] Ibid, hal. 289
[5] Ibid, hal. 290
[6] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Juzu ‘Amma, Malaysia: Intel Multimedia And Publication, 2001, hal .274

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama