Arti Bid’ah

Oleh : Ali Hasan Al Halabi Al Atsari

Imam Ath-Thursthusi dalam Al-Hawadits wal-Bida’ berkata, “kata bid’ah berasal dari kata al-ikhtira’ yaitu sesuau yang baru diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya”. 1) Di antara yang masuk dalam kategori ini adalah firman Allah,

“Allah adalah Pencipta langit dan bumi.”(QS. Al-Baqarah:117).

(Artinya, bahwa Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya, pent.).
Demikian pula firman-Nya,

“Katakanlah: ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” (QS. Al-Ahqaf:9).

Artinya, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bukanlah seorang rasul yang pertama kepada penduduk bumi ini.
Dan masuk dalam kategori bid’ah ini adalah, ”sesuatu yang diperbuat oleh hati, dikatakan lisan, dan dilakukan oleh anggota badan.”2)

Arti bid’ah seperti ini dinukil oleh Imam Abu Syamah Al-Maqdisi dalam kitabnya Al-Ba’its ‘Ala Inkar Al-Bida’ wa Al-Hawadits (hal 20) ialah sebagai berikut, “Kata bid’ah jika disebutkan secara mutlak, maka maksudnya adalah perkara baru yang tidak baik yang ada dalam agama. Dan yang seperti itu adalah kata mubtadi’ (ahlu bid’ah). Dimana kata ini tidak digunakan kecuali dalam celaan. Tetapi dari sisi akar kata, maka bid’ah dapat dikatakan untuk sesuatu yang terpuji dan yang tercela. Sebab yang dimaksud dengan bid’ah secara bahasa adalah, sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya. Karena itu, dikatakan kepada sesuatu yang sangat indah, “Dia itu bid’ah”.

Al-Jauhari dalam Shihah Al-Lughah berkata “Badi’, mubtada’ dan bid’ah, adalah hal baru dalam agama setelah agama dinyatakan sempurna.”

Dengan demikian maka, definisi bid’ah adalah, “Cara baru dalam agama yang disebut untuk menyerupai syari’at dengan maksud untuk melebihkan dalam beribadah kepada Allah.” 3)

Imam Syathibi dalam Al-I’thisham (I/37) juga memilih definisi bid’ah seperti itu. Dan definisi tersebut adalah yang paling komprehensif di antara beberapa definisi bid’ah.

Kemudian Imam Asy-Syatibi menjelaskan definisi bid’ah tersebut dengan panjang lebar yang intinya sebagai berikut,

“Ungkapan ‘cara baru dalam agama’ itu maksudnya, bahwa cara yang dibuat itu disandarkan oleh pembuatnya kepada agama. Tetapi sesungguhnya cara baru yang dibuat itu tidak ada dasar pedomannya dalam syari’at. Sebab dalam agama terdapat berbagai cara, diantaranya ada cara yang berdasarkan pedoman asal dalam syari’at. Maka, cara dalam agama yang termasuk dalam kategori bid’ah adalah apabila cara itu baru dan tidak ada dasarnya dalam syari’at.

Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. 4) Sebab bid’ah adalah sesuatu yang ke luar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari’ah.

Ungkapan “menyerupai syari’at” sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam agama itu pada hakikatnya tidak ada dalam syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam syari’at tidak ada ketentuannya.

Ungkapan “untuk melebihkan dalam beribadah kepada Allah”, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab demikian itulah tujuan para pelaku bid’ah. Yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya seperti disebutkan dalam firman-Nya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. “ 5) Seakan-akan orang yang membuat bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk ibadah sebagaimana dimaksudkan ayat tersebut, dan dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum mencukupi sehingga dia melebih-lebihkan dan menambah.

Saya berkata,”Juga terdapat definisi lain tentang bid’ah, yaitu: Sesuatu yang diadakan dan menyalahi kebenaran yang datang dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, baik tentang ilmu, amal atau sifat, disebabkan kerancuan pemahaman atau menganggap baik kepada sesuatu dan dijadikannya sebagai agama yang kokoh dan jalan yang lurus.” 6)

Dan Al-fairuz Abadi dalam Bashair Dzawi At-Tamyiz (II/231) berkata, “Bid’ah adalah hal baru dalam agama setelah agama disempurnakan.” Dan dikatakan, “Sesuatu yang diadakan setelah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam wafat baik berupa ucapan maupun perbuatan.” Bentuk jama’nya adalah bida’. Dan dikatakan pula, bahwa bid’ah adalah bentuk ucapan atau perbuatan, yang pengucap atau pelakunya tidak mengikuti pemilik syari’at dan hujjah-hujjahnya yang berlaku serta pokok-pokoknya yang telah dikodifikasikan dengan teratur. Dan hal yang sama juga disebutkan Al-Abadi dalam Al-Qamus (halaman 906).

Dengan ketetapan di atas maka Anda mengetahui kesalahan orang yang mengatakan, bahwa bid’ah adalah “suatu perbuatan yang belum ada pada tiga abad pertama dan tidak terdapat dasarnya dalam empat sumber hukum7) (Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas).”

=================

1. Lisan Al-Arab (IX/351), Maqayis Al-Lughah (I/209), dan Al-Qamus Al-Muhith:906.
2. Lihat halaman 40 terbitan Dar Ibnul Jauzi, Damam, dengantahqiq saya.
3. Lihat, Mi’yar Al-Mu’rib (I/352 dan 358) oleh Wansyarisyi.
4. Lihat, Mu’jam Al-Manahi Al-Lafdziyyahy: 304.
5. QS.Adz-Dzari’at: 56.
6. Yaitu pendapat Asy-Syaumani yang dinukil oleh Al-‘Adawi dalam Ushul fil Bida’: 26.
7. Iqamah Al-Hujjah ‘Ala Anna Al-Iktsar Minatta’ Abudi Laysa bi Bid’ah: 12. Al-Laknawi.

Disalin dari buku Ilmu Ushul Bida’ Dirasah Takmiliyah Muhimmah fi Ilmi Ushul Al-Fiqh, Ali Hasan Ali Abdulhamid Al-Halabi Al-Atsari, DarRaayah, cet. I, 1992.

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama